SECOND CHANCE (END)

By kaneboorenyah

3.4M 247K 4K

Tak pernah terpikirkan dalam benak Keana, jika ia akan kembali ke masa putih abu-abu. Harusnya Keana bahagia... More

Prolog
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh
Bagian Sebelas
Bagian Dua Belas
Bagian Tiga Belas
Bagian Empat Belas
Bagian Lima Belas
Bagian Enam Belas
Bagian Tujuh Belas
Bagian Delapan Belas
Bagian Sembilan Belas
Bagian Dua Puluh
Bagian Dua Puluh Satu
Bagian Dua Puluh Dua
Bagian Dua Puluh Tiga
Bagian Dua Puluh Empat
Bagian Dua Puluh Lima
Bagian Dua Puluh Enam
Bagian Dua Puluh Tujuh
Bagian Dua Puluh Delapan
Bagian Dua Puluh Sembilan
Bagian Tiga Puluh
Bagian Tiga Puluh Satu
Bagian Tiga Puluh Dua
Bagian Tiga Puluh Tiga
Bagian Tiga Puluh Empat
Bagian Tiga Puluh Lima
Bagian Tiga Puluh Enam
Bagian Tiga Puluh Tujuh
Bagian Tiga Puluh Sembilan
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4 (End)
COMING SOON

Bagian Tiga Puluh Delapan

59.8K 4.4K 95
By kaneboorenyah

Universe High School berduka. Selain berada di ambang kebangkrutan setelah rentetan kasus yang melibatkan tenaga pengajar dan murid, berita lainnya datang dari Lavina yang dinyatakan meninggal setelah koma selama enam jam. Beberapa kali detak jantung Lavina menghilang, namun para medis berhasil mengembalikannya dengan bantuan alat kejut listrik. Setidaknya momen menyakitkan itu terjadi berulang, hingga pada akhirnya Lavina memilih menyerah.

Morgan sendiri dinyatakan lumpuh permanen, hingga membuatnya depresi berat. Belum lagi Morgan turut disalahkan atas kematian Lavina, lantaran Morgan menjadi manusia terakhir yang Lavina hubungi. Banyaknya tekanan yang datang dari berbagai arah kian memperburuk psikis Morgan, hingga pada akhirnya Morgan harus dilarikan ke RSJ. Karena kondisi yang menimpa putra semata wayangnya, Fabio dan Etta memilih menutup diri dari lingkungan sosial dan hanya fokus pada putra mereka.

Elysa sendiri dinyatakan sepenuhnya bersalah dan harus berhadapan dengan hukum, begitu pula dengan Kael. Sedangkan Arden dinyatakan menghembuskan nafas terakhirnya, ditangan kakaknya sendiri yang merasa malu sekaligus marah akan tindakan Arden. Kasus kematian Arden terbilang menggemparkan, lantaran sang kakak yang selama ini menyokong kehidupan keduanya sengaja memalsukan kematian sang adik. Dimana setelah Arden dinyatakan meninggal akibat benturan benda tumpul pada kepalanya secara berulang, sang kakak langsung menggantung tubuh Arden seolah remaja itu melakukan aksi bunuh diri.

Peristiwa keji itu terjadi sehari sebelum Arden diamankan pihak berwajib, hingga banyak yang melabeli kakak angkat Arden itu sebagai aksi untuk membebaskan adiknya dari hukuman. Cassandra dan ketiga temannya juga mendapat hukuman serupa dengan Elysa. Dan karena masalah ini, satu persatu anggota Erector mulai meninggalkan gengnya. Karena kondisi Erector tak jauh berbeda dengan Universe High School, tak heran jika ada beberapa orang yang mulai beralih pada Vechter.

Sebastian sendiri diasingkan oleh keluarganya. Bahkan atas permintaan Sebastian, ia dikirim ke kampung tempat orang tua Arlo tinggal. Sesuai perjanjian keluarga, Sebastian baru bisa kembali saat Keana sudah memaafkan sekaligus memintanya untuk pulang. Sedangkan Virgo yang hendak kembali ke kehidupan awalnya ditarik oleh Arlo, dimana pria itu meminta Virgo untuk mengikuti rekan jejak Sebastian.

"Kamu yakin mau ketemu sama Morgan?" Tanya Raven, disela-sela kegiatan menyetirnya.

"Kea cuma mau pamit, sebelum Kea pergi ke Amerika."

"Perlu Abang temenin?"

"Disana kan ada petugas yang bakal jagain Kea, jadi Abang nggak usah khawatir. Lagian Morgan nggak mungkin nyakitin Kea,"

Raven mengangguk paham. Dan setelahnya mobil mereka hanya diisi riuh suara radio, lantaran Keana terlalu sibuk menelisik pemandangan di luar jendela mobil. Setelah pembicaraannya dengan Virgo terkait beberapa kejanggalan yang ia temukan di apartemen laki-laki itu, Keana berinisiatif untuk menanyakannya langsung pada Sebastian.

Sayangnya Sebastian enggan menjawab. Sebastian hanya meminta Keana untuk menunggu, hingga kebenaran itu yang mendatangi adiknya. Keana yang merasa telah dipermainkan akhirnya bertekad untuk tidak menurunkan pernyataan jika dirinya telah memaafkan Sebastian dengan mudah.

"Gimana hubungan kamu sama Evron?" Raven bertanya tiba-tiba.

"Kenapa?" Keana balik bertanya, tanpa berniat memutus perhatiannya pada jejeran pohon di tepian jalan.

"Padahal Mama udah suka sama Evron loh, sifatnya juga baik, bahkan Papa sama Abang juga setuju kalo kamu mau ... ,"

"Kea nggak tertarik sama hal-hal kaya gitu, Bang." Keana menyela tenang.

Mulut Raven mendadak kelu. Bukan kali ini saja Keana mengatakan hal semacam itu, namun efeknya tetap saja kuat. Raven dan kedua orang tuanya khawatir jika Keana serius dengan perkataannya. Mereka takut alasan Keana mengatakan itu karena rasa trauma yang diciptakan orang-orang di sekelilingnya, terutama Morgan dan Sebastian. Meski Keana masih muda dan pemikirannya bisa berubah seiring berjalannya waktu, namun Raven tetap saja takut.

Jangan lupa jika dirinya adalah seorang dokter. Raven tau jika trauma bisa disembuhkan, namun tidak memakan waktu singkat. Terlebih trauma tidak bisa benar-benar sembuh, sekalipun korbannya berusaha keras dengan sokongan ahlinya dan obat-obatan. Belum lagi rentetan kejadian sebulan terakhir, yang kian membuat gadis 18 tahun itu memilih untuk membatasi diri dari dunia.

"Kalo ada apa-apa, kamu langsung telepon Abang ya?" Pinta Raven, sesaat setelah mobil mereka berhenti di area parkir RSJ.

Keana tersenyum kecil. "Morgan nggak bakal nyakitin Kea, Bang."

"Abang cuma khawatir, Dek."

Keana mendesah panjang. "Kalo gitu Kea masuk dulu," pamitnya.

"Hati-hati ya." Tutur Raven, mengusap kepala Keana dengan lembut.

"Iya, iya."

Keana menarik tas selempangnya dari kursi belakang, kemudian bergegas keluar. Setibanya di meja resepsionis dan menjelaskan maksud kedatangannya, Keana segera dibawa oleh salah seorang petugas menuju kamar Morgan.

"Perlu saya temani?"

Keana menoleh, kemudian menggeleng. "Saya cuma sebentar kok."

"Kalo begitu saya tunggu disini."

Keana bergumam seraya mengangguk kecil. Setelahnya ia mulai melangkah, memasuki ruangan bercat putih. Ruangan sederhana dengan sebuah ranjang kecil, nakas, lemari pakaian serta satu set kursi kayu itu terlihat suram. Terlebih saat manik Keana bersinggungan dengan remaja yang tengah duduk termenung di atas kursi rodanya. Remaja bertubuh kurus itu terlihat sedikit lebih damai, saat menyaksikan dedaunan yang bergoyang dari balik jendela yang terbuka lebar.

"Morgan,"

Morgan menoleh, tak lama pupil matanya dibuat melebar. "Keana, lo dateng?!" Pekiknya senang.

Sambutan hangat itu mampu mendatangkan senyum Keana. Sebenarnya bukan kali ini saja dia datang berkunjung, dan sambutan yang Keana terima jauh lebih baik dari pada saat pertama kali Morgan dibawa ke tempat ini.

"Gimana kondisi lo?"

"Gue baik kok."

"Lo rajin minum obatnya kan?"

"Harus dong, kata lo kan gue harus rajin minum obat biar cepet sembuh." Morgan membalas riang dengan dada membusung bangga.

"Bagus."

Pipi Morgan mendadak bersemu saat Keana menyapukan telapak tangannya pada puncak kepala laki-laki itu. Bahkan Morgan tak membiarkan Keana menarik kembali tangannya, dengan balas menggenggam jemari mungil Keana dengan erat.

"Lo kok jarang dateng kesini sih?"

"Gue sibuk, Morgan."

Morgan berdecak dengan mata merotasi. "Bohong banget, padahal kemarin Arden bilang lo lagi mabar sama si Virgo!" Sungutnya.

Keana memilih tak menanggapi lebih jauh. Derita yang ia tanggung di kehidupan pertamanya sudah Tuhan alihkan pada yang lain. Penjara yang harusnya Keana hadapi, digantikan oleh Kael. Kelumpuhan dan depresinya ditanggung oleh Morgan, sementara kematiannya dialihkan pada Arden. Kehidupan kedua Keana jauh lebih baik, meski Keana melakukannya di atas penderitaan orang lain.

"Oh iya, buat beberapa tahun ke depan, gue nggak bakal kesini lagi."

Morgan membelalak. "Kenapa?"

"Gue harus sekolah ke Amerika, sekalian kuliah disana. Jadi gue nggak bisa jenguk lo,"

"Kok gitu sih? Kalo gue kangen gimana?"

"Gue punya hadiah buat lo." Ucap Keana, coba mengalihkan arah pembicaraan.

"Hadiah?!" Morgan memekik girang, bahkan ia langsung melupakan kesedihannya.

Keana hanya bergumam. Setelahnya ia mulai mengeluarkan bingkai foto yang memperlihatkan lima inti Erector, dengan senyum bangga yang menghiasi wajah mereka. Foto ini diambil tepat setelah Morgan resmi menjadi ketua Erector, dan Keana menemukan kenangan ini di kediaman Arden saat polisi melakukan olah TKP.

"Lo harus jaga foto ini, karena lo adalah ketua mereka. Jadi lo harus mengabadikan mereka dalam kepala lo, paham kan?" Keana berucap pilu.

Morgan mengangguk semangat. "Paham kok!"







***

Sepanjang perjalanan menuju bandara, Keana hanya bisa menarik nafas dalam-dalam karena rasa sesak yang timbul setelah pertemuannya dengan Morgan. Dan Raven sendiri memilih tak ikut campur, meski beberapa kali tangannya berinisiatif untuk mengacak rambut pendek Keana hingga memaksa gadis itu menoleh lalu tersenyum.

"Kita sampai!" Ucap Raven, begitu berhasil memarkirkan mobilnya.

Keana sempat mengedarkan wajah ya sesaat. "Mama sama Papa udah di dalem kan?

Raven pun bergumam. "Bentar ya, Abang ambilin koper kamu dulu."

Keduanya turun bersamaan, selagi Raven mengeluarkan koper Keana dari bagasi, gadis itu memilih untuk memantau room chat ponselnya. Ada banyak pesan masuk dari Sebastian, Virgo, Alaric, Theodore hingga kakek dan neneknya. Namun tak ada satupun pesan yang datang dari Evron. Entah kenapa, meski mulut Keana menolak berhubungan dengan laki-laki di kehidupan kali ini, namun hatinya meminta pengecualian bagi Evron.

Meski begitu belakangan ini Evron seolah menghilang. Pertemuan terakhir mereka pun berlangsung saat persidangan, dan saat itupun Evron sama sekali tak menyapa dirinya.

"Ayo!"

Keana terkesiap. Setelahnya ia mengangguk dan mulai mengamankan ponselnya ke dalam saku, sebelum akhirnya berjalan beriringan menuju tempat Arlo dan Kanaya berada.

"Mama, Papa!"

Kanaya dan Arlo menoleh bersamaan. "Sayang?!"

Keduanya langsung berhambur dalam pelukan Keana, dan tanpa bisa dicegah tangis Kanaya pecah karena harus melepaskan Keana. Sebenarnya Keana tak dilepaskan begitu saja. Raven akan menemani Keana untuk beradaptasi di lingkungan Amerika selama seminggu penuh, sebelum
kembali untuk menjalankan kewajibannya.

"Mama nggak nyangka kamu bakal pergi sejauh ini," Kanaya berbisik lirih.

"Kalo ada apa-apa langsung telepon Papa, biar Papa kirim bodyguard terbaik kita!"

"Kea bisa jaga diri kok." Hibur Keana, sesaat setelah pelukan mereka terlepas.

"Papa tetep khawatir!" Sungut Arlo, melipat kedua tangannya di bawah dada.

Tawa keempat mengudara. Harusnya Keana senang karena pada akhirnya bisa menjaga jarak, namun hatinya menjerit kesakitan karena dirinya harus pergi setelah berhasil mengubah masa lalu.

Keputusan gue buat pergi udah bener kan?.

Kanaya yang sadar dengan perubahan ekspresi Keana, langsung menepuk kedua tangannya, dan berhasil menarik perhatian ketiganya.

"Oh iya Mama lupa, mama punya hadiah buat Kea loh."

"Hadiah?" Keana membeo dengan alis menyatu.

"Bentar, mana ya hadiahnya?"

Kerutan pada kening Keana kian tercetak saat Kanaya justru mengedarkan pandangan, seperti tengah mencari seseorang diantara kerumunan manusia disana.

"Nah itu mereka!" Pekik Kanaya, menunjuk kebelakang panggung Keana.

Keana dipaksa menoleh. Selama beberapa saat Keana hanya membisu dengan pupil mata melebar. Dari kejauhan ada tiga remaja laki-laki yang tengah berjalan ke arah mereka. Salah seorang dari remaja itu memiliki bintik kecil dikedua matanya. Selagi kakinya mengayun, tangannya terlihat menekuk ke belakang. Seolah tengah menyembunyikan sesuatu agar tak terlihat dari pandangan Keana.

"Evron?"

Evron tersenyum manis. "Hai." Balasnya, menatap Keana lekat.

"Nah berhubung masih ada waktu, kalian mau ngobrol dulu?" Tawar Kanaya, disambut anggukan dari suami dan putranya.

Alaric mengangguk cepat. "Wah boleh tuh Tan, kebetulan Al udah kang ... ,"

"Bukan lo!" Theodore menyela tegas.

Mata Alaric menyipit tak terima. "Dih apaan, orang Tante Kanaya ngomong sama gue kok."

"Maksud Tante Kanaya itu Evron, dia mau ngobrol sama Keana sebelum Kea berangkat, apa nggak?!"

"Dih sok tau, padahal Tante Kanaya nggak ngomong sama Evron!"

Theodore meraup wajahnya frustasi, sebelum akhirnya tersenyum. "Maaf Om, Tan, Bang Raven. Hari ini kapasitas otak Al emang agak kurang, soalnya pas berangkat tadi belum sempet sarapan."

Ketiganya tersenyum maklum. Lagi pula bukan kali pertama mereka melihat perdebatan Alaric dengan Theodore, dan bagi mereka keduanya cukup menghibur. Ditambah lagi dengan Evron yang humble dan ceria.

"It's our chance,"

Keana memperhatikan wajah dan uluran tangan Evron secara bergilir. Meski sempat ragu, namun ia tetap menautkan jemari mereka.

"Om, Tante, Bang Raven, Evron pinjem Keana bentar ya?"

"Ambil aja."

Keana melotot. "Papa!"

***

Tbc

Continue Reading

You'll Also Like

410K 16.7K 34
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
569K 54.6K 30
Lily, itu nama akrabnya. Lily Orelia Kenzie adalah seorang fashion designer muda yang sukses di negaranya. Hasil karyanya bahkan sudah menjadi langga...
280K 17.8K 44
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
6.6M 332K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...