REPEATED

By shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... More

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
21. | Commit with me
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

22. | ♪ Namanya kesayangan

39.1K 5.2K 1.3K
By shaanis

Bab ini didedikasikan teruntuk para bestie yang konsisten merapatkan barisan & fokus memastikan bahwa KagenBi belum berhak bahagia, wkwkwkwkkk

.

3.211 kata untuk bab ini
semoga suka karena kalian tahu lah ketemu siapa kalau sampai dipanggil kesayangan sama Mama Lyre~

.

anw ketika aku bilang be nice itu bukan sekadar jangan berantem satu sama lain di komentar ya ... karena entah kelihatan atau enggak kalau ada penggunaan harsh word itu muncul peringatan kayak gini

harsh word yang sampai muncul peringatan itu, diantaranya: fv*k, assh0l*, s0n of b1tc*, sh*tty, bullsh*t

di lapaknya Pascal yang lumayan banyak , sampai kuhapusi karena khawatir akun pembacanya kena report ... jadi hati-hati yang di sini, mengingat KagenBi naik level melulu kampretnya

thank you

🌟

22. | ♪ Namanya kesayangan

"I miss you so much."

Pipi sang istri yang mulai bersemu ini masih sama, membuat Kagendra merasa familiar dan sedikit memberinya harapan.

Namun, detik berikutnya menyadari rasa malu yang tidak perlu, Lyre mengangkat tangan kanan, menyeka ke sudut bibir bekas yang baru Kagendra kecup. Sepasang mata Lyre juga menyipit dan menyebutkan cibiran, "Bisa aja playboy kalau modus."

Kagendra seketika berdecak, hilang sudah sifat manis istrinya yang kerap malu-malu tapi mau ketika bermesraan bersamanya. "Aku bukan playboy dan aku enggak modus."

"Gue—" Lyre terkesiap karena tatapan Kagendra menajam, segera meralat penyebutan, "Oke, aku ... aku enggak suka dicium sembarangan."

"Kamu suka dicium, sembarangan atau enggak, kamu memang enggak pernah menolak ciumanku."

"Karena lo eh, kamu maksa?" Lyre jadi curiga.

Kagendra menggeleng. "Aku enggak perlu memaksa soal begituan, kita selalu cocok urusan bermesraan."

Really? Batin Lyre dan memutuskan segera menghabiskan sarapannya. "Minum ..."

"Soal enggak mau pakai sedotan yang sama, it's so childish ... kalau ingatan kamu memang valid, yang pernah ada di mulut kamu bukan sekadar sedotanku." Kagendra ganti mencibir sembari mendekatkan segelas air.

Pipi Lyre kembali bersemu. "Ih, 'kan ada Mama! Kamu gitu aja nyindir, ngambek."

"Aku enggak ngambek."

Lyre minum beberapa teguk dan memperhatikan raut wajah suaminya yang muram. "Enggak ngambek? Jelas banget gitu muka kamu muram."

"Aku emang begini mukanya, enggak cuma ganteng aja."

Lyre menahan kekehan tawa. "What do you like the most about me?"

"Your warm embrace."

Itu bukan jawaban yang Lyre duga, ditambah Kagendra langsung menjawab dengan nada meyakinkan. "Kirain bakal jawab, your face."

Kagendra meringis. "Itu kesukaanku nomor sekian, well ya, pleasure to my eyes. Kamu memang cantik."

"Terus nomor duanya apa?"

"Your gentle voice." Kagendra sejenak menurunkan tatapan ke cincin kawin di tangan kanannya. "Dalam argumen sealot apa pun, kamu enggak pernah memakiku, berteriak aja enggak ... dan dalam situasi Ravel serewel dan setantrum apa pun, kamu selalu lembut bicara padanya."

"I wish I am a good mother."

Kagendra mengangguk. "Yeah, absolutely ... makanya aku takut kalau Ravel tahu, ada hal yang salah dari kamu."

"Aku enggak salah, ini bukan kondisi yang aku minta. Aku juga enggak mau terbangun dari koma dan enggak ingat apa-apa soal anakku."

"Dan soal suami kamu." Kagendra menambahkan. "Kamu tuh jangan apa-apa yang dipikirin Ravel doang, aku juga harus kamu pikirin, Re ... ini enggak adil juga buatku."

Lyre geleng kepala dan memandang curiga pada suaminya. "Sikap ribet kayak gitu yang bikin aku males punya pasangan ... you supposed to be cool."

"I am cool."

"Apanya, tadi itu clingy! Sebagai sesama orang dewasa, terlebih sepasang orang tua, sudah sewajarnya kita lebih peduli persoalan anak."

"I care a lot about my son. Tapi soal kita juga enggak bisa dientengin gitu aja."

"Kamu beneran enggak punya gundik? Minimal pelihara sugar baby gitu?"

"Astaga!" Kagendra hampir mengeluh dan segera mempertegas dengan menunjukkan lima jemari tangan kanan. "Ada lima hal penting, yang harus kamu ketahui soal aku. Ini serius."

Lyre memperhatikan setiap jemari yang ditekuk sembari Kagendra berbicara serius.

"Pertama, aku ayah yang baik untuk Ravel. Kedua, aku pekerja keras. Ketiga, aku suami yang setia. Keempat, aku suami yang bisa kamu harapkan. Kelima, aku enggak ejakulasi dalam lima menit. Semepetnya lima belas menit."

Lyre begitu saja menahan geli dan akhirnya mengangguk. "Iya deh, lima belas menit. Sepuluh menitnya nurunin celana sama gesek-gesek," ucapnya lantas meloloskan gelak tawa riang.

Kagendra sebenarnya masih kesal dengan tanggapan yang mengejek itu. Namun tawa Lyre membuatnya terpaku, biasanya dia hanya mencuri dengar suara tawa ini ketika istrinya bercanda bersama Ravel.

Lyre terkesiap karena tangan kanan Kagendra terulur, menyentuh pipinya dan mengelus lembut. Ia begitu saja memelankan tawa, berpandangan dengan sepasang mata gelap yang lekat memperhatikannya.

"Hal ketiga yang aku suka, your chirping laugh."

"Y-ya?" sebut Lyre dengan rasa gugup yang kembali mendera benaknya. Jantungnya terasa aneh, berdebar tidak menentu. Ini bukan sembarang modus dari seorang playboy. Kagendra terlihat serius dan tatapan matanya semakin menyorot lembut ke arahnya.

"Hal berikutnya yang aku suka, the way your face slowly blushing ... while I'm doing this." Kagendra memiringkan wajahnya, memberi ciuman lembut berulang ke pipi, dagu dan sudut bibir.

Lyre mengangkat tangan kanannya, bukan untuk mendorong wajah itu menjauh darinya. Ia justru merasa tepat ketika balas mengelus pipi Kagendra, merasai tekstur wajah yang terasa lembab dan halus akibat krim cukur berkualitas.

"Right," sebut Kagendra, memejamkan mata karena lega merasakan sentuhan tangan yang teramat dikenalinya. Hanya Lyre-nya yang bisa menyentuhnya dengan selembut ini. "I really miss you, my wife."

Dan Lyre begitu saja ganti menempelkan bibirnya ke bibir Kagendra, menciumnya dengan ritme yang entah kenapa terasa familiar dalam benaknya. Sekian kali ciuman itu berbalas, Lyre yakin tubuhnya memang mengenali Kagendra.

***

"Kenapa, Ganteng?" tanya Desire usai memesan kopi dan menyadari perhatian keponakannya tampak fokus pada deretan dessert di etalase.

"Itu, cakenya Mama." Ravel menunjuk barisan slice cake dengan hiasan potongan strawberry dan caramel glaze.

Desire jadi teringat, bahwa Lyre memang biasanya mengajak Ravel ketika cheating day, sekali dalam sebulan menikmati satu slice caramel strawberry cake. "Wah iya, mau beliin buat Mama?"

Ravel tampak ragu. "Mama makannya gimana?"

Desire memang belum memberi tahu bahwa Lyre sudah bangun. "Ravel kangen ya, sama Mama?"

"Iya, mau maem cake sama Mama."

Desire berlutut dengan sebelah kaki, mengulas senyum dan mengingat-ingat cara Lyre dulu menenangkan Ravel saat kangen. "Dulu Mama pernah bilang, waktu Vel kangen mau main perahu sama Akung ... Vel boleh ganti main perahu sama Papa atau sama Om Waffa, rasanya memang masih kangen karena Akung enggak ada, tapi bisa main perahu lagi bikin senang, iya 'kan?"

"Iya."

"Jadi, kita beli yuk cake-nya ... beli milkshake juga. Nanti kalau enggak bisa maem sama Mama, bisa maem sama Tante Dede, ya?"

"Oma Yaya?"

"Oh iya, bisa sama Oma Yaya juga. Berarti beli berapa dong cakenya, coba hitung ya..." Desire mengulurkan jemari, menekuk satu setiap kali menyebut. "Buat Mama atau Tante Dede, buat Ravel, buat Oma Yaya ..."

"Tiga!"

"Tiga, Papa dibeliin enggak?"

Ravel memperhatikan etalase dan menunjuk paling ujung, yang terbungkus kantong kertas. "Papa itu aja!"

Desire tersenyum, karena Ravel sepertinya juga sadar jenis kue macam apa yang Kagendra sukai. "Namanya apa tuh?"

"Choco chips!"

"Berarti bilangnya beli tiga strawberry cake dan satu choco chips, sama satu milkshake, ya." Desire memberi tahu.

Ravel sudah akan beranjak saat kemudian menempelkan wajah di telinga Tantenya itu. "Tapi Vel boleh maem coklat juga kalau Mama maem cake."

"Ehh?" tanya Desire.

"Yang kecil itu," sebut Ravel dan menunjuk toples berisi berbagai jenis merk coklat mini.

Desire tahu Ravel dilarang keras makan permen, coklat juga sangat terbatas. "Cake-nya udah manis, tadi sarapan juga pancake pakai madu."

"Vel mau coklat kecilnya satu." Ravel bersikukuh dengan wajah yang mulai cemberut.

Waduh! Gelagat otoriter turunan Kagendra yang biasanya hanya manjur ketika Lyre menangani. Desire tetap coba menego, teringat menu makan siang keponakannya. "Tapi nanti siang maemnya nasi sama sayur sop, Ravel maem semua sayurnya, ya?"

"Iya!"

"Janji, maem semua sayurnya?"

Ravel mengangguk. "Iya."

"Sayang dulu Tante Dede." Desire menyodorkan pipi yang langsung dicium sekali. "Bilang sama Mbaknya yang baik, Ravel mau beli apa aja."

Desire memperhatikan keponakannya beralih kepada salah satu pelayan, memberi tahu ingin membeli tiga slice cake strawberry, satu choco chips, milkshake.

"Milkshake yang apa, Adik? Strawberry juga, atau melon? Pisang?"

"Ng ... ng ..."

Desire tertawa melihat kebingungan di wajah keponakannya. "Banana aja, Vel, Tante Dede pengin coba."

"Pisang," sebut Ravel kemudian menunjuk. "Mau coklat satu."

"Coklatnya yang mana?" tanya pelayan.

"Yang kecil ini, Mbak." Desire mengambil satu yang komposisi coklatnya lebih dominan.

"Baik, totalnya jadi enam ratus dua puluh lima ribu."

Desire menyerahkan kartunya pada Ravel. "Kasih Mbaknya," katanya dan memperhatikan Ravel mengulurkan kartu tersebut dengan tangan kanan.

Pelayan tersenyum, memproses pembayaran lalu mengembalikan kartu dengan lampiran struk. "Silakan kartu dan struknya, ditunggu sebentar ya, sepuluh menit untuk disiapkan makanannya."

"Iya, terima kasih," ucap Ravel dan bergegas menempeli Desire lagi sembari mengulurkan kartu beserta struknya.

Desire mengelus kepala Ravel, menunggu hingga pesanan makanan mereka siap untuk dibawa. Getaran khas notifikasi chat masuk membuat Desire memeriksa ponsel.

KAKA
Dokter bilang Lyre bisa
ketemu Ravel. Aku rasa juga
udah cukup aman. Kamu bisa
ke sini?

Desire Hadisoewirjo
Ini emang mau ke situ
Ravel minta jajan terus udah
luwes pesen sendiri 😍

KAKA
Anakku 😎

Desire Hadisoewirjo
Keponakanku tau!!!
Lyre oke?
I mean, kondisinya udah stabil?

KAKA
Oke, dia tenang.
Tadinya nangis-nangis
tapi sekarang udah tenang
lagi dibantu Mama lap badan

Desire Hadisoewirjo
Waffa ada telp. kamu?

KAKA
ada, tapi enggak keangkat
Fran juga telp. enggak keangkat
kenapa? ada masalah kantor?

Desire Hadisoewirjo
Enggak kok. Aman.
Aku nanya karena Waffa
pagi ini belum telepon aku.
Aku kangen sayangku~

KAKA
🤮🤮🤮

Desire tertawa, sengaja bertingkah demikian agar Kagendra tidak curiga. "Vel, tadi waktu telepon video terus ada Opa lagi sarapan sama Oma Kikin, Opa bilang apa?"

"Jangan bilang Papa, soalnya mau kejutan!"

"Opa mau ke sini, ya?"

"Iya, soalnya Mama sakit. Jadi Opa sama Oma Kikin mau gantian jenguknya, terus kejutan buat Papa."

Desire meringis, itu jelas bukan kejutan yang bakal kakak sepupunya sukai. Namun, situasi antar dua keluarga memang harus mulai diperbaiki. Jika Kagendra tahu Papinya sudah bangun, pasti akan langsung mendesak Lyre dibawa ke Jakarta, kembali menjaga jarak dan menghindar.

Langkah Arestio Pradipandya untuk menyembunyikan pemulihannya memang sudah tepat. Desire tahu Mamanya dan Om Tio, selaku kepala keluarga Pradipandya pasti memikirkan yang terbaik untuk Lyre saat ini.

"Tante Dede, maem coklatnya sekarang aja ya," pinta Ravel sembari memegangi coklat kemasan yang sebelumnya Desire letakkan di meja belakangnya.

"Kecil aja dulu ya," ujar Desire.

"Iya, kecil aja."

Desire membuka kemasan coklatnya, membagi dua lalu mengulurkan bagian terkecil pada Ravel. Wajah keponakannya itu langsung berseri-seri, mulai menggigit kecil dan menikmati coklat tersebut.

"Enak, Vel?"

"Iya."

Desire mencicip sedikit, memang cukup enak, rasa pahitnya samar, lebih terasa campuran susunya.

"Silakan, Kak, ini pesanannya sudah siap." Pelayan mendekat sembari menyerahkan paper box ukuran sedang. "Terima kasih banyak."

"Iya, Mbak." Desire menerimanya, beralih ke mobil bersama Ravel. Ia meletakkan paperboxnya di kursi depan lalu membantu Ravel duduk.

"Waduh, cemong pipinya."

"Vel bisa lap."

Mampus aku! Batin Desire saat Ravel dengan santainya kemudian mengangkat lengan, menyeka sekitar mulut. Anak itu tertawa karena noda coklat di kain lengannya pas mengenai mulut dinosaurus.

"Hehehe! Stegosaurus maem coklatnya juga, Tante Dede."

Desire menghela napas, memang tidak mudah menghadapi anak balita. Ia mengambil tissue basah dan membersihkan sebaik mungkin. "Ini kalau ketahuan Papa, udah ngasih kamu coklat pagi-pagi ... Tante Dede bisa gantian diumpanin ke Stegosaurus."

"Stegosaurus enggak maem orang, maemnya rumput, sama daun-daun."

"Iya, Tante Dede diumpanin bukan buat dimakan, tapi buat kerja rodi ngumpulin rumput sama daun-daun."

"Apa kerja rodi?"

Mampus! Desire langsung nyengir, mengecup hidung keponakannya dan memutuskan beralih perhatian. "Tante Dede mau nyetir, jadi sebagai penumpang yang baik, Vel ngapain?"

"Main sendiri yang tenang sama grimlock!" Ravel meraih robot di samping car seatnya.

"Pinter," jawab Desire dan pura-pura tidak dengar saat Ravel mengulang apa itu kerja rodi.

Sungguh, Desire berharap sekali pun Lyre benar-benar melupakan banyak hal tentang keluarganya, namun jangan sampai kehilangan kemampuan untuk mengatasi segala rasa penasaran Ravel.

***

"Kenapa Ravel bisa mirip banget sama Kagendra gitu ya, Ma? Persis plek sama foto bayi dan balitanya. Ada tadi di hapenya kolase gitu," ucap Lyre saat sang ibu selesai membantunya berganti dengan gaun perawatan yang baru.

"Malah aneh kalau enggak mirip, Re."

"Ya, tapi, aku 'kan ibunya." Lyre kemudian menyipitkan mata saat sang ibu mendekatkan pemulas bibir. "Ih, apaan, Ma?"

"Ini lip balm biar enggak pucat bibir kamu." Soraya memakaikannya dengan baik, meratakan dengan ujung jemarinya.

"Emang kelihatan pucat?"

"Tadi habis distimulasi Kagendra sih enggak."

Lyre terkesiap, langsung malu. "Mama lihat?"

"Enggak sengaja, tadi mau masuk habis telepon Papa ... eh, kalian malah—"

"Ssstt, Mama!"

"Mama bukannya enggak senang, bagus kalau kamu merasa enggak asing lagi sama suamimu ... tetapi ya ingat ini bukan tempat yang tepat untuk bermesraan."

"Enggak bermesraan, dikecup doang terus udah."

"Awalnya doang dikecup, yang pas habis kamu minum? Kepalamu ikutan miring-miring."

Lyre menatap tidak percaya, malu sekali karena diketahui ibunya.

Soraya geleng kepala. "Walaupun kamu kangen, tetap aja namanya di rumah sakit ya—"

"Apanya kangen, aku tadi tuh research! Aku rasa pernikahan kami memang cukup meyakinkan."

"Cukup meyakinkan?"

"Aku paham cara balas ciumannya, mulut sama bibirku kayak familiar."

"Kagendra itu sayang banget sama kamu ... selama kamu dirawat, kalau malam habis Ravel tidur, Kagendra duduk lama di sini. Dia juga enggak canggung kalau gantian sama Mama ngelap kamu, ngosongin kantong urin, bahkan gunting kuku jari kamu."

"Serius, Ma?"

Soraya seketika heran. "Kamu gimana, sih? Katanya tadi cukup meyakinkan."

"Pernikahannya emang terasa cukup meyakinkan. Tapi urusan perasaan, dia kayak datar-datar aja ... ya dia pasti punya nafsu sama aku, tapi kalau sayang diragukan. Dia tuh sempet kayak bengong, terus tiba-tiba muram, mukanya nahan kesel gitu."

"Ya, dia masih bingung, Re ... penyesuaian sama keadaan kamu sekarang."

Lyre menyadari satu hal juga, karena sikap formal Kagendra dan sikap ragu-ragu yang terkadang tanpa sadar ditunjukkan oleh sang ibu. "Ng, Ma, apa kita masih marahan?"

"Marahan?"

"Iya, Kagendra ngomongnya saya-saya ke Mama."

Soraya agak terkesiap. "Oh, dia memang begitu kok ... bukan apa-apa. Jangan khawatir, Mama tahu kamu disayang sama Kagendra, Ravel juga anak yang baik. Kalian berdua enggak gagal jadi orang tua."

Disebutnya nama sang anak, membuat senyum Lyre terkembang. "Aku enggak sabar lihat dia."

"Dia mirip kamu juga."

"Masa?"

"Iya, sifat antusias, percaya diri, terus berani. Ravel itu ya, kalau ditanyain suster, lagi maem apa, main apa, belajar apa, dia selalu jawab ..." Soraya turut bangga setiap kali cucunya dipuji orang. "Jawabnya tuh bukan sekadar maem nasi atau roti, tapi dia bilang juga dibuatin siapa, rasanya gimana. Ditanya main apa juga dia bilang, mainannya grimlock, robot dinosaurs, ada suaranya dan bisa gerak sendiri. Kalau ditanya belajar apa, makin ceriwis lagi, kasih tahu sekolahnya nanti banyak bahasa inggris makanya dia belajar banyak kata-kata baru."

"Ravel belajarnya sama Mama?"

"Sama Kagendra."

"Kagendra?"

Soraya mengangguk. "Iya, pakai flash card ... kamu udah sempat siapin, dari transportation sampai nama bangunan. Ravel cepet banget kalau hafalan."

"Ravel gimana sama Kagendra, Ma?"

"Gimana?" ulang Soraya bingung.

"Dekat enggak? Anak-anak 'kan pasti kelihatan kalau dia risih atau enggak mau gitu."

"Dekat kok, Re ... dekat banget malah. Ravel itu apa-apa sama Kagendra di sini, gantian sama Desire cuma kalau Kagendra perlu kerja, selain itu mau tidur juga peluk dulu." Soraya tersenyum lembut. "Ravel juga kayaknya masih agak manja, dia senang digendong, dipeluk gitu, disayang-sayang."

"Gimana nih," sebut Lyre dengan nada gugup. "Gimana kalau Ravel beneran bingung dan enggak bisa sayang aku, kayak dia sayang ke Kagendra?"

"Seperti Atiana bilang, ibu itu punya naluri ... dan kamu ibu yang baik, kamu akan tahu hal-hal yang dibutuhkan Ravel, kamu juga akan memahami bagaimana harus menghadapinya."

Lyre mengangguk, berusaha meyakini hal itu. "Oke, aku hanya enggak boleh gugup, iya 'kan, Ma?"

"Kamu hanya harus yakin. Gugup dan takut itu dialami semua ibu terkait perkembangan anak, kamu harus yakin bahwa apa pun yang akan kamu usahakan untuknya, itu demi kebaikannya."

Lyre kembali mengangguk, mengatur napas dan terkesiap karena suara riang yang terdengar nyaring.

"Papaaa ..."

"It's him," sebut Lyre.

Soraya mengecup kening putrinya. "Apa pun yang terjadi, ketika hatimu menghangat setiap kali anakmu memanggil Mama ... kamu akan baik-baik saja."

***

"Papaaa ..."

Kagendra tersenyum lebar, lebih dulu membungkuk dan menerima pelukan anaknya. "Hallo, senang ya nginep sama Tante Dede?"

"Iya, tidurnya Tante Dede enggak bunyi."

"Papa tidurnya juga udah enggak bunyi," ucap Kagendra, mengecupi pipi Ravel berulang. "Tadi katanya jajan, ya?"

"Iya! Tiga strawberry cake, satu choco chips, sama milkshake." Ravel memberi tahu sembari menunjukkan hitungan dengan jemarinya.

"Tiga strawberry cake?"

"Iya! Vel mau maem cake sama Mama."

Kagendra tersenyum. "Mmm ... Mama belum boleh maem cake."

Wajah Ravel sedikit merengut namun memberi anggukan paham. "Iya, nanti Tante Dede bisa maem cakenya Mama."

Pintu ruangan terbuka, Desire masuk bersama dr. Atiana yang memberi senyum lebar.

"Hallo, Ravel," sapa Atiana.

"Hallo, dokter mau periksa Mama, ya?" ucap Ravel dan segera mengulurkan tangan untuk bersalaman.

Atiana mengangguk, sejenak menahan tangan hangat balita di hadapannya. "Mama juga kangen banget lho sama Ravel."

"Mama ... kangen?"

"Iya, tapi Mama masih sakit di bahu sama kakinya. Mama belum bisa dipeluk yang lama."

Sepasang mata Ravel mengerjap lalu beralih pada Kagendra. "Papa ... Vel mau Mama."

"Iya, tapi Vel harus dengar dokter dulu." Kagendra mengangguk pada Atiana dan beralih pandang dengan adik sepupunya yang menahan gugup.

Atiana kembali menatap Ravel. "Karena luka di kepalanya Mama, jadi Mama tuh masih pusing sama terkadang bingung ... jadi, kalau Mama banyak tanya, Ravel yang baik ya jawabnya, ya?"

"Iya," jawab Ravel, menarik tangannya dan memeluk leher Kagendra. "Papa, Vel mau Mama ..."

Kagendra mengelus punggung anaknya dan berjalan ke pintu di belakangnya, menggeser hingga cukup untuk mereka masuki. Ia saling pandang dengan Lyre yang tampak menahan napas.

"Ravel ..." panggil Lyre lembut.

Kagendra terkesiap karena cara memanggil Lyre yang sama persis. Lengan kanan istrinya itu juga begitu saja terangkat.

"Mamaaa ..." sebut Ravel antusias, tangannya juga beralih menggapai-gapai.

Kagendra mempercepat langkahnya, mendekatkan mereka dan mendapati Lyre tersenyum lebar tatkala Ravel beringsut ke sisi kanan tubuhnya, memeluk erat.

"Mama lama bangunnya ..." sebut Ravel teredam.

Lyre menundukkan kepala, menciumi helaian rambut ikal anaknya, pelipis sang anak yang lembut dengan aroma susu dan buah raspberry-lime. "Iya, maaf ya ... Vel pasti kangen banget, ya?"

"Iya." Ravel kemudian beralih menegakkan diri dan duduk dengan baik. "Enggak boleh peluk lama, soalnya Mama sakit."

Lyre tertawa kecil, ada rasa senang yang tidak bisa dia ungkapkan setelah melihat, memeluk dan mencium Ravel. "Mama enggak sakit kalau Ravel peluk."

Ravel menggeleng. "Vel anak baik, jadi dengar apa kata dokter."

"Oh ya?" Lyre mengamati raut menggemaskan anaknya lalu tersadar satu hal. Ia mencium pipi Ravel untuk memastikan. "Vel ... uhm, habis makan coklat?"

"Coklat?" sebut Kagendra lalu menoleh adik sepupunya yang seketika beralih keluar ruang rawat.

Ravel menutupkan kedua tangan ke mulut, meski tidak lama kemudian beralih mencondongkan wajah, berusaha berbisik meski terdengar semua orang. "Kecil aja, Mama, segini."

Soraya tertawa, mengelus kepala Ravel. "Kecil aja boleh ya, Vel."

"Iya, soalnya nanti udah janji maem sop sayurnya habis."

Lyre menyipitkan mata. "Ravel emang enggak suka sayur?"

"Enggak, tapi harus maem, soalnya banyak vitamin biar sehat badannya."

"Padahal aku gampang ya, Ma, dari kecil makan sayuran," sebut Lyre dengan heran.

Soraya meringis, melirik ke arah menantunya. "Ravel 'kan mirip Papa, ya, Vel?"

"Iya, alerginya juga. Vel banyak alerginya, makanya kalau maem harus disiapin dulu. Kalau jajan juga harus dikasih lihat Sus atau Mama."

Lyre mengerjapkan matanya beberapa kali. "Banyak alerginya? Ini juga mirip Papa?"

"Iya," jawab Ravel.

"Peluk Mama lagi, Vel ... Mama masih kangen," ucap Lyre dan begitu anaknya beralih menempelkan diri, ia menatap Kagendra dengan muram, bisa-bisanya menurunkan begitu banyak alergi pada anaknya yang berharga.

Kagendra paham maksud tatapan istrinya itu. Dia sudah menghadapinya pada awal fase parenting mereka.

"He duplicates me, remember?" sebut Kagendra tanpa suara.

Lyre ingin sekali mencibir hal itu. Namun, entah kenapa lebih penting menikmati kedekatan dengan anaknya ini. Ia ganti memandang Atiana dan bertanya, "Aku enggak merasa sakit atau nyeri, boleh Ravel begini dulu sebentar?"

"Boleh dong ... kamu memang kelihatan baik, Re ... syukurlah," ujar Atiana, senang dengan kemajuan ini.

Lyre menunduk pada anak yang mendongak dan memberinya senyum lebar. Ini memang agak aneh, menyadari senyum itu otomatis mengingatkan Lyre pada Kagendra, tetapi hatinya benar-benar menghangat, dipenuhi suka cita. "I love you, Kharavela ..."

"I love you, Mama ..." balas Ravel sebelum kepalanya mendusel ke samping kanan tubuh sang ibu.

Lyre mengelus helaian rambut anaknya, menciuminya lagi sebelum bersenandung lirih, "Bila kuingat lelah ayah bunda ..."

Kagendra terkesiap dan menoleh Atiana. "Dok, itu lagunya ..."

"Ya?" tanya Atiana.

Soraya menoleh menantunya. "Oh, itu lagu Bunda Piara, Ndra ... waktu kecil Lyre latihan piano pakai lagu itu buat pentas pertamanya."

"Lyre sering banget nyanyiin lagu itu buat Ravel, dari masih bayi ... setiap mau tidur," ujar Kagendra, ingat betul dengan liriknya.

"Oh," sebut Atiana dan tersenyum. "It's a good sign then ... sekecil apa pun kesamaan dalam keseharian kalian, itu berperan membantu memulihkan ingatan Lyre."

Soraya balas tersenyum, lega memperhatikan putrinya masih bersenandung lembut. Ravel juga tampak menikmati, anak itu memejamkan mata sembari menyamankan diri.

Bila kuingat ayah-bunda
Bunda piara, piara akan daku
Sehingga daku besarlah
Waktu ku kecil, hidupku amatlah senang
Senang dipangku, dipangku, dipeluknya
Serta dicium, dicium, dimanjakan
Namanya kesayangan

Kagendra terdiam, memperhatikan anaknya mulai pulas dan sewaktu mengulang lirik terakhir, Lyre sekali lagi mengecup kening Ravel.

"Namanya kesayangan ..."

[ to be continued ]

🌃

KagenBi sabar ya, begitu karakter gemoy muncul, kamu tuh otomatis terlupakan dan Ravel yang auto kesayangan.

.

Q: Satu sisi suka Lyre karakternya begini, enggak nurut-nurut doang. Sisi lainnya sebel karena Kagendra terindikasi bakal makin manipulatif.
A: Itulah kawan, salah satu challenge dalam menulis cerita ini. Yeah, I can't fully satisfy your expectation ... but this is how I wanna show you, beautiful-ironic side of their love story.

Q: Menurutku lebih normal mereka ada moment of break gitu deh. Baca story Esa di Karya Karsa, keluarga Kanantya juga cukup pelik problemnya.
A: Iya, makanya 'kan aku bilang di awal kalau ini cerita ruwet, kayak ceritanya Baba, masalahnya itu ada-ada aja, pfftt

Q: Adiknya Ravel cewek aja mirip Lyre, biar pas nanti jadi cerai, makin nyesek si Babi.
A: WKWKWKWKWKK
AJUUR KAGENBI~

.

Lie detector versi gemoy ~

see you, Sabtu~

Continue Reading

You'll Also Like

61.1K 5.9K 50
Renesya Clark adalah seorang editor di sebuah perusahaan penerbitan di pusat kota New York dan juga seorang penulis yang gemar menulis genre cerita r...
236K 42.4K 40
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
611K 86.6K 41
Seumur hidup, tak ada yang pernah mengira bahwa Lucas adalah seorang gigolo. Pria ini malah dianggap sebagai playboy karier yang selalu memacari mode...
1.3M 105K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...