REPEATED

By shaanis

2.1M 190K 43.9K

[ Sebagian cerita ini sudah diunpublished ] REPEATED • re·peat·ed /rəˈpēdəd/ Butuh lima tahun untuk benar-be... More

Hello there ...
Kagendra & Lyre
1. | Oke!
2. | Transaksional
3. | Memulai proses perpisahan
4. | Have you ever
5. | Berhati-hati
6. | 'Teman' baru
7. | What if ...
8. | Toples Bintang & Harapan
9. | Camping: Day I
10. | Camping: Day II
11. | Camping: The last day
12. | Detik kehidupan berubah
13. | Berita baik dan buruk
14. | Keluarga Kanantya
15. | As a parents
16. | Tolong, maaf, terima kasih
17. | Perhatian & Penantian
18. | Waktu yang terhenti
19. | Istri yang tidak dikenali
20. | Mama ...
22. | ♪ Namanya kesayangan
23. | Unconditionally
24. | Menjatuhkan hati
25. | In pain
26. | Scared me
27. | Precious memory
28. | Family setting
29. | Tapi bohong
30. | I promise to you
31. | Indikasi, manipulasi
32. | Keterangan Pribadi
33. | Keluarga kecil sempurna
34. | Another baby?
35. | Ingatan membawa kegugupan
36. | Putra kedua keluarga Kanantya
37. | Penting, enggak penting
50. | Happy ending

21. | Commit with me

37.1K 5K 1.4K
By shaanis

Hallo,

sebelum baca ceritanya, I just wanna say thank you ... buat pembaca yang baik-baik banget, bahkan banyak yang pengertian bahwa aku butuh space setelah kasus hilangnya data/file di laptopku.

I know, it's not even your problem, at some point juga bukan urusan kalian, tetapi dengan bersedia sabar, nungguin dan menahan diri nanya-nanya update, itu beneran mengurangi stress-ku 😘

.

3.830 kata untuk bab ini
belum ketemu Ravel
tapi semoga ketololan bapaknya Ravel masih cukup menghibur, pfftt

happy reading
and please be nice

사랑해

🌟

21. | Commit with me

"Akhirnya, Bu Yaya datang juga..."

Soraya tersenyum pada suster yang menyapanya, meletakkan wadah makanan berisi dua belas sandwich dan enam kemasan jus. "Silakan ya, buat sarapan."

"Terima kasih, Bu. Saya kabari dr. Tian dulu."

"Kagendra sudah bangun?"

"Sudah, Bu Lyre juga sudah." Suster tersenyum lebar. "Ini baru mau saya teleponkan Ibu sebenarnya."

"Telepon saya, ada apa?"

"Bu Lyre yang minta, katanya tolong bilang Ibu supaya segera datang."

Soraya menyipitkan mata, lebih masuk akal jika Lyre minta tolong Kagendra untuk meneleponnya. "Kok, Lyre tahu suster bisa telepon—"

Indikator pemanggil yang kemudian menyala-nyala membuat mereka terkesiap.

"Itu ruangan Lyre! Minta dr. Tian segera ke ruangannya," pinta Soraya, setengah berlari memasuki ruang rawat putrinya.

"Re ..."

Lyre menangis keras, wajahnya basah dengan cucuran air mata. Kagendra tampak kebingungan untuk menenangkan.

"Mamaa ..." isak Lyre.

"O... oh iya, ini Mama." Soraya bergegas mendekat, duduk di pinggiran tempat tidur sang putri dan segera meraih tangan yang terulur untuk saling menggenggam. "Shh... bilang Mama mana yang sakit?"

"B- bayiku ... mau ba... bayiku..."

"Bayi?" Soraya segera ganti menatap Kagendra.

"Tiba-tiba nanya nama, saya kasih tahu namanya Ravel," kata Kagendra dan menghela napas pendek. "Setelahnya Lyre nangis terus."

Soraya segera kembali fokus, mengelapi tetesan air mata putrinya. "Tenang ya, Kagendra akan minta Ravel segera dibawa ke sini, ya ..."

"Enggak bisa begitu, Ma," ucap Kagendra dan geleng kepala. "Saya harus yakin dulu kondisinya Lyre cukup stabil, dr. Tian—"

"I want my baby!" seru Lyre dan kembali memandang Kagendra, rasa takut seperti memenuhi benaknya saat lelaki itu tetap memberi gelengan.

"He's not a baby ... dia anak berumur empat setengah tahun yang nyaris jenius! Dia bakal sadar kalau ada yang salah dari kamu."

Isak tangis Lyre seketika bertambah keras, ia pasti benar-benar bersalah, sehingga mengalami semua ini.

Ravel.
Kharavela Arsyanendra Pradipandya.
Lyre kembali mengulang-ulang nama itu, mencoba mengingat dan tidak ada gambaran apa pun yang terlintas dalam pikirannya.

"Lyre," panggil Soraya dan bergeser lebih dekat hingga bisa memberi pelukan aman. "Sabar ya, Re ... shh, sabar sama Mama, ya."

"A ... aku mau lihat, Ma... mau lihat bayiku," isak Lyre dan merasakan sakit teramat sangat kala mengaku. "Aku enggak ingat dia ... aku butuh lihat dia ..."

"Shh... iya, iya, setelah diperiksa dokter ya, Re." Soraya mengurai pelukan dan menahan jarak yang cukup untuk saling tatap dengan sang putri. "Lihat Mama, Re ..."

Lyre mengangkat tatapan matanya, mencoba tetap fokus pada sang ibu di antara lelehan tangisnya.

"Mama janji, begitu kamu tenang, begitu dr. Tian selesai periksa ... bisa lihat Ravel." Soraya mengangkat tangan kanan sang putri dan menciumi telapaknya. "Percaya sama Mama ... dan percaya sama diri kamu sendiri. Kamu akan baik-baik saja. Kamu juga akan segera memeluk Ravel lagi."

"Ma ..."

"Kamu sakit, kamu terluka, kamu enggak ingat apa-apa ... don't worry about that, kami di sini akan sembuhkan kamu," ucap Soraya dengan lembut. "Jangan takut, you're still yourself, Re ... my beloved, strong and brave daughter"

Kagendra memperhatikan aliran tangis Lyre perlahan berhenti, isakannya juga memelan dan bahkan setelah beberapa kali mengerjapkan mata tampak fokus mengikuti Soraya mengatur napas.

"Maaf, saya dari lantai satu," ucap Atiana yang baru memasuki ruangan, tampak sedikit terengah meski segera mendekat untuk memeriksa.

Soraya ganti berdiri di samping ranjang putrinya, melepas tangan Lyre untuk ganti memberi tepukan menenangkan pada bahu.

"Hei, Re ..." sapa Atiana dan merogoh pentorch dari sakunya.

"Aku kenapa, Mbak?" tanya Lyre setelah Atiana memeriksa respon pupil dan memperhatikan monitor di samping ranjangnya. "Kenapa aku enggak ingat kalau—"

"Kita urai pelan-pelan ya, Re," pinta Atiana lalu meraih tissue di nakas, membantu mengelap sisa air mata di wajah pasiennya. "Kita pastikan dulu kondisimu ... apa ada rasa sakit seperti nyeri hebat di kepala kamu saat ini? Atau bagian tubuh kamu?"

Lyre terdiam sejenak, mengatur napas dan menjawab, "Aku merasa pusing tapi bukan jenis yang enggak tertahankan. Bahu kiri nyeri sedang, aku tahu ada bebatnya. Kaki kiriku juga nyeri tapi lebih samar, sisanya badanku rasanya kaku semua."

"Good," ucap Atiana lalu menatap Soraya. "Tante, Lyre dikasih minum dulu."

"Oh, oke," kata Soraya dan segera menyiapkan segelas air, membantu Lyre minum beberapa teguk.

Atiana memastikan fokus pasiennya terjaga sebelum kembali bertanya, "Apa kamu merasa yakin bisa mengenali identitasmu sendiri, nama kamu, tempat tanggal lahir, rumahmu dan—"

"Ya, aku juga yakin terhadap apa yang terjadi dalam dua puluh empat tahun kehidupanku." Lyre menyela cepat. "Aku tahu orang tuaku, siapa saja keluargaku, apa yang mereka kerjakan dalam hidupnya. Termasuk soal Mas Esa."

Atiana mengangguk. "Sebelum terbangun dan melihat Tante Yaya pertama kali, apa yang menurutmu terjadi?"

"Kami ..." Lyre mengerjapkan mata, agak ragu mengungkapkan apa yang terjadi. "Sebelumnya kami bertemu di depan apartemenku, di Jakarta. Aku mengaku kalau hamil ... terus ... ng ..."

Soraya mengelus bahu sang putri lembut, "Mama udah enggak marah, Re."

Lyre mengangkat tangan kanannya, menyentuh tangan sang ibu di bahunya dan meneruskan cerita dengan leluasa, "Kami bertengkar hebat karena aku menolak pulang ke Jogja, kehamilanku ketahuan dan Mama marah. Kemudian aku pingsan ... hari itu aku mendapat kepastian dari rumah sakit, terkait kehamilan dan kemungkinan adanya anemia, mengingat program dietku yang ketat."

Atiana mengangguk. "Lalu pagi ini kamu menyadari ada hal yang salah?"

"Ya," ucap Lyre kembali melirik Kagendra. "Dia tiba-tiba jadi suamiku. Aku ada di rumah sakit Papa, di Yogyakarta ... dan katanya, bayiku udah berumur empat setengah tahun."

"Kamu sama sekali enggak ingat tentang Kagendra? Pertemuan pertama kalian, atau kehidupan yang sempat dihabiskan bersama?"

Lyre menyipitkan mata. "Ng, kami berkenalan di ulang tahun adik sepupunya, Desire Arshiya, dia rekan sesama artis. Kami syuting satu series yang sama."

Atiana menatap Kagendra. "Apa itu benar?"

"Ya, benar." Kagendra mengangguk.

"Hal lain tentang Kagendra yang kamu ingat saat ini, apa saja, Re?" tanya Soraya agar ketajaman ingatan putrinya semakin meyakinkan.

"Ng, sebenarnya aku udah tahu soal Kagendra pas dia sama Coleen, lawan mainku di series dari Putih Biru ke Putih Abu-abu, itu sekitar bulan ... uhm, akhir Agustus, ya?" Lyre memastikan.

"Lupa aku," jawab Kagendra sambil geleng kepala, karena tidak ingat dan berharap topik masa lalunya tidak diungkap lebih jauh.

“Siapa Coleen, Re?” tanya Soraya.

“Coleentia Teja, lawan mainku di series, yang jadi Brigitte. Coleen itu pacarnya Kagendra ini.”

“Lho, kok Kagendra pacaran sama Coleen?” tanya Atiana dengan bingung dan segera memperjelas. "Terus kamu ada affair gitu sama Kagendra, makanya hamil?”

Affair? Kagendra yang selingkuh sama Sophie, makanya diputusin Coleen … terus habis sama Sophie dia masih jalan dulu bareng Marina, nah enggak lanjut sama Marina baru dia sama aku," jawab Lyre, nyaris kelewat santai, membuat Atiana melongo dan Soraya segera mengelus dada, jelas prihatin.

Mampus!
Kagendra menelan ludah begitu Atiana dan Soraya ganti menatapnya untuk meminta konfirmasi. Berbeda dari tatapan yang biasa, kali ini terasa lebih tajam dan membuatnya kikuk. "Ng, yah, maybe ... saya udah enggak ingat."

"Saking banyaknya yang lo pacarin sih," cibir Lyre.

Soraya kembali memperhatikan sang putri. "Kamu pacaran sama Kagendra habis itu, Re?"

"One night stand, Mama ..." Lyre kemudian teringat satu hal, "Eh, tapi Kagendra sempat nawarin aku jadi sugar—"

"Lyre!" Kagendra langsung geleng kepala, jantungnya kebat-kebit dan terasa tidak nyaman. Jangan sampai Mama Mertuanya tahu, di masa lalu dirinya sempat berusaha menjadikan Lyre sebagai sugar baby. "Please, yang hanya terjadi antara kita berdua, usahakan tetap diketahui kita saja."

"Tapi intinya ingatan gue benar, 'kan? Elo sempat nawarin buat jadi su—"

"Iya, tapi kamu nolak terus ternyata kita punya Ravel makanya terhubung lagi." Kagendra cepat-cepat menyambungi.

"Oh, ya ... intinya, kami one night stand. Enggak ada komunikasi atau ketemu lagi sampai saat aku hamil dan berusaha meneleponnya."

"Ah, itu sebabnya hal pertama yang kamu tanyakan begitu melihatnya adalah soal telepon?" sebut Atiana, memahami situasinya.

"Iya, kemarin aku kira dia datang karena nelepon balik, diangkat Mama atau gimana, terus hubungan kami ketahuan lalu dia terpaksa menikahiku yang enggak sadarkan diri."

Soraya menipiskan bibir. "Kebanyakan baca naskah drama kamu."

Atiana meringis. "Setelah itu kamu sama sekali enggak ingat lagi? Apa yang terjadi dalam hidupmu? Alasanmu datang ke Yogyakarta."

"Enggak." Lyre yakin, karena benar-benar asing sekaligus membingungkan.

"Oh, hal sederhana seperti nama panjang Kagendra, tanggal lahir atau alamat rumahnya. Ada yang kamu ingat?" tanya Atiana.

Lyre geleng kepala. "Enggak, enggak tahu."

"Kamu ingat soal otot perutku tapi enggak ingat nama panjangku?" tanya Kagendra, tidak habis pikir.

"Otot perutmu memang bagus," kilah Lyre dan teringat. "Ah, soal namamu, it must be Kagendra something Pradipandya."

"Bisa-bisanya kamu tidur sama lelaki yang enggak benar-benar kamu kenal," sebut Soraya, ketara bahwa teramat prihatin dengan pergaulan sang putri pasca tinggal terpisah darinya.

"Yang penting dia clean, Ma."

"How do you know, he's clean?" tanya Atiana.

"We share the STDtest result and— ah, it's Aristide!" Lyre menatap Kagendra dan memastikan. "Kagendra Aristide Pradipandya."

"Iya," jawab Kagendra dan menambahi, "Jangan sampai lupa lagi."

Atiana tersenyum. "Nah, sekarang tentang apa yang terjadi pada kamu, Re ... sebelum terbangun kemarin, kamu sudah dalam perawatan intensif selama kurang lebih sembilan hari dan butuh hampir tiga hari untuk memastikan adanya kesadaran awal, meski enggak pernah lebih dari beberapa detik atau gerakan tangan samar."

Lyre tidak ingat itu namun mengerti apa yang dimaksud Atiana. "Terjadi sesuatu pada otakku."

"Ya, sederhananya benturan keras membuat kerusakan pada sistem limbikmu, itu sebabnya terjadi masalah dalam pemrosesan memori. Itu yang jelas terkonfirmasi saat ini." Atiana memandang pasiennya yang tampak tegar. "Kita butuh scan ulang sekaligus observasi lanjutan untuk lebih mengetahui semisal ada kerusakan lain seperti kemampuan panca indera, sensory, pengenalan jarak atau arah, sampai keseimbangan."

"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Lyre dan menatap Kagendra.

"Kita pergi ke Yogyakarta untuk liburan di Camping Park Merapi selama tiga hari, lalu pada hari terakhir ... waktu kita perjalanan untuk cari oleh-oleh terjadi kecelakaan. Jeep kita ditabrak truk yang remnya blong."

Napas Lyre tertahan sejenak, memandang Atiana lekat. "Please, make sure to me that my baby is alright."

"Ya, he's alright! Ravel ada di sini selama kamu dirawat, dia sangat sehat dan ceria. Dia baru kemarin mau ikut adik sepupunya Kagendra ke hotel." Atiana memberi tahu dengan yakin.

"I want to meet him, please," pinta Lyre, tidak bisa menunggu lebih lama untuk memastikan keadaan sang anak. Ia bahkan merasa sangat butuh untuk segera memeluk Ravel.

"No!" ucap Kagendra.

No? Ulang Lyre dalam hati dan kesedihan yang muncul membuatnya kembali menangis. Ia tidak tahu kenapa rasanya sangat sakit mendengar Kagendra menolak permintaannya.

"Kamu enggak bisa langsung gitu aja ketemu dia, Re."

"Ndra, tolonglah ..." kata Soraya, menyadari putrinya kembali terisak.

"Enggak, Ma. Ravel dekat banget sama Lyre, he knows his mother ... kalau dia tahu mamanya enggak ingat, dia bakal sedih banget." Kagendra tidak bisa mengambil risiko terkait beban kesedihan yang bakal ditanggung sang anak.

Atiana memperhatikan tetesan air mata pasiennya, juga kebingungan yang kembali tersurat pada wajah cantik di hadapannya ini. "Re, kamu coba makan dulu ya ... aku akan minta suster siapin kaldu."

Lyre menatap Atiana lekat. "Mbak ... aku mungkin enggak ingat, pikiranku soal Ravel kosong dan blank ... tapi aku bisa ngerasain kalau aku butuh untuk melihat anakku. I need him to be with me."

"I know, itu namanya naluri dan yang kamu rasakan itu memang nyata ... kebutuhan untuk berinteraksi sama anak." Atiana kembali mengambil tissue, mengelap tetesan air mata Lyre. "Aku juga bukannya melarang ... kamu boleh kok ketemu Ravel."

"Dok!" ucap Kagendra.

Atiana menoleh Kagendra. "Saya percaya sama Lyre. Sambil menunggu Desire datang ke sini dan sembari membantu untuk makan, Bapak bisa memberi informasi awal terkait Ravel."

"Oh, benar! Ndra kamu ada foto-foto dan video soal Ravel, iya 'kan?" tanya Soraya.

"Y-ya ada," ucap Kagendra, namun dalam benaknya masih digayuti keraguan. Lyre seharusnya berusaha mengenalinya dulu.

"Lyre bisa melihatnya, supaya enggak sepenuhnya asing." Atiana kemudian tersenyum, kembali menatap sepasang mata pasiennya yang sorotnya kini lebih tenang. "Kita mulai pelan-pelan ya, Re ... memulihkan kekuatan fisik kamu dulu, menyembuhkan yang masih terasa sakit dan nyeri, baru setelahnya berusaha mengembalikan apa yang hilang dalam ingatanmu. Do you believe in me?"

Lyre tahu siapa Atiana, karenanya mengangguk. "I do, Mbak."

"Kamu juga percaya 'kan? Kalau kamu pasti bisa sembuh, pasti bisa pulih lagi ... kembali ke versi Lyre yang menurutmu paling sesuai."

Lyre kembali mengangguk. "Iya, Mbak."

"Jadi, coba untuk makan dulu ya, Re ..."

"Oke."

***

"Re, kamu dibantu makan sama Kagendra, ya ... Mama harus telepon Papa, tadi minta dikabarin," kata Soraya lalu meletakkan kotak makan berikut tumbler stainless steel di meja. "Yang ini sandwich sama kopi kamu, Ndra."

"Terima kasih, Ma ... " kata Kagendra sambil mengatur meja untuk suster meletakkan semangkuk sop dan bubur.

Begitu ditinggalkan, Lyre segera mengangkat tangan kanan, agak kesal mendapati jemarinya gemetaran saat memegang sendok.

"Sabar," kata Kagendra yang menuang segelas air minum.

"Gue kepengin buruan ketemu Ravel," sebut Lyre cepat.

"Dia juga baru sarapan sama Dede," kata Kagendra, mengeluarkan ponsel dan menunjukkan foto Ravel nyengir. Anaknya sarapan dengan pancake dan segelas jus jeruk.

Lyre mengerjapkan mata, dia memang tidak ingat namun anak itu tidak terlihat asing, sepasang mata, bentuk hidung, bibir, raut muka bahkan cengirannya. Ia mengamati layar ponsel lekat, beralih ke wajah Kagendra dan tersadar. "Why? Kenapa Ravel enggak ada mirip-miripnya sama gue?"

Kagendra duduk di pinggiran tempat tidur istrinya, berhadapan dengan meja yang melintang di tengah-tengah mereka. "He duplicates me."

"Maksud lo?" Lyre agak tidak terima sekaligus tidak bisa mempercayainya. "Anak yang gue kandung selama sembilan bulan, yang gue pasti bertaruh nyawa ketika melahirkannya, enggak ada mirip-miripnya sama gue? Justru mirip elo yang effortnya kurang dari lima menit untuk—"

"Wait!" Kagendra memastikan pendengarannya, "Effortnya kurang dari lima menit?"

Lyre menanggapi dengan tatapan datar. "Apa cuma tiga menit, ya?"

"Wah!" seru Kagendra, ucapan itu jelas melukai reputasi sekaligus harga dirinya. "Jangan sembarangan ya, Re! Secepet-cepetnya kita malam itu enggak pernah kurang dari lima menit."

"I can count, Dude! Makanya lo tuh lama kalau foreplay, banyak ganti gaya, karena begitu masuk enggak sampai—"

"Shut up!" sebut Kagendra. Ia mendelik dan geleng kepala serius. "You better careful with your words."

"Ck! Bagi elo, malam itu udah berlalu lima tahun yang lalu ... di kepala gue masih cukup fresh." Lyre balas mendelik dengan yakin. "Ingatan gue yang lebih valid, lo tuh kurang dari lima menit effortnya."

Sialan! Kagendra memaki dalam hati. Pada situasi berbeda, dia akan dengan senang hati langsung praktik ulang, memastikan Lyre menghitung sementara dirinya membuktikan durasi bercintanya tidak pernah secepat itu.

Namun, Kagendra memutuskan untuk berpikir jernih. Durasi percintaannya tidak penting dan bukan itu yang bakal membuat Lyre merasa kalah. "Yah, whatever! Lima menit, lima belas menit atau lima puluh menit, yang jelas ... he duplicates me."

Menyebalkan! Lyre ganti membatin dengan raut muram, benar-benar sulit dipercaya, kenapa anaknya bisa semirip itu dengan Kagendra.

Kagendra tersenyum lebar, Lyre yang mana saja tetap senewen saat sadar anak mereka lebih condong kemiripan dengannya.

"Kamu harus makan," kata Kagendra lalu mengambil alih sendok di tangan Lyre, menyendok kuah kaldu dan menunggu sesaat hingga sisa uapnya menghilang baru menyuapkan.

Lyre menyesap kuah kaldunya, terasa cukup enak. "What is his first word?"

"Papa," sebut Kagendra dengan bangga. "Ada rekamannya di laptopku, nanti aku kasih lihat ... dia juga pertama kali bisa jalan, ke arahku."

Lyre menahan decakan. "Ravel lebih suka mandi pakai air hangat atau air di—"

"Hangat, karena dia ada alergi dingin, sama kayak aku."

"Apa warna favoritnya?"

"Blue and green ... sama kayak aku juga."

"Ck!" Decak Lyre kesal. "Elo sengaja pamer apa gimana?"

"Buat apa pamer? Memang anaknya mirip aku banget."

Lyre kembali menyesap sesendok kuah kaldu. "Ravel's favorite food?"

"Lately, DinoJelly and DinoCookies."

"Lately?"

Kagendra ganti menyuapkan sesendok bubur. "Dia belum konsisten soal makanan favorit, dan belakangan memang senang banget sama DinoJelly sama DinoCookies buatan Mama."

"Oh, lo bilang dia nyaris jenius."

"Yup!" Kagendra kemudian menggeser-geser galeri hingga menemukan foto tiga toples berisi bintang-bintang. "Dia mulai sekolah waktu umurnya tiga tahun dan setiap selesai task dapat sejumlah bintang sebagai nilai, terbanyak lima bintang, paling sedikit dua. Ravel selalu jadi peraih bintang terbanyak di kelas. Dia dapat excellent star sebagai siswa paling aktif. Dia juga punya beberapa merit cerficate."

"Kalau ini jelas dia mirip gue," sebut Lyre dengan yakin.

"Dari kecil aku juga pintar, IQ-ku di atas 120."

"It's average," sebut Lyre dan menyeringai kecil. "Mine 137 and INFJ."

"INFJ?"

"The Myers Briggs Type Indicator. INFJ salah satu tipe kepribadian paling langka." Lyre memperhatikan raut bingung Kagendra. "Nah, elo gitu aja enggak tahu, bukti ... I'm more intelligent than you."

Sialan, sebut Kagendra dalam hati dan segera menyuapkan makanan lagi ke mulut Lyre.

Lyre mengunyah sambil memperhatikan tiga toples bintang yang penuh di layar ponsel Kagendra, juga sertifikat dengan nama anak mereka. "Kharavela Arsyanendra Pradipandya ... I like his name, walau agak ribet."

"Kamu sama Papi yang pilih nama itu, agak ribet emang ... Ravel sampai sekarang belum bisa nyebut namanya sendiri dengan benar."

"Sama Papi?"

"Papiku."

Lyre mengerutkan kening. "Kenapa bukan kita berdua yang pilih namanya?"

Tangan Kagendra seketika kaku, sendoknya tertahan di tengah-tengah antara dirinya dan Lyre. "Ng ... oh! Waktu itu, usulan namaku jelek ... makanya memutuskan pakai nama yang kalian pilih."

"Are we close to your dad?" tanya Lyre.

Kagendra menyuapkan kuah kaldunya dulu dan baru menjawab. "Lumayan dan setahun pertama pernikahan, sambil nunggu rumah beres ... kita tinggal sama Papi."

"Oh, gitu ... terus soal Ravel, apa dia anak yang—"

"Dia anak yang ceria, aktif, suka ngobrol dan gampang dibuat penasaran." Kagendra segera memberi tahu, karena ada hal yang ingin ditanyakan olehnya.

"Oh, ng kalau gitu apa dia—"

"Apa kamu enggak ada rasa penasaran soal aku?" sela Kagendra sembari menurunkan sendoknya. "Atau soal kita, bagaimana menjalani pernikahan, pasangan seperti apa kita selama ini?"

Lyre memikirkannya dan bukannya tidak penasaran. "Ng, yah, gue sebenarnya masih susah terima kenyataan perkara menikah ... cuma, kalau beneran udah bertahan selama lima tahun, there must  be a good condition between us. So, I'm not worry."

"You're not worry?" ulang Kagendra.

"Ya, kenyataan lo nungguin gue itu berarti lo emang cukup bertanggung jawab ... lo juga sempet nangisin gue kayak bayi cengeng, itu berarti gue cukup layak dipedulikan segitunya. Lo memikirkan responnya Ravel terhadap keadaan gue, itu artinya lo juga bukan ayah yang abai."

Kagendra mengerjapkan mata. "Eh, ya ... aku—"

"Hilang ingatan atau enggak, I believe that I'm not stupid ... kalau gue mau menikah sama lo itu pasti penting untuk kebaikan gue atau anak gue." Lyre sedikit menggantung kelanjutan kalimatnya, memperhatikan sepasang mata Kagendra. "I'm not worry ... yah, kecuali emang ada hal besar yang harus gue ketahui ..."

"Hal besar?" ulang Kagendra.

"Misal lo punya gundik atau seling—"

"Enggak ada!" Kagendra geleng kepala dan membalas dengan kebohongan meyakinkan. "Kamu tuh posesif banget sama aku, Re ... kalau ada perempuan yang coba deketin, kamu langsung galak, langsung mau ngajak berantem, ngejambak atau nyakar mereka."

"Gue begitu?" sebut Lyre dengan terkejut.

Kagendra mengangguk dan menyuapkan bubur ke mulut sang istri. "Iya, kamu juga suka overthinking, telepon terus kalau aku ada kerjaan di luar kota. Kamu lebih drama dari Ravel kalau kangen."

Lyre mendengar itu dan mendadak merasa tekstur buburnya jadi sekeras batu, alias sulit dipercaya.

Kagendra sengaja mengabaikan raut tidak percaya istrinya itu. "Bahkan, kalau kita tidur bertiga, aku harus di tengah, saking kamu sama Ravel rebutan."

"Hah?" Lyre menyipitkan mata. "Lo pakai pelet apa ke gue?"

"Pelet?" ulang Kagendra.

"Jampi-jampi mistis," kata Lyre.

Kagendra tertawa. "Aku udah bilang sama kamu I'm potential, a truly husband material ... dan memang benar, you're smart, that's why you always choose me over everybody."

"That's a lie!"

"That's the truth."

"Not over everybody! Karena kalau dibanding Ravel gue pasti pilih dia," sebut Lyre dengan yakin. "Gue enggak mungkin memilih orang lain kalau dibanding anak gue ... lo tahu? Begitu dapat konfirmasi kehamilan, gue bahkan takut pulang nyetir sendiri, saking khawatirnya sama si bayi."

"Ya ... ya, kalau itu sama ajalah, aku juga pilihnya Ravel," ucap Kagendra dan kembali menyuapkan makanan.

Lyre mengunyah pelan, menggerakkan jari untuk menggeser foto-foto Ravel di ponsel Kagendra, melihat potongan video anaknya yang ceria. Hati Lyre menghangat saat menemukan foto Ravel mencium pipinya atau ada foto mereka berpelukan.

Lyre mengerjapkan mata saat menelusur foto-foto berikutnya dan mendapati ada foto Ravel menyusu. "Lho, ini Ravel umur berapa, Ndra?"

Kagendra memperhatikan layar ponselnya. "Tiga, sebulanan sebelum masuk sekolah."

"Tiga? Dia masih menyusu umur segitu?"

"Dia baru berhenti waktu udah sekolah dapat beberapa minggu gitu. Ravel sadar enggak ada temennya yang boobu terus dia mau berhenti, sebelum itu, segala cara enggak mempan buat menyapih."

"Boobu," sebut Lyre dan tertawa kecil. "Kok boobu?"

"Enggak bisa nyebut boobies."

Lyre tersenyum lembut, memperhatikan foto berikutnya. Ravel memamerkan hasil karya berupa tempelan huruf membentuk tulisan Happy Father's Day. Kagendra memeluk anak itu dari belakang, senyum mereka begitu mirip.

"He's a lovely boy ..." Kagendra memberi tahu dengan jujur. "Kamu benar, bahwa kalau dibandingkan dengan Ravel ... kamu akan selalu memilihnya. He's the best version of us and we're so lucky having him."

Senyum Lyre melebar dan sejenak kembali memandang Kagendra yang menyuapinya. "Waktu tadi lo selalu bilang No saat gue minta ketemu Ravel, sempat ada rasa sedih, kenapa lo begitu, 'kan gue ibunya Ravel ... ada pikiran bodoh; jangan-jangan lo nih jahat, tega misahin gue dari Ravel."

Kagendra langsung mengalihkan tatapan. "Aku mikirin responnya Ravel."

"Itu emang dugaan masuk akal gue, Ndra." Lyre bisa merasakan serbuan rasa sayang dalam benaknya setiap kali melihat foto-foto sang anak. "Baru lihat fotonya aja gue udah ngerasa sayang banget sama Ravel ... jadi, elo enggak mungkin setega itu memisahkan kami."

Ingatan Kagendra begitu saja melayang pada peristiwa di tahun pertama pernikahan. Saat perempuan di hadapannya ini menangis kalut usai memeriksa kamar bayi dan Ravel tidak ada. Kagendra saat itu terus mengabaikan teleponnya sampai jelang waktu makan siang.

"Mas tolong bawa pulang, Ravel ... aku harus nyusuin dia, ini udah enam jam sejak pagi ... Sus bilang Mas Ndra enggak bawa ASIP, diaper bag juga enggak dibawa. Ravel pasti nangis."

"Ck! Berisik! Kemarin kamu bawa dia pergi casting hampir seharian, ya! Sekarang, baru enam jam gantian aku yang bawa udah kayak pesakitan."

"Mas, aku udah minta maaf soal kemarin ..." isak Lyre. "Jangan begini marahnya, aku harus nyusuin Ravel ... please, bawa dia pulang."

"Enggak! Kamu bikin perjanjian dulu, enggak akan terima pekerjaan entertainment lagi ... enggak akan casting-casting! foto-foto model, apalagi terima endorse apalah itu!"

"Iya, aku janji enggak akan begitu."

"Jangan macem-macem ya, kamu! Sekali lagi bertingkah, beneran aku bawa pergi Ravel dari rumah ..."

"Iya, aku enggak macem-macem ... Mas Ndra bawa Ravel pulang, please."

"Ndra?" panggil Lyre karena lelaki di hadapannya seperti kehilangan fokus, raut wajah Kagendra juga tiba-tiba berubah sendu.

Lyre mengibaskan tangan kanannya. "Hallo, Ndra ... lo ke—"

"Mas Ndra," ucap Kagendra cepat dan sekalian memberi tahu. "Kamu panggil aku Mas Ndra dan di sepanjang pernikahan ini, kamu selalu bersikap baik, sopan, sekaligus lembut padaku."

"Eh, what? Tapi—"

"Enggak ada tapi, kamu harus tetap begitu ... karena dengan pembiasaan interaksi yang baik, sopan, dan lembut antara kita, itu sekalian jadi pattern untuk Ravel." Kagendra memejamkan mata sejenak, menghapus bayang-bayang masa lalu. Dia tidak boleh terus memikirkan itu dan ini adalah kesempatannya untuk memperbaiki situasi dengan sang istri.

Kagendra memandang Lyre lekat. "Kita berdua, sama-sama punya lubang kekosongan akibat permasalahan keluarga atau orang tua ... dan kita berdua sama-sama berusaha menjadi pattern Papa dan Mama terbaik untuk Ravel. You have to commit with me."

Lyre mengerjapkan mata. "O ... of course, I'm commit."

"Try to call me then."

"What?"

"Panggil Mas Ndra, kamu juga enggak boleh lo-gue lo-gue lagi ..."

Lyre sejenak meringis, meski kemudian berdeham kecil dan segera memanggil, "M ... Mas Ndra ..."

"Enggak, masih kurang lembut."

"Kurang lembut gimana?"

Kagendra berdecak, "Ck! Ulang, kamu panggilnya harus sepenuh hati, pakai rasa sayang ..."

"Lo jangan malah ngerjain gue ya!"

Kagendra memberi tatapan datar. "Aku-kamu, Lyre ... kamu ngomong yang sopan sama aku."

Lyre tidak percaya ini. Namun ekspresi wajah Kagendra sungguh meyakinkan. Ia menggigit bibir bawah, menghela napas dan akhirnya kembali mencoba. "Mas Ndra ..."

Yang kali ini memang lebih lembut, meski tidak sepenuhnya sama dengan panggilan yang tersimpan dalam ingatan Kagendra.

"Mas Ndra ... gitu?" tanya Lyre, dia sudah berusaha melembutkan suara.

Kagendra mengangguk, untuk saat ini sudah cukup. "Iya, begitu ... terima kasih."

Terima kasih?
Lyre mengulang ucapan itu dan sedetik kemudian terkesiap karena Kagendra mencondongkan kepala, mengecup sudut bibirnya.

Lyre seketika menahan napas, setengah takjub karena merasakan debar-debar ritmis dalam dadanya. Ia juga mendadak gugup tatkala Kagendra memberi jarak dan lelaki itu memandangnya penuh perasaan.

"I miss you so much ..." ungkap Kagendra.

Lyre tahu pipinya mulai merona dan dia menyadari, dengan sangat yakin, bahwa sebelum Kagendra, hal semacam ini tidak pernah terjadi.

[ to be continued ]

🌃

back song untuk line terakhir adalah lagu berikut:

But you make me wanna act like a girl
Paint my nails and wear high heels
Yes, you make me so nervous that I just can't hold your hand

CIYEEEEE MAMA LYRE ~
KAGENBI JUGA, BISAAN BINGIT MODUSNYA ... I MISS YOU, I MISS YOU ~

.

Q: Kagendra ini jangan-jangan lelaki pertamanya Lyre?
A: wah, gede kepala nih Kagenbi kalau tahu.

Q: Tetanggaku pernah kecelakaan juga, enggak ingat swamiknya tapi malah ingat mantannya, untung tetap aman hubungannya.
A: Ya, emang kasusnya ada aja, selective memory juga bisa ... makanya fenting ya, utamakan keselamatan dalam berkendara.

Q: Kalau file draftnya ilang, berarti rombak cerita apa masih sesuai?
A: sejauh ini masih sesuai, semoga ingatanku tetap setadjam syileett~

.


Continue Reading

You'll Also Like

136K 10.7K 32
"Kau tahu alasan mengapa aku naik kereta bersamamu?" "Agar pemerintah berterima kasih padamu karena telah mengurangi kemacetan di kota ini?" "Karena...
1.3M 106K 55
Meta memutuskan pulang kampung untuk menemani orang tua ketika mendengar bahwa sang adik harus merantau karena kuliahnya, namun seperti dugaannya, ke...
741K 70.6K 37
[Reincarnation Series #1] [Bukan Novel Terjemahan-End] Ganti judul (Lantern Carrier Villainess) jadi (Change to Live Again) Jika kamu ingin mengalahk...
1.8M 39.7K 8
[DIHAPUS - Bisa dibaca lengkap di aplikasi Dreame/Innovel] "Kenapa Mommy tidak tinggal bersama Daddy?" Pertanyaan seperti itu selalu dilontarkan oleh...