SECOND CHANCE (END)

By kaneboorenyah

3.4M 247K 4K

Tak pernah terpikirkan dalam benak Keana, jika ia akan kembali ke masa putih abu-abu. Harusnya Keana bahagia... More

Prolog
Bagian Satu
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh
Bagian Sebelas
Bagian Dua Belas
Bagian Tiga Belas
Bagian Empat Belas
Bagian Lima Belas
Bagian Enam Belas
Bagian Tujuh Belas
Bagian Delapan Belas
Bagian Sembilan Belas
Bagian Dua Puluh
Bagian Dua Puluh Satu
Bagian Dua Puluh Dua
Bagian Dua Puluh Tiga
Bagian Dua Puluh Empat
Bagian Dua Puluh Lima
Bagian Dua Puluh Enam
Bagian Dua Puluh Tujuh
Bagian Dua Puluh Delapan
Bagian Dua Puluh Sembilan
Bagian Tiga Puluh
Bagian Tiga Puluh Satu
Bagian Tiga Puluh Dua
Bagian Tiga Puluh Tiga
Bagian Tiga Puluh Empat
Bagian Tiga Puluh Lima
Bagian Tiga Puluh Enam
Bagian Tiga Puluh Tujuh
Bagian Tiga Puluh Delapan
Bagian Tiga Puluh Sembilan
Epilog
Extra Part 1
Extra Part 2
Extra Part 3
Extra Part 4 (End)
COMING SOON

Bagian Dua

104K 8K 219
By kaneboorenyah

Erector, geng motor yang berdiri sejak enam tahun silam. Anggota Erector tak melulu dari siswa Universe High School saja, melainkan tersebar juga dari sekolah lainnya. Meski kebanyakan dari mereka adalah siswa siswi Universe High School.

Anggota inti dari Erector sendiri selalu terdiri dari 13 orang. Lima di antaranya ialah Morgan Addison, Sebastian Maximilian, Kael Desmond, Arden Leander, serta Virgo Gideon. Dan kelimanya merupakan sahabat sejak bangku sekolah dasar. Kecuali Kael yang baru bergabung di bangku SMP.

Selepas kejadian yang melibatkan Keana dan Lavina, inti Erector sepakat untuk menjauhkan Lavina dari jangkauan Keana. Bukan apa-apa. Lavina sudah resmi menjadi anggota Erector, yang artinya sesama anggota harus saling melindungi.

Dan sepulang sekolah, kelimanya berkumpul di apartemen Virgo, sekedar membicarakan rentetan masalah yang terjadi. Meski pada akhirnya Arden dan Kael lebih banyak adu mulut, lantaran terlalu jengah dengan tindak tanduk Keana.

Sebastian mengangkat kedua tangannya ke udara. "Kalo soal Keana, lebih baik gue angkat tangan!" Tuturnya cepat.

Salah satu mata Kael memicing. "Serius? Cuma kaya gini kontribusi lo buat masalah ini?" Ejeknya, bersama seringai yang mulai mengisi garis bibirnya.

Berdecak malas. "Gue kan udah bilang sejak awal, Keana itu anak kesayangan. Mau gue bilang a sampe z pun bonyok gue nggak mungkin percaya, paling nggak harus ada bukti kuat dulu!"  Tutur Sebastian, coba untuk tetap sabar.

Morgan melirik sekilas. Benar, setidaknya mereka memerlukan bukti untuk menjerat Keana. Gadis itu tak boleh dibiarkan terus bernafas dengan bebas.

"Atur pertemuan Erector, kita harus membahas kasus ini sama mereka!" Titah Morgan, sukses mendatangkan kerutan pada kening keempat rekannya.

"Maksud lo gimana?" Tanya Virgo akhirnya.

Mendengus lirih, Morgan mulai mengangkat pandangan, memperhatikan keempatnya yang tengah menatapnya dengan tanda tanya yang tercetak pada wajahnya.

"Selama ini Keana juga bagian dari Erector, dan setelah kejadian hari ini, gue rasa Keana udah nggak pantes aja di sini!" Tutur Morgan lugas.

Tak ada bantahan. Keputusan ketua Erector ialah mutlak, dan tak ada yang salah dari perkataannya. Terlebih belakangan nama baik Erector mulai tercemar karena sikap Keana.

Virgo mendesah lirih. "Gue bakal atur pertemuannya, termasuk minta Keana buat dateng."

Morgan hanya berdeham malas. Setelahnya ia memilih beranjak, memungut jaketnya yang tergeletak di atas sofa, kemudian hengkang begitu saja. Meski mulut Morgan senantiasa membisu, namun keempatnya sadar jika laki-laki itu tengah menanggung beban berat.

Di satu sisi ada Keana, tunangan yang begitu ia cintai. Dan di sisi lain ada Lavina, gadis yang berusaha ia lindungi dengan segenap jiwa. Posisi Morgan tidaklah mudah. Selain menjaga nama baik Erector, ia juga harus memperhatikan perasaan kedua gadis itu.

Sayangnya itu dulu. Hingga kesalahan fatal yang Keana lakukan berulang membuat kesabarannya habis. Morgan tak lagi memiliki perasaan maha indah pada Keana, semuanya menguap bersamaan dengan kejahatan yang selalu Keana lancarkan.

Meski begitu Morgan tetap berharap Keana akan berubah. Jauh dalam hatinya Morgan ingin melihat sikap manis Keana kembali, meski tampaknya hal itu terlalu sulit untuk direalisasikan.

Sekarang gue harus gimana Kea? Sikap lo hari ini bener-bener keterlaluan, bahkan gue nggak tau lagi gimana cara biar hubungan kita tetap berjalan.

Begitu memasuki lift, Morgan langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Begitu layar utama di aktifkan, ia bisa melihat foto dirinya yang tengah merangkul Keana. Saat itu cinta mereka sangat besar. Bahkan senyum yang keduanya pamerkan turut membenarkan segalanya.

Morgan menundukkan pandangan. Kedua kelopak matanya sudah terkatup rapat, sementara mulutnya mengeluarkan hembusan nafas kasar.

"Sekarang gue harus gimana, Kea?" Morgan menjeda kalimatnya sejenak, sebelum bibirnya kembali bergerak bersamaan dengan kelopak matanya yang terjaga sempurna.

"Gue bahkan nggak tau, perasaan apa yang gue punya buat lo." Morgan berujar lirih, kala matanya kembali terpaku pada wallpaper utama ponselnya.

"Apa hubungan kita emang harus berakhir seperti ini, Keana?"



***

Sepulang sekolah Keana memutuskan untuk mengurung diri dalam kamarnya. Terlalu banyak tanda tanya, termasuk alasan kenapa dirinya bisa memutar waktu.

"Apa ini karma buat gue?"

Keana memeluk erat kedua lututnya, sedangkan wajah sembabnya ia tenggelamkan dalam lipatan tangannya. Berkali-kali berpikir pun semuanya terasa tak masuk akal. Terlebih ia tak pernah meminta pada Tuhan untuk membawanya ke masa lalu.

"Kea,"

Suara Kanaya mengalun, bersama ketukan pintu kamar yang terdengar bersahutan. Keana yakin ibunya tengah resah, terlebih ia memilih untuk bungkam dan pada akhirnya mengunci diri.

"Kea, kamu nggak apa-apa, Dek?"

Tubuh Keana seketika membeku. Suara berat yang mengalun lembut itu tak hanya membuat nafasnya tercekat, tapi turut membuat bola matanya membelalak lebar.

"Kea, ini Abang. Tolong buka pintunya, Dek. Abang mau ngomong sama kamu,"

Suaranya masih terdengar lembut, dan sarat akan kekhawatirkan. Bahkan tanpa sadar Keana mulai menggerakkan kedua kakinya. Rasanya aneh, dulu kakinya terasa sangat kaku. Tapi semuanya berbeda sekarang.

"Kea,"

Menelan ludah kasar. Beberapa kali Keana merapalkan doa dalam hatinya, agar apa yang menimpanya bukanlah mimpi belaka. Karena sungguh Keana tak rela jika harus menghancurkan momen manis ini untuk kesekian kalinya.

"Kea, ini Abang, Dek."

Kenop di putar perlahan. Begitu pintu tersingkap, bola mata Keana langsung di suguhkan dengan penampakan pria dewasa yang menatapnya dengan seulas senyum. Jauh berbeda dengan dirinya yang kembali membeku.

"Ba ... Bang Raven?"

Pria berambut cokelat kemerahan itu masih setia memamerkan senyum. Meski lengkungan itu tak bertahan lama, lantaran ekspresi keterkejutan Raven langsung mendominasi kala mendapati Keana mulai terisak.

"Bang Raven,"

Raven kelabakan. "Loh Dek, kamu kenapa?"

Keana tak menjawab. Hanya suara tangisnya saja yang mampu menggambarkan rasa sesal dan kerinduan.

Membuang nafas lirih, Raven memperhatikan wajah Keana dengan tatapan sayu. "Kea kenapa, hm?"

Tubuh Keana seketika menegang, ketika Raven mendekap erat tubuhnya. Pria itu melakukannya dengan natural dan penuh perhitungan, seolah tak mengingat kejahatan yang telah di perbuatanya di masa mendatang.

"Maaf ya, Abang baru bisa pulang sekarang."

Keana menelan ludah. Sensasi lembut dan hangat yang Raven salurkan tanpa sadar membuat tangannya bergerak. Tanpa banyak kata ia membalas pelukan kakaknya dengan erat, tak lama tangisnya kembali mengalun.

"Kea kenapa? Kea ada masalah sama Bang Bas?"

"Atau Bang Bas ngomong yang nggak-nggak lagi sama Kea?"

Keana hanya menggeleng, dan sukses mendatangkan kerutan pada kening Raven.

"Terus Kea kenapa? Mama sama Papa bilang Kea nggak mau keluar kamar, Kea ada masalah?" Bisiknya lembut, selembut usapan yang diaplikasikan pada puncak kepala Keana.

Rasanya sakit. Padahal di masa mendatang Keana adalah penyebab kematian Raven, tapi pria itu masih bersedia menyedikan telinga dan bahu untuknya.

"Maaf," pinta Keana, teredam isak tangisnya.

Raven tak lantas menjawab. Sepertinya benar apa yang dikatakan orang tuanya, Keana mengalami hari yang berat hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya sendiri. Tapi apa? Raven benar-benar tidak tau.

Dalam satu tarikan nafas, Raven mengurai pelukan mereka. "Kita masuk ya, hari ini Abang bakal temenin Kea. Jadi kalo Kea mau cerita, Abang bakal dengerin semuanya. Hm?" Tuturnya, mengusap lembut kedua pipi Keana yang terasa lembab.

Berhubung Keana tak menyanggah permintaannya, jadi Raven berinisiatif untuk menuntun adik bungsunya kembali ke ranjang. Keduanya duduk saling berhadapan, di mana Keana lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menangis.

Raven sendiri hanya bisa membisu, sedangkan tangannya sibuk mengusap helaian rambut Keana. Baginya Keana berhak menyalurkan rasa sakitnya dengan menangis, dari pada dia harus menghadiri pemakaman Keana. Karena sungguh Raven tak bisa memaafkan dirinya, jika Keana pergi lebih dulu ketimbang dirinya.

"Udah mendingan?" Raven bertanya lirih, tangannya sendiri sudah mengangsurkan sapu tangan.

Namun karena tak kunjung mendapat sambutan, Raven hanya bisa mengulas senyum simpul. Sekali lagi jemari kokohnya ia tuntun lebih dekat pada wajah Keana. Dengan lembut dan teratur, Raven menyapukan kain sapu tangannya pada kelopak mata dan pipi Keana.

"Abang nggak tau ada masalah apa antara Kea sama Bang Bas, tapi Abang harap Kea nggak memendam semuanya sendiri."

Selesai membersihkan air mata adiknya, pria pemilik iris cokelat pekat itu beralih memperhatikan wajah sembab Keana.

"Kea masih punya Abang, jadi Kea bisa cerita semuanya sama Abang. Sesibuk apapun Abang, Abang janji bakal dateng buat Kea. Jadi Kea jangan ragu buat cerita sama Abang, Hm?"

Penuturan lembut Raven membuat ujung hati Keana terasa di sentil. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali berguguran. Perasaan sakit dan sesal yang bercokol dalam hatinya terasa kian dalam karena perlakuan lembut Raven. Namun anehnya Keana seolah enggan melepaskan momen hangat ini.

Sebenarnya ia takut melukai Raven dan yang lain, tapi hatinya memberontak. Ia ingin bersikap egois dan memperbaiki masa depan. Ada banyak nyawa yang harus ia selamatkan.

Raven terkekeh geli. "Adek Abang udah gede, tapi masih manja aja. Gimana nanti kalo Bang Bas liat?"

"Kea sayang Bang Raven," Keana berbisik lirih, tanpa memedulikan penuturan Raven.

Perlahan tatapan Raven berubah teduh, sementara pelukannya ia pererat. "Abang juga sayang sama Kea." Balasnya lembut.

***

Sejauh ini gimana ceritanya? Kalo sekiranya nggak suka, kalian bisa mampir ke lapak lain ya. Tapi kalo kalian suka, silakan tinggalkan vote dan komen

Jadi jangan lupa ya
Vote dan komennya masih aku tunggu lohhh

See you next part...

Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 108K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
334K 5.7K 15
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.9M 152K 31
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...
2.5M 276K 48
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...