Incomplete: Part 2. Other Pie...

By sooyaas_state

7.6K 1.2K 336

Cita-cita itu kini menjadi masa lalu konyol yang memuakkan. Kehidupan tidak akan pernah bisa adil bagi semua... More

1. The Dark Heart
2. Bitter Slices
3. Emotions
4. New Family
5. Bland and Strong Favor
6. Animosity
7. Writhe
8. Glimmer of Light
9. Lisa's New World
10. Glazed
11. Our Hearts
12. Tranquil Heart
13. Youth
14. UBM
15. Craziness
17. Admit
18. Strive
19. Implant
20. Different World
21. Live Through
22. Faith
23. Life Moves On
24. Link
25. A Bright of Hope

16. A Glimpse of Us

298 46 13
By sooyaas_state

Minimnya hal yang bisa dilakukan membuat Jisoo lebih banyak menatap orang-orang dan menelaah ekspresi mereka. Jisoo tetap tidak dapat menebak pasti isi hati mereka. Dia hanya mencoba menyibukkan diri.

Saat ini Jisoo sedang menunggu. Menunggu Taeyeon melanjutkan menyuapinya. Jisoo tidak berniat sangat memperhatikan. Namun, karena Taeyeon menjadi sangat perhatian dan mereka sering bersama, Jisoo jadi menyadari, seminggu ini Taeyeon lebih banyak melamun.

Jisoo tidak memahami alasannya. Entah apa yang Taeyeon pikirkan. Padahal implan chipnya juga sudah batal total karena Taeyeon menolak setuju. Bagi Jisoo penolakan Taeyeon itu berarti halangan menuju kebebasan. Sesungguhnya Jisoo sangat ingin mencobanya, tidak peduli meski nyawanya mungkin menjadi taruhan. Itu lebih baik daripada hidup seperti ini dalam kehampaan.

"Nyonya Taeyeon, aku ingin ke teras saja kalau memang sudah selesai."

"Ohh ... maaf, Jisoo-ya. Habiskan dulu makanannya." Taeyeon kembali menyuapi Jisoo.

Kini Taeyeon memusatkan penuh mata dan hatinya pada Jisoo. Cukup satu hal yang sangat Taeyeon sesali, mengapa dulu Soohyun harus pergi tanpa sepatah kata. Andai Soohyun memberitahu, mungkin hidup Jisoo bisa lebih baik dari ini. Taeyeon bisa menjelaskan pada ayahnya bahwa Soohyun pasti akan kembali, sehingga Nam-gil tidak perlu sampai membuang Jisoo. Apa Soohyun tidak berpikir bahwa tindakannya itu bisa menghancurkan Taeyeon dan putri mereka?

"Nyonya Taeyeon, aku meminta rasa kasihan dari Anda. Aku berjanji akan mengganti uangnya setelah prosedurnya berhasil. Aku akan bekerja dan mengganti uang yang Anda gunakan untuk biaya hidupku selama ini. Aku juga tidak akan mengganggu Nona Jennie. Aku bahkan tidak akan melukis."

"Jisoo, Eomma menyayangimu. Kau tidak butuh rasa kasihan dari Eomma. Yang kau inginkan itu terlalu besar bagi Eomma. Eomma tidak bisa membiarkanmu pergi ke sana saat tidak ada jaminan seratus persen kau akan kembali ke rumah dalam keadaan baik-baik saja. Eomma hampir kehilanganmu. Rasanya sangat menyakitkan, Nak. Sedikit saja kasihani Eomma."

"Apa Anda tidak lelah terus berpura-pura sabar menghadapiku? Anda sedang kelelahan, siapa yang tidak tau tentang itu? Bebaskan aku dari sini, itu juga akan meringankan Anda."

"Eomma harus berbuat apa supaya kau percaya, Jisoo-ya? Eomma tidak lelah karena ini memang bukan pura-pura. Kau mungkin merasa tidak beruntung karena dilahirkan oleh Eomma, tapi Eomma tidak pernah merasa tidak beruntung karena sudah melahirkanmu. Sebaliknya, Eomma merasa telah menjadi pembawa ketidakberuntungan bagimu." Rasanya Taeyeon tidak bisa lagi membendung air mata.

"Maaf. Mari kita tenang sebentar. Ada terlalu banyak hal, Eomma tidak ingin melampiaskannya padamu." Taeyeon mencium kening Jisoo sebelum keluar dari kamar putrinya.

Saat berpapasan dengan Jennie di depan kamar, Taeyeon merangkap kedua pipi Jennie. Memandang lekat.

"Ada apa, Eomma? Kenapa tiba-tiba?" Bukan hanya tindakan ibunya, tatapan Taeyeon juga terlihat seperti ditimbun banyak bawang, penuh kepedihan.

"Uri Jennie telah melakukan banyak hal. Terima kasih, Nak. Temani kakakmu dulu, ya."

"Boleh aku mengajaknya pergi?"

"Mau ke mana?"

"Hanya berkeliling. Pasti di sini membosankan, dia selalu di rumah."

Taeyeon tidak bisa menahan hatinya yang bergelora merasa tenteram. "Ajak bodyguard. Dari banyak kemungkinan, Eomma lebih takut Jisoo bertemu kakekmu."

"Tenang saja, Eomma. Kami akan berhati-hati."






※❆____INCOMPLETE____❆※



Jisoo terus menatap ke luar kaca mobil. Mencoba menghindari kontak mata dengan Jennie yang berada di sampingnya. Jisoo cukup tahu, pandangan Jennie tentangnya pasti masih sama. Jisoo hanya pengganggu bagi Jennie. Sebenarnya Jisoo juga agak takut. Entah akan dibawa ke mana dirinya.

"Ada tempat yang ingin kau kunjungi? Kau punya tempat favoritmu?"

Jisoo agak terkejut. Jennie bersuara saat Jisoo sedang memikirkan kemungkinan buruk.

"Tidak ada."

"Ayolah, kau pasti punya, seperti tempat yang sering kau kunjungi, tempatmu menghabiskan waktu bersama keluarga, tempat semacam itu." Jennie memandang ke samping, ke arah Jisoo. Cukup jelas Jisoo sedang berusaha tidak mengganggu Jennie dengan tidak menjalin kontak mata.

"Kami orang biasa saja, tidak punya tempat seperti yang Anda maksudkan. Aku dan Lisa biasanya berangkat sekolah bersama, pulang ke rumah, lalu membantu ibu kami di kedai. Jalanan saat pulang dan berangkat sekolah, atau di mana pun saat aku bersama adik dan ibuku, aku menyukainya. "

Pikiran Jisoo pasti sedang kembali ke masa lalu. Jennie jelas mengetahui.

"Ck, kau membuatku merasa bersalah. Baiklah. Kita ke sana saja kalau begitu."

Jisoo seketika menoleh. "Tidak usah tidak apa-apa. Kalau mau ke rumah harus melewati gang sempit. Mobilnya tidak akan muat, nanti harus berjalan."

"Lalu? Aku masih punya kaki, kan?"

"Y-ya, tapi aku ...."

"Jangan terus merendah begitu. Kau membuatku terkesan seperti orang sangat jahat. Aku akan mendorong kursi rodamu."

"Nona Jennie, Anda tidak mengerti, ayahku--"

"Diamlah. Mungkin ada sesuatu yang ingin kau ambil di rumahmu. Kita akan ke sana pokoknya. Jangan panggil aku Nona Jennie. Selain tidak pantas, itu juga membuatku terlihat kejam. Panggil aku Jennie, tapi jangan terlalu sering. Aku tidak suka kau panggil-panggil."

Selanjutnya perjalanan mereka hanya ditemani kesunyian. Selain membuat Jisoo sedikit lebih tenang, sikap Jennie ini juga membingungkan. Sebab sebelumnya Jennie seperti menganggap Jisoo sebagai musuh bebuyutan.

"Apa kita datang dari arah biasanya kau dan adikmu pulang sekolah?"

"Tidak, kita dari arah yang berlawanan. Namun, kita tetap akan sampai ke jalan kecil. Jalannya tetap bisa dilewati mobil sampai kita sampai di gang lebih--"

"Kita akan mulai berjalan dari jalan kecilnya. Tidak usah bertanya kenapa."

Jisoo yang memang ingin bertanya seketika mengurungkan niat.

"Victor, kita turun dari mobil saat sampai di jalan kecil," ucap Jennie pada salah satu bodyguard-nya.

"Baik, Nona Jennie."

Ketika sampai dan telah turun dari mobil, kedua bodyguard Jennie menawarkan diri untuk membantu mendorong kursi roda Jisoo. Hanya dengan gelengan penolakan Jennie, kedua bodyguard itu kini hanya mengikuti dari belakang.

"Beritahu aku kalau sudah waktunya  berbelok."

Semuanya lancar sampai mereka melewati jalanan agak menurun. Jisoo sedikit panik sebab kursi rodanya terasa agak bergetar.

Jennie menahan kursi roda Jisoo agar tidak terlepas dari tangannya atau itu akan berakhir dengan kursi rodanya meluncur tanpa ada yang mengendalikan.

"Victor! Zack! Apa kalian tidak lihat aku kesulitan?!"

Kedua bodyguard Jennie segera mengambil alih sementara Jennie menormalkan nafas.

Saat jalanan menurun itu berakhir, Jennie bersikeras untuk mendorong kursi roda Jisoo kembali.

"Aku tidak berharap kau tertawa, Jisoo."

Nafas Jisoo yang tertahan beserta senyum yang menghilang menjadi tanda tawanya harus berakhir bahkan sebelum dimulai.

Perjalanan mereka cukup ditemani suara langkah. Terkecuali pikiran Jisoo yang mulai menghilang ke masa lalu. Dan juga ada Jennie yang sengaja membiarkan matanya melekat pada Jisoo.

"Itu, gang pertama di kiri jalan."

Mereka berbelok ke gang itu. Gangnya memang kecil, Jennie cukup yakin mereka sudah hampir sampai.

Jennie berhenti untuk berbalik pada kedua bodyguard-nya. "Apa kalian tidak paham privasi? Tunggu di depan gang saja."

"Nona Jennie, kami akan mengantar sampai Anda dan Nona Jisoo sampai ke tempat tujuan. Kami akan menunggu di depan rumah saat Anda masuk."

"Tunggu di sini saja."

"Namun, Nona Jennie, Nyonya Taeyeon memerintahkan kami agar tidak meninggalkan Anda berdua. Kami harus--"

"Kalian tidak mengerti bahasa manusia, ya?!"

Jisoo ikut kaget meski teriakan itu bukan untuknya.

"Kalau aku bilang tunggu di sini ya tunggu di sini!" Jennie kembali mendorong kursi roda Jisoo setelah kedua bodyguard-nya membungkuk.

Jisoo tidak lagi merasa nyaman melamunkan masa lalu. Sekarang dia hanya berdua dengan Jennie. Terakhir kali itu terjadi, Jennie tidak ragu-ragu menggores paha Jisoo dengan beling.

"Jisoo, kau sangat beruntung, ya. Sekarang kau langsung jadi orang kaya."

Jisoo hanya menganggukkan kepala mendengar celetukan tetangga yang berpapasan dengan mereka.

Di belakang Jisoo yang tersenyum kikuk, alis Jennie hampir bertaut. "Ahjussi, apa Anda kurang pintar? Dia juga duduk di kursi roda. Itu yang Anda bilang beruntung?" Jennie segera mendorong kursi roda Jisoo untuk menghindari obrolan yang tidak perlu.

Hal seperti inilah yang membuat Jennie tidak suka pada orang-orang di kawasan seperti ini. Mereka hanya bisa bicara soal uang dan yang penting bagi mereka sepertinya juga hanya uang.

"Rumahmu yang mana?"

"Sebelahnya rumah pagar abu-abu." Jisoo cepat-cepat menjawab karena takut semakin menambah sungut Jennie.

Manik Jennie menemukannya. Rumah sederhana bercat putih. Meski tidak terlalu besar, rumah itu mudah ditandai. Hanya rumah itu yang tidak punya pagar.

Jennie mencoba membuka pintunya, namun terkunci.

"Bagaimana kita bisa masuk?"

"Kalau benar tidak pernah ada yang datang, kuncinya ada di bawah pot, karena aku yang terakhir kali menguncinya."

Setelah menemukan kunci, Jennie membuka pintu. "Ingatanmu agak rusak, aku menemukan kuncinya di atas pot." Jennie mendorong kursi roda Jisoo hingga benar-benar masuk ke dalam.

Secara alami Jennie terbatuk-batuk sebab banyaknya debu di dalam sana. Jennie mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah demi menghalau debu.

"Kau hebat juga, ya. Dengan rumah seperti ini, kau bisa berteman dengan orang seperti Kang Seulgi."

Jisoo hanya diam tidak menanggapi. Jisoo takut dia salah mengucap kata yang mungkin akan membuat Jennie tersinggung.

"Kau banyak melukis selama di sini?"

"T-tidak. Butuh banyak dana untuk melukis, hanya ada satu di kamarku."

"Aku akan mengambilnya."

"J-jangan ... aku mohon."

"Kenapa?"

"S-sudah rusak. Aku tidak ingin kau melihatnya."

Jennie tersenyum miring. Senyum Jennie membuat Jisoo takut. Semakin jelas hati Jisoo mengatakan 'mampus' pada dirinya sendiri saat Jennie pergi mencari kamarnya untuk menemukan lukisan itu.

Di sana ada dua kamar. Jennie langsung melihat sebuah lukisan di percobaan pertama. Saat semakin dekat dan melihat lebih jelas lukisan itu, Jennie seketika paham alasan Jisoo mencegah Jennie melihatnya.

Jennie mendengus dengan senyum setengah. "Dasar." Jennie tetap meraih lukisan itu.

"Dengar, Han Jisoo." Masih memandang lukisan di tangan, Jennie sedikit mengeraskan suara agar Jisoo mendengarnya. "Aku menerimamu menjadi putri ayah dan ibuku, menjadi teman sekamarku, dan menjadi orang yang paling menyebalkan dalam hidupku. Tunggu saja beberapa waktu ... mungkin ... aku akan menjadi adikmu." Jennie mengucapkan empat kata terakhir itu cukup pelan. Mungkin hanya telinganya sendiri yang bisa mendengar.

Jennie tersenyum, mengejek rasa malu yang dirasakannya sendiri. Tak lama senyum itu segera luntur. Jennie hanya mulai membayangkan kemalangan hidup yang menimpa Jisoo.

Mendengar cerita Taeyeon tentang ayahnya Jisoo, Jennie yakin ayahnya Jisoo pasti orang yang keren dan kaya. Seharusnya sejak awal Jisoo bisa hidup mewah dan merasakan semua yang dirasakan Jennie saat ini. Namun, jika itu sampai terjadi, mungkin Jennie tidak pernah ada di dunia ini. Karena itu berarti hubungan Taeyeon dan Soohyun tidak pernah patah.

Brukk!

Jennie langsung kembali ke kenyataan saat suara seperti benda jatuh dibarengi dengan rintihan Jisoo yang samar terdengar.

Reflek menjatuhkan lukisan itu, Jennie berlari untuk memeriksa.

"Mati kau, Sialan!"

Terlalu syok, Jennie tercekat menyaksikan seorang pria paruh baya menendangi tubuh Jisoo yang kini tengkurap di lantai.

"Enak sekali hidupmu. Adik dan ibumu mati, tapi kau jadi kaya! Pembawa sial! Kurang ajar! Beraninya kau datang ke sini!"

Yang membuat Jennie tak bisa berkata-kata adalah Jisoo yang hanya diam. Jisoo tidak mencoba menggerakkan kepalanya untuk berpaling supaya kaki pria itu tidak mengenai wajah Jisoo. Jennie bahkan tidak lagi mendengar Jisoo mengaduh. Jisoo hanya menyerah memejamkan mata.

Seburuk itukah rasanya hidup, Jisoo?

Jennie menggertakkan rahang. Jennie tidak tahu, mungkin masih ada rasa tidak suka atau kebencian pada Jisoo, tapi tubuhnya memaksa untuk bertindak.

Lensa Jennie berkeliling cepat mencari apa pun yang bisa cukup kuat melumpuhkan orang itu. "Yaa!!" Jennie meraih jam meja lalu melemparkannya ke arah kepala Jungmo.

Jennie yakin tidak akan cukup melumpuhkan Jungmo meski jam itu sudah mengenai kepala pria itu. Hasrat untuk berbuat lebih itu membuat Jennie berlari mendorong Jungmo dengan segala daya yang Jennie punya.

Jennie mengambil tongkat bisbol bersarang laba-laba di pojok ruangan. Meski ragu, dengan mata terpejam, Jennie memukulkan tongkat ke kepala Jungmo saat pria itu berusaha bangkit dari jatuh.

Tongkat yang kini berlumur darah terlepas dari tangan Jennie. "Victor! Zack!" Jennie harap suaranya cukup keras untuk didengar Victor dan Zack atau setidaknya para tetangga.

Tidak mau menyia-nyiakan pikiran untuk orang yang memang pantas dipukul itu, Jennie segera berbalik menghampiri Jisoo yang masih setia di lantai.

"Hei, kau dengar aku?" Jennie berusaha membalik tubuh Jisoo agar telentang. Nafas Jennie yang memburu kini hanya berarti kelegaan setelah melihat mata Jisoo terbuka.

Suara gemelotak hasil dari benturan tongkat bisbol dengan tengkorak kepala Jennie membuat telinga Jennie sendiri berbengang sampai hanya rasa pusing yang dia rasakan.

Mata Jisoo membulat sempurna menyaksikan. Kepalanya menoleh mengikuti Jennie tergeletak di sampingnya.

"Appa!! Kemari! Aku di sini! Biarkan dia, Tua Bangka! Aku berjanji kau akan masuk penjara, Sialan!"


Selamat Hari Kemerdekaan🇮🇩 meski masih dua hari lagi 😂

Continue Reading

You'll Also Like

194K 9.5K 31
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
457K 4.8K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
36.2K 5K 60
Tidak ingin disentuh, tapi benci kesepian. Sudah menutup hati, tapi masih mudah terluka. Peduli hanya akan berakhir sakit hati. Choi Jisoo selalu mel...
79.6K 8.7K 41
[ END ] Life is like a straight road, going up and down, turning right then slightly left, or maybe having to stop for a while to take a break. . . ...