Happy Birth-Die 2

By beliawritingmarathon

20.9K 2.3K 130

Andre Oktovian, yang memiliki kemampuan bisa melihat jodoh orang, akhirnya melihat jodoh masa depannya, yaitu... More

PROLOG
CHAPTER 1: PERMULAAN
CHAPTER 3: PERTEMUAN
CHAPTER 4: BERTAHAN
CHAPTER 5: MUSUHAN
CHAPTER 6: TERABAIKAN
CHAPTER 7: PERJALANAN
CHAPTER 8
CHAPTER 9: ANCAMAN
CHAPTER 10: KEMAMPUAN
Chapter 11: Dipertaruhkan
Chapter 12: Perdebatan
Chapter 13: Kenyataan
Chapter 14: Menyembunyikan
Chapter 15: Lanjutan
Chapter 16: Pertempuran
Chapter 17
Chapter 18: Pengorbanan
CHAPTER 19: MENYESAKKAN
CHAPTER 20: PERTARUHAN
Special Offer HBD2, Mulai 2 Oktober
Special Offer HBD2 sudah dimulai!

CHAPTER 2: DUGAAN

1K 146 1
By beliawritingmarathon


"Kecurigaan muncul bersamaan adanya perubahan."

Kau tahu ada yang salah. Tapi, kau tidak berusaha menyudahinya. Atau memang sebenarnya, kau ingin membuat hatimu terluka semakin parah? Untuk mereka yang sedang terkena mantra sihir paling mematikan, yaitu jatuh cinta.

***

Malam minggu bulan kemarin, seorang pria datang ke rumah Andre. Memperkenalkan diri sebagai calon suami mamanya.

Lancang sekali, pikir Andre yang menerimanya di kursi teras. Dia tidak sudi membiarkan pria itu masuk rumah.

Mereka baru kali pertama bertemu. Mamanya juga belum bercerita apa-apa mengenai hubungan dengan pria itu.

"Calon suami?" Kening Andre berkerut.

Semburat tak suka terlihat dari mata Andre yang menyipit. Untungnya, Andre masih bisa menahan emosi. Kalau Heksa yang ada di posisinya, pasti dia sudah meneriakkan segala macam hinaan.

"Iya. Nama saya Dedi," ucap pria itu sembari mengulurkan tangan.

Andre menilai dari ujung rambut sampai kaki. Penampilannya rapi. Rambut tebal yang dimodel khas ala oppa Korea. Modern, pikir Andre. Dan, sepertinya lebih muda dibanding Mama.

"Anda mengenal Mama dari mana?" tanya Andre. Mengabaikan uluran tangan pria itu.

"Hahaha. Anak muda ini protektif sekali dengan mamanya," tukas pria itu sembari menepuk-nepuk bahu Andre sok akrab.

Andre menghela napas panjang. Berusaha menahan diri agar tidak memelintir tangan pria itu. "Oh, tentu, Om. Saya sangat menyayangi Mama. Sebagai anak pertama, saya akan selalu menjadi penjaga Mama dan adik perempuan saya."

Yang dibicarakan muncul. Aura berlari riang menghampiri Andre, lalu menghambur memeluk kakaknya.

"Eh, ini Aura, ya?" Kesempatan emas, pikir Dedi, kalau anaknya yang besar susah ditaklukkan maka mengambil hati anak kecil akan jauh lebih mudah.

"Om, ini siapa, Kak?" tanya Aura. Tangannya menggenggam sang kakak. Merasa aneh dengan gerak-gerik pria asing di depannya.

"Om ini calon Papa ...."

"Cukup!"

Bukan cuma Dedi yang terkejut, Aura sampai terbelalak mendengar suara keras kakaknya.

"Jaga mulut Anda atau saya panggil security perumahan untuk mengusir Anda," ancam Andre. Sorot matanya yang biasa ramah menjadi tatapan penuh amarah.

"Dan satu lagi, Mama masih di luar. Kalau Anda mau menunggu, silakan tunggu di sini. Kami tidak pernah memperbolehkan orang asing masuk ke rumah tanpa seizin Mama. Sekalipun Mama kenal, tapi kami kalau merasa orang itu tidak baik, kami akan tetap menjaga jarak," tambah Andre dengan nada tegas.

Yang menyebalkan, bukannya merasa tak enak, tapi Dedi malah tersenyum. Seolah memandang remeh dua anak di depannya, menganggap keduanya hanya anak kecil yang tak perlu mencampuri urusan orang dewasa.

Setelah Dedi menunggu hampir setengah jam, Mama Andre datang.

"Hei, Juwita!"

Andre yang mengintip melalui jendela, refleks melebarkan matanya. Terkejut melihat pria itu cipika-cipiki dengan mamanya.

"Kamu udah ketemu anak-anak?" tanya Juwita, kemudian mengajak Dedi masuk ke ruang tamu. "Andre, Aura ...," panggil Mama.

Aura berlari kecil dari dalam kamar. Ketika hampir sampai ke ruang tamu, Andre menarik tangannya. Meminta agar gadis kecil itu tetap berada di sampingnya.

"Kamu sama Kak Andre terus, ya. Jangan ngomong apa-apa tanpa komando dari Kak Andre."

"Kita lagi main detektif-detektifan, Kak?" tanya Aura. Gadis kecil itu menatap Andre dengan polos.

"Iya. Jadi, kamu harus ikuti arahan Kak Andre terus, ya." Andre mengusap kepala Aura.

Keduanya berjalan bergandengan menuju ruang tamu. Dedi menyambutnya. Melebarkan tangan seolah ingin memeluk Andre. Namun, Andre segera menyingkir, kemudian duduk di sofa paling ujung. Auara duduk di pangkuannya.

"Halo, ketemu lagi, Adik Cantik," Dedi menyapa Aura, mengajaknya tos.

Akan tetapi, Aura refleks menatap Andre seolah meminta persetujuan.

"Ah, iya. Tadi belum jadi kenalan, kan?" Dedi beralih kepada Andre, kemudian mengulurkan tangan lagi. "Saya Dedi. Oh, saya punya anak perempuan seumuran sama kamu. Namanya Ginny."

Dedi mengeluarkan ponselnya. Memperlihatkan foto gadis cantik berambut agak pirang yang dimodel keriting seperti artis.

"Dia selebgram. Kamu mungkin pernah lihat dia. Eluna Ginny. Familier, kan, sama namanya?"

Andre mengabaikan cerita pria itu meski sempat melirik sekilas. "Oke. Saya Andre. Anak pertama Ibu Juwita. Pengusaha katering sekaligus women motivator di kota ini. Anda pasti tahu seberapa hebatnya Mama, kan? Mama aktif di banyak platform media sosial, seperti Instagram dan Tik-Tok. Klien kateringnya pun banyak perusahaan bonafide dan dari kalangan atas. Saya banyak membantu tim media sosial Mama, terutama untuk urusan fotografi."

Tangan Andre terulur. Ia sudah bersiap menjabat tangan pria itu. Dengan senang hati, Dedi menyambut uluran tangan Andre, mengira anak itu mulai bisa menerimanya.

Secepat kilat bayangan masa depan datang silih berganti.

Berupa potongan-potongan adegan yang tak utuh.

Mama menangis.

Dalam sebuah ruangan yang minim penerangan.

Sesosok wanita menangis sesenggukan.

Tampaknya dia terluka, pipinya tampak merah lebam.

Rambutnya berantakan. Dan, terlihat sangat depresi.

Ia memanggil-manggil nama seseorang.

Dedi ... Dedi ....

Muncul sosok seorang pria. Dia.

Pria itu menatap bengis dan mengangkat tangannya ....

"Ndre! Andre!"

Andre mengerjap-ngerjap begitu merasakan tepukan di bahunya. Spontan Andre melepas jabatan tangan pria di depannya.

Di sampingnya, Juwita berdiri menatapnya gelisah. Andre tahu mamanya sebenarnya setengah percaya dan setengah tak percaya setiap kali ia memberi peringatan mengenai pria-pria yang mendekatinya. Terkadang, mama Andre menganggap putranya itu hanya menebak-nebak.

Ramalan tanpa alasan.

Kebetulan benar.

Juwita tak ingin memercayai apa yang dikatakan putranya itu sering kali menjadi kenyataan. Termasuk saat Andre memberi peringatan ketika Dedi sudah pulang. Sederhana saja, Andre telah menyaksikan mamanya terpuruk saat bercerai dengan Papa. Dia tidak ingin Mama mengalami kesedihan seperti itu lagi. Apalagi, kali ini lebih parah menurut penglihatan mata ajaib Andre.

Teringat dengan kejadian seminggu yang lalu, Andre tersadar dan kembali fokus pada apa yang dihadapinya malam ini. Bukan Heksa dan PR Matematika-nya. Keselamatan mamanya lebih penting. Andre berderap cepat menuruni anak tangga untuk menemui mamanya.

"Astaga, Ndre, sampai kaget, Mama!"

Wanita itu mengusap-usap dadanya, kemudian melempar tas mahalnya ke sofa. Lehernya terasa pegal setelah seharian sibuk bertemu klien dan merancang menu katering sesuai kebutuhan mereka. Ia mengerling sesaat ke arah putranya yang seperti ingin mengajaknya berdebat itu.

"Ma ...."

Juwita berdecak sekali, seolah bisa menebak apa yang akan dikatakan putranya. "Udah ya, Ndre. Mama mau istirahat."

Sebelum Andre bersuara, wanita itu lebih dulu menyingkir. Namun, saat langkahnya sampai di ruang tengah, Andre kembali memanggilnya.

"Aku udah pernah bilang ke Mama kalau Om Dedi bukan cowok baik-baik. Dia cuma manfaatin Mama buat kelancaran bisnisnya!" tegas Andre, suaranya terdengar lebih kencang dibanding biasanya.

Juwita tertegun sejenak. Tak percaya jika putranya yang kalem itu baru saja membentaknya.

"Ndre, kita nggak pernah tahu ke depannya kayak gimana ...."

"Karena aku tahu, makanya aku ngasih tahu Mama!" Andre tak bisa lagi bersabar seperti biasanya. "Aku tahu, Ma! Aku tahu gimana kelanjutan hubungan Mama sama pria itu!"

Juwita memutar tubuhnya. Ia melangkah mendekati Andre. "Setiap orang pasti pernah merasa sakit, patah hati, dan terluka. Tapi, sebelum mengalaminya, kita berhak bahagia dulu, Ndre, walau cuma sebentar. Iya, kan?"

Andre tersenyum sinis. Apa yang didengarnya sungguh tidak masuk akal. "Meski Mama tahu kalau akhirnya bakal disakitin?"

"Ya," jawab Juwita tanpa keraguan. "Bukannya setiap orang yang datang di kehidupan kita, selalu meninggalkan kesan baik dan kesan buruk? Dari setiap kejadian yang kita alami, pasti ada sisi positif dan negatif yang bisa kita jadikan pelajaran. Hadapi saja sesuai alurnya."

"Itu pemikiran orang-orang biasa kayak Mama. Sedangkan aku yang jelas-jelas bisa lihat ...."

"Terus apa, Ndre? Apa kamu bisa mengubah semuanya? Nggak, kan? Pada akhirnya kamu cuma bisa memperingati aja." Juwita menarik napas dalam-dalam, lalu melanjutkan, "Sementara orang-orang tetap pada pendirian mereka. Bertahan dengan cinta masing-masing meskipun sudah tahu akan disakiti. Semenjak cerai, Mama nggak pernah bisa deket sama lelaki lain. Kamu tahu karena apa? Baru ketemu sekali atau dua kali sama mereka, kamu udah komentar macam-macam. Secara nggak sadar, kamu udah ngasih sugesti ke Mama, yang efeknya bikin Mama jadi takut berinteraksi sama mereka, Ndre," kata Juwita.

Urat-urat leher Andre mengencang setelah mendengar kesaksian mamanya. Sekilas dia teringat Pijar yang selalu berusaha mengubah takdir yang dilihat mata ajaibnya. Andre sendiri tidak pernah melakukannya. Baginya, takdir ya takdir. Kecuali, kalau menyangkut kebahagiaan Mama. Mama tidak boleh terpuruk lagi. Namun, apakah dengan begitu, Andre justru menghalangi takdir Mama untuk bahagia?

"Dan, akhirnya apa? Sampai sekarang Mama nggak punya teman lelaki," lanjut Juwita dengan tatapan nanar. "Mama berjuang dari nol sampai kamu dan Aura bisa hidup enak kayak gini. Kamu pikir Mama nggak pengin punya pasangan seperti teman-teman Mama lainnya yang menghabiskan masa tua bersama pasangannya?"

Setelah lama terdiam, Andre akhirnya bersuara. "Karena laki-laki pilihan Mama nggak ada yang bener," tegas Andre. Suaranya terdengar lebih berat. "Aku yang lihat sendiri, Ma. Aku tahu mereka bukan orang baik! Terutama Om Dedi ini. Dia beda."

Tangan Andre terkepal di samping tubuhnya. Bahunya naik-turun setelah melampiaskan amarahnya kepada sang mama. Ia bukan tipe orang yang suka berbicara dengan urat. Namun, kali ini mamanya terlalu batu, tak bisa dikasih tahu.

Awalnya Andre hanya ingin mengajak Juwita berdiskusi. Namun, ternyata perdebatan itu tidak bisa dicegah. Ujung-ujungnya mereka saling teriak. Sama-sama merasa paling benar.

"Kak Andre kenapa marah-marah sama Mama?"

Baru saja Andre hendak memprotes mamanya lagi, terdengar suara Aura memanggilnya dengan parau. Gadis kecil itu berdiri di depan pintu kamar. Ia melangkah menghampiri Andre dengan terkantuk-kantuk. Sesekali Aura mengusap-usap matanya sendiri agar bisa melihat sosok kakaknya dengan lebih jelas.

"Biar Dik Aura sama Bibi aja, Mas."

Bi Giyem, asisten rumah tangga yang sudah bekerja selama belasan tahun dengan keluarga Andre, tergopoh-gopoh menghampiri keduanya. Rumah mereka memang seolah tidak pernah sepi 24 jam karena subuh-subuh pun para pekerja sudah mulai mempersiapkan bahan-bahan untuk pesanan katering pada hari itu.

"Nggak papa, Bi. Aku aja yang anter Aura balik ke kamar," kata Andre.

Meski sedang kalut, ia masih bisa tersenyum kepada asisten rumah tangganya. Andre tidak suka melampiaskan kekesalannya kepada orang lain. Jika punya masalah dengan seseorang, ia tetap akan bersikap seperti biasa kepada yang lainnya. Sekalipun pikiran dan hatinya sama-sama sedang kacau, ia tidak akan memusuhi orang-orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah yang sedang ia alami. Andre adalah definisi anak baik yang selalu menomorsatukan perasaan orang lain. Buruknya, kadang ia lupa memikirkan kebahagiaan diri sendiri.

Sebelum menggandeng Aura kembali ke kamar, Andre melirik sang mama yang duduk di bar kecil rumahnya.

Ada satu pekerja yang ditugaskan untuk berjaga di ruang terbuka itu. Dan kini Prita, nama pekerja itu, terlihat sedang menemani Juwita berbincang.

Andre hanya berharap keberadaan Prita dan asisten rumah tangganya yang lain dapat membuat Juwita tersadar bahwa anak-anaknya sebenarnya sangat membutuhkan perhatiannya. Dulu, saat baru bercerai, Juwita amat melindungi anak-anaknya. Apalagi Andre sering sakit, sementara Aura masih kecil. Mereka bertiga adalah satu unit keluarga yang akrab dan saling mencintai, meskipun bisa dibilang kekurangan secara ekonomi. Namun, perlahan Juwita makin sibuk, seiring dengan berkembangnya usaha kateringnya. Apalagi saat Juwita memutuskan untuk memakai berbagai platform media sosial untuk mengembangkan usaha kateringnya. Andre merasa mamanya makin jauh dari dirinya dan Aura. Meskipun tahu mamanya bekerja keras untuk dirinya dan Aura, sering kali Andre merindukan mamanya yang dulu.

"Dia bahkan kayaknya nggak denger kalau barusan Aura nangis," gumam Andre sembari mendengkus kesal.

"Ayo, Kak." Aura menggoyang-goyang tangan Andre karena kakaknya itu masih mematung di sebelahnya. Kenapa ngelihatin Mama terus, sih? batin Aura, kemudian turut menilik mamanya yang terhalangi tubuh kakaknya.

Sepasang kaki Aura mengayun ringan menuju kamar setelah Andre menarik tangannya dengan lembut. Gadis itu berdiri di ranjang sembari menatap tembok kamarnya yang dihiasi lukisan tangan Andre. Love berwarna-warni yang tak terhitung jumlahnya itu,digambar Andre beberapa tahun silam saat ia merasa kesepian dan hanya berduabersama Aura. Mamanya sedang bekerja. Sementara Andre harus menjaga Aura seorang diri. Memang mereka hanya berdua di rumah bersama Bi Ginem, sebelum akhirnya usaha Mama berkembang pesat, hingga kini memiliki banyak bekerja.

Sekarang, rumah penuh orang, tapi kenapa Andre masih merasa kesepian?

"Aura," panggil Andre karena adik perempuannya masih saja bermain-main menghitung love lukisannya. "Buruan tidur lagi," pesan Andre sembari mengusap-usap puncak kepala Aura.

Gadis kecil itu mengangguk-angguk. Senyumnya mengembang. Ia mulai memejam dengan sebelah tangan memeluk boneka Frozen pemberian Heksa saat ulang tahun keempatnya, tiga tahun yang lalu.

Bonekanya sudah buluk, kayak yang ngasih, pikir Andre.

"Aura sayang banget sama boneka yang dikasih Heksa. Kado dari gue nggak pernah dimainin. Malah sekarang entah ada di mana," gumam Andre, setengah kesal setengah geli.

Sembari memperhatikan boneka yang dipeluk Aura, ia terdiam cukup lama, memikirkan sesuatu. Bayang-bayang wajah Heksa seketika melintas di kepalanya. Ia merasa ada sesuatu yang mengganjal.

Tapi, soal apa?

Mulut Andre menganga lebar. Ia panik sendiri membayangkan reaksi Heksa ditinggalnya begitu saja. Andre cepat-cepat kembali ke kamarnya.

Heksa pasti ngoceh penjang lebar, mengumpatinya, menuduh Andre tidak setia kawan, dan omelan-omelan lainnya yang akan terus diungkitnya entah sampai kapan.

Sebelum ke luar dari kamar Aura, ia merapatkan selimut ke tubuh adiknya itu, lalu melangkah menjauhi ranjangnya dengan hati-hati.

Ia sempat berpapasan dengan Mama di depan tangga. Namun, Andre hanya menunduk, kemudian cepat-cepat menaiki anak tangga tanpa menyapa wanita itu lebih dulu.

Duh, mampus ini Heksa pasti mencak-mencak.

Begitu sampai kamar, Andre langsung menyambar ponselnya yang tergeletak di ranjang. Ia tertegun sejenak setelah melihat tampilan layar ponselnya.

Ternyata masih tersambung. Si sableng itu benar-benar menunggui Andre.

"Sa?" panggil Andre.

Tak ada jawaban. Namun, Andre masih berusaha berpikir positif.

"Sa? Lo udah ngebo, ya? Sa! Woy!"

Mustahil Heksa bisa bangun. Bahkan, mungkin di telinga Heksa, suara Andre yang lembut itu bak nyanyian pengiring tidur yang malah membuatnya semakin terlelap

To: Heksa

Besok gue tunggu di sekolah jam enam pagi. Sejam doang cukup lah ya buat nyalin PR gue. Jangan sampe telat!

Usai mengetik pesan itu, Andre memutus sambungan teleponnya. Entah besok pagi pesannya terbaca oleh Heksa atau tidak, Andre tetap akan menepati janjinya. Berangkat sekolah lebih awal demi membantu Heksa lolos dari hukuman Bu Mel.

Andre mengempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia menatap langit-langit kamarnya sembari mendesah pelan, "Yang belum ngerjain PR siapa, yang panik siapa."

Continue Reading

You'll Also Like

2.4M 142K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
4.5M 265K 62
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

881K 47.9K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
1M 52.5K 69
Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangan...