Surat Untuk Jenaka (Complete)

By gigrey

569K 74.5K 3K

Jenaka adalah seorang kutu buku yang tengah mempersiapkan Ujian Akhir Sekolah. Jenaka tinggal bersama nenek b... More

Pengumuman
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Trivia Kain Panjang Batik
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
54 part 2

37

7.7K 1.2K 162
By gigrey

Pram mengajak Jati untuk masuk ke rumah.

"Apa benar suratmu tentang Cantika? Apa maksudnya tentang Cantika terlibat dalam pembunuhan Raden Panji?" tanya Jati tanpa menunggu Pram mengistirahatkan tubuhnya terlebih dahulu di sofa.

"Kami sedang menyelidiki ini."

Pram pun menjelaskan semua dari awal hingga akhir terkait kasus pembunuhan Raden panji yang dituduhkan kepada Raden Ajeng. Jenaka duduk dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Menatap Jati yang terlihat mencelos mendengar apa yang didengarnya.

"Kenapa? Kenapa kembali? Kenapa berpura-pura peduli?" tanya Jenaka dengan tajam.

Pram dan Jati menoleh ke arah Jenaka yang menampilkan ekspresi tak bersahabatanya.

"Jika Cantika tidak kamu patahkan hatinya, mungkin Cantika tidak akan berpikir untuk memutuskan pertunangannya malam itu sehingga terjebak dalam konspirasi ini. Kenapa kamu kembali Jati? Bukankah kamu bisa hidup dengan tenang di tempat lain?"

"Jenaka," panggil Pram pelan. Pria itu berdiri dan menarik lengan Jenaka untuk ikut dengannya. Sepertinya Jenaka dan Jati belum bisa disatukan di satu ruangan yang sama.

"Boleh minta tolong panaskan makanan yang ada di meja dapur? Saya lapar."

"Tapi .."

"Kamu berantakin dapur saya pun tak masalah. Tolong ya, Jenaka. Tangan saya sedang sakit sekarang..."

Jenaka menghembuskan napas kasar. Matanya melirik Jati yang duduk memperhatikan mereka berdua. Gadis itu berbalik ke arah dapur. Pram mengacak rambut gadis itu sebentar kemudian kembali berbalik ke arah Jati yang masih setia menunggu.

"Jenaka sedikit terbawa emosi. Dia mungkin lelah karena kasus Raden Ajeng ini sepertinya melibatkan banyak orang petinggi.," ujar Jati.

"Pram."

"Hm?"

"Kamu menyukai Jenaka?"

Pram mengernyit. "Mengapa tiba-tiba bertanya seperti itu."

"Jika kamu dan Jenaka berada di posisi saya dan Cantika, apa yang akan kamu lakukan?"

Pram terdiam sejenak. Ia tidak pernah berpikir sampai sejauh sana. dirinya menyukai Jenaka? Mungkin itu benar. Pram tidak mencoba menutupi bahwa dirinya memang menyukai Jenaka.

Jika ... Jenaka adalah tunangan ayah angkatnya maka apa yang akan Pram lakukan?

"Ahaha jika itu saya .... Saya mungkin akan melakukan banyak hal gila."

Jati mengusap wajahnya gusar. Ia menyalahkan dirinya sendiri. Malam itu ia menolak perasaan Raden Ajeng karena dia takut. Jati takut jika ia kalah dengan perasaannya maka ia akan terjebak dalam perasaannya selamanya.

Jati memiliki tujuan lain. Dan akhir-akhir ini dengan bayang-bayang Raden Ajeng, semuanya terasa semakin sulit. Mungkin jika saja ia tidak kembali ke Batavia pagi itu, Jati mungkin bisa kembali berbicara dengan Raden Ajeng. Dan mereka bisa mencari jalan tengahnya.

Jantungnya berdebar sangat cepat. Ia merasa bersalah juga kasihan.

"Pram, izinkan aku ikut denganmu untuk melindungi Cantika. Aku ingin membalaskan perasaan bersalahku. Aku tidak ingin Cantika dihukum akan sesuatu yang tidak ia lakukan."

"Untuk itu saya tidak bisa berkata apa-apa, Jati. Sepertinya kehadiranmu kurang disukai oleh Jenaka. Kamu harus berbicara dengannya terlebih dahulu."

Pram tersenyum ke arah Jati yang terlihat pias. Pram menyarankan Jati untuk menyusul Jenaka ke dapur. Membantu gadis itu untuk menyediakan makan malam karena pastinya jika tanpa bantuan siapa pun, Jenaka akan membakar dapurnya sebentar lagi.

Pemuda itu bangun. Mengikuti saran Pram untuk menyusul Jenaka di dapur. Ia mengernyit melihat Jenaka yang hanya duduk di kursi tanpa melakukan apapun seperti yang diminta oleh Pram tadi. Jenaka tidak tahu cara memanaskan makanan yang dimaksud Pram. Jati menghela napas panjang dan mengambil alih dapur.

Entah dari mana Pram menemukan gadis ini. Tapi untuk seorang perempuan, Jenaka sepertinya sama sekali tidak terlatih di dapur.

"Saya ... akan ikut bergabung dengan kalian untuk mengeluarkan Cantika dari tuduhan ini."

"Kenapa?" tanya Jenaka ketus. Pemuda di depannya itu sudah menghancurkan hati nenek buyutnya. Menolak perasaan seorang wanita yang mencintainya tulus kemudian pergi kabur tanpa mengatakan apa-apa. Menghindari perasaannya sendiri seperti seorang pengecut.

"Nona Jenaka, maaf jika aku memiliki kesan yang buruk pada Anda."

"Memang."

Pram yang berdiri bersandar di luar dapur hampir tertawa mendengar jawaban Jenaka yang sangat ketus. Pria itu menutup mulutnya agar tidak mengganggu percakapan mereka berdua di dalam dapur.

"Saya bukan orang yang mudah terbuka tapi rasa peduli saya kepada Raden Ajeng sangat besar."

Jenaka memperhatikan Jati dengan seksama. Pemuda itu menunjukkan ketulusannya. Mau sekesal apapun dirinya kepada Jati tapi Jati tetaplah kakek buyutnya. Baguslah jika perlahan pemuda itu berani terbuka akan perasaannya kepada Raden Ajeng. Semoga setelah semua ini berlalu, Jati benar-benar bisa mempertimbangan perasaannya kepada Raden Ajeng dengan serius.

Sekarang Raden Panji sudah tidak ada. Tinggal apakah Jati bisa membuktikan kesungguhannya atau tidak. Jenaka tak perlu banyak ikut campur mengingat jika dirinya ikut campur mungkin akan berakhir buruk seperti sebelum-sebelumnya. Jenaka tidak mau hal itu terjadi lagi.

Gadis itu bangun kemudian bertanya apakah ada yang bisa dibantunya. Jati tersenyum simpul berterima kasih karena Jenaka sudah ingin menerimanya.

"Tidak usah. Biar aku yang mengerjakan semuanya. Aku hanya perlu memasukan beberapa makanan di meja. Tidak butuh waktu lama. Nona kembali saja ke ruang tamu dan temani Pram."

Jenaka akan berbalik namun Jati kembali memanggilnya.

"Nona Jenaka."

"Ya?"

"Um ... sebenarnya apa hubungan Anda dan Tuan Pram?"

"Saya dan Pram? Tidak ada. Kami hanya kebetulan saling bahu membahu untuk mengeluarkan Cantika dari konspirasi ini."

"Ah ... saya pikir kalian memiliki hubungan yang lebih dari itu. Saya dengar rumor tentang kalian yang bertunangan."

Jenaka mengernyit tak mengerti. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

"Tidak ada apa-apa. Hanya saja ... Tuan Pram terlihat sangat menyukai Anda. Seperti orang yang sedang jatuh hati. Itu saja."

Raut wajah Jenaka semakin masam. Ia seperti mendengarkan sesuatu yang paling menggelikan yang pernah ia dengar. Jenaka tak menggubris ucapan Jati kemudian kembali ke ruang tamu dimana Pram kesulitan membaca buku karena salah satu tangannya diperban.

Jenaka duduk dengan canggung di samping pria itu. Pram jatuh hati padanya? Jenaka tiba-tiba merasa tidak nyaman. Jenaka memutar semua kejadian yang ia lalui bersama Pram. Apa yang menjadi kualifikasi seseorang menyukai seseorang? Dengan pengetahuan berkencannya yang sangat kecil ... perlahan namun pasti mata Jenaka terbuka.

Penempatan tangan, cara berbicara, sikap ... pria itu sudah sering kali melewati batas. Namun karena Jenaka berasal dari zaman dimana semua afeksi yang Pram tunjukkan adalah normal ... Jenaka jadi tak pernah berpikir lebih panjang.

Wajah Jenaka terasa panas. Kenapa juga jantungnya berdebar sangat cepat? Jenaka ... ini bukan waktunya untuk-

"Jenaka? Pipi kamu kenapa memerah?"

Jenaka terkesiap ketika tangan Pram mengusap pipinya. Matanya terbuka lebar.

"Jenaka?" tanya Pram khawatir akan sikap Jenaka yang tiba-tiba menjadi aneh.

"Pram ... "

Ucapan Jenaka terpotong ketika Jati hadir dengan makanan yang sudah dipanaskan. Jenaka ingin segera berlari dari sana. Ia butuh menenangkan dirinya sendiri. Kenapa sih Jati harus mengatakan hal itu sekarang!? Jenaka mengumpati karena sekarang dirinya jadi kepikiran!

Jenaka makan dengan sangat cepat. Pram kesulitan memegang sendoknya karena tangan kanan yang diperban. Tak butuh waktu lama Jenaka untuk menyelesaikan makannya. Jenaka tidak ingin berlama-lama di sana. Dirinya masih ingin mencoba membedah apa yang dimaksud dengan Jati bahwa Pram jatuh hati padanya?

"Jenaka? Saya boleh minta bantuan?" tanya Pram ketika melihat makanan di piring Jenaka yang sudah habis.

"Ya?"

Pram mendorong piringnya ke depan Jenaka. "Saya kesulitan untuk makan." Pria itu mengangkat tangannya dan melihat sendok yang tak bisa digenggamnya dengan benar.

"Oh, tapi saya mau tidur lebih cepat biar besok datang ke persidangan Cantika. Kamu minta tolong Jati dulu saja ya."

Jenaka meninggalkan meja makan membuat Pram juga Jati mengernyit. Keduanya saling berpandangan sesaat. Jati menarik piring milik Pram tapi pria itu menahannya.

"Saya bisa sendiri,"

Pram kemudian memegang sendoknya dengan tangan kiri yang masih bisa digerakkan. Jati menggeleng tak percaya. Jika pria itu memang bisa menggenggam sendok dengan tangan lain kenapa tidak menggunakannya sejak tadi? Mengapa harus membuat Jenaka repot? Pria itu ... bukan hanya suka. Sepertinya perasaan yang disimpan Pram jauh lebih besar ketimbang rasa suka.

"Pram, apa yang kamu sukai dari Jenaka? Saya rasa Jenaka tidak seperti anak-anak perempuan keturunan priyayi yang kamu dekati sebelumnya."

Pram meletakkan sendoknya sambil berpikir sejenak. Yang dirinya suka dari Jenaka ... awalnya semua berawal dari rasa penasaran, kemudian berubah menjadi sebuah kesenangan tersendiri menggoda gadis itu dan perlahan dirinya merasa nyaman dan berharap Jenaka terus ada di sampingnya.

Benar kata Jati. Dulu Pram suka sekali dengan perempuan yang tenang, dewasa, juga mandiri. Bisa dibilang Pram menyukai perempuan seperti Raden Ajeng. Tapi setelah berkenalan dengan Jenaka, rasa sukanya berubah. Kerutan di dahi Jenaka ketika gadis itu tidak menyukai sesuatu terlihat sangat manis. Apalagi cara berbicaranya yang kasar terkadang membuat Pram harus menahan tawa agar tidak terpingkal.

Pram meletakkan kepalanya di atas telapak tangan sambil membayangkan Jenaka.

"Tidak tahu. Dia ... sesuatu yang berbeda. sebuah anomali yang buat saya ingin melakukan apa pun untuknya. Apa saya terdengar tidak masuk akal?" tanya Pram.

Jati mengangguk dan menyelesaikan makanannya.

"Kau jatuh hati padanya, Pram. Saya kira kamu akan menyukai wanita seperti Nona Anneke. Wanita dewasa yang sesungguhnya."

"Ahaha! Memang saya suka dengan Anneke dulu. Dia cantik, berwawasan luas dan tahu caranya berbicara dengan para meneer juga para priyayi kalangan atas. Saya suka wanita yang seperti itu. Tapi Jenaka berbeda, Jati. Jenaka jauh lebih manis dari Anneke. Jenaka punya jenis kecerdasan yang berbeda dari Anneke. Jenaka tidak terlalu suka bersosialisasi. Sama sepertimu dan itu membuat saya ingin menjadi salah satu orang terdekatnya. Rasanya akan menjadi sangat spesial."

"Apakah itu artinya kamu akan menikahi Jenaka? Atau ... kamu akan membawanya kembali ke Den Haag seperti yang pernah kamu katakan sebelumnya?"

Senyum Pram seketika pudar. Pria itu mengistirahatkan punggungnya pada punggung kursi. Helaan napas beratnya terdengar sangat penuh beban.

"Itu adalah kehendak saya. Tapi tak ada yang bisa saya lakukan. Sepertinya setelah semua ini selesai, Jenaka sangat ingin kembali pulang ke rumahnya. Dan jika itu yang diinginkannya, saya tidak bisa berkata apa pun. Saya ingin Jenaka bahagia, Jati. Dan saya akan melakukan apa pun untuk buat itu terjadi."

Jati mengangkat piring Pram.

"Bahkan jika itu artinya kamu harus merelakannya?"

Pram terkekeh pelan. "Mungkin. Saya rela membabat hutan agar Jenaka bisa berjalan dengan nyaman."

"Terdengar seperti seorang budak." Jati berdiri untuk membawa piring-piring kotor itu kembali ke dapur. Ia tidak bisa membiarkan Pram untuk mencuci piring karena tangan pria itu sedang terluka. "Kamu adalah Penyembah Jenaka, Tuan Pram," sambungnya membuat Pram tertawa terpingkal di meja makan.

"Ahaha mungkin memang benar begitu adanya. Penyembah Jenaka ya... saya suka sebutan itu."

Jati menggeleng tak percaya.

"Oh, ya Pram. maaf, Saya tadi memberitahu Jenaka jika kamu menyukainya."

"Apa?"

Jati pun berjalan cepat menuju dapur meninggalkan Pram yang tercengang di tempat.

***

Jenaka mencoba untuk tetap tenang di atas tempat tidurnya. Tubuhnya berbalik ke kiri dan kanan terlihat begitu resah. Apa yang Jati katakan kepadanya masih membuatnya tidak nyaman. Ia bertanya-tanya jika benar Pram menyukai lalu apa yang pria itu lihat dari dirinya? Jenaka merasa dirinya tidak pernah melakukan sesuatu yang layak untuk disukai. Ia justru selama ini merepotkan pria itu, lalu kenapa pria itu bisa suka kepadanya?

Jenaka berbalik lagi ke arah yang lain. Ia menggigit ibu jarinya. Jenaka mencoba menyembunyikan debaran jantungnya yang menggila. Kenapa kali ini dirinya merespon dengan cara berbeda? Bukankah biasanya Jenaka bisa mudah menolak para pemuda yang menyatakan perasaannya kepadanya? Tapi kenapa kali ini Jenaka memiliki keraguan besar?

Apakah ia juga menyukai Pram?

Jenaka langsung menggeleng cepat dan menepuk kedua pipinya.

"Sadar, Jenaka! Kamu harus fokus untuk melindungi nenek moyangmu dulu! Ini bukan waktu yang tepat untuk mikirin perasaan suka. Ini harus segera dihentikan!"

Jenaka bangun sejenak untuk memikirkan cara menghentikan semua ini. Untuk mengembalikan fokusnya kepada permasalahan Cantika, Jenaka harus memperjelas perasaan dirinya juga Pram. Tapi Jenaka terlalu malu untuk bertanya langsung tentang perasaan Pram ke orangnya.

Jenaka menjentikan tangannya ketika sebuah ide muncul di kepalanya.

Anggaplah Pram memang menyukainya. Jenaka tinggal membuat Pram tidak menyukainya kan? Pria itu harus tahu bahwa Jenaka tidak layak untuk disukai.

Jenaka berjalan ke cermin dan memandangi dirinya sendiri. Jenaka memegang cermin di depannya penuh keteguhan.

"Jenaka. Kamu lebih baik buat Pram berhenti suka kepadamu secepat mungkin atau ini akan berlarut-larut dan ini akan membebanimu. Kamu tidak akan bisa menolong nenek buyutnya jika kamu terlalu memikirkan lawan jenis, Jenaka. Kamu harus menghentikan ini! Fokus pada tujuanmu, Jenaka! Fokus-fokus-fokus!"

Jenaka berjalan cepat ke arah ruang tamu. Hanya ada Jati di sana.

"Pram dimana?" tanya Jenaka cepat.

Jati mengangkat tangannya menunjuk ke arah uang kerja. Jenaka hanya mengangguk tanpa mengucapkan terima kasih. Pemuda itu memperhatikan Jenaka yang berjalan dengan menghentak-hentakkan kakinya ke arah ruang kerja Pram.

Pram mendongak ketika melihat Jenaka yang muncul tiba-tiba. Ia sedikit mendorong kursinya. Pram pun berhenti bekerja sepenuhnya ketika Jenaka berhenti mendekat.

Kegugupan menyelimuti Jenaka. Jantungnya berdebar cepat ketika berdiri seperti ini. Padahal Jenaka tidak pernah seperti ini sebelumnya. Jenaka kalah. Ia tidak bisa melakukan ini. Ia terlalu gugup. Mungkin dirinya butuh tidur dulu dan kembali berbicara besok. Jenaka akan berlaku ketika Pram memanggilnya. Menghentikan langkah kakinya yang akan pergi meninggalkan ruangan.

"Jenaka ... Jati memberitahu saya kalau dia bilang saya jatuh hati padamu."

Jenaka langsung berbalik.

"Oh?"

Pram sudah memikirkan ini. Ia tidak menyangka bahwa akan jadi seperti ini. Ia masih kesal karena Jati berkata hal yang tidak perlu kepada Jenaka dan memaksa pria itu harus membohongi perasaannya sendiri. Pram bisa saja berkata jujur, namun mengingat bagaimana Jenaka bersikap waspada kepadanya di meja makan juga dengan sikap gugup gadis itu saat ini meyakinkan Pram bahwa Jenaka tidak siap untuk membicarakan masalah hati.

Juga di situasi saat ini, bukanlah waktu yang tepat. Ada hal yang lebih besar dan lebih genting yang mendapatkan fokus mereka.

Dan Pram yang lebih mengerti harus mengambil satu langkah mundur agar Jenaka tidak bersikap waspada kepadanya. Ia ingin Jenaka terus bisa mengandalkannya. Menyentuhnya tanpa beban seperti malam dingin waktu itu.

"Maaf jika perasaan itu membebani hatimu. Tapi kamu tak perlu khawatir. Hal itu tidak terjadi, Jenaka. Saya menyukaimu karena kamu mengingatkanku pada Kuning," ujar pria itu menyebutkan nama mendiang adiknya.

Pram tersenyum kecut ketika Jenaka menghela napas lega.

"Ah ... leganya. Jati itu ya! Hampir memunculkan kesalahpahaman di antara kita!"

Pram tak bisa menahan senyumnya melihat Jenaka yang sangat lega ketika tahu bahwa dirinya tidak sedang jatuh hati padanya. Tangannya terlipat di depan dada, menikmati pemandangan Jenaka yang sibuk mengumpati Jati. Pram menunggu dengan sabar sampai Jenaka kembali tenang.

"Sudah?" tanyanya ketika Jenaka berhenti berbicara. "Sudah tidak gugup lagi?"

"Tadi saya terlihat sangat gugup ya?"

Pram terkekeh. Pria itu bangun dan menarik Jenaka untuk duduk di kursi kerjanya kemudian menyeret kursi kayu lain agar ia bisa duduk di samping Jenaka.

"Sangat. Tapi dari pada membicarakan itu lebih baik kamu bantu saya."

Jenaka yang beban pikirannya telah terangkat mengangguk. Sekarang dirinya tak perlu lagi menjaga jarak kepada Pram. Ia bisa bersiap santai seperti biasa. Jenaka pun membantu Pram Menuliskan surat karena tangan kanannya yang terluka.

Pram sesekali mencuri pandang dan tersenyum mendapati Jenaka kini tidak lagi bersikap canggung. Mereka telah kembali ke sikap yang semula.

Saat Jenaka melipat surat itu dan meletakkannya ke dalam amplop, tiba-tiba Jenaka kepikiran sesuatu. Ia tidak ingin suasana canggung yang sebelumnya muncul lagi. Jenaka sudah memastikan sendiri kepada Pram bahwa pria itu tidak sedang jatuh hati padanya. dan ia harus tetap mempertahankan ini.

"Pram, saya boleh bertanya sesuatu?"

"Hm?"

"Perempuan seperti apa yang ... tidak mungkin kamu sukai."

Pram mengangkat alisnya bingung. Ia sama sekali tidak mengerti ke arah mana pertanyaan tersebut. Biasanya seorang gadis akan bertanya perempuan seperti apa yang ia sukai tapi Jenaka justru bertanya hal sebaliknya.

Ah ... Pram seketika sadar apa yang tengah Jenaka lakukan.

Pria itu menggumam berpura-pura berpikir panjang. Ia membuka sedikit matanya untuk mengintip Jenaka yang menunggu jawabannya dengan penuh harap.

"Hm ... perempuan yang kurang saya sukai ya ... bisa dibilang saya memiliki selera yang sedikit berbeda."

"Seperti?'

"Um ... saya tidak suka perempuan yang manja."

"Manja?" Okey, Jenaka mencatat satu itu. "Manja yang seperti apa?"

"Seperti yang suka tiba-tiba memeluk lengan saya. Atau tiba-tiba mencium saya. Merengek minta dibelikan sesuatu. Atau menempel-nempel kepada saya. Hm ... saya sangat tidak suka perempuan seperti itu. Itu menyusahkan. Saya juga butuh ruang untuk bergerak."

Jenaka mengangguk mengerti. Sejujurnya dirinya juga sepakat dengan Pram. Dua juga tidak suka orang yang terlalu dekat dengannya. "Itu saja?"

"Ada lagi, saya tidak suka perempuan yang merawat saya dengan baik. Seperti yang kamu tahu, Jenaka. Saya sangat suka memasak untuk kamu makanan kan? Saya juga suka merawat seseorang jadi ketika ada orang yang merawat saya ... hm .. aneh sekali rasanya."

"Oh ... begitu ..."

"Pada intinya saya tidak suka dengan perempuan yang bersikap manis."

Jenaka mengangguk. Ia akan mencatat semua informasi yang ia dapatkan ini dengan baik.

Pram mendekatkan diri lagi kepada Jenaka. Pria itu memicingkan matanya kepada Jenaka seakan-akan tengah membicarakan sesuatu.

"Satu yang terakhir."

"Apa?"

"Saya tidak suka dipanggil dengan sebutan "Mas"

Jenaka mengangguk. "Baiklah, saya berusaha untuk tidak memanggil kamu dengan Mas," ucap Jenaka yang siap akan menggunakan kata-kata itu agar membuat Pram tidak nyaman dengannya. Itu masuk akal. Mengingat Pram menghabiskan sebagian hidupnya di luar negeri. Pasti aneh baginya jika dipanggil dengan panggilan tersebut. Jenaka akan mengingatnya.

Pram ikut mengangguk dan tersenyum simpul. "Iya, Jenaka. Jangan pernah lakukan itu," balasnya menahan tawa.***

Suka atau nggak suka? Hmmm mencurigakan mas-mas satu ini...

Continue Reading

You'll Also Like

40.9K 4.7K 51
CERITA INI SUDAH DITERBITKAN "Ia tumbang dalam kemenangan. Ia tunduk dalam kekuasaan." Sebuah kisah yang diangkat dari sepenggal sejarah Perang Buba...
MIMOSA By an11ra

Teen Fiction

1.4K 178 4
Tidak ada satupun manusia yang bisa memilih siapa yang akan menjadi keluarganya, tetapi manusia bisa memilih dengan siapa dia akan membentuk sebuah k...
61.1K 13.1K 58
[Action X Teenfiction] Serial mata-mata remaja #1 Buku pertama dari Dwilogi Bawah Tanah Ada sebuah surat aneh diatas meja belajarku. Surat berwarna p...
74K 1.3K 100
Tuhan telah menciptakan dunia dimana manusia hidup. Nyatanya manusia juga mencoba membuat dunia melalui serangkaian kata. Dunia yang kita sebut dunia...