Flower

By anythinganiya

15.5K 1.3K 48

Bagaimana mungkin dua orang yang selalu bersama tak pernah sekali pun memiliki perasaan satu sama lain? "I fe... More

prolog
1. little things
2. something between us
3. lust
4. ilusm
5. broken
6. one cloudy day
7. inevitable consequence
8. hide and seek
9. unbreakable bond
10. all the guts i had
12. the cure and the cause
13. talking to the wind
14. invisible string
15. missed connection
16. complication of words
17. clarity
18. above the clouds
19. starting anew
20. before the storm
21. a nightmare
22. dwelling place
23. we've been through
24. poinsettia; and the flower that bloom at night
epilog
catatan kecil (dan mungkin sedikit pemberitahuan)

11. a silly morning

544 53 2
By anythinganiya


Sudah lama Jeonghan tidak mencium aroma bacon dan omelette di apartemennya. Bau itu samar-samar bercampur dengan wangi kopi, barangkali seseorang juga sedang sibuk memanggang roti, sebagai pelengkap untuk sarapannya pagi ini.

Jeonghan tidak ingin beranjak dan malah menyamankan diri di kasur. Berpikir Seungcheol akan mengantarkan sarapan paginya ke kamar seperti biasa. Ia tahu Seungcheol memang tidak jago memasak—dan seringkali mengacaukan masakan yang ia buat. Tapi omelette dan sarapan sederhana yang dibuat Seungcheol selalu membuat Jeonghan terbangun dengan perut kelaparan.

Jeonghan menggeliat pelan, merenggangkan tangan kirinya ke atas sementara tangan kanannya terasa nyeri ketika diangkat. Matanya lalu terbuka dalam sekejap, menyadari bahwa ini bukan hari biasa. Bukan hari yang lumrah ia jalani di masa sebelum ini.

Terbuai oleh tidur nyenyak yang lama tak ia dapatkan. Jeonghan mungkin lupa bahwa ia sedang hamil, ia baru jatuh beberapa hari lalu dan dirawat di rumah sakit. Ia juga lupa bahwa sudah nyaris empat bulan ia sedang dalam mode perang dingin dari pria yang mungkin sedang membuat sarapan di dapurnya sekarang.

"Oh, tidak," pekiknya. Memori tadi malam terputar kembali di ingatannya.

Dalam dekapan hangat itu, Jeonghan tersedu. Ia menangis seperti sudah lama sekali ia menunggu waktu untuk melepaskan semua beban yang selama ini ditanggungnya. Kepalanya bersandar pada dada bidang itu, mendengarkan detak jantung dan napas teratur si pemeluk, sementara punggungnya diusap pelan.

"Tidur, ya, Han?" Si pemeluk bersuara. Tapi Jeonghan malah mengeratkan pelukannya sambil menggeleng.

"Jangan."

"Kau baru saja pulang dari rumah sakit. Tidur, ya? Istirahat."

Jeonghan masih menolak berdiri hingga satu tangan Seungcheol menyelinap ke bawah lututnya, sementara tangan satunya menahan punggungnya dengan mantap. Dalam sekali angkat, ia sudah berada dalam gendongan Seungcheol. Tangan Jeonghan beralih untuk berpegangan pada leher Seungcheol sementara kepalanya makin ia benamkan di dada bidang itu. Mereka kemudian berpindah dari dapur ke kamar Jeonghan.

Jeonghan mengingat itu dengan sangat jelas. Ia kini membekap mulut dengan satu tangan, menahan jeritannya karena malu. Sungguh, benarkah ia tidur dalam dekapan Seungcheol semalam? Setelah semua pelarian itu? Setelah semua kata-kata dan penolakan yang ia berikan?

Bagaimana ia akan bersikap setelah semua yang terjadi semalam? Jeonghan rasanya ingin bersembunyi sekarang juga. Atau ia pura-pura tidur saja sampai Seungcheol barangkali pergi ke kantor.

Jeonghan kemudian merapikan selimut di atas tubuhnya dan kembali memejamkan mata. Pura-pura tidurnya bisa saja sempurna kalau kandung kemihnya pada pagi hari tidak dipenuhi urine yang menuntut untuk segera dikeluarkan. Ia ingin buang air kecil, sekarang juga, tidak tertahan lagi.

Hal kedua yang membuat upayanya menghindari Seungcheol gagal adalah, kamar mandinya ada di luar kamar tidur. Jeonghan takkan mungkin bisa pergi ke kamar mandi tanpa tertangkap mata Seungcheol yang berada di dapur.

Jeonghan menggigit bibir. Ia sudah tidak tahan lagi, jadi ia menyibak selimut dan berjalan ke pintu. Ia cukup berhasil membuka pintu kamarnya tanpa menimbulkan suara. Hanya tinggal tiga langkah saja untuk sampai di kamar mandi yang berada tepat di depannya, ketika rasa ingin buang air kecilnya sudah semakin tak tertahankan, jadi ia menekan kenop pintu dengan keras.

Belum sempat ia masuk ke kamar mandi, ia mendengar langkah kaki yang terburu-buru, berlari ke arahnya.

"Jeonghan?"

Jeonghan menyelinap masuk bagai dipergoki telah berbuat salah. Ia menutup pintu dengan keras dan mendesah, keterkejutannya barusan kini menimbulkan masalah lain.

***

Jeonghan masih tertidur lelap saat Seungcheol bangun pagi itu. Dengan hati-hati, Seungcheol memindahkan kepala Jeonghan yang berbantalkan lengannya dengan bantal sungguhan. Ia kemudian beringsut keluar masih dengan mengendap-endap, perutnya begitu lapar mengingat makan malamnya semalam hanyalah bubur.

Ia ingin keluar untuk membeli makanan, tapi takut terlalu lama dan Jeonghan lebih dulu bangun saat ia kembali. Ia teringat Jisoo membawakannya satu kantung belanjaan yang tidak sempat dibongkarnya semalam dan hanya dimasukkannya ke lemari es.

"Di apartemen sepertinya tidak ada makanan karena aku dan Jeonghan harusnya belanja pada hari kecelakaan itu. Aku belikan beberapa bahan makanan, siapa tahu kau kelaparan nanti malam," kata Jisoo setelah meletakkan kantung plastik itu di dalam mobil Seungcheol. Diliriknya Jeonghan yang masih merengut di kursi penumpang karena Jisoo menyuruhnya pulang bersama Seungcheol, tanpa dirinya.

Seungcheol langsung mengambil kantung plastik itu. Membongkar isinya dan menemukan beberapa buah potong, dua kemasan bacon ukuran 500 gr dan sekotak telur. Ia kemudian mengambil pan untuk memanggang bacon dan membuat omelette. Ia juga menemukan satu bungkus roti tawar di kabinet Jeonghan yang masih belum dibuka.

Kegiatan ini mengingatkannya pada masa-masa hubungan mereka masih baik-baik saja dulu. Ditambah apa yang terjadi semalam, bukankah Seungcheol telah melakukan satu lagi langkah besar untuk memperbaiki hubungannya kali ini?

Semalam Sungcheol membaringkan Jeonghan di ranjang, namun Jeonghan masih saja enggan melepaskan pegangannya. "Jangan pergi," kata Jeonghan.

"Aku di sini, Han. Aku tidak pergi ke mana-mana. Lepas dulu."

"Aku takut sekali, Cheol. Aku takut sekali."

"Takut apa?"

Seungcheol menatap mata itu, mencoba mencari tahu. Selama ia menunggu jawaban, Jeonghan memang balas menatap, tapi kemudian menggeleng. Tangan itu semakin erat menarik Seungcheol ke arahnya. Seungcheol pun mengalah, ia berbaring di sebelah Jeonghan dan menarik tubuh yang lebih kecil itu dalam dekapannya.

Sementara bibirnya menyenandungkan lagu pengantar tidur yang menenangkan. Tak butuh waktu lama sampai pria itu terlelap. Sisa-sisa air mata masih menghiasi kelopaknya, dan Seungcheol mengangkat ibu jari untuk menghapusnya. Dengan jarak sedekat ini, Seungcheol juga bisa merasakan perut Jeonghan yang mulai sedikit menyembul menyentuh tubuhnya. Tangannya yang semula sibuk menghapus sisa air mata di wajah Jeonghan kini beranjak turun. Bolehkah? Tapi tangan itu tertahan, sebab rasanya tidak adil jika ia menyentuhnya dalam keadaan Jeonghan tak sadar seperti ini. Seungcheol tidak berhak lancang setelah semua perbuatannya.

Tangannya kini beralih untuk menepuk-nepuk pelan punggung Jeonghan. Seungcheol tidak bisa tidur—bukan hanya karena ia bisa kembali memutus jarak antara ia dengan Jeonghan. Pikirannya sibuk menerka apa yang sebenarnya Jeonghan sembunyikan darinya. Apa yang membuat Jeonghan begitu keras mendorongnya menjauh.

Seungcheol memikirkan Jeonghan dan lipatan masa lalu yang juga membuatnya ingin meninggalkannya jauh di belakang. Ada sesuatu yang membuat Jeonghan menangis dan sakit kala itu, dan itu bukan hanya karena putus cinta. Ada sesuatu yang disembunyikan Jeonghan hingga semesta pun sulit mengungkapkannya. Jeonghan tak pernah lagi terlibat sesuatu yang berhubungan dengan romansa sejak saat itu. Bahkan dengan perhatian-perhatian yang Seungcheol berikan pun, Jeonghan seolah menutup mata, atau barangkali menolak menyadarinya. Bertahan dalam hubungan platonik seperti hidupnya hanya bergantung pada hal itu.

Dan Seungcheol jadi benci pada dirinya karena tidak menyadari atau bahkan menanyakan itu selama bertahun-tahun kemudian.

Lamunan Seungcheol buyar ketika ia mendengar kenop pintu yang dibuka. Ia buru-buru berlari ke sumber suara dan menemukan Jeonghan yang terburu-buru masuk ke kamar mandi. Seungcheol panik melihat wajah Jeonghan yang sedikit pucat seperti menahan sesuatu. Ia takut Jeonghan mual atau pusing, karena bagaimanapun pria itu baru saja keluar dari rumah sakit kemarin.

"Jeonghan?" panggilnya panik. "Kau baik-baik saja?"

Seungcheol tidak perlu menunggu karena Jeonghan membuka pintu tak lama kemudian. Pria itu mengintip dari celah pintu, menampilkan setengah tubuhnya.

"Bisa kau ambilkan aku celana baru?" ucap Jeonghan pelan, nyaris berbisik.

Hanya perlu satu detik untuk Seungcheol menyadari apa yang terjadi. Jeonghan menunduk menatap celana kainnya dengan gelisah, dan Seungcheol tidak perlu bertanya kenapa. Pria itu masih menyembunyikan wajahnya dengan malu-malu ketika Seungcheol segera masuk ke kamar dan mengambil celana ganti untuk Jeonghan.

***

Dua kali. Dua kali sudah Jeonghan mempermalukan dirinya di depan Seungcheol kurang dari 24 jam. Ia ingin kembali pada dirinya di rumah sakit, dirinya yang walaupun cengeng tapi tak sedikit pun memperlihatkan kelemahannya dengan terang-terangan. Dirinya yang tetap menjaga sekat agar Seungcheol tidak mendekat lebih jauh.

Di seberang meja konter sekarang, ia duduk di depan Seungcheol yang sedang menyiapkan sarapan. Ia sudah kepalang malu, canggung dan kesal. Tapi aroma omelette buatan Seungcheol benar-benar menggugah seleranya. Ia lapar, dan bisakah ia pura-pura tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya? Jawabannya adalah bisa dan tidak. Karena pada akhirnya ia tetap duduk di sini—dengan rasa malu yang masih menggunung, menunggu makanannya.

Jeonghan melirik Seungcheol beberapa kali, takut melihatnya barangkali sedang menahan senyum karena kejadian tadi. Tapi Seungcheol hanya diam selama menghidangkan piring itu di hadapannya. Seperti tidak terjadi apa-apa, seperti tidak melihat apa-apa.

"Aku harus ke kantor," kata Seungcheol. Ia menghabiskan kopinya di cangkir dan mencucinya kilat. "Aku akan kembali sebelum makan malam. Kau ingin dibelikan sesuatu?"

Jeonghan menggeleng. Masih bungkam, ia menunduk sambil terus menyuapkan makanan ke mulutnya.

"Piringnya letakkan saja di bak cuci, biar aku yang membereskannya saat pulang nanti. Oh, ya, makan siang nanti Jisoo bilang akan mampir ke sini."

Kenapa Jisoo malah mengabari Seungcheol dan bukan padanya? tanya Jeonghan dalam hati.

Seungcheol melepaskan apronnya, lalu berjalan keluar setelah mengambil beberapa barangnya di meja. Ia baru menyadari Jeonghan yang berdiri di belakangnya saat selesai memakai sepatu.

"Tentang tadi malam dan pagi ini ..." Jeonghan menggigit bibir. Tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Sebenarnya apa yang ingin dikatakannya? Permintaan maaf? Pemakluman? Atau apa? Jeonghan tidak dapat menemukan kata yang tepat sampai Seungcheol berujar, "Kita tidak perlu membicarakannya kalau kau tak ingin. Istirahat yang banyak dulu ya, Han?"

Seungcheol membuka pintu tanpa menunggu Jeonghan menjawab, tapi baru seperempat pintu itu dibuka ia berhenti. Tangannya masih bertengger di kenop dan tubuhnya setengah berbalik menghadap Jeonghan. Ia ingin sekali merasakan menyentuh bayinya atas izin Jeonghan.

Ditatapnya perut itu lama tanpa bibirnya bisa menyuarakan keinginannya.

Jeonghan menyadari arah pandang Seungcheol. Dengan sedikit ragu ia berkata, "Kau ingin menyentuhnya?" Mungkin ini bisa jadi ucapan terima kasihnya. Mungkin dengan ini, ia bisa membalas perlakuan Seungcheol selama beberapa hari ini. Dan barangkali juga dengan ini, Seungcheol akan melupakan kejadian memalukan yang sudah dilakukan Jeonghan.

Seungcheol mengangkat wajah, berharap telinganya tidak salah dengar. Dan kenyataanya memang tidak.

"Sentuhlah."

Satu kalimat itu sudah cukup membuat Seungcheol berbalik sempurna, menghadap ke arah Jeonghan dan melepaskan pegangannya pada pintu. Ia menjulurkan tangannya yang bergetar karena senang sekaligus takut.

Seungcheol gugup, dan Jeonghan pun sama. Terlihat dari matanya yang tertutup rapat begitu tangan Seungcheol hanya berjarak dua senti dari perutnya.

Keduanya terlalu gugup sampai tak menyadari pintu yang dilepaskan Seungcheol tadi harusnya sudah terkunci otomatis. Tidak ada bunyi pintu terkunci, dan yang ada kemudian hanya suara dehaman dari pria yang sedang berdiri di antara celah pintu itu.

"Kalian sedang apa sih?" tanya Jisoo yang membuat Jeonghan dan Seungcheol terkejut, lalu buru-buru menjauhkan tubuh satu sama lain.

***

Jeonghan bersungut-sungut menatap Jisoo yang sedang sibuk makan di seberangnya. Saudaranya itu masih sering mengulum senyum tiap kali menatapnya, mengingat kejadian tadi.

"Jadi, pertahananmu benar-benar sudah mulai runtuh hanya karena perhatian Seungcheol?" goda Jisoo, menyuapkan kimchi bokkeumbap yang dibelinya saat perjalanan tadi.

"Kau bilang akan datang nanti siang?!" Bukan jawaban, Jeonghan justru menggeram kesal ke arah Jisoo.

"Aku bosan sarapan sendiri. Seokmin sedang ada syuting di luar kota." Jisoo mengunyah makanannya acuh tak acuh. "Lagipula aku khawatir kau akan membunuh Seungcheol karena aku membuatnya merawatmu selama beberapa hari kemarin."

"Kau memang—" Jeonghan tidak melanjutkan kalimatnya, tangannya mengelus perut. Rasanya ia ingin sekali mengumpat tapi tidak akan baik jika didengar bayinya.

"Jadi yang tadi itu apa?"

"Bukan apa-apa," jawab Jeonghan ketus.

"Apakah sudah saatnya aku berkata akhirnya?"

"Kukira kau mendukungku?!"

Jisoo menghabiskan satu sendok terakhir sementara Jeonghan menunggunya selesai menelan. "Kapan aku bilang kalau aku berhenti mendukungmu? Aku masih mendukungmu, Jeonghannie saudaraku. Kalau kau akhirnya memberi Seungcheol kesempatan, artinya baik. Kalau pun tetap tidak, aku juga akan tetap mendukungmu. Aku hanya berpikir setidaknya kau memikirkan bayimu, juga kesempatannya mendapat hak dari ayahnya."

Jeonghan mencibir. "Terdengar bertolak belakang dari apa yang kau lakukan kemarin. Kau menjebakku dengannya selama berhari-hari saat keadaanku sedang buruk."

"Tapi tak seburuk itu kan? Apa Seungcheol melakukan sesuatu padamu tanpa seizinmu? Apa dia memaksamu untuk melakukan hal yang tak kau inginkan?"

"Kau ..."

"Jangan mengumpat. Aku tau kau dari tadi menahannya." Jisoo mendekat ke arah perut Jeonghan dan mengelusnya. "Baby, kau tahu aku menyayangimu, kan? Kalau kedua orang tuamu sedikit gil, oh bagaimana memperhalusnya, menyebalkan hmm, apa sebaiknya nanti kau kuadopsi saja begitu lahir?"

"Enak saja!" Tangan Jeonghan memukul pelan tangan Jisoo.

Jisoo menyeringai. Ia beranjak dari tempat duduknya untuk membersihkan bekas makannya.

"Kau istirahat yang banyak dan jaga calon anakku itu ya, nanti siang aku ke sini lagi," ucap Jisoo berpamitan. Masih mencoba menggoda Jeonghan yang semakin sebal, berharap bisa mengumpatinya.

Continue Reading

You'll Also Like

58.7K 5.2K 62
Chitralekha adalah anak angkat Bisma yang agung dan adik angkat dari Raja angga karna, jati diri Chitra adalah dewi yaitu adalah anak dari dewa brahm...
92.4K 10.4K 32
"Tunggu perang selesai, maka semuanya akan kembali ketempat semula". . "Tak akan kubiarkan kalian terluka sekalipun aku harus bermandikan darah, kali...
161K 11.9K 86
AREA DILUAR ASTEROID🔞🔞🔞 Didunia ini semua orang memiliki jalan berbeda-beda tergantung pelakunya, seperti jalan hidup yang di pilih pemuda 23 tahu...
88.7K 8.3K 33
Supaporn Faye Malisorn adalah CEO dan pendiri dari Malisorn Corporation yang memiliki Istri bernama Yoko Apasra Lertprasert seorang Aktris ternama di...