ASIKKK UPDATEE
KYK UDAH LAMA BGT G UPDATEE
KANGEN KALIAN DEHH!! KOMEN KALIAN GEMES" SOALNYAAA
MAAP YAH TELAT UPDATE, MASIH PADA NUNGGUIN KANN?🥺✨
ENJOYYY
----------
Senyumku sontak terbit mendengar Alex dan Rolf masih berdebat satu sama lain dan saling menyalahkan.
Tidak tahan menunggu Alex turun akhirnya aku pun berdiri, berniat untuk menghampiri pohon tersebut.
"Alex, turunlah, aku sudah tahu itu kau. Bahaya berada di atas pohon seperti itu," ucapku, memperingati.
Mendengar ucapanku, ekor Alex tampak bergerak semakin liar ke kanan kiri seakan tengah kegirangan, membuatku mengerut bingung.
"Dia mengkhawatirkanku! Sudah ku bilang Nat mencintaiku, Rolf," pikirnya yang membuatku tidak dapat menahan tawa lagi.
Padahal aku mengatakannya hanya semata takut dia terjatuh, bukan berarti aku menyukainya.
Astaga, ada-ada saja pikirannya. Sepertinya aku harus hati-hati dalam berucap mulai sekarang, Dia mudah sekali luluh.
Wajah Alex semakin bersembunyi di antara daun-daun dan tubuhnya mundur melingkari pohon, tidak ingin aku mendekatinya.
Yang ku tahu, Alex tengah malu. Sekilas dapat ku lihat telinganya yang turun seperti seekor kucing yang sedang ketakutan.
Tanpa sadar aku menggigit bibir dalam, gemas melihatnya menggemaskan seperti itu. Rasanya aku ingin mencubit pipinya dan memeluknya kencang hingga dia sesak napas.
"Turunlah, bodoh! Dia mencari kita," ucap Rolf dengan tidak sabarnya. Sepertinya perlahan aku sudah mulai bisa membedakannya.
Alex memiliki suara berat yang khas dan serak basah apabila dia sedang memikirkan hal-hal kotor. Sedangkan Rolf mempunyai suara yang berbeda, kadang pula menggeram dan mengaum seperti hewan buas.
Dan yang baru kusadari adalah pikiran Rolf lebih mesum daripada Alex, jujur saja aku lebih takut mendengar suaranya.
Terlihat Alex yang semakin menjauh dan tidak menuruti pikirannya. Kurasa dia benar-benar tidak mau bertemu denganku. Dengan mengendikkan bahu tidak peduli, aku memilih menjauhinya dan membereskan tempat bekalku.
Lagipula aku masih merasa canggung berada di dekatnya setelah apa yang telah terjadi semalam. Kami tidak begitu dekat dan bisa-bisanya aku menggodanya seperti itu.
Tidak, aku tidak mau mengingatnya lagi.
Seiring dengan langkahku yang menjauh, terdengar suara riuh dari arah pohon tersebut.
Tiba-tiba saja terdapat suara gebukan yang sangat kencang dari arah belakang, membuatku sontak berbalik penasaran. Badanku terpaku melihatnya terjatuh dari sana.
Alex terduduk sambil meringis kesakitan memegang pinggulnya. Wajahnya tampak mengenaskan dan ekornya terlihat lemas.
Belum lagi pikiran Alex dan Rolf yang bertubrukan, saling menyalahkan.
"Sial, idemu sangat buruk, Rolf. Pantatku sakit!" Ucap Alex dengan mengeluh sebal.
Bibirnya mengerucut dengan kening menyatu, tampak sedang marah.
"Loncatmu salah, seharusnya kau belajar dariku!" Balas Rolf, sama kesalnya.
Sedangkan aku terdiam, mengamatinya. Tidak tega, akhirnya aku pun mendekati Alex dan mengulurkan tangan.
Alex melihatku dengan mata berbinar dan alisnya menaik seakan sangat terkejut dengan tindakanku.
Namun berbeda dengan pandangannya, dengan nakalnya mata itu malah mengarah pada bagian bawah kepalaku, membuatku spontan ikut melihatnya.
Aku menelan ludah kasar saat melihat kedua gundukan dadaku terlihat jelas karena menunduk. Daging-daging itu seakan ingin terbebas dari sweater ku yang ketat.
Astaga, aku lupa sedang tidak mengenakan dalaman.
Dengan cepat, aku kembali berdiri dan menatapnya malu.
Wajah Alex terlihat kesengsem dan mulutnya yang menganga. Ditambah dengan wajahnya yang memerah malu, entah karena jatuh atau melihat bagian tubuhku.
Jangan tanyakan bagaimana pikirannya, Rolf sudah ribut dengan ucapan-ucapan mesumnya pada tubuhku.
"Cepat pegang! Aku merindukan daging kenyal itu. Remas, bodoh!" Ucapnya memprovokasi Alex, membuatku malu bukan main.
Mata Alex semakin sayu dan berkabut, memikirkan hal yang tidak-tidak. Tegukan ludahnya terdengar kasar seakan sedang menahan sesuatu di dalam sana.
Yang tidak ku sangka, tiba-tiba saja keluar darah dari hidung Alex. Dia tidak mau melihatku dan wajahnya semakin merona seakan tengah kepanasan.
Aku terbelalak menyadari Alex mimisan. Darahnya keluar dengan sangat banyak hingga membanjiri dagu dan mulutnya. Dengan sigap pula, tangannya menahan itu semua.
Telinga kucingnya tampak naik dan menegang kaku.
Namun, dibanding semua itu, pikirannya saat ini lah yang membuatku terdiam di tempat dan menatapnya lekat.
"A-aku tidak pernah melihatnya dengan posisi seperti itu. Dadanya terlihat sangat cantik dan bulat. Tangan halusnya mengulur padaku, Rolf, dan apa kau lihat senyumnya yang manis itu? Hatiku berdebar! Bagaimana ini? Terlalu memalukan," pikirnya yang membuatku ikut gugup.
Bahkan dengan tingkahku yang tidak seberapa saja dia memikirkannya sedalam itu. Entah mengapa aku merasa malu mendengar pikirannya.
Bukan hanya pikiran mesumnya, akan tetapi pujiannya yang tidak berhenti mengarah padaku.
Tanpa sadar, jantungku ikut berdegup cepat seiring dengan langkahku yang mundur.
Sepertinya aku harus segera pergi dari sini, rasanya sangat malu mendengar pikiran-pikiran itu lebih jauh.
Memantapkan diri, akhirnya aku benar-benar berbalik dan tidak menatap lagi padanya.
Jujur aku khawatir melihat Alex dengan darah sebanyak itu. Bukannya tidak ingin menolong, hanya saja aku merasa tersipu di dekatnya.
Aku tidak pernah menerima pujian sebanyak itu sebelumnya, mengingat tidak ada teman yang ku miliki.
Pikiran terakhir yang ku dengar darinya terdengar sangat menyedihkan. Menggigit bibir dalam, aku bertekad tidak akan menghampirinya lagi.
"Nat meninggalkanku, Rolf. Dia pasti ilfeel. Apa aku harus mengejarnya? Atau menculiknya? Sial, kenapa aku tiba-tiba mimisan seperti ini sih? Nat pasti jijik padaku," ungkapnya yang membuatku merasa bersalah karena tidak membantunya.
Tidak ada rasa jijik sedikitpun, akan tetapi aku tidak berani untuk mengatakannya. Biarlah Alex dengan pikirannya.
Rasanya aneh didekati oleh lawan jenis, aku tidak pernah merasakannya. Yang ku pikirkan saat ini adalah aku ingin menjauhinya.
"Kejarlah, Al! Lakukan sesuatu! Kau memang bodoh, seharusnya aku saja yang keluar," balas Rolf dengan nada sedih dan sebal secara bersamaan.
Yang baru ku sadari adalah Alex tidak sedingin yang dibicarakan orang-orang. Dia hanya diam di luar, akan tetapi dalam otaknya banyak pikiran semrawut yang mengganggu.
Setelah berbelok, aku tidak mendengar pikirannya lagi.
Walaupun fokusku masih padanya, namun ku abaikan semua pikiran itu. Alex tidak akan kenapa-kenapa, dia termasuk pria populer di kampus ini.
Dalam sekejap saja, Alex bisa mendapatkan banyak wanita di sisinya. Seharusnya aku tidak perlu mencemaskannya, kan.
Masih melamun memikirkannya, tiba-tiba saja tanganku ditarik dan dibawa mengikuti langkahnya. Sontak aku berbalik dan melihat Alex yang memegang tanganku erat.
Wajahnya tampak mengeras, begitu pun dengan genggamannya. Jari-jarinya membungkus tanganku hingga tidak terlihat lagi. Terasa sangat hangat dan nyaman, seperti tengah dilindungi.
Langkahnya tegas dan terlihat terburu-buru dalam berjalan.
Masih terlihat telinga kucing dan ekornya yang menegang seakan tengah marah.
Alex memasuki sebuah pintu yang tidak ku tahu sebelumnya, terletak di pojok dan tertutupi dengan kayu-kayu bekas tidak terpakai. Mataku terbelalak menyadari jika dia membawaku ke gudang.
Hawanya terasa dingin dan mencekam, apalagi hanya kami berdua di sini. Dengan memberontak, aku pun mencoba melepaskan tangannya. Jantungku terasa berdegup cepat berbagi napas dengannya.
Namun bukan hanya itu saja, ucapan selanjutnya lah yang membuatku merinding, entah karena ketakutan atau rasa gugup yang teramat sangat mendengarnya. Kurasa keduanya.
"Jangan meninggalkanku seperti itu, mine. Kau harus tanggung jawab karena sudah membuatku mimisan, cium aku disini!"
------------
EHHEHHEEHE GEMESSS GA SI ALEX??
BTW BLOM ADA KONFLIK NI EHEM EHEM
ADA YG BISA NEBAK KONFLIKNYA BAKAL APAAA? WKWKWKWK
VOTE COMMENTS YG BNYK YAAAA BIAR GUE CEPET UPDATEE!!
LOVE YOUUUU🤍