[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

Od tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... Viac

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih

16.8K 2.7K 3K
Od tx421cph

"Aku tahu, bahwasanya dunia tidak akan selalu berpihak kepada kebaikan."

Selamat Membaca 🥺


"ORABEONI!!"

Kala itu, Han berpikir bahwa dirinya akan mati. Saat itu juga, setelah Wang Jae memotong lidahnya dengan sangat mudah dalam sekali tebas. Rasanya sangat menyakitkan seperti nyawanya ditarik dengan paksa ketika dirinya belum siap.

Sakit. Sakit. Sakit. Sakit. Sakit! Bunuh aku! Bunuh aku! Bunuh aku!

Namun, sayup-sayup suara seorang perempuan di ambang gerbang kerajaan, membuatnya memaksakan diri untuk tetap berada pada kesadarannya. Darah meluber kemana-mana, mengotori mulut dan pakaiannya. Mulutnya benar-benar penuh dengan darah, hingga tumpah ke dalam kerongkongannya.

Yeo Kyung.

Wang Han merutuk bagaimana bisa adik bungsunya itu tiba di Goryeo, dia ingin bangkit, namun dirinya benar-benar tak sanggup. Sisa-sisa tenaganya yang terakhir telah ia habiskan untuk mengutuk Wang Jae.

"Yeo Kyung?" Sang Raja menaikkan sebelah alisnya, menatap wanita yang berlari masuk, namun dikejar dengan cepat oleh Yeo Woon.

"HAN!! WANG HAN KAU MASIH SADAR?! BERTAHANLAH!"

Orang yang pertama kali menghampiri Wang Han adalah Wen Fei Yu. Putra Mahkota Wen bahkan tidak memedulikan kedatangan Yeo Kyung dan mendorong tubuh Wang Jae untuk menyingkir, menopang punggung Wang Han yang tak berdaya.

"APA YANG KAU LAKUKAN?!! APA YANG KAU LAKUKAN?!! WANG JAE!!"

"Yang Mulia!" Yeo Woon masih menahan lengan Yeo Kyung, namun wanita muda itu menghempaskan cengkeraman Jenderal Baekje dengan kuat dan berlari menerjang tubuh Wang Jae.

Dia memukul dada Wang Jae dengan segenap tenaganya, hingga pria itu mundur dua langkah. Air matanya telah berderai sepanjang perjalanan, sebagian telah mengering, hingga tertimpa air mata yang baru.

"Mengapa kau datang kemari?" Wang Jae berkata dengan dingin, sama sekali tak ada penyesalan dalam sorot matanya.

"APA YANG KAU LAKUKAN PADA MEREKA?! RAJA! DIMANA RAJA!!"

"Aku adalah rajamu, Yeo Kyung." Wang Jae mencengkeram lengan Yeo Kyung di dadanya, kemudian ia hempaskan dengan kasar.

"AYAH!! DIMANA AYAH!!! YEOL ORABEONI! DIMANA MEREKA!"

Mendengus tidak percaya, Wang Jae kemudian tertawa kecil. "Sepertinya kau benar-benar disembunyikan dengan sangat aman di Bianjing? Bahkan kematian mereka semua tidak sampai di telingamu."

Tangan Yeo Kyung gemetar.

"Mereka sudah mati, sudah tidak ada siapapun di sini, Yeo Kyung-ah. Hanya aku yang bisa kau cari di Goryeo sekarang," pria itu tertawa lagi, kemudian melirik Han. "Ah, dan dia, tapi aku sudah resmi mencabut gelar pangerannya, jadi... dia bukan lagi anggota keluarga kerajaan—"

JREBB!!

Yeo Kyung benar-benar tidak takut mati. Entah sejak kapan dia menyembunyikan sebuah belati di pinggangnya, ia kemudian menancapkan belati itu sebelum Wang Jae menyelesaikan kata-katanya. Yeo Kyung menusuk dada Wang Jae, Sang Raja Goryeo.

Wang Jae hanya berdiri dengan kaku di tempatnya, dia mengernyit, melirik ke arah dimana belati itu menancap hingga tak berapa lama darah merembes, keluar dari sana.

"YEO KYUNG!" Yeo Woon berteriak.

"K-kau... sudah gila?" Desis Wang Jae tajam.

Yeo Kyung semakin mendorong belati itu, menusuk lebih dalam, namun Wang Jae mencengkeram tangan Yeo Kyung, menekan ke arah sebaliknya. Dengan tangan bergetar sembari menangis, putri bungsu Goryeo itu benar-benar dikuasai amarahnya.

"Kau tidak pantas... disebut sebagai seorang Raja... seharusnya aku sadar sejak dulu jika kau tidak pernah menganggap kami sebagai saudaramu," suaranya benar-benar gemetar, Yeo Kyung menangis hingga tenggorokannya terasa sakit. "Bagaimana mungkin... selama ini kau menganggap saudaramu sebagai saingan?"

DUGKH!!

Dengan tenaganya yang lebih kuat, Wang Jae mendorong Yeo Kyung hingga adiknya itu terjerembab, lalu ia tatap si bungsu dengan nyalang.

"Bukankah sebaliknya? Memangnya kalian pernah menganggapku yang seorang anak haram ini saudara? Aib keluarga kerajaan, itulah yang kalian pikirkan tentangku. Yeo Kyung, kau pikir aku tidak tahu pikiran licik saudara-saudaramu itu?" Geramnya.

"APA KAU GILA?! MEMANGNYA MEREKA PERNAH BERBUAT JAHAT KEPADAMU?!" Yeo Kyung semakin berteriak, histeris dengan air matanya yang jatuh seperti hujan. "KENAPA? KENAPA KAU HARUS MEMBUNUH MEREKA?! MEREKA SELALU MELINDUNGIMU! MEREKA MENYAYANGI SATU SAMA LAIN! KAU PIKIR SIAPA YANG MEMBELAMU SAAT KAU DIHINA JIKA BUKAN MEREKA?!!"

"BERHENTI MENGARANG-NGARANG CERITA! AKU SUDAH SANGAT MUAK!!"

TRANG!!

Wang Jae mencabut belati itu dari dadanya, menghunuskannya kepada Yeo Kyung. Namun benar-benar beruntung karena Seon Jae Hyun sudah tiba lebih dulu untuk menangkis serangan itu dengan sembarang pedang yang bisa ia ambil. Dalam sekali sabet, Jae Hyun melemparkan belati di tangan Wang Jae.

"Jangan bertindak di luar batas, Pyeha!!" Marahnya, "Putri Yeo Kyung sekarang adalah calon permaisuri Kekaisaran Song! Anda tidak bisa menyentuhnya begitu saja!!"

"Minggir... Seon Jae Hyun..." Yeo Kyung menggeram marah. "Dia ingin membunuhku kan? Dia ingin menyingkirkan semua saudaranya tanpa sisa, biarkan dia melakukan itu...!"

"Yang Mulia anda harus kembali," Seon Jae Hyun menoleh ke belakang, "saya mohon..."

"Bagaimana bisa... aku kembali setelah ini? Kau ingin aku hidup dengan nyaman di kekaisaran Song setelah mengetahui semua yang terjadi?" Isakan perempuan itu terdengar semakin menyedihkan, "bagaimana mungkin... aku adalah satu-satunya yang tidak tahu, bagaimana mungkin... kalian menyembunyikan ini rapat-rapat dariku... BAGAIMANA KAU BISA MEMBIARKAN MEREKA SEMUA MATI, JAE HYUN!!"

Seon Jae Hyun hanya menurunkan pandangan, karena merasa jika sebentar lagi air matanya akan tumpah. Selama ini, Jae Hyun telah berhasil menahan seluruh air matanya agar tak tumpah. Namun begitu mendengar lolongan kesakitan putri bungsu Goryeo itu, Jae Hyun tak bisa lagi membendungnya.

Semenjak kematian Putri Ye Hwa, hingga kematian Raja serta Wang Yeol, Wang Jin, Wang Hun... Seon Jae Hyun berusaha keras untuk bertahan.

"Maafkan saya..."

Wang Jae hanya melirik kedua orang itu, sembari memegangi dadanya yang terluka cukup dalam. Sungguh berisik.

"Jiejie..." Wen Ren yang datang bersama Yeo Kyung, mendekat dan mengambil tangan wanita muda itu, menggenggamnya dengan erat. "Jiejie... ayo kita pergi."

"Orabeoni..." Yeo Kyung kembali merintih. Lututnya terasa sangat lemas.

"Aku akan membawa Han pergi."

Suara berat itu menyeruak, membuat semua pasang mata tertuju padanya. Pada putra mahkota Wen yang baru saja bangkit sembari menggendong pangeran ke lima Goryeo yang sekarat dengan kedua tangannya. Raut wajahnya begitu datar dengan sepasang sorot mata yang kosong, ia bahkan tak mau melihat siapapun dan hanya berjalan lurus, mengabaikan semua orang.

Sakit. Sakit sekali. Rasanya sangat menyakitkan. Aku ingin mati. Biarkan aku mati.

Wang Han menangis diam-diam, tanpa suara.

Pangeran ke lima merasa seluruh tubuhnya mendadak terasa menyakitkan hanya dengan disentuh sedikit saja, dia bahkan ingin melolong karena Wen Fei Yu mengangkat tubuhnya, namun sayang sekali teriakan itu teredam karena tenggorokannya begitu kering seperti ingin putus.

"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan, semua sudah berakhir." Suara Wen Fei Yu, begitu pelan, hingga hanya bisa didengar oleh Wang Han.

***

Son Je Ha sedang mengelap tubuh bayi Hwang dengan kain basah, membersihkannya dengan penuh kehati-hatian sembari bersenandung kecil, sesekali ia menggoda Hwang Jin Rong yang hanya mengerjap selama beberapa kali dengan mata hitamnya. Wajah yang kecil, bulu mata lentik, hidungnya mancung untuk ukuran seorang bayi. Benar-benar Hwang Je No.

"Apa kau mau digendong ayah? Bagaimana jika setelah ini kita jalan-jalan bersama dan turun gunung sebentar?" Kata wanita itu, mencolek hidung Hwang kecil beberapa kali.

Perempuan itu berdiri, setelah membuntel tubuh Hwang kecil dan menggendongnya— sejujurnya masih terasa cukup sakit baginya untuk banyak bergerak, tapi dia tidak boleh terlalu banyak berbaring.

"Hmmm," aroma khas bayi yang memabukkan, Son Je Ha tidak bisa berhenti untuk mengendus makhluk kecil dalam gendongannya itu.

Ketika dia keluar dari rumah hanok, sosok suaminya yang bertelanjang dada tampak memotong-motong kayu—lagi-lagi dengan Pedang Naga Emas, dia memotong kayu bakar untuk persediaan membuat api dan memasak. Tak jauh di dekatnya, terlihat kuda putih sedang memakan rumput-rumput liar, sesekali menjadi teman mengobrol Sang Panglima.

"Ayah~"

Dipanggil seperti itu, Hwang Je No langsung menoleh dan menegakkan tubuhnya. Dia sempat memerah wajahnya sesaat, namun ketika menyadari jika Son Je Ha rupanya mewakili anaknya, pria itu berdeham kecil.

"Kalian sudah bangun," Je No nampak sumringah, mengelap peluh di dahinya sekali.

Perempuan itu menggeleng, "aku tidak bisa tidur."

Mendengar respon itu, Hwang Je No menyandarkan Pedang Naga Emas di batang pohon, menghampiri istri dan anaknya dengan segera. "Mengapa? Apakah kau merasa tidak baik? Kau merasa sakit?" Dia melemparkan tiga pertanyaan sekaligus.

Son Je Ha tersenyum menggeleng, "aku baik-baik saja, Je No-ya. Hanya tidak bisa tidur."

"Mengapa begitu? Kau harus segera beristirahat agar segera membaik—"

"Aku sudah membaik, kok."

"Kau masih sakit, sayang."

"Tidakkk, aish kau ini! Aku sudah baikan tahu!" Wanita muda itu mendecak. "Dan kau, berhentilah memotong kayu, kau sudah memotong cukup banyak, Je No-ya."

"Eum..." Sang Panglima menggaruk tengkuknya.

"Lebih baik kita berjalan-jalan sebentar dan turun gunung— tidak terlalu jauh kok, Jin Rong ingin jalan-jalan." Son Je Ha mengusulkan sebuah ide dengan wajah cerahnya.

Hwang Je No tertawa kecil, menepuk pelan pucuk kepala Sang istri. "Kau atau Jin Rong?"

"Kami! Jin Rong pasti bosan di rumah saja, benar kan Rong Rong?"

"Hahahaa!" Tawa pria itu lepas, "iyaa baiklah baiklah, aku akan mandi sebentar, tapi tidak boleh jauh-jauh ya."

Son Je Ha mengangguk kukuh.

Kemudian Hwang Je No memutuskan untuk segera mandi di sungai, tepat di samping rumah hanok mereka. Sungai yang tidak terlalu dalam, hanya sepinggulnya. Airnya tampak mengalir dengan tenang dan tidak deras, sangat bersih dan jernih.

Selagi menunggu Hwang Je No mandi, Son Je Ha duduk berselonjor di tanah, bersandar di tubuh Yong-Gam yang saat itu memang sedang merebahkan dirinya di atas rerumputan.

"Cuacanya sangat cerah hari ini, benar kan, Yong-Gam?" Wanita muda itu bersuara.

Yong-Gam terlihat tidak menanggapi, sepertinya kuda jantan itu mulai mengantuk.

"Kenapa Jin Rong-ah? Apa kau mau naik Yong-Gam?" Son Je Ha berujar lagi, "ey tidak boleh, nanti setelah kau sudah remaja baru boleh naik Yong-Gam, ya?"

Tanpa diduga, Yong-Gam mendengus pelan. Entah dia setuju atau dia malah menjulidi perkataan Son Je Ha barusan. Sepertinya kuda itu berkata, "asal dia tidak menyebalkan seperti Hwang Je No saja."

"Aku yakin di masa depan kalian berdua akan menjadi partner yang baik, setelah Hwang Yong-Geum pensiun, kau akan terus bersama Jin Rong," sambung wanita itu, "aku juga yakin jika kalian akan menjadi partner yang lebih baik daripada saat kau dengan Panglima Hwang— kalian sangat hebat, tapi kami yakin Hwang kecil ini akan jauh lebih hebat, benar bukan?"

Ah, sepertinya Son Je Ha benar-benar tertular sindrom 'berbicara dengan kuda'nya Hwang Je No.

Tapi setelah ocehan itu, Yong-Gam diam saja. Sorot mata kuda putih itu terlihat begitu jernih, seolah-olah dia sedang termenung, seolah dia sedang menerawang masa depan, membayangkan dirinya yang sudah cukup tua mengikuti Hwang remaja kemana pun.

Yong-Gam ingin tahu, seperti apa masa depan nantinya. Apakah masih penuh pertumpahan darah dimana-mana? Apakah masih ada perebutan kekuasaan? Ataukah masih dipenuhi para pengkhianat?

Masa depan yang suram seperti itu... Yong-Gam harap Hwang kecil tidak akan merasakannya.

"Yong-Gam akan selalu bersama kita," tuan asli dari kuda putih itu menyahut saat dia baru saja keluar dari air setelah mengenakan hanbok dalamnya. "Dia akan selalu bersama keluarga kita," senyumannya yang indah itu terlukis, membuat matanya membentuk sepotong bulan di langit.

"Iya! Yong-Gam sudah berjanji kok!" Wanita muda itu tertawa, kuda jantan itu hanya mendengus pelan. Mau dijadikan bantal, disuruh ini dan itu, sepertinya dia hanya akan menurut meski pasrah.

Setelah tuannya yang agak-agak— Yong-Gam kira tuannya akan memilih seorang wanita lemah lembut dan baik hati seperti seorang putri, ternyata sama saja. Semoga saja Hwang Jin Rong tidak agak-agak seperti mereka juga.

"Jin Rong-ah, kau harus lebih waras dari orang tuamu saat besar nanti." —ungkapan hati Yong-Gam si kuda putih.

Beberapa saat setelah menuntaskan mandinya yang tidak terlalu lama, Hwang Je No baru saja memijak batu untuk naik, namun pria itu kemudian berhenti mendadak. Gerakannya seolah dia sedang dihentikan dengan paksa, karena ada sesuatu yang menyita perhatiannya.

Hwang Yong-Geum terus terdiam pandangannya lurus tertuju pada batu yang ia pijak dengan kaki kanannya, dengan sorot agak menerawang. Sesekali ia mengernyit, hingga kemudian dia menoleh ke arah samping kanannya. Menatap perbukitan di bawah gunung yang terasa begitu sunyi dan tenang.

Entah mengapa, perasaan Sang Panglima tidak nyaman.

"Hwang Yong-Geum, mengapa?" Son Je Ha bertanya ketika menyadari suaminya tak kunjung bersuara.

Pria itu mengusap wajahnya yang basah, kemudian segera naik ke darat.

"Je Ha-ya, sebaiknya kita tidak turun gunung hari ini."

Son Je Ha yang sempat kebingungan, ingin bertanya sesuatu, namun perempuan itu lebih memilih untuk tidak melontarkan pertanyaan apapun dan menurut pada perkataan pria di hadapannya.

Apakah sedang terjadi sesuatu di istana?

***

"Kau ingin menuntutku? Apa yang ingin kau tuntut? Karena aku membunuh mereka?"

Yeo Kyung menolak untuk pergi dari istana, dia mengikuti Wang Jae sampai ke changdeokgung— keputusannya bahkan membuat semua orang terkejut dan menolak keinginan Sang putri mentah-mentah terutama Wen Ren.

Yeo Kyung sudah berjanji pada Ren sebelum pergi ke Goryeo jika perempuan itu tidak akan bertindak gegabah, dia tidak mau Wang Jae akan meluapkan kebenciannya sekali lagi.

Pasalnya, Yeo Kyung adalah adik kandung Wang Yeol dan putri kandung Ratu Daemok, Wang Jae sudah pasti juga membenci wanita muda ini.

Kini kakak beradik tiri itu berdiri, saling berhadapan di aula raja, hanya ada mereka tanpa seorang pun. Wen Ren menunggu di luar pintu aula bersama Yeo Woon dan juga Seon Jae Hyun, sementara itu Wang Han telah dilarikan ke Baekje bersama Wen Fei Yu dan Baek Min Ho untuk mendapatkan pertolongan tabib.

"Aku tahu kau terkejut," Wang Jae mengangkat bahunya, "tapi ku pikir kau tidak perlu seberlebihan ini."

Yeo Kyung masih menangis, dengan tangan terkepal erat. Setelah ia menusukkan belati ke dada Wang Jae, pria itu bahkan masih baik-baik saja dan luka tusukan itu jelas tak ada apa-apanya. Bagaimana Yeo Kyung bisa membunuh pria ini?

"Lebih baik kau pedulikan saja Wang Han, aku takut dia bisa tiba-tiba mati," dengusnya geli.

PLAKK!!

Satu tamparan membuat wajah Wang Jae berpaling. Yeo Kyung dengan tenaganya yang tak main-main, menampar wajah Sang Raja.

"Kau telah membunuh banyak nyawa... dan— masih bisa berkata seperti itu?" Suara perempuan itu gemetar. "Apakah kau benar-benar Wang Jae?"

Pipi sebelah kiri Wang Jae memerah, namun pria itu masih belum menunjukkan emosinya meski ia terkejut dengan tamparan Yeo Kyung.

Yeo Kyung berbeda dengan Ye Hwa yang lebih lembut dan santun, si bungsu Goryeo itu tidak akan pernah sungkan untuk mencaci bahkan menikam seseorang yang menyakiti hatinya, tidak peduli resiko apapun yang akan ia terima.

"Aku akan membiarkanmu untuk melampiaskan kekesalanmu sekarang," Sang Raja mengusap pipinya sekali, "setelah itu kembalilah ke Bianjing dan jangan pernah datang ke Goryeo, nanti hingga seterusnya." Kemudian Wang Jae maju selangkah, menatap tajam Yeo Kyung yang lebih pendek darinya. "Kyung... jangan mencari mati dengankku."

PLAK!!

Satu tamparan sekali lagi dari si putri bungsu.

Bugh!

Dia mendorong dada Wang Jae hingga Sang Raja terhuyung. "AKU BERTANYA PADAMU MENGAPA KAU MEMBUNUH MEREKA! AKU BERTANYA PADAMU MENGAPA KAU MASIH BISA TERTAWA SETELAH MEMBUNUH KELUARGAMU SENDIRI! APAKAH KAU PIKIR ITU LUCU?!!"

Wang Jae diam saja, mendengarkan Yeo Kyung yang berteriak sembari menangis dengan wajah datarnya.

"APA KAU TAHU SETIAP HARI AKU MENUNGGU SURAT DARI MEREKA? APAKAH KAU TAHU SETIAP HARI AKU MENUNGGU KEDATANGAN KALIAN KE BIANJING?!"

Ada begitu banyak hal yang ingin Yeo Kyung ungkapkan— terlalu banyak, hingga ia tak tahu bagaimana harus mengeluarkan semuanya.

"Ada banyak sekali... hal yang ingin ku tunjukkan pada kalian di kekaisaran Song..." suara perempuan itu memelan, karena ia berbicara sembari terisak, suaranya kadang teredam. "Yeol orabeoni, Jin, Hun... Ye Hwa eonni... dan kau... aku ingin mengajak kalian berkeliling Bianjing... mereka semua... pasti menyukainya."

Wang Jae menghela napas jengah, "lalu apa yang ingin kau lakukan sekarang? Kau mau aku menghidupkan mereka lagi? Apa guna curahan hatimu itu, Yeo Kyung? Kau ingin membuatku menyesal? Sayang sekali, tapi aku tidak."

Yeo Kyung sendiri tidak tahu apa yang dia inginkan selain membunuh Wang Jae dengan tangannya sendiri. Meminta pria itu untuk bersujud meminta maaf di depan makam saudara-saudara yang telah ia bunuh? Itu tidak akan mungkin terjadi. Dia sendiri masih tak bisa mencerna kenyataan ini, kenyataan bahwa semua orang mati dibunuh oleh Wang Jae, seorang Pangeran pendiam yang tak banyak bicara.

"Kau pasti akan menyesali ini," geram Yeo Kyung, "kau akan menyesali seluruh perbuatan yang kau lakukan—"

"Sudah ku bilang aku tidak akan."

"Kau akan terus sendirian, Wang Jae. Sekarang siapa yang akan ada di sisimu? Tidak ada. Tidak akan ada seorang pun yang mau berada di sisimu. Kau membuat dirimu sendiri kehilangan orang-orang yang menyayangimu, sekarang?" Yeo Kyung menggeleng, "semua orang akan ketakutan berada di sekitarmu, kau akan sendirian, selamanya."

"Aku tidak takut, tahu apa kau tentang kesendirian, Yeo Kyung? Sejak dulu aku sudah merasakannya, hahahaha! Kau pikir aku akan menderita karena itu? Tidak! Tidak! Hahaha!!"

"Kau pembunuh... iblis sialan... kau juga membunuh Raja, bukan? Kau membunuh ayah untuk mendapatkan tahta ini!"

"JAGA BICARAMU!!"

PLAK!!

Tamparan Wang Jae benar-benar keras hingga Yeo Kyung terjerembab ke atas lantai kayu. Rambut gadis itu berantakan, pipinya benar-benar merah dan sudut bibirnya robek hanya dengan sekali tamparan itu.

"KENAPA?! KAU MEMANG MEMBUNUH RAJA BUKAN?! AKU TIDAK PERCAYA AYAH AKAN MATI BEGITU SAJA! KAULAH YANG TELAH MEMBUNUHNYA, WANG JAE!!"

"KU BILANG DIAM KAU BRENGSEK!!"

"PYEHA!!"

Wang Jae benar-benar nyaris menendang wajah Yeo Kyung, hanya saja saat itu ketiga pria yang berjaga di depan pintu aula langsung menerobos masuk begitu mendengar keributan di dalam sana. Yeo Woon menghalau serangan Wang Jae dengan tubuhnya hingga punggungnyalah yang menjadi sasaran tendangan Wang Jae.

"Yang Mulia Putri, sudah cukup... ayo kita pergi dari sini," Jae Hyun berujar dengan wajah sedihnya.

"DIA MEMBUNUH RAJA! SEHARUSNYA KAU DILENGSERKAN DARI TAHTA KARENA TELAH MEMBUNUH AYAH! JAE HYUN! DIA TELAH MEMBUNUH AYAH! DIA MEMBUNUH RAJA GWANGJONG!!" Putri Yeo Kyung masih histeris.

"JIKA KAU BICARA LEBIH DARI INI AKU AKAN MEMBUNUHMU YEO KYUNG!!"

SRING!!

Pedang Yin dihunus, Seon Jae Hyun langsung maju dan mencengkeram gagang pedang Yin sebelum Wang Jae sempat menodongkannya pada Putri bungsu Goryeo.

"Pyeha! Saya sudah memperingatkan anda untuk tidak bertindak di luar batas!!" Tuan cendekiawan berseru.

"J-jiejie! Ayo! Ayo kita pergi sekarang!" Ren dengan segenap usahanya menarik lengan Yeo Kyung dan merangkul bahu perempuan itu, membawanya menjauh dari Wang Jae. "Jiejie!!"

"Demi Tuhan aku sedang tidak ingin membunuh siapapun sekarang!! Bawa wanita itu pergi dari sini dan jangan pernah biarkan dia muncul di hadapanku lagi!!" Marah Sang Raja dengan sorot mata berapi-api.

"Y-ya Yang Mulia! Mohon maafkan Yeo Kyung gongju—!"

"MENGAPA KAU MINTA MAAF PADANYA JAE HYUN?!! APA KAU GILA?!! TARIK KATA-KATAMU! PRIA SEPERTINYA TAK PANTAS MENERIMA KATA MAAF ATAU APAPUN!" Yeo Kyung benar-benar kesal, dia mengibaskan lengan Ren dan nyaris saja berlari ke arah Wang Jae untuk mencabik-cabik muka itu, namun Yeo Woon langsung menariknya kembali.

"Yang Mulia Putri!"

"Kau bukan lagi anggota keluarga kerajaan Goryeo!!" Waeng Jae menuding Yeo Kyung dengan tajam, "PERGI DARI SINI DAN KEMBALILAH KE BIANJING!! BAWALAH ORANG-ORANGMU ITU PERGI DARI KERAJAANKU!! BAWA SEMUA SAMPAH ITU!"

"KAU SAMPAH!" Yeo Kyung balas berteriak, "KAU IBLIS! PEMBUNUH ORANG TUA DAN SAUDARA-SAUDARAKU!"

"BAWA PEREMPUAN ITU PERGI DARI SINI KALIAN SEMUA BRENGSEK!!!"

"TAHTAMU INI TIDAK AKAN BERTAHAN LAMA WANG JAE!! KU HARAP SESEORANG AKAN DATANG DAN MENIKAM JANTUNGMU DENGAN PEDANG!"

BRAK!!

Pintu aula raja kemudian dibanting dengan keras.  

***

"Saya telah memberikan tanaman herbal di mulutnya, jadi kita hanya bisa menunggu sampai luka itu mengering. Namun sepertinya mental Yang Mulia benar-benar terguncang."

"Luka itu... benar-benar tidak mengancam nyawanya, kan?"

Tabib itu menggeleng, "semua orang akan mengalami syok yang cukup parah ketika dipotong lidahnya, Pangeran Wang Han benar-benar hebat karena masih bisa menjaga kesadarannya sampai saat ini, tolong jangan menanyakan bagaimana keadaannya, itu akan sangat menyakitkan."

"Tentu, terima kasih."

"Panggil saya jika memerlukan apapun, Yang Mulia sekalian."

Tabib itu membungkuk penuh hormat di depan Wen Fei Yu dan Baek Min Ho, sembari membawa dua guci kecil di tangan berisi tanaman herbal, pria tua itu segera melangkah pergi dari hadapan keduanya.

"Aku akan masuk," suara berat Fei Yu menyeruak.

"Ya, temani saja dia," Baek Min Ho mengangguk, "aku akan menemui ayahku sebentar."

"Tentu."

"Putra Mahkota Wen," Min Ho tiba-tiba memanggil ketika dia baru saja ingin melangkah, "istrimu masih ada di Goryeo."

"Aku tahu," Wen Fei Yu menghela, "Wen Ren akan segera membawanya kemari."

Baek Min Ho sempat diam sesaat, "baiklah jika begitu."

Kemudian, Wen Fei Yu membuka pintu kamar dan menutupnya kembali. Di dalam sana, sosok pria yang menggunakan hanbok putih terbaring di atas ranjang. Awalnya ia menatap langit-langit kamar, namun ketika menyadari kedatangan Wen Fei Yu, Han menghadap ke samping, memunggungi Putra Mahkota Wen.

Wen tertua tak mengatakan apapun, dia hanya duduk di sisi ranjang dengan gerakan pelan agar tak menimbulkan suara. Memandangi punggung yang tak selebar para pangeran Wang lainnya, tak sekokoh saudara-saudaranya.

Beberapa saat kemudian, suasana di dalam kamar itu menghening.

Wen Fei Yu memutuskan untuk mengulurkan tangannya, menyentuh dahi Wang Han dari belakang, merasakan suhu tubuhnya yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Sepertinya pangeran ke lima akan demam, mungkin besok demamnya akan meninggi.

"Jika kau merasa tidak nyaman peganglah tanganku," katanya.

Wang Han tidak bergerak.

Wen Fei Yu dengan cepat meralat kalimatnya, "maksudku untuk isyarat, jika kau merasakan rasa sakit berlebih dan tidak nyaman atau membutuhkan sesuatu, pegang saja tanganku."

Pangeran ke lima masih menghadap ke samping, membelakangi Wen Fei Yu. Dia tidak mau terlalu banyak bergerak, karena bergerak sedikit saja rasanya sangat menyakitkan, rahangnya terasa seperti ingin lepas tiba-tiba dan rasa sakit itu akan menjalar ke seluruh tubuhnya.

Tak mendapat respon selama beberapa saat, Wen Fei Yu masih terdiam cukup lama, kemudian dia menarik tangannya dari dahi Wang Han, dan menuju punggung sempit pria yang lebih muda. Mengusapnya pelan, naik dan turun, terus seperti itu berulang-ulang, berharap Wang Han akan merasa nyaman.

"Ibuku selalu melakukan ini jika aku tak bisa tidur," suara berat Putra Mahkota Wen terdengar. "Mungkin tanganku tidak selembut ibuku, tapi ku harap kau bisa mengantuk dan tidur sebentar."

Wang Han hanya menurut, dan sepertinya pangeran ke lima juga tidak ingin protes dan merasa nyaman dengan usapan Wen Fei Yu. Tapi apakah dia bisa tertidur dalam kondisi seperti ini? Bagian dalam mulutnya benar-benar perih dan terasa panas, kepalanya pening dan semakin ia merasakan sakit itu, semakin kepalanya ingin pecah. Wang Han benar-benar merasa berada di ambang kematiannya.

"Han," Fei Yu memanggil dalam suasana sunyi itu, gerakan tangannya tidak berhenti. "Jangan khawatirkan kakakmu, orang-orangku telah pergi ke lembah surga untuk mencari sisa-sisa jasad kakakmu dan segera mengkremasinya, mereka akan segera membawakan abu Wang Yeol padamu."

Wang Yeol.

Mendengar nama itu, Wang Han tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menangis. Pada akhirnya air mata itu tetap meleleh meski perlahan-lahan melalui ujung matanya. Jatuh dan membasahi bantal.

Wang Han terus bertanya-tanya, mengapa dia selalu gagal? Mengapa dia selalu bertingkah sok keren jika pada akhirnya semuanya gagal?

Menyadari Wang Han menangis— karena bahunya sedikit bergetar, Wen Fei Yu menghentikan gerakan tangannya. "Kakak-kakakmu telah beristirahat dengan damai, aku tahu ini sangat menyakitkan untukmu, tapi mereka tahu bahwa kau telah berjuang untuk menyelamatkan semua orang, kakak-kakamu sangat bangga padamu."

Wen Fei Yu brengsek. Han semakin tidak bisa menahan air matanya jika Fei Yu terus berkata seperti itu, dia tidak mengerti kenapa Putra Mahkota Wen yang dingin itu sekarang menjadi begitu banyak bicara.

"Kau sudah bekerja keras, Han."

Pangeran ke lima meringkuk, sepasang tangannya terkepal menyembunyikan wajahnya yang sudah basah karena air mata.

Hyung-nim...

"Kali ini kau tidak boleh menolak permintaanku lagi, pulanglah denganku ke Kekaisaran Song."

"Mn." Wang Han menggumam pelan sekali, dengan suaranya yang bergetar karena menahan tangis.

***

Kau akan terus sendirian, Wang Jae. Sekarang siapa yang akan ada di sisimu? Tidak ada. Tidak akan ada seorang pun yang mau berada di sisimu. Kau membuat dirimu sendiri kehilangan orang-orang yang menyayangimu, sekarang?

Semua orang akan ketakutan berada di sekitarmu, kau akan sendirian, selamanya.

"AARGHH!!"

PRAK!

Pria itu membanting pedang legendanya sendiri, kemudian mencengkeram rambutnya kuat-kuat, seperti ingin menarik lepas rambutnya.

"BRENGSEK!! BRENGSEK! DIAM KALIAN!!" Raja itu berteriak tiba-tiba, begitu histeris, menutupi kupingnya rapat-rapat, seperti ingin menghalau suara-suara yang berdengung di telinganya. "DIAAMM!!"

Kepalanya terasa berputar, pandangan matanya bahkan mulai remang. Raja itu sempat hampir terjatuh beberapa kali, dia memukul-mukul telinganya sendiri sembari mengerang dan histeris.

"BERHENTI!! BERHENTI!!"

BRAKK!!

PRAK!!

Dia mulai membanting dan melemparkan barang-barang di aula raja, mulai dari ornamen hingga lukisan gulung di dinding. Dalam sekejap, Wang Jae membuat aula raja porak poranda, seolah-olah seperti habis terjadi pertarungan di sana.

"KU BILANG DIAM!! ARGHH!!!"

"PYEHA?!"

Ketika Wang Jae mengerang sembari menjatuhkan lututnya di atas lantai, Seon Jae Hyun menerobos masuk ke dalam aula, di berlutut di samping Raja, mencengkeram kedua lengan itu dengan kuat.

"Yang Mulia sadarlah!!"

"DIAM! DIAM! PERGI DARI SINI! PERGI!!"

"Yang Mulia apa yang terjadi?!!" Jae Hyun terus mengguncang tubuh Wang Jae, namun pria itu masih histeris dan mencoba untuk memberontak. "PYEHA SADARLAH!!"

Teriakan Seon Jae Hyun begitu keras dan menggelegar, membuat Wang Jae langsung terdiam seperti jantungnya sempat berhenti selama sesaat. Mata merah dan berair itu menatap Jae Hyun dengan penuh ketakutan.

"J-Jae Hyun! Jae Hyun!" Wang Jae memegang bahu Seon Jae Hyun dengan erat, "kau Jae Hyun?!" Serunya.

Dengan wajah sedihnya, tuan cendekiawan memegang lengan Raja. "Ya, ya ini saya, Yang Mulia."

"Jae Hyun!!"

Pengajar kerajaan itu bahkan bisa merasakan betapa gemetarnya tangan Wang Jae. Sang Raja segera memeluknya, memeluknya dengan sangat erat dengan gestur ketakutan.

"Jae Hyun t-tolong usir mereka...! Mereka terus berteriak padaku! Aku takut! Tolong usir mereka!!" Serunya.

Seon Jae Hyun hanya bisa terdiam, dia menghela napas pasrah, kekhawatirannya selama ini pun benar terjadi. Dengan gerakan pelan, dia membalas pelukan Wang Jae, mencoba menenangkan Sang Raja yang meringkuk ketakutan sembari menangis.

Yin telah menguasai seluruh hati dan jwanya, Seon Jae Hyun khawatir Wang Jae benar-benar tidak mampu untuk mengendalikan energi Yin dan pedang itu akan berbalik mengendalikan dirinya.

"Jae Hyun... jangan tinggalkan aku, jangan tinggalkan aku Jae Hyun..."

Seon Jae Hyun menunduk, mengelus rambut hitam Wang Jae perlahan, dengan wajah sendu dan sorot mata sedih menahan tangis. "Jika saja sejak awal anda tahu hakikat Yin dan Yang... anda tidak akan seperti ini."

———oOo———

"Je Ha-ya, kau ingin makan daging?"

"Mau mau!"

"Baiklahh, daging apa yang kau mau? Harimau?"

"TIDAK!" Perempuan itu mendengus keras-keras. "Je No-ya, berhentilah membuat lelucon tentang daging harimau."

Hwang Je No langsung tertawa, "hahaha! Bukankah aku sudah bilang jika itu bukan lelucon?"

"Aku tidak mau kau memburu harimau! Itu berbahaya! Meski kau memang seorang ksatria terkuat, aku tidak mau kau mencari bahaya, bawakan saja aku rusa! Rusa! Jangan harimau!"

Wanita itu benar-benar marah dan mengomel, Hwang Je No mulai kewalahan hingga akhirnya dia hanya bisa mengangguk-angguk sembari sesekali tertawa kecil.

"Iya iya, maafkan aku, aku akan menangkap rusa." Pria itu akhir-akhir ini senang sekali menggoda istrinya, "kemarikan Jin Rong."

Kemudian ia mengulurkan lengannya, mengambil bayi Hwang dalam gendongan Sang istri dan menggendong putra semata wayangnya itu dengan penuh kehati-hatian. "Ouh, astaga. Jagoan ayah sepertinya bertambah besar."

"Bercanda kau, Je No-ya. Dia bahkan belum 2 minggu."

"Hahaha iya juga, tapi menurut penglihatanku sepertinya Jin Rong bertambah tinggi sebesar satu ruas jari."

"Bohong," Je Ha mencebik.

"Sungguh, aku ini selalu memerhatikannya tahu! Aku sangat detail Je Ha-ya!" Hwang Je No menimang-nimang anak lelakinya.

Pasangan itu sedang menikmati cuaca cerah di pagi hari. Entahlah, akhir-akhir ini cuacanya benar-benar sangat bersahabat. Langit begitu terang hingga tidak satu pun awan yang tampak, sangat biru, cahaya matahari bahkan tidak terlalu panas seperti sebelum-sebelumnya.

Mereka berjalan-jalan di sekitaran bibir hutan, masih dekat dengan rumah hanok mereka. Sesekali Son Je Ha akan memetik buah yang ia lewati dan memasukkannya ke dalam keranjang.

"Kapan ya dia besar," Hwang Je No berujar lagi, "ah, aku ingin segera melatihnya, mengajarinya menaiki Yong-Gam, kami akan menghabiskan waktu bersama!"

Son Je Ha tertawa kecil, "kau benar-benar tidak sabaran."

"Tentu saja! Nanti, dia akan mendengar kehebatan ayahnya ini, dia akan bangga saat tahu bahwa ayahnya adalah Hwang Yong-Geum! Benar bukan, Je Ha-ya?"

Sang istri hanya mengusap-usap punggung suaminya, "iya, iya. Tentu saja dia akan bangga, dia akan sangat bangga sampai-sampai mengelukan ke seluruh dunia jika ayahnya adalah dirimu."

Hwang Je No tersenyum lebar sekali, menunjukkan jika dia benar-benar sebahagia itu.

Ia mencolek hidung anaknya yang sebesar buah anggur mentah, "nanti saat sudah besar, kau tidak boleh kalah Jin Rong-ah. Kalah dan mengalah itu berbeda, kau tahu? Jangan pernah menyalahgunakan kekuatan yang dianugerahkan Dewa kepadamu, ya?"

Son Je Ha yang mendengar itu, nampak tersenyum tipis. Bagaimanapun, dia sangat yakin jika Hwang Jin Rong akan tumbuh sebagai pria santun baik hati yang tidak akan pernah menyombongkan dirinya. Pemuda yang akan selalu merendahkan hati, dan mengulurkan tangan kepada siapapun yang membutuhkan bantuannya.

Dia adalah anak naga yang telah ditakdirkan oleh Dewa.

"Entah apakah kita bisa bersama sampai tua atau tidak, ayah tidak peduli itu," sambung Hwang Je No. "Kau harus mengingat pesan ayah, untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Ayah tahu nanti kau akan berpikir mengapa dunia tidak adil untuk orang-orang yang berhati bersih, tapi suatu saat kau akan menyadarinya, jika seperti itulah dunia ini bekerja. Nak, menghukum kejahatan adalah tugas Tuhan, bukan manusia seperti kita."

Son Je Ha sama sekali tidak berkomentar, sembari berjalan-jalan dengan langkah kecil, dia hanya memerhatikan suaminya dari samping yang tampak berbicara dengan bayi Hwang. Seolah-olah memahami apa yang dikatakan ayahnya, Hwang Jin Rong mencengkeram erat telunjuk ayahnya kemudian, dan menggeliat.

Perempuan itu tersenyum, tipis sekali, nyaris tak terlihat.

"Aku sangat mencintaimu dan juga ibumu," Hwang Je No masih melanjutkan.

Kemudian Son Je Ha menghentikan langkahnya. Masih dengan memeluk keranjang buah, perempuan itu menatap ke arah suaminya yang jauh lebih tinggi.

Hwang Je No ikut berhenti, dia hanya tersenyum. Memandang istri tercintanya yang secantik Dewi Rembulan, bersinar dengan aura luar biasa.

"Aku mencintaimu," ulangnya.

"Aku juga, sangat mencintaimu," Son Je Ha membalasnya.

Berkatalah kemudian Sang Putra Naga. "Aku akan terus mencintaimu, di kehidupan saat ini, nanti, dan setelahnya. Entah berapa kali aku akan bangkit di kehidupan yang akan datang, aku akan terus mencintaimu. Aku akan menemukanmu, Je Ha-ya. Aku adalah orang pertama yang akan selalu menemukanmu, mencintaimu lagi dan lagi, akan terus seperti berulang-ulang, entah sebagai apa nanti kita bertemu di kehidupan selanjutnya. Aku berjanji... akan selalu menemukanmu."

Sorot paling tulus yang pernah Son Je Ha lihat selama hidupnya.

Son Je Ha tak butuh dicintai oleh orang lain selain Hwang Je No. Baginya, pria ini sudah sangat cukup dan merupakan anugerah terbesar yang pernah ia dapatkan.

"Ya, temukan aku... suatu hari nanti, aku akan mengenalimu," wanita itu tersenyum.

***

Mereka semua telah tiba di Bianjing sejak kemarin. Wen Fei Yu, Wang Han, Wen Ren, Yeo Kyung. Wang Han segera dibawa ke paviliun pangeran saat itu juga untuk menerima pengobatan dari tabib terbaik yang didatangkan oleh Wen Fei Yu dari Xingyuan.

Pangeran ke lima benar-benar pucat pasi, dan kondisinya sangat mengkhawatirkan. Sepanjang perjalanan, mereka benar-benar was-was jika Wang Han akan tiba-tiba berhenti bernapas.

Semenjak kembali dari Goryeo, Yeo Kyung sama sekali tidak berselera untuk melakukan apapun. Dia terus menggumam dan mengatakan akan membalas dendam kepada pangeran ke tujuh— Raja Goryeo saat ini, bertekad untuk menghabisi dengan tangannya sendiri, dan Wen Ren akan terus menerus menenangkannya dan memberinya rangkulan hangat berharap Sang putri akan menjadi lebih tenang.

Goryeo benar-benar diambang kehancurannya.

Berita ini terdengar sampai ke seluruh pelosok negeri, menyebar dari mulut ke mulut. Tak sedikit yang sangat bersimpati kepada nasib petinggi Goryeo terutama para pangeran dan putri Ye Hwa yang telah meninggal dunia— dibunuh.

"Yang Mulia."

Beberapa tabib yang sedang meramu tanaman herbal langsung mundur dan memberi hormat pada Pangeran bungsu Wen yang memasuki gudang penyimpanan obat-obatan. Banyak sekali jenis tanaman herbal kering sampai yang telah diramu, dan juga berbagai racun yang digunakan untuk kepentingan perang.

"Apakah obatnya sudah selesai? Cepatlah! Cepat!"

"Sudah Yang Mulia, silahkan."

Dengan agak tergesa, seorang tabib menyiapkan obat yang telah mereka ramu dan menatanya di atas nampan perak. Wen Ren segera menerimanya, dan berjalan dengan terburu-buru melewati lorong-lorong paviliun.

Dia adalah salah satu orang paling panik di dunia saat ini. Wen Ren hampir tidak tidur karena dia terus mengecek kondisi Wang Han dan juga Yeo Kyung bergantian, kemudian saat pagi dia menuju paviliun utama untuk menjalankan tugas politik dari kaisar, dan latihan pedang wajib saat siang.

Wen Fei Yu dan Wen Jun juga sama. Mereka memiliki tugas masing-masing terutama Wen Fei Yu sebagai penerus kaisar yang memiliki lebih banyak tugas dan kewajiban.

"Tuan Yi Qiong! Ini obat yang anda minta!" Si bungsu Wen segera meletakkan nampan perak itu di atas lemari kecil di samping ranjang yang digunakan Wang Han beristirahat.

"Terima kasih Yang Mulia."

Tabib yang dipanggil Tuan Yi Qiong oleh Wen Ren masih memeriksa Wang Han, pangeran ke lima itu tidak tidur, setiap Wen Ren datang untuk menengok, Wang Han selalu membuka matanya. Wen Ren benar-benar takut.

Pangeran Wang Han sadar, namun dia benar-benar tidak berkutik seperti patung batu.

"Tolong buka mulut anda, Pangeran Wang," pinta si tabib.

Namun seperti yang diduga, Wang Han tetap diam dan berbaring, pandangan kosongnya mengarah ke langit-langit kamar yang begitu tinggi seolah-olah nyaris setinggi langit.

"Han... tolong dengarkan apa kata tabib," Ren memegang tangan Han, menatapnya dengan pandangan sedih.

Wang Han mengabaikan, pangeran ke lima malah menyingkirkan tangan Wen Ren yang menggenggamnya.

"Yang Mulia, anda harus diobati," ujar tabib Yi Qiong lagi, "jika tidak pangkal lidah anda akan membusuk dan bisa menginfeksi mulut anda."

Wen Ren sudah nyaris menangis, "Han ayolah..."

Tapi, saat itu Wang Han sudah seperti mayat hidup. Dia kehilangan semangat dan ambisinya dalam sekejap, dia telah kehilangan alasan untuk bertahan, jadi mengapa dia harus diobati?

Karena benar-benar tak mendapat respon, Sang tabib hanya menghembuskan napas panjang. "Tidak apa-apa, untuk saat ini... wajar jika Pangeran Wang sangat terpukul, jadi kita tidak bisa memaksanya. Saya akan kembali lagi besok, Yang Mulia."

Wen Ren benar-benar terlihat sangat sedih, namun dia juga tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti apa yang dikatakan oleh tabib Yi Qiong. Mental Wang Han benar-benar hancur sekarang, dan memaksanya untuk minum obat ketika pria itu tidak mau, bukanlah hal yang baik.

"Terima kasih, Tuan Yi Qiong."

Tabib itu undur diri, keluar dari kamar dan menghilang di balik pintu. Wen Ren masih duduk di sisi ranjang, menghadap Wang Han yang masih tak mau berkata-kata sedikit pun.

Sudah banyak sekali kata-kata penenang, penyemangat, bahkan motivasi dan petuah-petuah terkenal dari Dinasti Tang yang ia katakan kepada Wang Han. Namun sayang sekali, itu semua tidak akan berguna. Yang dibutuhkan Wang Han sekarang bukan kata-kata penyemangat, Han tak butuh itu.

Jika dia lelah maka dia lelah, tidak peduli berapa ribu kata penyemangat yang dia dengar.

"Ren."

Menoleh ke belakang, Si bungsu Ren langsung berdiri ketika melihat kakak tertuanya datang— siapa sangka jika Wen Fei Yu sudah berada di ambang pintu sejak tadi?

"Dage," Ren memberikan salam penghormatan.

Wang Han yang menyadari kedatangan Wen tertua, segera membalikkan tubuhnya, menghadap samping, membelakangi dua kakak beradik itu. Seolah-olah berkata jika ia jengah dengan kedatangan Fei Yu melalui gestur tubuhnya.

Pasalnya dia tidak mau Wen Fei Yu turut campur memaksanya untuk minum obat.

"Kaisar memanggilmu," ujar Sang tertua.

"Sungguh?" Ren melebarkan matanya, "b-baiklah aku akan segera ke sana, terima kasih ge!" Lalu dia masih menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Wang Han meski diabaikan, "aku akan kembali lagi nanti, Han!"

Wen Ren berlari sangat cepat dengan tergesa, membuat hanfu birunya yang menyapu lantai itu berkibar. Jika saja orang awam yang menggunakan hanfu kekaisaran Song, dia pasti sudah terlilit dan terjatuh.

Sepeninggal Wen Ren, tersisalah dua orang di dalam kamar paviliun pangeran tersebut. Wen Fei Yu masih berdiri dengan tenang, menatap Wang Han lamat-lamat yang tidur meringkuk seperti anak kecil kedinginan.

Lantas Wen tertua melangkahkan kakinya, mendekat ke arah ranjang— bukan, meja kecil yang menyimpan obat-obatan herbal yang telah diramu oleh para tabib kerajaan. Fei Yu mengambil cawan perak yang berisi obat berwarna hijau pekat— benar-benar pekat hingga nyaris menghitam.

Uh, obat yang sepertinya terlihat sangat pahit.

Tanpa menunggu waktu lama dan tanpa ragu sedikit pun, Wen Fei Yu meminum cairan hijau kehitaman yang berada di dalam cawan tersebut. Hingga dia menarik kepala belakang Wang Han dan memberikan ramuan obat herbal itu ke mulut pangeran ke lima secara langsung.

Wang Han terkejut setengah mati, sepasang matanya terbuka lebar, dia bisa merasakan obat herbal yang pekat itu masuk ke dalam mulutnya dan menuruni kerongkongannya seketika.

DUGHKHH!!

"Uhuk!! Ugh!!"

Pangeran ke lima terbatuk, dia ingin memuntahkan obat itu, namun sayangnya hampir seluruh cairan tersebut telah mengalir di kerongkongannya. Hanya sedikit yang berhasil keluar dari mulutnya, membasahi hanfu putih yang ia kenakan.

PLAK!!

Wang Han sangat marah. Dia benar-benar sangat kesal. Dia benar-benar semarah itu hingga wajahnya terlihat seperti ingin menangis setelah bangkit dan menampar wajah Wen Fei Yu dengan keras.

Jangan remehkan kekuatan Wang Han, tamparannya benar-benar sekeras itu hingga pipi Fei Yu terasa berdenyut ngilu. Namun Wen tertua berhasil menjaga ekspresinya sedatar mungkin.

Wang Han ingin mengumpat, dia ingin mengumpat jutaan kali pada Wen Fei Yu, namun dia semakin kesal ketika tak bisa melakukannya.

"Apa?" Datar Fei Yu, "kau marah karena aku melakukan itu? Setidaknya minumlah sedikit obat yang telah disiapkan oleh para tabib dan adikku, apakah benar-benar sesulit itu untukmu?" Desis Fei Yu.

Han yang lututnya masih terasa lemas— efek hukuman cambuk yang ia terima selama di penjara, mencoba untuk menahan beban tubuhnya sekuat tenaga. Napas pria itu menggebu, hingga air matanya pun akhirnya jatuh juga dengan bebas.

"Ingatlah jika kau masih memiliki seorang adik, kau masih memiliki Yeo Kyung! Kau pikir bagaimana perasaannya sekarang? Dan jika dia melihatmu seperti ini? Bagaimana menurutmu perasaannya? Jika kau tidak ingin pulih, setidaknya pulihlah untuk adikmu! Hiduplah untuk Yeo Kyung! Kau lah satu-satunya yang dia miliki sekarang!!"

***

Hwang Je No berburu daging rusa, sesuai janjinya kepada Sang istri. Dia sudah pergi sejak 2 sichen yang lalu dan sekarang dia sudah membopong satu ekor rusa yang tidak terlalu besar— sangat cukup untuk makan malam dan sarapan esok pagi.

Ada banyak hewan liar di hutan, bahkan dia beberapa kali menemukan merak putih yang sangat cantik dan juga ayam kalkun besar. Beberapa rusa dan kijang, hingga kuda liar. Hwang Je No cukup takjub awalnya, jarang sekali ada merak putih apalagi di hutan gunung seperti ini. Apa mungkin ada seorang pengembara dari timur yang membawanya?

Merasa jika perburuannya sudah cukup, pria itu bergegas pulang. Dia menaiki gunung selama kurang lebih setengah sichen dengan berjalan kaki— cukup melelahkan, tapi dia tidak pernah membawa Yong-Gam selama berburu.

Dia selalu menyuruh Yong-Gam untuk menjaga istri dan anaknya saat ia tak ada.

Hari sudah sore, sebentar lagi petang dan akan menggelap. Hwang Je No berlari kecil, takut tidak sempat untuk memasak makan malam. Ah, istrinya pasti kelaparan sekarang.

"Je Ha-ya, rusamu sudah datangg!" Serunya sembari tersenyum lebar. "Bisakah kau menyiapkan rempahnya? Aku akan membersihkan rusa ini dulu di sungai yaa!"

Hwang Je No tidak masuk ke dalam rumah terlebih dahulu, dia langsung menuju sungai untuk membedah perut rusa dan mengeluarkan jeroannya. Hanya saja, langkahnya kemudian langsung terhenti menyadari ada sesuatu yang aneh.

Pria itu berbalik.

Yong-Gam tidak ada? Bukankah dia selalu berada di depan rumah?

"Je Ha-yaaa mana Yong-Gam?!" Dia berteriak sembari mengecek ke kandang samping rumah, memeriksa siapa tahu Yong-Gam sedang tidur di kandangnya sendiri.

Nihil.

"Je Ha-ya?"

Kali ini, Hwang Je No masuk ke dalam rumahnya. Keningnya semakin mengernyit ketika istrinya tak kunjung muncul setelah diteriaki beberapa kali. Jantungnya berpacu cepat.

"Je Ha-ya?? Jin Rong??"

Tidak ada?

"JE HA-YA! JIN RONG-AH! DIMANA KALIAN?!"

Rumahnya sepi. Sunyi dan senyap. Tak ada siapapun—

"JIN RONG!"

Hwang Jin Rong rupanya ada di dalam kamar. Jantung Hwang Je No rasanya seperti ingin merosot, dia segera berlari dan bersimpuh di dekat bayinya, menggendong Jin Rong yang terlelap.

Son Je Ha... dimana Son Je Ha?! Dimana istrinya?!

"SON JE HA! JE HA-YA! KAU DIMANA?!!"

Hampir sepuluh kali Hwang Je No memeriksa seluruh isi rumah hanok, tanpa ada yang terlewat secelah pun. Namun dia benar-benar tak menemukan keberadaan istrinya. Son Je Ha dan Yong-Gam menghilang, benar-benar raib seperti ditelan tanah bumi.

Kaki Hwang Je No gemetaran, dia keluar dari rumahnya sembari memeluk Hwang Jin Rong, mencari istrinya di sekitaran rumahnya. Berharap dia akan menemukan wanita itu dimana pun dalam keadaan aman.

"JE HA—"

Langkah kaki Hwang Je No langsung berhenti begitu ada sesuatu di atas tanah yang terlihat mencolok, menyita perhatiannya. Keningnya mengernyit, dia memungut benda mirip tassel berwarna hijau zamrud.

Sepasang mata Hwang Je No melebar, dia menatap benda di tangannya dengan nanar. Tanpa menunggu waktu lama, Hwang Je No langsung berlari sembari merengkuh bayinya. Kembali menuruni gunung untuk mencari kuda liar.

"GUAN YU!!!"

***

"Hm? Mengapa tutup guci ini terbuka?"

"Ya, Yang Mulia?"

"Guci ini... bukankah ini anggur beracun dari mahkota merah bangau dan arsenik?"

"Oh! Sepertinya tersenggol, tapi saya yakin tidak ada yang menyentuh rak bagian ini, Yang Mulia."

Wen Ren kembali membenarkan tutup guci yang bergeser itu, merapikan beberapa guci beracun yang ditata sesuai dengan tahun pembuatannya.

"Berhati-hatilah untuk tidak menyentuhnya."

"Kami sangat berhati-hati, Yang Mulia."

Wen Ren hanya menggeleng-gelengkan kepala, kemudian dia kembali menyiapkan obat herbal untuk Wang Han persis seperti yang sudah diperintahkan tabib Yi Qiong sebelumnya. Hari sudah malam, jadi sudah waktunya pangeran ke lima untuk minum obat.

Ren sangat khawatir, tubuh Han sangat kurus sekarang karena pria itu benar-benar menolak untuk makan.

Berjalan menuju kamar Wang Han, Ren berjalan dengan agak tergesa, sembari tetap menjaga keseimbangan agar obat itu tidak bergoyang dan tumpah dari kendinya.

Bagaimana jika Han menolak untuk minum obat lagi? Tapi terakhir kali cawan obatnya kosong, apakah Han benar-benar meminumnya? Atau jangan-jangan Han membuang obatnya?

"Haan~" Ren masuk ke dalam kamar pangeran ke lima dengan riang— "eh?"

Kamarnya kosong?

Wang Han bangun? Wah, apakah itu sungguhan? Ini agak sulit dipercaya.

"Haaann!"

Pada akhirnya Ren memilih untuk meletakkan nampan obatnya di atas meja, dan berlari kecil keluar dari kamar, mencari Wang Han yang mungkin saja berada di— entah, kemana Ren harus mencari Han di paviliun sebesar ini? Apakah dia pergi ke kamar Yeo Kyung?

...

Wen tertua tampak berlatih di dalam aula pedang sendirian, dengan pedang golok besar yang selalu ia bawa kemanapun, pria itu benar-benar mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk berlatih di malam hari. Tak ada siapapun, Wen Fei Yu nampak seorang diri di aula yang penuh berbagai senjata di dindingnya.

Isi kepalanya berkecamuk. Begitu banyak yang Fei Yu pikirkan dan membuatnya gelisah.

Setelah semua ini, dia sama sekali tak memiliki rencana apapun. Memperbaiki? Apa yang bisa diperbaiki? Harus mulai darimana?

Apakah dia harus membalaskan dendam Wang Han dan Yeo Kyung kepada Wang Jae? Tidak, Wen Fei Yu bisa melakukannya kapan saja, dia sanggup. Sayangnya... ini tidak semudah itu

Hwang Je No. Bagaimana kabar pria itu sekarang? Apakah Sang Panglima dan adik Baek Min Ho itu baik-baik saja? Sampai kapan mereka akan bersembunyi? Dan bagaimana caranya memberitahu pada mereka jika Son Je Ha rupanya adalah Baek Je Ha yang selama ini dianggap telah mati bertahun-tahun lalu?

Wen Fei Yu kehilangan arah. Apakah dia harus meminta pendapat Seon Jae Hyun? Atau dia diam saja dan menyimak kekacauan Goryeo dari sini?

Sring!!

Wen Fei Yu berputar dengan gerakan yang cukup indah, menghunus pedang golok yang berat hanya dengan satu tangannya—

"Han?"

Saking beratnya pedang itu, nyaris saja dia menjatuhkannya jika saja tak segera memutarnya dengan cepat dan mendaratkan ujung mata pedangnya ke atas lantai batu.

Sosok yang berdiri di ambang pintu aula menyita perhatiannya, pria berambut panjang dengan hanfu putih. Rambut panjangnya digerai, diikat setengah pada bagian atas tinggi-tinggi. Wajahnya cukup pucat— bahkan lebih pucat dari kemarin.

Wang Han. Entah apa yang dilakukan pria itu, dia berjalan mendekati Wen Fei Yu dengan sorotnya yang begitu sendu. Seolah dia sudah sangat cukup disakiti jutaan kali, seolah dia sudah tak sanggup lagi untuk menampung penderitaan yang harus ia tanggung meski tak ingin.

"Ada apa? Kau baik-baik saja?" Wen Fei Yu melempar pertanyaan, "ini sudah malam, kau harus minum obatmu setelah itu istirahat."

Wang Han hanya diam, memandang Wen Fei Yu yang lebih tinggi darinya.

"Han? Kau mendengarku?" Fei Yu merendahkan sedikit bahunya.

"Mn." Namun hanya gumaman yang dilontarkan oleh Pangeran ke lima.

Sampai sejurus kemudian, Wen Fei Yu terkejut. Dia sangat terkejut ketika Wang Han memangkas jarak di antara mereka, kemudian memeluknya. Tangan kurus yang tinggal tulang itu memeluk pinggang Wen Fei Yu, wajah pucat itu disembunyikan di dada Wen tertua. Kejadian yang sangat tiba-tiba itu membuat Wen Fei Yu tak dapat berkata-kata.

Namun kemudian, sesuatu mengalihkan perhatiannya.

"Han? Tanganmu sangat dingin. Apakah kau kedinginan? Apa yang terjadi denganmu? Jawab aku, Han."

Wen Fei Yu terus melontarkan pertanyaan, namun respon dari Wang Han hanyalah sebuah gelengan kecil. Seperti mengatakan bahwa dia baik-baik saja dan dia tak kedinginan. Namun dekapannya pada Wen Fei Yu sama sekali tak bisa berbohong. Tubuh Wang Han gemetar, Fei Yu merasa Han berusaha keras untuk menjaga tautan tangannya agar tak terlepas.

Wang Han bungkam. Terus membisu selama beberapa saat.

Dia sudah sangat lelah. Pangeran ke lima sudah tak dapat membendung rasa sakit dan trauma dalam hati dan juga pikirannya. Dia tak bisa lagi menahan ilusi dan delusi yang terus menghantuinya setiap malam, bahkan setiap saat. Seluruh tubuhnya sudah terasa sangat menyakitkan, sangat meyakitkan sampai-sampai mati rasa.

Ada banyak luka. Baik yang nampak, maupun luka yang tak kasat mata.

Aku lelah... Fei Yu.

"Han..." tubuh itu mulai melorot, Wen Fei Yu menopang tubuh Wang Han, menahannya agar pangeran ke lima tak melepaskan pelukan di pinggangnya. "Wang Han, Wang Han sadarlah..."

Namun, kaki Wang Han seperti benar-benar tak memiliki tenaga lagi. Dia benar-benar akan jatuh meluruh jika saja Wen Fei Yu tidak menahan beban tubuhnya, menjaganya agar tetap berdiri.

"Wang Han... apa kau tidur? Kau... jangan tertidur di sini, tidurlah di kamarmu, Han!"

Fei Yu terus mencoba untuk membangunkan Wang Han yang telah menutup matanya, dia menepuk pipi pangeran wang ke lima beberapa kali, terus berdoa bahwa semoga Wang Han hanya jatuh tertidur. Sayangnya, entah mengapa meski dia bahkan sampai mengguncang bahu itu, Wang Han tak kunjung membuka matanya.

Tapi ketika mencium aroma pekat dari sekitar bibir Wang Han, Wen Fei Yu menyadari jika itu adalah aroma familiar yang sering ia jumpai di gudang penyimpanan tanaman herbal. Wen Fei Yu menyadari, jika dia telah kehilangan Wang Han.

"Han... ku mohon... jangan tertidur di sini..."







Bersambung...


.
.
.


Han, kamu udah bekerja keras, akhirnya ketemu sama hyung-hyung lagi ya 🥺

Terima kasih yang udah menunggu eps final, akhirnya aku updatenya nggak seabad sekali ya 😞

Udah ya, aku lagi galau 😞 sampai jumpa di final terakhir 💔

Pokračovať v čítaní

You'll Also Like

124K 19.1K 47
END Yogyakarta dan kamu, dua hal yang membuatku terkesan akan skenario yang telah Tuhan lukiskan. Aku hanya bisa terus berdoa, agar kisah kita selalu...
2.7M 431K 39
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 1 Kadang Natta bertanya-tanya pada dirinya sendiri, kenapa dia masih bersedia pacaran sama Jeno Setyo Novanto yang jela...
32.4K 3.6K 38
Semuanya berubah dalam sekejap. Ibunda Seohyun yang dulu selalu mendukung penuh keinginan putrinya untuk menjadi dokter kini berubah 180 derajat. Per...
The Sweet Little Fu Lang Od Ken

Historická beletria

33.4K 5.2K 171
Lu Gu menikah atas nama saudara laki-lakinya dan menikah dengan pemburu ganas di Desa Qingxi. Betapapun bersalahnya dia, di bawah paksaan pemukulan...