Love You MBAK!

By Ne_Aurora

15.2K 657 3

"Mbak ragu sama aku?!" Pertanyaan yang terlontar dari mulut Farez membuat Vio tersentak, suara Farez terdenga... More

Note and Prolog
Bagian 001
Bagian 002
Bagian 003
Bagian 004
Bagian 005
Bagian 006
Bagian 007
Bagian 008
Bagian 009
Bagian 010
Bagian 011
Bagian 012
Bagian 013
Bagian 014
Bagian 015
Bagian 016
Bagian 017
Bagian 018
Bagian 019
Bagian 020
Bagian 022
Bagian 023
Bagian 024
Bagian 025
Bagian 026
Bagian 027
Bagian 028
Bagian 029
Bagian 030
Bagian 031
Bagian 032
Bagian 033
Bagian 034
Bagian 035
Bagian 036
Bagian 037

Bagian 021

249 10 0
By Ne_Aurora

°°°

Farez mengangkat kedua tangannya ke atas untuk meregangkan tubuhnya yang terasa lelah setelah hampir tiga jam duduk dikursi kerjanya untuk membuat beberapa desain gambar celana yang harus ia revisi karena masih tidak sesuai dengan keinginan pemesannya.

Farez melihat sekilas jam dinding diruang kerjanya, kemudian membereskan buku dan peralatan gambarnya dan dengan segera meraih tas punggungnya untuk segera ke kampus karena ada jam matkul siang ini.

"Nanti bukanya gak usah sampai malam ya, cukup sampai pukul empat aja." Kata Farez pada ketiga karyawannya.

"Iya Kak." Jawab Rama, di ikuti dengan anggukan dua karyawan lainnya.

"Kalau gitu saya pergi dulu. Semangat ya kerjanya." Farez mengangat kepalan tangannya keatas memberi semangat kepada ketiga orang didepannya.

Setelahnya Farez segera berjalan keluar dari distro dan menuju ke motornya.

Baru saja akan menyalakan mesin motornya, Farez tiba-tiba merasa ada yang mengawasinya.

Farez menoleh kearah berlakang dan samping kanan kirinya. "Ini perasaan gue aja apa emang ada yang baru aja ngawasin gue ya?" Batin Farez.

Setelah memastikan kalau memang tidak ada orang disekitarnya, Farez dengan segera menyalakan mesin motornya dan berlalu pergi dari pelataran distro.

Farez segera turun dari motornya dan berjalan menuju ke arah kantin dimana ketiga temannya berada.

"Rez! Sini." Teriak Rian memanggil Farez untuk duduk di meja pojok kantin.

Farez menganguk sekilas kemudian berjalan menghampiri ketiga temannya itu.

Farez menatap bingung kearah Nino setelah mengambil duduk disamping Nino.

"Kenapa?" Tanya Farez tanpa suara sambil menatap ke arah Vano dan Rian yang duduk didepannya.

"Galau kayaknya." Balas Vano tanpa suara juga.

Farez hanya menggeleng pelan mendengar jawaban dari Vano.

"Kenapa lo No?" Tanya Farez basa-basi pada Nino, sembari menepuk bahu Nino.

Nino hanya menggeleng singkat, kemudian membuang nafas pelan.

"Kalau Mita sama cowok lain, ya lo juga cari cewek lain No. Jangan galau gitu." Celetuk Vano kemudian membuka bungkus cemilan.

"Jomblo kayak lo mana ngerti sih Van." Rian menoleh ke arah Vano. "Kalau udah terlanjur cinta, sama satu orang udah paling sulit kalau lo suruh berpaling dan cari yang lain." Lanjut Rian dengan nada tak bersabat.

Vano berdecak pelan kemudian mendorong dahi Rian. "Gue jomblo itu urusan gue, jangan lo olok-olok." Protes Vano. "Gue juga tahu kalau lo itu buaya rawa gamom! Makanya lo ngomong gitu." Ejek Vano.

Baru akan kembali membuka suaranya, Rian terpaksa kembali menangkupkan bibirnya saat Farez memberikan kode agar dirinya diam, dan tidak melanjukan perdebatan.

"Mau coba cerita sama gue?" Kata Farez menawari Nino yang masih saja diam.

"Gue capek dimintai kepastian sama Mita." Kata Nino akhirnya membuka suara.

Farez mengerutkan dahinya bingung. "Emang lo ada maksud buat jalin hubungan sama Mita?" Tanya Farez memastikan.

Nino menggeleng pelan. "Gue cuma nganggep dia temen kampus aja, gak lebih."

Rian melebarkan matanya saat mendengar penjelasan Nino. "Kok lo brengsek gitu No? Satu kampus juga ngiranya lo ada hubungan sama Mita." Kata Rian tak habis pikir.

Nino menatap tajam ke arah Rian saat mendengar perkataan Rian. "Maksud lo apa, hah?!" Kata Nino tak terima.

"Lo bilang cuma nganggep Mita temen tapi lo beri dia perhatian lebih dari kata temen." Balas Rian.

"Itu karena dia yang terlalu baperan." Kata Nino tak ingin terus disalahkan.

"Hah... ! Lo berdua lihat kan? Si kalem kita, kalau bertingkah gak bisa pakai otaknya." Kata Rian dengan sarkasnya.

Vano menepuk pelan bahu Rian, untuk membuat Rian tenang dan tidak lagi memancing emosi Nino.

"Terserah lo mau ngomong apa Yan. Yang jelas gue gak mau ribet sama pemikiran ribet cewek dan juga omongan sarkas lo." Setelah berkata demikian Nino berdiri dan mengambil tasnya dan beranjak pergi.

"Ck!" Decak Rian saat melihat Nino telah berlalu pergi.

"Nino emang terlalu lempeng kalau urusan sama cewek. Tapi kalau lihat dari penjelasannya... yang satu pakai hati dan yang satu gak." Vano menatap bergantian Rian dan Farez.

Farez menganguk setuju. "Betul. Dan lo gak bisa nyalahin Nino Yan, menurut gue Nino emang baik sama semua temennya tapi kayaknya Mita aja yang salah ngira dan berharap lebih."

"Tapi gue sering lihat dia sama Mita jalan, dan... "

"Nino gak pernah ngajak Mita keluar Yan, Nino sering cerita ke gue kalau Mita yang selalu ngebuat dia gak bisa nolak ajakan Mita." Farez memotong perkataan Rian.

"Hah? Kok gitu?" Tanya Rian setengah terkejut.

Begitupun dengan Vano yang langsung berfokus pada Farez untuk meminta kejelasan lebih atas perkataan Farez sebelumnya.

Farez akhirnya mulai menceritakan hal yang sebenarnya hanya Nino ceritakan kepadanya.

"Gila! Jadi gue salah sangka?" Kata Rian dengan sedikit mengebrak meja depannya.

Farez memangguk. "Nino itu orangnya gak tegaan, apalagi setelah tau kalau Mita punya penyakit jantung. Makanya Nino gak bisa nolak apa yang Mita minta."

"Tapi kok orang tua Mita pake segala ikut campur?" Tanya Vano.

"Bokapnya Mita kan atasan nya Om Pras, jadi ya pasti karena itu lah."

"Aduh, gue kok malah marahin Nino dan malah ngebela Mita sih. Ternyata Mita manfaatin kekuasaan Bokap sama riwayat penyakitnya buat ngebuat Nino gak bisa ngejauh dari dia." Kata Rian dengan perasaan bersalahnya.

"Nanti lo minta maaf aja sama Nino, bilang kalau kita udah tau masalah dia sama Mita." Saran Vano.

Farez menganguk setuju, dan ketiganya memustuskan untuk menyusul Nino yang kemungkinan besar sudah berada dikelas.

***

Vio menatap bingung dua paper bag yang baru saja Hani letakkan diatas mejanya.  "Ini apa?" Tanya Vio kemudian menatap Hani.

"Bingkisan dari Rama, semua guru dapet kok. Tapi karena kamu tadi ada kelas jadi dititipin ke aku."

"Kok dua?"

Hani menoleh kesekitarnya, kemudian memutari meja Vio dan menarik kursi untuk duduk disamping Vio.

"Itu juga yang bikin aku bingung. Yang lain termasuk aku cuma dia kasih satu. Tapi kamu dikasih dua." Bisik Hani pada Vio.

Didalam ruangan guru saat ini masih ada beberapa guru yang masih duduk di tempatnya.

Maka dari itu Hani memilih berbisik ke Vio agar percakapannya tidak terdengar.

"Terus yang sebenarnya warna apa?"

"Yang cokelat, kalau yang biru itu tambahan."

"Yaudah, nanti yang biru biar aku balikin aja." Putus Vio.

"Tapi kalau dia tersinggung gimana?" Tanya Hani was-was.

"Kan aku nyamain sama kamu dan yang lain. Jadi kalau dia merasa tersinggung itu bukan urusan aku."

Hani akhirnya menganguk paham, kemudian berdiri dan kembali ke tempat duduknya, setelah terlebih dahulu mengembalikan kursi yang tadi ia duduki.

Beberapa jam setelahnya, Vio dapat melihat Rama memasuki ruangan yang sama dengannya. Dan kebetulan hanya ada Vio yang saat ini masih menunggu jam mengajarnya.

Vio membalas senyum Rama sekilas, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan ke arah Rama.

Vio mengulurkan paper bag yang sudah ada ditangannya ke depan Rama. "Sebelumya maaf, tapi saya mau ngembaliin ini ke kamu." Kata Vio.

Rama menatap Vio dengan alis terangkat, seolah bertanya kenapa Vio mengembalikan pemberiannya itu.

"Saya mau kayak yang lain Ram, mereka cuma dapat satu. Jadi saya ngerasa gak enak aja sama yang lain." Vio kembali membuka suaranya.

"Tapi gak perlu kamu balikin Vi, itu memang sengaja saya kasih untuk kamu." Kata Rama saat Vio menyerahkan kembali paper bag berwarna biru yang ia berikan hanya untuk Vio.

"Maaf Ram, tapi saya gak bisa terima yang ini." Tolak Vio kemudian menaruh paper bag tersebut dimeja Rama.

"Tapi Vi... "

"Rama saya gak mau, rekan kerja kita yang lain berpikir aneh-aneh tentang ini." Potong Vio cepat.

"Saya permisi dulu." Pamit Vio, kemudian dengan segera berbalik dan berlalu dari dalam ruang guru untuk menuju ke kelas yang akan ia ajar.

Rama menatap punggung Vio yang mulai hilang dari pandangnya, kemudian mendesah kecewa atas penolakan yang lagi-lagi Vio berikan.

"Segitunya kamu Vi." Gumam Rama pelan. Tanpa sadar Rama mengepalkan dua telapak tanggannya bersamaan.

Kemudian berbalik mengahadap ke meja kerjanya dan menendang meja didepannya dengan perasaan kesal dan marah.

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Farez berulang kali menyugar rambutnya kebelakang, saat gambar yang sudah dikirimkan ke pelanggannya masih saja tidak sesuai dengan keinginan pelanggannya tersebut.

"Gue harus bikin yang kayak apa lagi coba? Mana ini pesenan terbesar gue selama ngejalanin bisnis ini." Kata Farez menatap frustasi pada langit-langit kamarnya.

Rasanya kepala Farez terasa berat ketika gambar yang ia kirim selalu mendapat kritik dari segi modelnya.

Farez meraih ponselnya kemudian menghubungi Rama karywannya, untuk menanyakan beberapa hal.

"Masalahnya, saya udah beberapa kali coba revisi gambar buat pesanan itu." Keluh Farez setelah mendengar penjelasan Rama.

"Gini deh, kamu kabarin dia buat ketemu langsung sama saya buat ngobrolin desain yang dia mau."

"Oke-oke. Saya tutup dulu." Farez memutuskan sambungan teleponnya kemudian menaruh kembali ponselnya diatas meja.

Dan beranjak untuk keluar kamar, sepertinya ia butuh untuk menyebarkan pikirannya yang terasa berat akibat permintaan pelangganmya yang cukup membuatnya pening beberapa minggu ini.

Padahal rencananya satu minggu lagi ia akan merealisasikan acara kejutan untuk menyatakan cintanya pada Vio.

Namun sampai hari ini saja pikirannya masih harus terbagi-bagi dengan masalah kerjaannya.

Farez mengambil air dingin dari dalam kulkasnya kemudian dengan segera meneguk hingga tersisa setengah botol.

"Kayaknya gue gak bisa nyiapain itu sendiri deh." Gumam Farez, sembari mencoba berpikir.

"Mumpung Nadda masih disini, kayaknya gue harus minta dia buat bantuin gue deh." Farez tersenyum setelahnya kemudian segera berjalan sedikit cepat ke kamar untuk menghubungi adiknya itu.

***

"Lo bertiga ngapain sih duduk disini?" Clara mematap kesal ke arah Rian, Vano, dan Nino yang seenaknya duduk dimeja yang sama dengannya.

"Yang lain udah penuh Cla, jadi kita duduk di bangku yang kosong. Dan tempat lo kebetulan kosong." Balas Vano kemudian menyuapkan nasi goreng kedalam mulutnya.

"Tapi kan gue belum ngizinin, jadi lo bertiga gak bisa seenaknya duduk gini dong." Protes Clara.

"Udah Beb, kamu jangan marah-marah gini, lagian yang diomongin sama Vano itu bener kok." Kata Rian mencoba membuat Clara berhenti mengomel.

Clara menatap Rian yang duduk disampingnya dengan nyalang. Kemudian menghela nafas pelan setelahnya. "Kalian kan bisa nunggu sampai ada bangku kosong."

"Kelamaan dong Cla, keburu masuk jam mata kuliah dimulai." Kini giliran Nino yang mencoba berbicara pada Clara.

Clara bungkam, percuma saja menyauti lagi karena sudah dapat dipastikan kalau dirinya pasti akan kalah kalau harus berdebat lagi dengan tiga orang menyebalkan itu.

"Farez tumben sampai jam segini belum dateng? Dia gak kelupaan kalau ada kelas pagi kan?" Rian bertanya pada Vano dan Nino.

Untuk masalah kemarin, Rian sudah menyampaikan ucapan maaf kepada Nino atas ucapan sarkasnya kemarin, yang membuat Nino sedikit ngambek dengannya hingga saat ia meminta maaf kemarin, Rian harus mengeluarkan uang untuk membeli playstation untuk membantu dirinya agar Nino mau menerima maafnya.

Walaupun Rian dan ketiga temannya sering berbicara kasar dan sarkas satu sama lain setiap harinya tapi kata-kata tersebut hanya bertujuan untuk candaan semata dan mereka lontarkan dalam keadaan yang normal bukan dalam keadaan marah atau sebagainya.

Jadi Rian merasa bersalah saat menghakimi Nino kemarin, tanpa tahu keadaan Nino dan Mita yang sebenarnya.

Nino mengangkat bahunya singkat, pertanda bahwa ia juga tidak tahu menahu. "Coba aja telpon." Kata Nino memberi saran.

"Tadi pagi sih, Mbak Vio berangkat sendiri pakai motor. Padahal biasanya Farez udah ngetem di depan rumah sambil ngobrol sama Bapak, tapi tadi pagi dia gak ada jemput Mbak Vio." Beritahu Vano.

"Yaudah gue coba telpon dulu." Putus Rian kemudian segera menekan kontak Farez di ponselnya.

"Gimana?" Tanya Nino.

"Aktif, tapi gak diangkat. Apa mungkin masih dijalan ya?" Kata Rian setelah meletakkan ponselnya dimeja.

"Mungkin iya." Kata Vano menganggapi Rian.

Clara hanya mendengarkan percakapan tiga orang tersebut tanpa mau ikut menanggapi.

Clara lebih tertarik untuk menikmati sarapan paginya, walaupun terasa malas karena harus duduk bersebelahan dengan mantanya.

"Nino." Panggil Mita yang kini sedang berjalan ke arah tempat duduk dimana Nino berada.

Vano, Rian, dan Clara otomatis menoleh kearah sumber suara tersebut, dan mendapati Mita yang baru saja berhenti dan berdiri disamping Nino duduk.

"No, aku mau bicara sama kamu." Kata Mita kemudian menyentuh bahu Nino.

Nino mendongak kearah Mita kemudian menurunkan tangan Mita yang berada dibahunya.

"Bicara aja Ta." Balas Nino setelahnya.

"Tapi gak disini, kita bicara ditempat lain aja."

Rian menatap malas kearah Mita, saat baru menyadari sifat perempuan tersebut.

"Nino harus sarapan Ta, lo gak lihat piring dia masih penuh gitu?" Kata Rian pada Mita.

Mita menoleh sejenak pada Rian, namun setelahnya kembali mencoba membujuk Nino untuk mengikuti permintaanya tadi.

Vano pun mulai jengah mendengar rengekan Mita yang terdengar memaksa Nino untuk mengikuti permintaannya tadi.

"Mending lo nunggu Nino beresin sarapannya dulu Ta, gue denger lo ngerengek kayak gitu malah bikin napsu makan gue hilang tau gak?" Kata Vano menatap jengah ke arah Mita.

"Kalian berdua kenapa sih? Kok ikut campur banget dan kayak gak suka gitu sama gue." Kata Mita dengan nada kesalnya.

"Ya karna lo ganggu kita. Udah deh, lo nunggu Nino dikelas aja. Gue sama yang lain gak bisa makan dengan nyaman gara-gara lo." Rian mengibaskan tangannya untuk menyuruh Mita pergi.

Clara menoleh kearah Rian, sedangkan Rian yang menyadari itu hanya mengangat sebelah alisnya saat bingung karena tatapan yang Clara berikan.

Mita mendengus sebal saat Nino sama sekali tidak membelanya saat Vano dan Rian terus menerus melayangkan kalimat-kalimat pengusiran mereka.

Mita menghentakkan kakinya kesal, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari kantin dengan perasaan kesal.

"Kalian kenapa? Kok kayak gitu sama Mita?" Tanya Clara setelah Mita berlalu.

"Ceritanya panjang Cla, kalau lo mau tau. Lo bisa tanya sama mantan lo." Kata Vano kemudian tersenyum jail ke arah Clara.

"Idih, ogah banget. Lagian gak penting juga buat gue." Balas Clara.

Vano terbahak mendengar respon Clara, sedangkan Nino hanya terkekeh pelan.

Tapi tidak dengan Rian yang malah menatap Clara dengan wajah melasnya.

°°°


Continue Reading

You'll Also Like

6.1M 320K 59
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
792K 7.6K 9
(Sedang dalam proses revisi, di publikasikan berkala) Dokter Rony Mahendra Nainggolan tidak pernah tahu jalan hidupnya. Bisa saja hari ini ia punya k...
1.3M 126K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
2.8M 141K 61
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞