We Have To Break Up | ✓

By djangles

429K 60.1K 4K

Arsyanendra dan Miwa adalah sepasang sepatu yang pas, dengan perpaduan tali yang sempurna, juga harmonisasi w... More

Prolog
1 : Pre-Wed
2 : Lagi-lagi Hal yang Sama
3 : Waktu yang Terbuang
4 : Lebih Baik Break
The Journey : Year 0
5 : The End and The Beginning
6 : Persiapan
7 : Pagi yang Berbeda
8 : Menepi Sejenak
9 : Klise
10 : Afeksi
11 : On His Side
12 : Gradasi Asa
13 : Harapan
14 : Sebuah Pesan
15 : Berarti
16 : Hanya Sesaat
17 : Perlahan Menerima
18 : Tanpa Daya
19 : Transisi
20 : Benar atau Salah
21 : Pilihan Terbaik
22 : Tidak Ada Waktu yang Tepat
23 : 180 Degree
24 : Tentang Sebuah Usaha
25 : Mengakar Kuat
26 : Seperti Hari-hari Lalu
27 : Lovely Miwa
28 : Definisi Hubungan
29 : Permainan Waktu
30 - Bersama
31 - Kenyataan
32 - Kembali Datang
34 : Masih Adakah Harapan?
35 : Waktu Sendiri
36 : Mari Akhiri Segalanya
37 : Arti Rumah
38 : Makna Bersama
Epilog
WHTBU - Extra Parts

33 - Dua Garis Singgung

8.8K 1.3K 145
By djangles

33 - Dua Garis Singgung

Miwa yakin dirinya sudah memutuskan untuk bersikap egois : terhadap dirinya, terhadap hubungannya dan terhadap masa depannya. Dia tak akan gamang dalam membuat keputusan dan hanya memikirkan kebahagiaannya sendiri. Dia hanya harus melakukan hal itu, mulai sekarang.

Dia tak peduli seberapa kuat tembok yang harus dia pecahkan, tak peduli sedalam apa laut yang harus dia selami atau dia tak peduli setinggi apa gunung yang harus dia daki. Miwa yakin, dia memiliki kekuatan dan semangat yang besar ... meski bodohnya, setelah sepuluh tahun dia baru ingin berjuang sekeras ini.

Dalam kenangan-kenangannya bersama Arsya, tahapan kehidupan dan pendewasaan yang mereka lalui ... Miwa yakin dialah orangnya. Dia hanya ingin hidup bersama Arsya, tidak mau yang lain. Kalau bersama orang lain, Miwa tidak bisa membayangkan ... bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta lagi ketika hatinya terpatri pada satu nama? Pun, berapa lama waktu yang harus dia habiskan hanya untuk move on ... yang dirinya sendiri pasti tidak mau melakukannya.

Ia terdiam di depan cerminnya, menatap wajahnya yang menyedihkan. Bahkan dia sudah diinjak harga dirinya sebegitu pahit oleh keluarga Arsya, namun masih keras kepala. Tapi setidaknya Miwa mengetahui bahwa mereka semua bukan hanya menyakiti Miwa, tapi menyakiti keduanya. Hanya butuh waktu ... sementara ... bertahan sebentar untuk membuat keadaan berbalik.

Miwa yakin hari itu akan segera datang.

Ia menarik napas panjang, ada rasa sesak yang dia rasakan ... begitu kuat. Ada risau yang menghentak dari tadi siang yang membuat segala fokusnya menjadi buyar. Ia duduk di depan cerminnya, baru saja selesai mandi dan membersihkan diri. Satu tangannya di atas meja rias, memegang satu bungkus benda yang tiba-tiba terpikirkan olehnya. Tak jauh dari tangannya, ada gelas yang penuh berisikan air dan satu strip obat yang harus dia minum. Tangan Miwa beralih ke obat itu, mengeluarkan satu pil dan segera meminumnya. Saat menelan, dia terkejut karena pintu kamarnya diketuk. Buru-buru Miwa memasukkan dua benda itu ke dalam lacinya. Tak lupa menguncinya. Kemudian baru terbatuk-batuk.

"Kakak udah selesai bebersih?" Ayah membuka pintu dengan perlahan, membuat Miwa membalikkan badan. Ia tak lupa menelan habis apa yang tercekat di tenggorokannya tadi.

Ayahnya sempat melirik ke arah gelas yang sudah berisi setengah, sebelum beranjak masuk ke dalam kamarnya dengan tenang. Ketenangan itu malah membuat Miwa gugup, dan Miwa berdeham cepat.

"Abis minum apa, Kak? Sampai merah gitu wajahnya?"

Miwa kembali meraih gelas, meminum cepat. "Aku ... baru minum vitamin, Yah. Kaget karena Ayah ngetuk pintu," ia berusaha untuk santai dan mengatur wajahnya agar tak terlihat sedang menyembunyikan sesuatu.

"Ayah mau ngobrol sama Kakak," Ayah menatapnya dengan serius.

Miwa menunduk, sebelum mengangguk. "Tentang?" Tanyanya setelah beberapa saat.

"Tentu tentang masa depan putri sulung kami."

Miwa menelan ludah, sudah mengerti ke arah mana pembicaraan Ayah yang tiba-tiba datang ke Jakarta untuk urusan penting. Satu-satunya urusan Ayah ke Jakarta adalah bisnisnya, kemungkinan besar ... Ayah juga telah bertemu dengan Arsya.

"Tadi Ayah ketemu Arsya?"

Ayah mengangguk. "Ya, ada sedikit kendala. Ayah harus datang ke sini untuk konfirmasi."

Miwa sedikit tak mengerti, memilih hanya mengangguk.

"Terkait hubungan kamu dan Arsya. Seberapa yakin kamu nggak ada penundaan untuk keempat kalinya, Miwa?"

Ada hening panjang yang menyertai setelahnya.

Pertanyaan itu membuat leher Miwa kian tercekik. Jujur saja, dia sendiri juga tidak tahu jawabannya. Selain tidak tahu, dia juga sama sekali tidak yakin. Untuk beberapa saat, Miwa hanya bisa diam sebelum membuka suara, "Aku yakin nggak ada penundaan lagi, Yah." Membohongi hati kecilnya.

"Kenapa?"

Miwa menelan ludah, tidak lagi berani menjawab karena sama sekali tak memiliki ide.

"Kamu tahu Ayah dan Ibu sangat menyayangi anak-anaknya bukan? Ada harkat dan martabat keluarga yang kamu bawa saat masuk ke dalam keluarga orang lain. Jika mereka belum kunjung memberikan apa yang kalian mau, kalian mau menunggu sampai kapan?"

Miwa tiba-tiba memberontak. "Tolong biarkan aku memilih kehidupanku, Yah. Aku mau menjalani semua konsekuensi itu," dia mengeras.

"Bijaklah, Miwa. Kamu bukan menghadapi orang yang nggak menerimamu, tetapi akar permasalahannya ada di hubungan Arsya dan keluarganya. Biarkan dia menyelesaikan hubungannya itu dulu."

"Kalau nggak selesai?"

Ayah menarik napas panjang, "Dua puluh delapan tahun Ayah dan Ibu memberikan kamu kehidupan yang terbaik, gimana mungkin ... kami tega melihat kamu diperlakukan terus-terusan seperti ini?"

Seolah Ayah menamparnya dengan keras, membuatnya hanya bisa menatap ubin di kamarnya.

"Ayah nggak akan melarang kamu dan Arsya untuk menikah. Pun Ibu. Tapi, kalau keluarganya Arsya tidak mau ... kita bisa apa, Miwa? Memaksa? Nggak mungkin."

"Ayah kenapa sih nggak mau dukung usahaku?"

Ayah berdiri pelan. "Lihatlah dari perspektif yang lebih luas. Kamu harus segera memutuskan apa yang harus kamu lakukan. Ayah dan Ibu akan selalu menerima kamu di saat kamu pulang dengan rasa sakit atau rasa bahagia."

"Aku tetap mau maju, Yah."

"Pikirkan baik-baik, Miwa. Berikan jeda waktu buat Arsya untuk menyelesaikan masalah mereka lebih dahulu. Karena kamu akan tinggal di sini, kamu yang akan terus-terusan bertemu keluarganya. Ayah dan Ibu jauh di sana, dan nggak bisa melindungi kamu setiap saat."

Miwa hanya membiarkan Ayah berjalan keluar dari kamarnya, "Oh ya, Miw. Mobilnya datang besok. Ziya katanya kesusahan pulang kalau jadwal malam. Kamu bisa pakai gantian sama Ziya ya."

"Aku nggak punya SIM, Yah."

"Ziya punya."

Miwa mengangguk. Setelahnya Ayah keluar dari kamar bersamaan dengan ponselnya berdering. Arsya meneleponnya.

***

Miwa antre di coffee shop di lobby gedung kantornya. Dia memang membutuhkan kopi karena akhir-akhir ia selalu merasa terlalu lelah. Beberapa kali dia mendapati dirinya mengantuk saat bekerja. Mungkin ini efek di mana dia terus-terusan tanpa istirahat, setelah Arsya di opname waktu itu.

"Kak!" April menyapanya dari belakang, menepuk punggungnya. Miwa sedikit tersentak karena April tak sendiri tetapi juga bersama Joya dan Elang.

Mereka sempat bertatapan beberapa saat sebelum akhirnya melempar senyum.

"Kirain lo udah pulang, Kak," April menyeletuk. "Dijemput ayang ya?"

Miwa maju selangkah karena antrean di depannya sudah mulai berkurang. Kemudian dia mengangguk, tidak ingin menutup-nutupi. Beberapa kali April kadang memergoki chat-nya bersama Arsya di laptopnya dan melihat Miwa datang bersama Arsya.

"Dia nggak sibuk, ya? Masih sempat-sempatnya ketemu lo."

Yah ... andai April tahu, hanya mencuri-curi waktu itulah waktu berharga yang mereka punya.

Kemudian, sebuah mobil tampak berhenti di depan. Miwa segera mengeluarkan ponsel, memberi tahu bahwa Arsya sebaiknya memutar terlebih dahulu di area gedungnya karena dia sedang mengantre membeli kopi.

April lagi-lagi di belakangnya berdercak. "Udah datang? Mas-nya act of service banget ya?" April memang membahas beberapa love language tadi saat mereka sedang lowong.

Miwa menerawang, "Nggak juga." Selama mereka bersama, sepertinya Arsya bukan hanya act of service saja.

"Oh ya? Trus dia apa? Quality time?"

Miwa tersenyum. "Semuanya ... dia punya semua love language itu."

April langsung mendorong kecil bahu Miwa karena tiba-tiba merasa mual dengan ucapan seniornya itu. Giliran Miwa memesan pesanannya dan menunggu beberapa saat. Setelah memegang satu kopi di masing-masing tangannya, Miwa menatap satu persatu rekan kerjanya itu, "Gue duluan ya."

Elang spontan mengangkat tangan tak sempat menjawab karena Joya menginterupsinya dengan pesanan.

Miwa melangkah keluar, beberapa saat dia menunggu dan mendapati Arsya sudah kembali ke lobby. Ia masuk ke bangku penumpang di samping kemudi. Cepat, ia mencium pipi Arsya, "Maaf ya bikin kamu nunggu," Ia meletakkan dua kopi itu diantara mereka.

Arsya mengusap puncak kepala Miwa sebagai gantinya. Mereka akan makan malam terlebih dahulu sebelum pulang.

"Makan malam di mana?" Tanya Miwa, menyadari mereka sama sekali belum membahas makan malam mereka.

"Aku udah pesan tempatnya," jawab Arsya kalem. "Miw, aku nggak jadi ikut sparing futsal untuk hari jadinya CBN," Arsya memberi tahu, setelah mobilnya berhasil bergabung dengan kemacetan sore ini. Nada suara Arsya begitu datar juga terdengar begitu lelah.

Miwa mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya kamu udah latihan?"

"Dua kali. Nggak apa-apa. Kayaknya aku belum fit juga."

Miwa memperhatikan raut wajah Arsya dengan seksama. Lagi-lagi, dia menemukan bahwa ada hal yang terus dipendam Arsya, yang tak bisa Miwa tebak sama sekali.

Miwa beranjak, memindahkan dua kopi mereka ke sebelah kirinya, dia menggandeng tangan Arsya yang memandang lurus ke depan, sedang kepalanya menyentuh lengan atas Arsya. Sentuhan Miwa itu membuat Arsya terperanjat dan tersenyum tipis membalas tatapan Miwa.

Ia mengusap pipi Miwa, "Kenapa?"

"Kamu lagi mikirin apa?" Tanyanya langsung.

Arsya menarik napas panjang. "Kamu percaya sama aku, Miw?"

Tanpa ragu, Miwa mengangguk.

"Seberapa percaya?"

Miwa mengernyitkan dahi. "Full."

Arsya mengusap lagi rambut Miwa dengan pelan. "Gimana kalau aku ... tetap nggak bisa membawa hubungan ini kemana-mana?"

Miwa melepaskan tautan tangan mereka dan duduk dengan tegak. Tiba-tiba hatinya kembali terasa berat seperti ucapan Arsya baru saja menyentak jantungnya. "Aku juga percaya ... kamu nggak mungkin diam aja." Dia hanya berusaha naif dan mempercayakan segalanya kepada hubungan mereka.

Meski Miwa tahu, Arsya sudah menangkap apa yang dia rasakan.

Arsya menarik napas panjang, tangan kirinya kembali menggenggam tangan Miwa dengan erat. "Kamu bisa percaya itu?"

Miwa mengangguk lagi dan kembali menumpukan kepalanya di bahu laki-laki itu.

Arsya tak lagi berbicara dan melajukan mobilnya. Mereka sampai pada tempat makan yang telah di pesan Arsya. Di sebuah rooftop gedung di daerah Kuningan. Mereka duduk di bagian dalam dengan sofa. Tidak ada yang aneh dengan makan malam itu. Karena konsep restorannya ruang lepas, sepoi angin dari luar juga membuat mereka lebih rileks dalam menghabiskan makanan mereka.

Sampai akhirnya, setelah dessert mereka habiskan dan Arsya terus menatap Miwa dengan lekat.

"Ayo kita berhenti sebentar, Miw." Ucapan itu membuat Miwa yang tengah menikmati pemandangan luar menoleh. Cukup kaget dengan ucapan Arsya yang tiba-tiba. "Udah saatnya kita menepi, kapal yang kita bawa nggak cukup kuat melawan badai."

Ia bergeming. Dia baru saja selesai makan, tidak bisa berpikir jernih. Namun, Arsya mengucapkan kata-kata yang membuatnya panas dingin. Matanya membulat tapi berusaha Miwa atur agar tak terlihat begitu terkejut.

Miwa akhirnya membuang lagi pandangannya, menoleh ke arah samping. "Seberapa kuat?" Tanya Miwa. "Badai yang kamu lihat di depan, bakalan seberapa menakutkan?"

"Besar. Di luar dugaanku ... sangat besar." Arsya tak menutupi sama sekali.

"Apa kita nggak punya harapan lagi, Sya?" Ia terdengar begitu menyedihkan.

Dan meski dia tidak ingin mendengar jawaban ini, Arsya benar-benar membawanya ke kenyataan. "Nggak tahu."

Pil pahit itu sudah harus mereka telan.

"Aku ... nggak mau." Dan, terdengar begitu menyedihkan lagi.

"Berhenti temui Papaku, Miw. Itu cuma akan membuat kamu semakin dipermainkan. Aku nggak mau kamu memaksakan diri lagi."

Miwa menoleh, cukup kaget mengetahui bahwa Arsya tahu segalanya. Tentang dia yang setiap minggu menemui Irsya dan segala usahanya.

"Sya-"

"Ayo kita berhenti."

TBC

Masih kuattt???
Apa yang mau kalian bilang buat Arsya dan Miwa?

Continue Reading

You'll Also Like

675K 43.3K 32
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
13K 693 20
Bagaimana jika, murid baru yang berstatus omega, dan ketua osis berstatus alpha pada sekolah baru sang omega ini, mencintai nya dengan tulus. Begitu...
386K 43.3K 37
di ulang tahunnya yang ke-28, Naraya Abigail justru diputuskan sang pacar--Derren persis setelah ia berdoa agar menikah tahun ini. Alih-alih berlarut...
1M 148K 47
Win, kawin! Winka Winata terjebak dalam dilema ketika harus memilih antara kawin dengan pria pilihan bapaknya, atau dengan sepupunya yang kelainan. S...