Silver Maiden [Terbit]

By Cassigatha19

842K 76.7K 4.3K

[Masuk daftar Cerita Istimewa Wattpad HQ 2018] Orang-orang menyebutnya sang Gadis perak, putri pelindung Vigh... More

Prologue
1. Quon
2. Cyde
3. The Diamonds
4. Kia
5. Thread
6. Fiona
7. Black Diamonds
8. Rendezvous
9. Whisper
10. Breath
11. Motive
12. Friend
13. Deadly Yarn
14. Frozen
15. One Night
16. Trap
17. Charge
18. White
19. Promise
20. Petals
21. Moon
22. Scent of Death
23. Farewell
24. Toxic
25. The Death
26. The Sapphire Eyes
27. Guilty
28. Water Ripples
29. Conspiracy
30. Warmth
31. Miracle
32. Water Crystal
33. Bloom
34. Labyrinth
35. Black Shield
36. Tantrums
37. Fall Down
38. Sacrifice
39. Wounds Heal
40. Autumn
41. Bitter
42. Hazel Eyes
43. Crossroads
44. Reminiscence
45. Tranquility
46. Smith
47. Scar
48. Bidder
49. The Curse: Tail
50. The Curse: Main
51. The Curse: Brain
52. Rain Resonance
53. Distant
54: Rinse
55: Dagger
56. Devil's Glare
57. Anomaly
58. Fang
59. Cliff
60. Prey
61. Pawns
62. Shattered (I)
63. Shattered (II)
64. Alter Ego
65. Return
66. Wick
67. Torn
68. Funeral
69. The Unforgiven
70. Betrayal
71. Barrier
72. A Speck of Light
73. Queen's Horn
74. Lost
75. Heartbeat
76. Splinters
Epilogue
Extended Chapter: Mikhail
Extended Chapter: Kia
Extended Chapter: Fiona
Extended Chapter: Fiona II
Extended Chapter: Quon Burö
Bonus Chapter: The Spring Breeze
Extra Chapter: Charas
Extra Chapter: Charas II
The Prince and The Diamond He Holds

Wind in Laroa: White

426 42 9
By Cassigatha19


Terdapat sebuah pohon apel yang berdiri di antara padang rumput dengan angin yang menderu kencang di Laroa. Pohon itu hanya sendirian, namun apel-apelnya tidak berhenti berjatuhan. Anak-anak yang bermain di sekitar sana akan memakannya sampai kenyang, atau justru langsung diseret orangtuanya pulang. Kenapa? Karena tidak jauh dari pohon itu, daratan terputus, digantikan dengan jurang yang mengarah langsung ke bebatuan karang di bawahnya.

Tempat itu memang indah, namun dicap angker.

Matahari berada tepat di atas kepala, muncul seorang gadis memakai jubah abu-abu. Napasnya sedikit terengah setelah berjalan cukup jauh. Dia memperhatikan pohon apel yang besar di depannya kemudian menoleh ke belakang. Tidak ada orang yang mengikutinya. Aman, pikirnya. dia langsung meletakkan ransel lalu duduk bersandar di pohon. Tersenyum, gadis itu pun membuka buku tebal yang dia curi belum lama ini.

Sungguh tidak adil jika orangtuanya hanya memperhatikan keempat putra mereka, dan mengabaikan begitu saja rasa ingin tahu yang besar dari Beatrix. Meskipun bukan anak yang akan meneruskan nama keluarga, Bea tidak mau hanya menjadi seorang istri yang diam saja di belakang suami. Dia ingin menjadi prajurit wanita, atau pun seorang gubernur yang sejauh pengetahuannya hanya ada satu orang wanita pernah memegang kedudukan tersebut di Laroa.

Saat asyik membaca, tiba-tiba dia dikagetkan dengan suara raungan. Beatrix mengedarkan pandangan ke segala arah, namun dia tidak melihat apa pun. Apakah dia salah dengar? Baru saja dia membatin dan raungan itu terdengar lagi. Kali ini lebih keras. Gadis itu kemudian meletakkan begitu saja bukunya kemudian bergerak mengikuti arah suara tadi. Suaranya berasal dari bawah jurang.

Takut-takut, Bea melongok ke bawah. Gadis itu tercengang pada sesuatu yang dia lihat.

Seekor mirounga menjerit-jerit karena terjerat jaring nelayan. Panik, Beatrix langsung berlari memutar mencoba menemukan jalan yang mengarahkannya ke dekat hewan tersebut.

Sementara Beatrix berputar-berputar kebingungan, ternyata ada seseorang lagi yang mendengar jeritan kesakitan si Mirounga. Seorang laki-laki yang berpostur tegap dan tinggi berkulit pucat dengan rambut panjangnya yang diikat tinggi di atas kepala. Pupil mata laki-laki itu sungguh besar, mencakup dua pertiga dari matanya. Laki-laki itu memerhatikan gerak-gerik si Mirounga, namun dia tidak melakukan apa pun. Hanya kepalanya yang kadang miring ke kiri dan ke kanan.

Kira-kira setengah jam lamanya, barulah Beatrix sampai di situ. Dia bahkan kepayahan mengambil napas.

"Oh, kau makhluk yang malang!" serunya. Bea ingat dia membawa sebilah pisau kecil yang ada di ransel, tapi alangkah terkejutnya dia menyadari tas itu masih tertinggal di bawah pohon apel. "Oh, sialan ..."

Sambil merutuki kebodohannya sendiri, dia tidak sengaja melihat ke arah laki-laki tadi.

"Hei," sapa Bea ragu-ragu. "Apa kau punya sesuatu yang tajam? Pisau? Kita harus membebaskan dia!"

Laki-laki itu membalas tatapan Bea, tapi anehnya dia seperti orang asing yang tidak mengerti bahasa yang dipakai Bea.

"Kita harus membebaskan dia! Dia terluka!" seru Bea lagi.

Laki-laki itu tetap bergeming. Namun sedetik kemudian pandangannya beralih pada seseorang selain mereka yang datang menghampiri. Seseorang itu memunggungi Bea, berjalan mendekati si Mirounga. Tangannya mengulur menyentuh makhluk besar itu, lantas entah karena sihir apa, Si Mirounga berhenti memberontak. Tiba-tiba jerat yang mengekangnya musnah menjadi abu.

"Dia mengandung," kata orang misterius itu. Bea mengerjap. Suara seorang perempuan yang merdu seperti lagu. "Dia tidak takut kehilangan nyawanya, dia hanya takut kehilangan bayinya. Ya, dia tahu kalau dia sedang mengandung."

Beatrix menahan napas takjub melihat mirounga dewasa itu mengangguk-angguk jinak pada perempuan tadi bahkan menyodorkan kepalanya untuk diusap. Beberapa saat kemudian, hewan itu pun berbalik kembali ke laut.

Beatrix entah kenapa harus menahan napasnya saat perempuan itu hendak berbalik. Tapi sejenak kemudian gadis itu nyatanya hanya bisa bengong melihat seseorang yang badannya dipenuhi dengan lumpur di balik jubah. Hanya suaranya saja yang merdu, sedangkan tampilannya sangat berantakan. Tapi bisa-bisanya perempuan itu tersenyum bodoh ke arahnya.

"Terimakasih," kata perempuan itu--mungkin seorang pengembara yang telah melewati berbagai macam medan. Kubangan lumpur misalnya.

"Untuk apa?" tanya Beatrix bingung.

"Bukankah kau hendak menyelamatkannya tadi?"

"Ya, tapi ... kau yang membebaskannya."

"Aku kebetulan lewat. Aku baru saja selesai bermain dengan bayi kuda nil dan ibunya hampir memakan kepalaku." Dia tergelak.

Beatrix hanya bisa tertawa hambar membalas kata-katanya. Tidak sengaja dia menoleh ke arah laki-laki yang daritadi memperhatikan mereka dalam diam. Omong-omong setelah dilihat baik-baik, dia seperti berasal dari dimensi lain. Dia sangat tampan, namun Beatrix sangsi kalau di balik rupa itu adalah benar-benar seorang manusia.

"Aku sangat jarang melihat orang Laroa memiliki rambut pirang seperti yang kau punya."

Kata-kata perempuan tadi langsung mengalihkan pandangan Beatrix. Sangat kontras dengan rambut ikal dan pirang yang dimiliki Bea, dia mempunyai rambut hitam legam.

"Siapa namamu?"

"Bea." Gadis itu bergantian menatap lawan bicaranya dan laki-laki tadi. "Kalian siapa? Apa kalian turis? Atau pengembara?

"Kami sedang melarikan diri." Ada binar aneh yang terpancar dari mata perempuan itu saat melangkah mendekati Beatrix. Begitu cukup dekat, Beatrix baru sadar kalau dia memiliki mata biru yang berkilau bagaikan safir. "Namaku Quon ... Mari kita berteman, Bea."

***

Satu kereta kuda berhenti di pekarangan sebuah kastil. Dari luar, kastil itu sangat ramai, penuh dengan cahaya lampu bahkan musik yang tidak berhenti mengalun. Pintu kereta dibuka dan seorang laki-laki turun dengan jubah hitam yan besar. Tangannya kemudian mengulur pada seorang perempuan, membantunya turun.

"Ini pertama kalinya aku menghadiri pesta di Laroa," kata perempuan itu, tersenyum. "Aku hampir tidak punya gaun untuk dipakai. Terimakasih sudah bersedia menemaniku, Tuan Buriand--maksudku Tuan Buro."

"Tidak usah menyebut nama itu di sini, Fiona. Atau prajurit Vighe akan lari tunggang langgang ke sini untuk menyeretku pulang ke pengasingan."

"Tentu saja." Fiona terkekeh. "Tuan Cyde sudah berpesan kalau terjadi sesuatu, Raja akan mengirimkan satu pasukan penuh ke sini. Padahal aku yakin dia hendak mengutukimu karena Putri Buro menghilang dari pengawasanmu."

"Dia tidak hilang," Varoscar membantah. Saat ini mereka tengah melangkah memasuki ruang utama pesta. "Dia pernah mengatakan padaku kalau ingin bermain di pantai dan berenang di laut. Ada banyak buku mengenai Laroa di perpustakaannya, sangat mudah ditebak ke mana dia akan berkeliaran. Dia pergi saat aku tidur." Dan sungguh, Var sangat jengkel tiap hal itu terjadi.

"Apakah kau tidak khawatir?"

Var diam cukup lama. Mereka telah sampai di ruang pesta di mana berpasang-pasang mata memperhatikan mereka sembari berbisik-bisik.

"Berlian itu ..." Lama Var memberi jeda. "Memberinya kendali atas tali kekang. Namun bukan berarti monster itu akan begitu mudah tunduk padanya."

Var dan Fiona bergerak sedikit menepi. Seorang pria berpakaian pelayan lantas menghampiri mereka. Fiona berdiri agak di depan sementara Var memilih diam di belakang gadis itu. Sang Tuan Rumah mendapat pesan apabila ada utusan yang datang dari Vighe terkait urusan penting. Melihat gerak-gerik Var yang selalu berada di belakang Fiona, pelayan itupun menyimpulkan utusan yang mereka maksud adalah Fiona. Sementara Var berlagak menjadi pengawal. Mereka kemudian diarahkan ke sebuah ruangan yang lebih tenang.

Nyatanya mereka tidak dipertemukan dengan tuan rumah, melainkan seseorang yang lebih tinggi kedudukannya sekaligus punya seribu cara untuk menyelesaikan sesuatu seenaknya sendiri.

Cambyses.

"Aduh siapa ini?" Laki-laki itu mulai berseloroh. "Pembelot Kith yang kabur dari pengasingan? Apa kau baru saja bercerai? Oh, bukan ya. Kalian berselingkuh?"

Var hanya mengangkat alis sedangkan Fiona tersenyum masam.

"Putri Buro sedang ada di Laroa," kata Fiona tenang. "Namun bukan itu yang Vighe permasalahkan. Putri membawa sesuatu yang harusnya tidak boleh keluar dari pengawasan Taruhi. Setelah Taruhi sempat dihancurkan, para cenayang yang baru ditugaskan untuk mengembalikan semua makhluk suci pada tempatnya. Namun salah satunya ternyata diam-diam disembunyikan oleh Putri Buro."

"Bukankah berliannya sudah cukup meredakan bahaya apa pun yang bisa ditimbulkan oleh makhluk suci?" Cambyses menyilangkan tangan dan kaki.

Fiona terdiam cukup lama sebelum menanggapi pertanyaan itu.

"Makhluk itu bukan Kia ...," ucapnya lirih. "Apabila Putri Buro lengah sedikit saja, dia bisa seketika menimbulkan bencana bagi seisi negeri ini."

***

"Siapa namanya?" tanya Beatrix menunjuk pada laki-laki yang dari tadi mengikuti mereka, tapi tidak mengucapkan sepatah katapun. "Apa dia temanmu?"

"Ya, dia temanku," jawab Quon sambil tersenyum. "Tapi dia belum memiliki nama."

"Kenapa?"

"Karena tidak ada orang yang memberinya nama."

Beatrix mengerutkan kening. Walaupun dia harus sedikit mendongak menatap Quon dengan memasang tanda tanya besar di jidatnya, tampaknya perempuan yang kumal dan kotor itu hanya akan tersenyum. Namun sebenarnya bukan hanya laki-laki yang ada di belakang mereka yang membuat Beatrix penasaran. Seseorang bernama Quon itu juga sedikit aneh. Perempuan tersebut ramah dan baik, akan tetapi matanya ... Beatrix sedikit merasakan firasat yang sulit dia utarakan.

"Jadi kalian pengembara?" Beatrix bertanya lagi.

"Bisa dibilang begitu." Quon mengangguk.

"Jadi darimana kalian berasal? Apakah ... Raveann? Apa kalian cenayang?"

"Apakah terlihat seperti itu?" Di luar dugaan, Quon tertawa. "Kami hanya bosan di tempat tinggal kami yang lama dan ingin sedikit menghibur diri. Kau tahu, tidak ada pantai seindah yang dimiliki Laroa di Oltra. Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di luar? Sendirian tanpa penjagaan ... Nona Bangsawan Bea?"

Tiba-tiba Bea tergagap. "Ka-kau ... darimana kau tahu?"

"Aku tidak tahu apa-apa," balas Quon yang mengangkat alis. "Hanya menebak. Jubahmu memang tampak biasa-biasa saja, namun pakaianmu rapi dan sedikit mengkilap. Kau punya emblem yang sekilas tampak seperti kancing yang mengaitkan jubahmu. Itu berarti kau bukan orang biasa, apalagi gelandangan. Kalau aku tidak salah mengingat, hanya ada tiga bangsawan besar di Laroa yang memiliki emblem sendiri. Mungkin salah satunya adalah keluargamu."

Beatrix sempat terpaku selama beberapa detik mendengar pemaparan Quon. Akan tetapi tidak berapa lama, dia mengalihkan perhatiannya ke arah lain dan terdiam. Quon sempat meliriknya sekilas, menyadari kalau wajah gadis itu sedikit keruh.

"Hal itu bukan berarti apa pun," katanya pelan. "Bahkan bila terlahir menjadi keluarga Raja, mereka akan lebih memperhatikan anak laki-laki ..."

"Lalu? Kau menerimanya begitu saja?" Quon tampak tidak acuh.

Saat meninggalkan tempat di mana mereka menemukan seekor mirounga tadi, Quon meminta tolong pada Beatrix untuk diantarkan ke tempat di mana dia bisa membasuh diri. Perempuan itu membawa tas kecil yang ternyata memuat gaun lain. Mereka telah sampai di sebuah telaga dengan air terjun kecil yang menenangkan. Beatrix berhenti melangkah sedangkan Quon langsung mencopot gaunnya dan menceburkan diri ke telaga.

Lumpur yang tadinya menempel di sekujur tuh perempuan itu pun luruh. Detik di saat kepalanya muncul lagi ke permukaan, Beatrix lagi-lagi terpaku.

"Mengapa kalian tidak bergabung denganku?" ajak Quon sambil berenang ke sana kemari. Pertanyaan itu tidak hanya dia tujukan ke Beatrix, tetapi juga ke laki-laki misterius yang saat ini masih diam seperti patung.

Sungguh, Beatrix tidak bisa mengerti kenapa pada akhirnya dia tetap bersama kedua orang aneh itu sampai hari beranjak malam.

***

Begitu pembicaraan mereka dengan Cambyses selesai, Fiona dan Var beralih memberi salam pada Tuan Rumah yang sedang mengadakan pesta. Tidak ada alasan khusus diadakannya pesta tersebut. Hanya pesta politik seperti biasa di mana para bangsawan memperkenalkan keluarganya pada relasi lain yang kira-kira akan menguntungkan. Perjodohan misalnya. Kebetulan saja Fiona bertemu dengan orang yang dia kenal dari Raveann sehingga kini Var hanya sendirian dan berdiam di tepian ruang, sesekali menyesap anggur.

Var yang biasanya akan langsung mencari targetnya tanpa bantuan siapa pun, apalagi basa-basi dengan orang-orang di pesta seperti itu. Namun kali ini dia berencana lain. Sebenarnya tidak sulit menemukan Silvana Buro di negeri yang kecil seperti Laroa. Var menyadari satu hal: belum waktunya. Silvana tidak hanya sedang mencari ketenangan, dia juga menginginkan sesuatu dan berusaha mewujudkannya.

Yang pasti ini berkaitan dengan makhluk suci yang sempat disinggung Fiona.

Di saat pikirannya memang terpusat ke tempat lain, Var tidak lengah dengan kepekaannya. Dia menyadari suara ketukan sepatu yang lembut mendekat. Hanya satu orang yang menghampirinya di saat kerumunan orang-orang larut dalam perbincangan. Var menoleh lalu mendapati seorang gadis dalam balutan gaun hijau gelap menatapnya.

"Aku yakin tidak pernah melihatmu sebelumnya. Sudah tentu kau bukan penikmat pesta, bukan begitu, Tuan?" katanya.

Var tidak menanggapi. Di saat dia hampir mengalihkan pandangan, gadis itu berujar lagi.

"Kau orang Kith, bukan? Aku bertanya-tanya apa jadinya bila orang-orang di sini tahu soal keberadaanmu. Bukankah kau seorang bangsawan--mereka yang menjadi penyokong Raja Kith yang kejam untuk menghancurkan kerajaan lain? Laroa juga termasuk."

Ah, Varoscar sama sekali tidak mengira kalau keberadaannya di sana ada kemungkinan menciptakan masalah baru.

"Siapa?" Var bertanya tanpa ekspresi.

"Anette. Anette Sholom." Gadis itu membungkuk sekilas.

Fiona yang awalnya tengah berbincang dengan sekelompok cenayang yang juga hadir di sana, mendadak mengernyit. Pandangannya menemukan Var yang nyatanya tengah berbicara dengan seorang gadis. Entah laki-laki itu sadar atau tidak, yang jelas bukan hanya Fiona yang sedang memperhatikan mereka. Sebenarnya tidak jauh dari Var, berdiri sekumpulan pria yang pura-pura mengobrol hanya saja mata mereka mengawasi baik Var ataupun Anette.

Apa yang kau lakukan, Var?  Fiona membatin. Kehadiran gadis itu jauh lebih mencolok dari sang Tuan Rumah--di luar Cambyses tentu saja, karena pangeran satu itu sengaja menyembunyikan keberadaannya. Putri Keluarga Sholom--Anette Sholom. Keluarga mereka sangat dihormati di kalangan cenayang dan pembuat ramuan. Mereka terkenal dengan kemampuannya mengkombinasikan sihir dan ramuan. Tapi Anette tidak ke Gihon karena kabarnya fisik gadis itu lemah. Tapi bagi Fiona, gadis itu berbahaya.

"Nah, Tuan Bangsawan Kith ..." Anette tersenyum penuh arti. "Alih membuang waktuku dengan laki-laki tidak berguna yang ada di sini, aku bersedia mengisi waktu senggangmu."

Kali ini bukan indera penglihatan Var yang beraksi, melainkan penciumannya. Ada aroma aneh yang terhirup.

Aroma pemikat.

Fiona mengerjap tidak percaya ketika Var mengulurkan tangannya pada Anette--mengajak gadis itu berdansa.



Continue Reading

You'll Also Like

9K 2K 72
Amazing cover by @hayylaaa Kehidupan masa lalu masih belumlah berakhir. Malah kini menghampiri dalam wujud mimpi demi mimpi, menyampaikan pesan. Yan...
167K 23.2K 73
"Kenapa tidak boleh?" "Nona, aku mengikuti nasihatmu sendiri." "Seorang gadis tidak seharusnya memberikan hatinya pada seorang pria bertopeng." *** A...
45.5K 5.1K 20
III. Chapter Three Semua yang terjadi seperti rantai. Rantai yang berbahaya. Rantai yang sama seperti rantai Angel Mirror yang mencekiknya. Semua ber...
16.8K 3.6K 31
Blurb: Florence dan Axel terpaksa masuk ke sekolah asrama karena kesalahan yang mereka lakukan, sehingga membuat orang tua mereka marah besar. Saat p...