[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.3M 444K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

49. Sebuah Janji

15.3K 2.9K 2.9K
By tx421cph

Aku selalu berdiri sendiri bersama rasa sakit
Lalu saat aku memintamu untuk tak pergi,
Kau berkata bahwa kita tidak seharusnya bertemu
Apakah kau pernah merasakan kehilangan?

Selamat Membaca

"Ibu sangat merindukanmu."

"Keluarlah dari istana dan hiduplah dengan damai bersama ibu, nak."

"Jae... ibu sangat mencintai ayahmu..."

"Wang Jae!!"

"Hwangja-nim hentikan!! Hentikan!! Jangan bunuh dia!!"

"Karena saya hidup untuk anda, Hwangja-nim."

...

Rembulan terlihat sangat penuh malam itu. Seorang wanita muda dengan chima dan jeogori putih terlihat memandangi langit maha luas yang terbentang di atasnya, meski tak terlalu banyak bintang, kehadiran rembulan yang membesar itu seolah berkata bahwa tak ada yang perlu ia takutkan, bahwa keduanya akan dijaga oleh Sang rembulan hingga fajar menyingsing.

Perempuan itu mengambil sebuah apel dari keranjang yang sudah ia tunggu tiga hari karena sebelumnya masih sedikit mentah, memerhatikan seorang pria yang sibuk membereskan tempat untuk mereka beristirahat, Son Je Ha tersenyum tanpa sadar.

Bahkan setelah Hwang Je No berbalik dan mendapatinya melamun di dekat api unggun, perempuan itu masih tidak menyadarinya.

"Je Ha-ya? Kau lapar?"

Wanita muda itu mengerjap, "oh... iya, sedikit."

"Kemari," mengayuhkan tangannya, Hwang Je No meminta Son Je Ha untuk datang dan menghampiri. Malam telah semakin larut, dia ingin kekasihnya segera beristirahat setelah seharian membantunya membangun pondok kecil.

"Bolehkah kau kupaskan ini untukku?" Perempuan itu bertanya, sembari menyerahkan apel pada Sang Panglima.

Direspon dengan sebuah anggukan dan sebuah senyum manis, "tentu saja."

Bangunan kecil tempat mereka beristirahat yang sudah digarap oleh Hwang Je No setiap hari selama hampir dua bulan itu sebenarnya masih tidak layak. Sebagian dindingnya belum berdiri dengan kokoh hingga Hwang Je No tak bisa segera memasangkan atap, karena itu ia membuat atap kecil-kecilan di depannya yang setidaknya bisa melindungi mereka dari hujan dan terik matahari.

Hanya untuk sementara, Hwang Je No berjanji ia akan segera menyelesaikan rumah kecil mereka secepatnya.

"Apakah perutmu sakit?"

Duduk di samping Hwang Je No sembari beralaskan kain yang cukup hangat, wanita muda itu menggeleng. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan," Son Je Ha menjawab dengan lembut.

Panglima itu sangat berterimakasih kepada tuan cendekiawan kerajaan karena sudah memberikan mereka bekal yang berguna. Meskipun sedikit, bekal yang disiapkan oleh Seon Jae Hyun untuk mereka jauh lebih berguna ketimbang membawa begitu banyak namun akan cepat habis dalam dua sampai tiga minggu ke depan.

Ada cukup kain yang dibawakan, belati, hingga dua tong kecil untuk air. Karena keadaan sangat genting, dan Seon Jae Hyun tahu jika mereka bisa bertahan hidup tanpa mengkhawatirkan makanan yang bisa mereka cari di alam luar dengan mudah.

Memang benar, itu cukup mudah karena Hwang Je No juga pandai berburu.

Di siang hari sepasang kekasih itu akan membagi tugas. Hwang Je No melakukan pekerjaannya dalam membangun pondok kecil, terkadang berburu hewan di hutan jika Son Je Ha ingin makan daging. Sementara Son Je Ha melakukan pekerjaan yang lebih ringan, seperti mencari buah, mencuci baju mereka yang kotor.

Namun terkadang Hwang Je No melarang Son Je Ha melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, dia akan menyerobot dan melakukan semuanya sendiri. Alasannya karena Son Je Ha sedang hamil.

Alasan yang logis, lagipula perut wanita itu kini terlihat lebih membuncit dari sebelumnya. Sekilas, sudah bisa terlihat jika Son Je Ha adalah seorang ibu hamil.

Jika mengingat tentang itu, Hwang Je No tak bisa berhenti tersenyum. Ah, dia akan segera menjadi seorang ayah. Ayah sungguhan.

Harus ia beri nama apakah anak pertamanya nanti?

Panglima Hwang, kau harus memberi anakmu nama yang bagus dan baik!

"Besok jangan bergerak terlalu banyak, duduk dan cukup lihat saja, ya?" Pria itu bersuara, sembari memberikan sepotong apel yang telah ia kupas dengan belati pada Son Je Ha yang tiduran dengan nyaman di sampingnya.

"Kenapa begitu? Aku baik-baik saja kok."

"Kau tidak lupa kan jika sedang hamil?" Hwang Yong-Geum menghela.

"Iya iya, ingat."

Kemudian, suasana sedikit menghening. Son Je Ha terlihat menyamankan diri sembari menggulung diri dengan hati-hati di dalam selimut, tepat di samping Hwang Je No yang mengupas apel. Angin terasa dingin, selain karena malam, pun karena mereka menetap di gunung. Namun hari-hari berlalu, ia mulai terbiasa,

Hwang Je No... entahlah, dia nampak baik-baik saja setiap harinya. Staminanya benar-benar luar biasa dan dia tidak pernah terlihat lelah.

Terkadang, Son Je Ha sangat iri. Dia juga ingin memiliki energi seperti Hwang Je No yang masih bisa tersenyum seolah baik-baik saja.

"Maafkan aku ya."

Mendadak, panglima perangnya Goryeo itu meminta maaf di sela-sela keheningan. Son Je Ha yang sempat memejamkan mata, membuka sedikit matanya, menggulir netra beningnya pada Sang pria yang sibuk mengunci pandangan pada apel merah.

"Mengapa?" Wanita muda itu bertanya-tanya.

"Seharusnya kau mendapatkan kehidupan yang lebih layak, bukan menjadi buronan bersamaku yang tidak bisa memberikanmu apapun. Aku mencintaimu, tapi... melihatmu harus berjuang hingga harus menahan rasa sakit, itu jauh lebih menyakitkan untukku."

Hwang Je No adalah manusia paling tulus yang pernah Son Je Ha jumpai selama ia hidup, wanita itu tahu setiap harinya Hwang Je No selalu berpikir seperti ini, dan dia cukup tidak menyukai itu. Dalam situasi ini, kondisi mental mereka sama-sama cukup terguncang.

"Tidak usah memikirkan yang tidak perlu," Son Je Ha menjawabnya, "aku menghargai kekhawatiranmu, Hwang Yong-Geum. Hanya saja... jika kau berpikir untuk melepaskanku agar aku mendapatkan kehidupan yang lebih layak, itu tidak tepat. Apakah kau pikir aku akan bahagia?"

Hwang Je No akhirnya membalas pandangan wanita itu. Wanita yang paling ia cintai dalam hidupnya. Seorang perempuan secantik Dewi purnama bermata jernih mirip telaga dengan efek mangata*, yang semakin lama ia bersua, semakin jatuh hatinya.

*Mangata = refleksi cahaya bulan di permukaan air yang membentuk seperti sebuah jalan.

Son Je Ha seindah itu.

Lantas, Sang Panglima hanya tersenyum tipis. Sedikit merendahkan punggungnya untuk mencium kening Sang belahan jiwa, mengusap kulit putih sehalus porselen tersebut dengan penuh makna. Hwang Je No tahu jika mereka melanjutkan perbincangan ini, mereka hanya akan saling mendayu pada gelapnya malam.

Ia hanya ingin menghabiskan saat-saat yang indah, sebanyak sisa waktu yang mereka miliki.

Mungkin.

Turut berbaring di samping kekasihnya setelah apel merah itu kandas, Hwang Je No membenarkan selimut. Memberikan nyaris seluruh selimut hanya untuk Son Je Ha, memastikan wanitanya itu tidak menggigil dan tetap terjaga kehangatannya.

Untuk menjaga suhu hangat itu, tentu saja Hwang Yong-Geum merelakan dirinya untuk menjadi pelindung. Ia dekap tubuh mungil yang pas dengan ukuran lengannya, tak membiarkan sedikitpun angin malam untuk menembus kulit wanita yang hamil muda itu.

Lalu, Putra Naga itu berkata. "Besok, ayo kita menikah."

Son Je Ha cukup terkejut, "menikah?"

"Iya."

"Menikah bagaimana?" Perempuan itu agak bingung.

Karena terdengar menggelikan, Hwang Je No tergelak pelan. "Menikah, seperti... pasangan yang menikah pada umumnya. Aku akan menjadi seorang ayah dan kau akan menjadi seorang ibu, sementara kita belum menikah?"

"Jadi?"

"Jadi... maukah kau menikah denganku?" Hwang Je No tersenyum. Meski dibalik nada tenang dan senyuman sehangat sinar rembulan itu hatinya meledak-ledak dan jantungnya sangat berdebar.

"Besok?"

"Besok."

———oOo———

Kedua pedang itu terlihat seperti percikan api yang meledak di festival langit malam, saking keras dan panasnya pertemuan pedang-pedang itu, ada sebuah percikan-percikan api sungguhan yang mirip seperti kembang api menyela di antara mereka.

Ini gila. Pedang Yin adalah pedang legenda yang paling ganas dan terkutuk, namun memang tak ada orang yang meragukan Pedang golok besar milik Putra Mahkota Wen. Bahkan dalam segi pertempuran dan pertahanan, seharusnya Wen Fei Yu lebih unggul karena dibanding Wang Jae ia memiliki lebih banyak pengalaman dari ratusan perang yang ia lewati.

Kedua orang itu nampaknya belum lelah sama sekali meski mereka nyaris kehabisan napas,

"Kau masih belum mau menyerah?"

"Bukankah aku yang seharusnya mengatakan itu padamu?" Wen Fei Yu membalasnya.

"Apa maumu?"

"Kau masih menanyakan hal itu?"

TRANG!!

Menangkis serangan yang datang dari arah kanan dengan cepat, Wen Fei Yu mendorong Wang Jae dengan cukup keras hingga Raja Goryeo itu terseret mundur sementara Wen Fei Yu melompat kecil karena sempat kehilangan keseimbangannya.

"Kau sudah berjanji untuk membiarkan Wang Han pergi bersamaku...!" Fei Yu menggertakkan giginya.

Jreb!

Wang Jae menancapkan pedangnya ke tanah, "tidak lagi setelah dia berkhianat terhadap Goryeo, kau mau membawa kabur seorang kriminal? Sangat lucu."

"Dia adalah kakakmu, bedebah." Putra Mahkota Wen benar-benar menekan setiap kata-katanya dengan sangat tajam, "dia adalah kakakmu, bukan seorang kriminal."

Wang Jae mendengus geli, "seorang ayah bahkan bisa menjadi kriminal, argumenmu sungguh tidak masuk akal."

Wen tertua tidak pernah merasa semarah ini sebelumnya ketika menghadapi seseorang, namun Wang Jae benar-benar membuatnya sangat kesal dan ingin mencabik-cabik jantung pria itu sekarang juga. Tidak peduli yang ia hadapi adalah seorang Raja, baginya Wang Jae hanyalah diktator gila.

"Apakah kau benar-benar mengibarkan bendera perang sungguhan? Karena demi Tuhan aku tidak akan segan-segan untuk memenggal kepalamu, persetan kau adalah Raja negeri ini," Wen Fei Yu berapi-api, sembari mencoba menstabilkan napasnya.

SRING!

TRANG!!

"Arghh!!"

Dua orang itu kembali beradu pedang, derik dua mata pedang tajam bertabrakan dengan kecepatan angin. Saling menghunus dan menghindar, saling todong dan menangkis. Jeritan kedua pedang yang sama ganas itu mengaum di langit Goryeo, membuat siapapun yang mendengar maupun menyaksikannya gemetar ketakutan.

Terutama para rakyat Goryeo, mereka semua seolah berada di ujung jurang kala itu. Berdoa agar tak terjadi perang besar yang bisa memusnahkan desa bahkan negeri ini.

Karena tentu saja, korban dari sebuah perang adalah orang-orang kecil seperti mereka.

Hidup dalam ketakutan setiap harinya, para rakyat tak bisa tidur nyenyak memikirkan perang besar yang bisa terjadi kapan saja.

"Yang Mulia! Yang Mulia hentikan!"

Tuan cendekiawan datang, meski waktunya tidak terlalu tepat. Dia mendengar bahwa Raja Goryeo dan pewaris tahta Dinasti Song itu tengah bertaruh nyawa untuk membuktikan siapa yang berhak untuk menjadi pemenang.

Namun keduanya gelap mata, tak memikirkan dampak besar apa yang terjadi jika perang antara Goryeo dan Dinasti Song terjadi. Kerusakan akan terjadi dimana-mana, kehancuran dua kerajaan, kemiskinan dan kelaparan, ribuan nyawa tak bersalah yang mejadi korban.

"Pyeha! Sudah cukup!!" Seon Jae Hyun berteriak sekali lagi, namun apa daya tak ada yang mendengarkannya.

Apakah ia terjun saja ke dalam medan pertarungan dua orang perkasa itu?

"Yang Mulia—!"

JRASHH!!!

"HENTIKAN!!"

Sebuah tombak meluncur dan menancap di tanah, tepat di hadapan Raja dan Putra mahkota yang masih melakukan duel maut.

Sayangnya, itu bukan tombak biasa.

Wen Fei Yu membelalakkan matanya ketika melihat tombak kokoh besar dari kayu terbaik di negerinya, mata tombaknya terbuat dari baja berlapis emas yang mampu melubangi seribu perut gajah. Tombak terpanjang dan terkuat dengan bulu foniks api merah yang pernah ada. Wen Fei Yu kenal betul milik siapa senjata hebat itu.

"Kaisar..."

Putra Wen tertua segera mundur dua langkah begitu melihat sosok ayahnya berdiri di seberang arena pertarungan bersama putra kedua dan puluhan pengawal di belakangnya. Dia menjauhi Wang Jae dan membungkuk dengan hormat, memberikan salam setelah menyarungi pedang goloknya dengan cepat.

"Apa yang kau lakukan, Putra Mahkota Wen," Kaisar Taizu memicing. "Bertarung di negeri orang lain?"

"Kaisar Taizu," Wang Jae menyerobot sebelum Wen Fei Yu sempat membalas kata-kata Kaisar, pria itu tak memberikan penghormatan apapun sebagai seseorang yang lebih muda, ia malah mengangkat dagunya dengan angkuh. "Suatu kehormatan seorang Kaisar datang berkunjung ke Goryeo, meski... hanya untuk menjemput anak sulungnya yang berbuat onar?" Ujarnya, dengan sangat sengaja.

Kaisar tentu tak suka dengan cara bagaimana Wang Jae bicara padanya. Meski pria itu adalah Raja Goryeo, Wang Jae masihlah seorang Raja baru ingusan yang usianya bahkan terlampau jauh lebih muda.

Raja-raja terdahulu bahkan menjunjung tinggi tata krama. Pikirnya.

"Kau melanggar peraturan kerajaan, Putra Mahkota," peringat Kaisar.

Wen Fei Yu langsung menjatuhkan satu lutut kanannya, menundukkan kepala dalam-dalam. "Mohon ampuni saya, Kaisar. Saya akan menerima hukuman apapun sebagai bentuk sanksi dari kelancangan ini."

"Masalah yang terjadi di Goryeo bukanlah urusanmu, Putra Mahkota. Jangan pernah kembali lagi kemari untuk mengikutcampuri urusan kerajaan lain," Kaisar menatap putra sulungnya dengan wajah dingin.

"Kaisar," Wen Fei Yu sedikit takut untuk mengatakannya, karena dia selalu patuh pada apapun yang keluar sebagai bentuk perintah dari ayahnya, hanya saja kali ini dia ingin sedikit memohon. "Saya... hanya berusaha untuk menyelamatkan siapapun yang bisa diselamatkan."

Kaisar Taizu tentu saja tahu semua hal gila yang terjadi di Goryeo, siapa saja yang telah mati, siapa saja yang nyawanya terancam. Dia tahu putranya berusaha menyelamatkan Pangeran terakhir yang tersisa, hanya saja... dia pikir itu sudah di luar batas kemampuannya sebagai Kaisar dari negeri lain.

"Urusan keluarga kerajaan Goryeo, bukanlah sesuatu yang pantas untuk kita ikutcampuri."

Seperti keputusan terakhir dari Kaisar, Wen Fei Yu merasa sangat putus asa. Dia ingin memberontak, namun dia masih memikirkan akibat yang akan terjadi jika dia melawan ayahnya. Ini menyangkut keselamatan semua orang.

"Ayo kita pulang."

Wen Fei Yu tak berkutik. Dia masih senantiasa berlutut di tempatnya dengan kepala tertunduk dan tangan terkepal erat tanpa berkata apapun, seperti memohon dalam kesunyian, seperti menunggu ayahnya untuk merubah keputusan dan mau mendengar permintaan terakhirnya.

"Gege," Wen Jun memanggil dengan pelan ketika tak mendapati reaksi dari kakaknya, dia menatap dengan pilu. "Han dan kakak ipar menunggumu di istana, ge," sambungnya.

"Ayah, ku mohon... biarkan aku menyelamatkan Wang Han. Aku berjanji ini adalah permintaan yang terakhir."

Kaisar Taizu terdiam, hingga ia mengatupkan sepasang kelopak matanya dan menghela dengan pasrah. Lalu ia berjalan beberapa langkah, mengangkat tangan kanannya untuk menghentikan Wen Jun yang berjalan mengikuti.

Dia menghampiri anak sulungnya.

"Berdiri, Putra Mahkota."

Kemudian, Wen Fei Yu pun berdiri meski dia sedikit sangsi.

"Jika kau tidak lupa," Kaisar kembali bersuara, kali ini nada bicaranya terdengar lebih tinggi. "Kau masih memiliki seorang adik perempuan, dan dia adalah menantuku. Perempuan malang itu sama sekali tidak mengetahui sedikit pun akan tragedi yang sedang terjadi di kerajaannya sendiri."

Menyadari bahwa kata-kata itu ditujukan kepadanya, Wang Jae mengernyit, mengangkat sebelah alisnya.

"Jangan lagi kau bunuh saudaramu, karena aku tidak bisa membayangkan bagaimana menantuku melihat kakak-kakaknya dihabisi oleh saudaranya sendiri."

"Seperti yang kau katakan sebelumnya, Kaisar Taizu, urusan kerajaan Goryeo sama sekali bukan urusan kalian." Wang Jae menjawabnya, nadanya sama sekali menunjukkan ketidaksukaan. "Baik kau atau pun anak sulungmu itu, sama sekali tak berhak untuk memerintahku!"

"Yeo Kyung adalah anggota keluarga Kekaisaran Song sekarang, dia adalah menantu pertamaku. Jika sampai dia mengetahui bencana yang terjadi di Goryeo, dia akan sangat membencimu. Kemarahannya itu akan memicu perang besar di antara dua negeri, dan aku tidak akan segan untuk memulai perang dengan Goryeo jika itu yang diinginkan menantuku."

Mendengar kalimat-kalimat itu, Wang Jae tentu saja terkejut. Dia bahkan juga sempat lupa jika masih ada anak Raja yang tersisa, yaitu Yeo Kyung yang telah diangkat menjadi calon permaisuri Kekaisaran Song.

"Kekuatan tempur Dinasti Song jauh lebih besar daripada kerajaan Goryeo, dengan jumlah pasukan yang sepuluh kali lipat lebih banyak, kami akan menang dengan mudah. Wang Jae, aku tahu kau adalah pemegang salah satu pedang legenda, namun tanpa pemimpin perang seperti Hwang Je No, Goryeo berada di ujung tanduk. Jangan lupa, strategi perang lebih penting ketimbang kekuatan, dan tak ada yang memiliki kemampuan strategi perang yang lebih hebat daripada Hwang Yong-Geum. Jadi, pikirkan ini baik-baik karena aku sedang tidak bernegosiasi, aku berbicara sebagai teman dari mendiang ayahmu, bukan seorang musuh."

Itu adalah kalimat terakhir dari Kaisar Taizu yang kedatangannya cukup menggemparkan Songak. Wang Jae memaku di tempatnya, pandangannya bahkan masih mengunci pada sosok Kaisar agung yang berjalan meninggalkan pelataran istana bersama kedua anak lelakinya.

Hwang Je No... dimana bajingan itu sekarang?

"Pyeha," Seon Jae Hyun yang sejak tadi menyaksikan di belakang, memanggil Rajanya.

Wang Jae menghembuskan napas lelah, kemudian menyeret Pedang Yin.

"Diam," sergahnya, dan pergi begitu saja dengan langkah gontai.

***

Hari itu langit begitu syahdu. Raja siang tak terlalu terik seperti bagaimana biasanya, bersama semilir angin yang mengusap kulit dengan lembut, Seoraksan mendadak sunyi seperti menunduk dengan khidmat.

Seolah alam pun mengerti, bahwa sepasang anak manusia yang ditakdirkan dari surga, tengah mengikat janji sehidup sematinya.

Di depan tiga tumpukan batu yang ditata dengan rapi, sebagai bentuk untuk menghormati tiga orang yang telah beristirahat dengan damai, sekaligus wali pasangan itu. Tumpukan batu paling tinggi adalah untuk mendiang Panglima perang terdahulu, ayah dari Hwang Je No, dan dua tumpuk batu yang lain adalah milik ibunya, dan Nyonya Yoon Hyang sebagai wali Son Je Ha.

Ketiganya bersujud tiga kali di hadapan tumpukan batu tersebut. Dalam kondisi ini, mereka tak bisa mengenakan pakaian yang bagus untuk upacara pernikahan.

Dan lagi-lagi Hwang Je No merasa sedih karena itu. Karena ia berpikir wanitanya berhak mengenakan hanbok tercantik di seluruh negeri, dari sulaman emas bertahtakan berlian.

Son Je Ha berhak mendapatkan itu, untuk saat-saat terbaik dalam hidupnya.

Meski melakukan ritual upacara pernikahan hanya berdua— bertiga dengan Yong-Gam sebagai saksi, Hwang Je No tetaplah berdebar, berbeda dengan Son Je Ha yang terlihat begitu tenang dengan sebuah senyum tipis, menahan rasa bahagia yang membuncah di hatinya.

Pasangan itu juga meminum arak dari cawan batu, dengan mengalungkan lengan bersama, dan meminum arak buah yang dibuat sendiri oleh Hwang Je No sejak beberapa minggu lalu. Son Je Ha sempat meringis, namun bagaimanapun Hwang Je No membuat arak itu dengan rasa yang lebih lembut dan ringan ketimbang arak biasanya.

Yong-Gam memerhatikan, diam sejak tadi dengan damai. Dengan mahkota dari bunga aprikot putih yang dirangkai oleh Son Je Ha, dia pasrah-pasrah saja ketika wanita muda itu memasangkan mahkota tersebut di kepalanya.

Dia adalah kuda jantan yang gagah, bukankah akan terlihat tidak keren jika dia mengenakan mahkota bunga yang cantik?

Tapi ya sudahlah, hari ini adalah hari paling berbahagia. Yong-Gam harus menikmatinya.

Hari itu, Yong-Gam menjadi salah satu saksi dari seluruh alam yang menyaksikan pernikahan sakral seorang Panglima terhebat dan kekasihnya. Sebagai seekor kuda yang mengabdi begitu lama, mengalami ribuan peristiwa bersama, kebahagiaan, penderitaan, rasa sakit, petualangan terhebat, akhirnya... hari yang paling dinantikan pun tiba.

Son Je Ha tidak lagi menjadi objek taruhan nyawa. Hwang Je No berhasil mengikat wanita itu, menunjukkan kepada seluruh dunia bahwa hingga ia tak lagi sanggup untuk melihat surya, ia akan selalu berada di depan Son Je Ha sebagai perisai, sebagai pelindung.

"Hai, ini aku... Hwang Je No, suamimu." Oniks hitam pekat Hwang Je No menelusuri manusia indah yang sempurna di hadapannya.

"Hai, Hwang Je No, aku Son Je Ha, istrimu." Wanita muda itu tersenyum.

Yang terikat akan selalu terikat. Yang ditakdirkan akan selalu bersatu.

~~~

"Anda sudah kalah, Pyeha."

Raja itu, ia menarik napas sedalam mungkin sembari mencengkeram pagar kayu paviliun. Giginya bergertakan seiring ia mencoba untuk menahan kekesalannya, hingga bersuara dengan nada rendah mencekam. "Bukankah sudah ku bilang untuk jangan menggangguku."

Seon Jae Hyun sama sekali tidak gentar dengan peringatan itu, ia hanya berdiri tak jauh di belakang Rajanya dengan gestur tenang seperti biasa.

"Saya berada disini untuk memvalidasi perasaan gelisah yang saat ini tengah anda rasakan."

Mendengar sepenggal kalimat itu, atensi Wang Jae langsung teralihkan. Dia masih menghadap lurus ke depan, namun sepasang obsidiannya melirik ke samping.

"Aku tidak."

"Anda tentu menyadari langit terlihat berbeda dari biasanya, dan hawa di pagi hari ini... membuat anda tidak nyaman, bukan? Saya yakin, anda sedang memikirkan bahwa ketakutan terbesar anda sedang terjadi..."

"DIAM!!!"

DUAGKH!!

Raja menarik menghantamkan pedang Yin-nya yang masih bersarung ke arah Seon Jae Hyun. Serangan itu tentu saja tak akan bisa dihindari, namun Wang Jae tak pernah memperkirakan jika Seon Jae Hyun akan menangkis serangannya.

Tuan cendekiawan menangkis serangan itu dengan tangan kosong, meski gerakan Wang Jae secepat angin, nampaknya Sang Raja pun masih kalah cepat.

Jae Hyun mencengkeram sarung pedang Yin, membuat Wang Jae kesulitan untuk menariknya kembali.

Nyatanya, kejadian seperti ini bukanlah untuk pertama kalinya. Wang Jae merasa deja vu.

"Anda tahu ini percuma, namun sepertinya anda memang refleks untuk menyerang," Jae Hyun menghempaskan pedang Yin hingga Wang Jae sedikit terhuyung.

Ada ribuan pertanyaan di kepala Wang Jae tentang Seon Jae Hyun, namun entah mengapa pertanyaan-pertanyaan itu tak dapat ia utarakan, pada akhirnya seperti benang kusut yang menggumpal di ujung tenggorokan.

"Pyeha, ketakutan anda itu benar terjadi," putra Penasihat itu kembali bersuara, "jadi... menyerahlah."

Tangan Wang Jae yang masih memegang pedang legendanya menggantung di udara, dia menatap Seon Jae Hyun dengan penuh rasa sakit.

"Ini bukan hanya tentang seorang wanita yang ku cintai, Seon Jae Hyun. Tapi tentang kepercayaan yang dipatahkan, tentang janji yang dihancurkan," pandangan Raja itu tampak nanar, "mengapa semua orang bertingkah seolah mereka sungguh tersakiti di saat mereka sendirilah yang menghancurkan janji-janji yang mereka buat?"

Seon Jae Hyun tak menanggapinya dengan kalimat apapun, dia hanya berdiri mendengar Rajanya yang bersuara dengan nada gemetar.

"Jae Hyun, Hwang Je No telah bersumpah atas nama Tuhan jika dia akan hidup untukku dan selalu menjadi pelindungku." Saat itulah, kemudian Wang Jae meneteskan air mata, jatuh perlahan menuruni lereng wajahnya, "dia telah berjanji dengan disaksikan Naga Emasnya jika dia akan selalu berada di sisiku."

Menghembuskan napas panjangnya, tuan cendekiawan mengulurkan tangan, meraih Pedang Yin yang terasa sungguh ringan.

"Ku rasa... sebaiknya anda berpikir mengapa orang yang anda begitu kenal sejak kecil itu bisa mengingkari janjinya. Dan... Yang Mulia, tidak selamanya hal di dunia ini harus berjalan sesuai dengan apa yang anda inginkan."

Seon Jae Hyun berbalik kemudian, meninggalkan Wang Jae yang masih menangis dalam diam, sembari membawa Pedang Yin bersamanya. Entah mengapa Wang Jae tidak protes ketika Jae Hyun membawa pedang mematikan itu, hanya... dia tahu maksud Jae Hyun.

"Anda tentu tahu, apa keinginan Dewa Bumi kepada anda hingga dipercaya sebagai tuan baru dari Yin dan Yang..."

Suara itu sayup-sayup, namun Wang Jae masih bisa mendengar dengan jelas seolah menggema di dalam telinganya.

***

"Ada perihal apakah Putra Mahkota ini datang kemari— lagi?"

Guan Yu, seperti biasa ia memasang wajah paling tidak di ramah di depan pria yang masuk dengan seenaknya ke istana Goryeo bersama Jenderal Baekje. Seperti prajurit yang berpatroli selama sehari penuh tanpa henti, Eksekutor itu menginterogasi setiap orang yang nampak mencurigakan di matanya.

"Seorang pegawai istana sepertimu menanyai Putra Mahkota sepertiku dengan pertanyaan yang tidak berkualitas? Bukankah sebaiknya kau bercermin di telaga belakang istana sebelum menghadapku dengan wajah kusut seperti itu?"

Guan Yu adalah orang yang mudah terprovokasi, apalagi oleh orang yang sangat ia benci. Dia seperti ingin menghancurkan dunia saat itu juga.

Pria itu mengepalkan tangannya.

"Maaf jika kedatangan kami mengusik pemandanganmu, Silhaengja-nim, kami hanya ingin mengunjungi Pangeran ke lima." Ikut andil dalam perbincangan itu, Yeo Woon mencoba untuk bersikap ramah dan formal.

Guan Yu mengernyit, "Pangeran Wang Han adalah tahanan kerajaan, tidak sembarang orang bisa menemuinya."

"Lalu anda pikir Putra Mahkota Baekje adalah orang sembarangan?" Yeo Woon menyambar cepat.

Eksekutor Goryeo itu terdiam sejenak, namun dia dengan cepat memutar otak. "Secara teknis mungkin dia memang Putra Mahkota—"

Baek Min Ho mengernyit tajam. "Dia... kau bilang? Perhatikan bahasamu saat bicara dengan seorang Putra Mahkota, hei pegawai istana."

Menyebutnya dengan bahasa informal, tentu saja Baek Min Ho tersinggung.

Guan Yu mendengus geli, "sungguh gila hormat, jika begitu mengapa anda tidak kembali saja, waha Putra Mahkota Baekje yang tangguh?" Katanya dengan sangat sengaja. "Bagaimana dengan pencarian Hwang Je No dan Son Je Ha? Bukankah seharusnya kalian harus bergerak cepat sebelum kami menangkapnya?"

Baek Min Ho hanya membuang pandangan, tak lupa menghembuskan napasnya dengan kasar. Berbicara dengan Guan Yu benar-benar membuang waktunya yang berharga.

"Ayo, Jenderal Yeo," ujarnya, menganggap Guan Yu seperti angin lalu.

Eksekutor Goryeo itu langsung naik pitam. "Siapa yang mengizinkanmu untuk masuk?!"

Sring!!

Pedang Zamrud Hijau ditarik keluar, berayun dengan cepat ke arah Baek Min Ho.

Trang!!!

"Aku yang mengizinkannya."

Sabetan Zamrud Hijau dihalau dengan mudah, entah tenaganya sekuat apa hingga pedang milik Guan Yu sampai terlempar dan jatuh ke atas tanah. Guan Yu kaget bukan kepalang, namun dia lebih terkejut lagi ketika tahu siapa yang baru saja melemparkan pedangnya.

Sebenarnya bukan hanya Guan Yu, Baek Min Ho dan Yeo Woon sampai terbelalak.

"Kau bisa dijatuhi hukuman jika menyerang seorang Putra Mahkota secara sembarangan," ucap Seon Jae Hyun yang baru saja muncul. Tersangka yang menarik perhatian ketiga pria itu.

"Kau—! Apa yang kau lakukan dengan pedang itu?! Bagaimana—!" Guan Yu berteriak marah, meski teriakannya sempat tertahan di akhir.

"Maafkan atas sambutan tidak sopan ini, Yang Mulia," Seon Jae Hyun membungkuk singkat.

Baek Min Ho baru saja kembali ke kenyataan, hingga ia menjawab dengan agak linglung. "Y-ya... tidak— terima kasih, Tuan Seon."

Sementara Yeo Woon masih melongo di tempatnya.

"Anda ingin mengunjungi Pangeran ke lima, bukan? Bolehkah saya meminta tolong pada anda untuk membawakannya obat? Luka cambuknya belum diobati sejak kemarin."

Jae Hyun tersenyum, auranya yang mencekam di awal langsung menguap, seperti musim semi datang dan mengelilinginya.

"Tentu, aku akan melakukannya," Baek Min Ho langsung mengangguk. Kemudian dia melirik ke arah Guan Yu sebelum berjalan pergi, "dan terima kasih karena telah membantuku untuk mengatasi serangga di istana ini, aku sudah merasa cukup gatal."

Karena Guan Yu hampir tidak memiliki kesabaran, pria itu kembali tersinggung, dia ingin sekali menghantam atau bahkan sekalian membelah kepala Baek Min Ho dengan pedang legendanya.

"Berhentilah berulah," tuan cendekiawan mengangkat pedang Yin, membatasi pergerakan Guan Yu yang langsung berhenti sesuai dugaan. "Aku tidak mengerti mengapa tenagamu itu tak kunjung habis untuk mencari keributan."

"Mencari keributan?" Guan Yu mendengus tidak percaya, "mereka memang tidak sepatutnya di sini!"

"Mereka bebas untuk keluar masuk," datar Jae Hyun.

Si Eksekutor langsung mendecih, "memang kau siapa? Raja?"

"Kau mungkin sudah lupa, jika akulah yang tertinggi di antara kalian semua." Seon Jae Hyun mendongakkan dagunya sedikit lebih tinggi, memainkan Yin di tangannya.

Guan Yu mengernyit tidak senang, "mengapa Yin ada di tanganmu? Dimana Raja?"

"Raja sedang beristirahat."

"Kau tidak berhak untuk mengambil Yin!"

Seon Jae Hyun, "aku berhak."

"Tch, kau membuatku kesal Seon Jae Hyun," pria yang lebih muda mendengus, menyambar Zamrud Hijau dari atas tanah, kemudian mengayunkan pedang itu dengan cepat.

Trang!!

Pertemuan antara Yin dan Zamrud Hijau sangat jarang terjadi, tapi kali ini siapa yang akan menang di antara dua pedang terganas itu? Kedua pedang tersebut sama-sama menyimpan kegelapan dan kebencian, dipegang oleh dua orang yang berbeda, apakah akan seganas pertarungan Naga Emas dan Zamrud Hijau? Apakah Yin akan menahan energinya saat tahu jika Zamrud Hijau adalah lawannya?

TRANG! TRANG!

Tidak.

Guan Yu mundur ke belakang, Zamrud Hijau di tangannya bergetar hebat ketika bertabrakan dengan mata Pedang Yin, saking kuatnya hingga sekali lagi Zamrud Hijau nyaris jatuh dari tangannya.

Eksekutor itu mengernyit. Bukankah seharusnya Seon Jae Hyun terluka parah karena sayatan Zamrud Hijau di telapak tangannya cukup dalam? Mengapa bisa sampai memiliki tenaga sebesar itu?

"Mengapa... kau tidak mati?" Tuntut Guan Yu, sepasang alisnya menukik. "Kau seharusnya mati, setelah terluka berkali-kali..."

Guan Yu tidak akan lupa, dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri berapa kali Seon Jae Hyun terkena serangan Pedang Yin dan Zamrud Hijau. Bagaimana saat pengajar kerajaan itu menangkis serangan dengan tangan kosong, hingga mengeluarkan darah yang begitu banyak saat mengorbankan telapak tangannya sendiri untuk menahan Zamrud Hijau.

Bahkan hanya dengan pukulan pedang legenda itu, Seon Jae Hyun seharusnya sekarat mengingat Baek Min Ho sampai muntah darah hanya karena pukulan kecil dari gagang pedangnya.

Namun sekarang, pria ini bahkan bisa menguasai Yin seolah-olah Yin adalah pedangnya sendiri.

"Energi Yin sangat besar, bagaimana kau bisa mengendalikannya?"

Seon Jae Hyun memilih untuk tidak menjawab pertanyaan tersebut.

"Sebaiknya sekarang kau berhenti memonopoli Wang Jae," tuan cendekiawan malah mengatakan sesuatu yang lain, "sudah terlalu banyak kebencian di dalam hati, apa kau tidak takut Zamrud Hijau tak akan mampu lagi menampung energi kebencianmu yang luar biasa itu?"

"Kau berisik!"

Trangg!

Duagkh!

Sekali lagi Guan Yu menghunuskan Zamrud Hijau, dan sekali lagi Jae Hyun menangkis serangan itu dengan Yin. Meski Guan Yu berhasil menendang belakang lutut tuan cendekiawan hingga membuatnya sempat berlutut, hal itu tak membuat fokus Seon Jae Hyun teralihkan.

Seperti ksatria yang terlatih selama puluhan tahun, Seon Jae Hyun benar-benar menguasai Yin seolah mereka menjadi suatu yang padu.

Guan Yu terus menyerang, dia berputar dan melangkah dengan cepat seperti hembusan angin, menghunus ke arah bagian tubuh Seon Jae Hyun manapun. Mencoba untuk melukainya, sekali lagi ingin menumpahkan darah pria itu meski hanya satu tetes.

Namun Seon Jae Hyun hanya menghindari dan menangkis serangan-serangan itu.

"Lawanlah aku, Jae Hyun!! Lawanlah dan jangan hanya menghindar seperti seorang pengecut!!" Guan Yu tertawa.

Trang! Trang! Tranggg!!

"Lawanlah aku karena aku ingin memastikan sesuatu!!"

Jrashh!!

Setelah berteriak penuh kemarahan, entah bagaimana kemudian satu tebasan Zamrud Hijau berhasil melukai tuan cendekiawan. Satu goresan yang tidak ringan membuat sebuah garis sepanjang telunjuk di pipi sebelah kiri, benar-benar nyaris melukai mata Seon Jae Hyun.

Darah itu mengalir di wajah rupawan Sang pengajar kerajaan, membuatnya terlihat seperti menangis darah.

Sekali lagi darahnya dijatuhkan oleh Zamrud Hijau.

Tangan Guan Yu yang memegang pedang jatuh meluruh di sisi tubuhnya.

"Siapa kau sebenarnya... Seon Jae Hyun."

"Bukankah aku pernah berkata, kalian tidak akan bisa membunuhku," Seon Jae Hyun menyeka darah di pipinya dengan jemari.

"Itu tidak masuk akal."

"Sepertinya kau harus belajar, bahwa beberapa hal di dunia memang tak akan bisa dicerna dengan akal sehat."

———oOo———

BYURR!!!

"J-Je No-ya! Dingin!!"

"Hahahaaa! Tidak dingin kok, ini sangat segar! Sini!"

Keduanya menuruni lereng gunung hari ini, bermaksud untuk jalan-jalan sebentar sambil berburu rusa untuk dimakan nanti malam. Son Je Ha bilang, dia ingin makan hati rusa. Sepertinya ngidam.

Namun tanpa disangka acara berburu itu menjadi sebuah piknik kecil sembari berenang di cuaca yang sangat cerah hari itu. Mereka menemukan sebuah telaga di tengah hutan yang tidak terlalu lebat, matahari masih bisa menembus masuk memberikan pencahayaan yang sangat indah diantara dedaunan.

Melihat telaga yang begitu jernih, Hwang Je No tanpa pikir panjang melepas pakaiannya, menyisakan celana panjang dan melompat ke dalam air setelah berlari mengambil jarak 5 meter dari tepi telaga.

"Je Ha-ya? Kau yakin tidak mau ikut? Bukannya kau suka air?"

Je Ha bukannya tidak ingin berenang, hanya saja dia kan sedang hamil, bagaimana jika dia tenggelam karna perutnya menjadi lebih berat?

Seolah memahami apa yang dipikirkan istrinya— karena saat itu Je Ha beberapa kali memandangi perutnya dengan ekspresi ragu, Panglima Perang itu tertawa.

"Ada aku di sini, tenang saja."

Cara pria itu tertawa sungguh menyejukkan. Jangankan saat berbicara, ketika Hwang Je No tertawa saja sudah mampu untuk menggetarkan hati.

Hari itu benar-benar cerah, sangat cerah, lebih cerah daripada sebelumnya. Meski matahari bersinar dengan terik, cahayanya begitu lembut. Sinar diantara dedaunan itu membuat air telaga nampak berkilauan, seperti genangan berlian.

Setelah menanggalkan beberapa lapis pakaiannya, wanita itu masuk ke dalam air dengan hati-hati, karena tidak mungkin juga dia melompat dan atraksi seperti Hwang Je No.

"Huahhh!"

Airnya dingin, namun segar. Tapi tetap saja masihlah lebih segar air di Lembah Surga.

Ah, Je Ha sangat merindukan Lembah Surga. Tempat itu sungguh tiada tandingannya.

"Hati-hati," Hwang Je No memegangi lengan istrinya yang menapak diatas batu.

"Apakah dalam?"

"Iya, tidak apa-apa aku akan memegangimu—"

"Apa anda baru saja meremehkanku, Hwang Yong-Geum?" Son Je Ha mengangkat sebelah alisnya. "Aku ini penyelam handal, bertahun-tahun aku berenang di lembah surga."

Sementara itu Hwang Je No bingung karena istrinya tiba-tiba sensi.

"Minggir, duh."

Perempuan itu mendorong suaminya, kemudian segera meluncur masuk ke dalam air. Gerakannya sangat halus, dan membuat Hwang Je No berubah pikiran bahwa sepertinya dia tak perlu khawatir.

Benar, istrinya itu pernah dijuluki sebagai Dewi Lembah Surga.

Lembah Surga. Bagaimana kabar Putra Mahkota Goryeo di sana? Wang Yeol dan Oh Seong So, mereka akan selalu aman, bukan?

Hwang Je No mulai khawatir kembali.

Beberapa saat setelahnya, pria itu tersadar, dia menoleh ke arah telaga yang airnya terlihat tenang, sadar jika istrinya tidak juga naik ke permukaan.

"Je Ha-ya!"

BYUR!

Melompat ke dalam air tanpa pikir panjang, pria itu menyelam, memeriksa di dalam air apakah istrinya benar-benar tenggelam bahkan belum sepuluh menit wanita itu menyombongkan diri?

Namun sepertinya kekhawatiran Hwang Je No memang berlebihan, dia sungguh lega ketika seorang wanita cantik berenang seperti jelmaan putri duyung di kehidupan nyata. Menyusuri dasar telaga yang jernih dan penuh berbagai macam tumbuhan air berwarna-warni. Bahkan ikan-ikan di dalam sana tidak terlihat takut dan mengelilingi istrinya.

Telaga itu cukup dalam namun bersih, airnya berwarna biru. Banyak ikan berukuran kecil hingga sedang yang hidup di dalam sana, entah apa jenisnya Hwang Je No tidak tahu yang jelas mereka cantik dan dengan berbagai macam warna, tanaman-tanaman airnya juga indah. Sungguh memanjakan mata.

Istrinya itu menoleh kepadanya di bawah sana, kemudian melambaikan tangan dan menggerakkan tangannya seolah mengatakan, "kemari, cantik sekali."

Itu sih yang dia tangkap.

Tapi jujur saja, Hwang Je No tidak pernah menyelam sedalam ini sebelumnya. Telaga ini luas dan kedalamannya... sangat lumayan, sudah mirip danau, untung saja airnya tidak hijau.

Dia takut tiba-tiba ada buaya jika airnya hijau, tapi di telaga ini seharusnya aman.

Mereka berenang bersama, mengeksplor tanaman-tanaman yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya, ikan-ikan yang hidup berkelompok, hingga pohon berwarna merah kekuningan yang menambah kesan fantasi di dasar telaga.

Mereka terus berenang, menjelajahi dasar telaga bersama makhluk-makhluk air. Hwang Je No bahkan merasa takjub dengan istrinya yang berenang dengan sangat lihai, berputar-putar seperti ikan cantik yang melakukan pertunjukkan.

Sepertinya Hwang Je No harus mengkhawatirkan dirinya sendiri ketimbang Son Je Ha.

Pria itu menunjuk-nunjuk ke atas, seolah berkata kepada istrinya "aku akan ke atas."

Son Je Ha kebingungan, kemudian menyusul suaminya naik ke permukaan.

"Hahh hahh..."

"Kenapa?" Tanya perempuan itu.

"Apakah kau bukan manusia?"

"Hah?"

"Aku curiga sebenarnya kau adalah jelmaan putri duyung yang dikutuk menjadi manusia, bagaimana mungkin kau bisa menahan nafas selama itu di dalam air? Jangan-jangan kau punya insang juga?"

Wanita muda itu langsung tertawa. "Ku bilang aku lebih berpengalaman darimu. Hwang Yong-Geum, anda harus latihan pernapasan. Ayo!"

Hwang Je No merotasikan netranya malas, "berhenti memanggilku begitu."

Kemudian dia menarik napas sedalam mungkin dan kembali menyelam, menyusul istrinya yang sudah masuk lebih dulu.

Bagaimana ya jika istrinya itu benar-benar bukan manusia? Pasalnya Son Je Ha terlihat benar-benar bahagia dan begitu menikmatinya, seperti menyatu dengan air, seolah habitatnya benar-benar berada di lautan.

Atau... bisa saja wanita itu benar-benar seorang Dewi? Dewi Air, mengapa tidak? Karena ada Dewa Api, Dewa Bumi, dan Dewa Langit.

Menggelengkan kepala, Hwang Je No mengenyahkan pikiran berlebihannya, menghampiri istrinya yang menyapa ikan-ikan kecil, menemukan udang di bawah batu dan juga kepiting-kepiting kecil berwarna merah menyala.

Rupanya makhluk air menarik juga.

Sang Panglima menghampiri istrinya, mengulurkan tangan untuk mengusap pelan perut yang membuncit itu. Dia seperti menanyakan apakah istrinya benar-benar tidak masalah berada di air dan menahan napas selama itu?

Mengerti, Son Je Ha hanya tersenyum dan menggerakkan tangannya. "Kami baik-baik saja, jangan khawatir."

Entah bahasa tangan itu berasal darimana, Hwang Je No hanya menebak-nebak maksud yang dikatakan istrinya.

Wanita itu berenang sembari tersenyum, berputar dan berenang mengelilinginya, dengan selendang putih yang berada di sekitarnya, Son Je Ha terlihat indah dan luar biasa. Hwang Je No terpukau.

Cantik. Semuanya cantik.

Son Je Ha. Telaga. Hewan dan tanaman. Air yang biru. Semua tampak luar biasa bagi Hwang Je No.

Perempuan itu mengambil tangannya, menggenggam dengan erat, dan menariknya dengan lembut. Hwang Je No dituntun untuk menyelam ke dasar telaga, lebih dalam lagi. Dia juga bisa melihat ada sebuah gua di bawah sana.

Semakin dalam, semakin menjauh dari daratan, semakin cantik pemandangan bawah air yang mereka jumpai. Rasanya, berbagai beban dan ketakutan mereka akan dunia hilang begitu saja.

Ah, jika bisa... Hwang Je No ingin selamanya berada di bawah air. Berenang bersama istrinya yang indah seperti Dewi Air penguasa lautan, hidup berbahagia tanpa seorang pun bisa mengusik kehidupan damai mereka hingga anak pertama keduanya terlahir.

Hwang Je No mengayunkan tangannya ketika Son Je Ha masih menuntunnya untuk menyelam. "Aku ingin menyelam selamanya bersamamu."

Son Je Ha tersenyum, mengangguk. "Aku juga."

Siapapun, siapapun yang bisa memberikan Panglima Perang kita permintaan, tolong bantulah ia. Ia begitu ingin berubah menjadi makhluk air dan tinggal di bawah lautan bersama istrinya, membangun kerajaannya sendiri.

Cerita fantasi buatan yang tergambar di kepala Hwang Je No dengan sangat tiba-tiba.

Itu adalah pengalaman berenang yang sangat berkesan baginya. Setelah cukup lama bermain di air, keduanya memutuskan untuk berjemur. Untunglah Son Je Ha masih ingat jika dirinya manusia, dan suaminya yang tak terlalu familiar dengan perairan cukup kewalahan meski menikmatinya.

"Kau lapar?" Tanya Hwang Je No, membenarkan rambut basah istrinya.

"Tidak terlalu."

"Sudah hampir sore, ku pikir aku akan berburu sekarang, tunggulah di sini dengan Yong-Gam."

"Tidak," Je Ha menahan lengan suaminya dengan cepat, "tidak apa-apa, masih ada bahan makanan di rumah, makan apapun tidak masalah."

"Kau bilang ingin hati rusa."

Perempuan itu tertawa kecil, "besok juga tidak apa-apa."

Keduanya memilih untuk bersantai lebih lama di tepi telaga sembari menunggu pakaian mereka kering, Yong-Gam juga terlihat lelah, dia tertidur dengan dua ekor kelinci liar di atas punggungnya.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di daerah ini, benar-benar aman. Hwang Je No bahkan meninggal Pedang Naga Emasnya begitu saja.

Melihat Sang suami memeriksa pedang gagah dan kokoh itu, Son Je Ha cukup dibuat penasaran, hingga akhirnya dia bertanya.

"Bagaimana anda bisa mendapatkan pedang itu, Hwang Yong-Geum?"

Panglima itu menoleh, kemudian mendecak. "Berhentilah memanggilku dengan formal seperti itu, aku adalah suamimu."

"Hehe maaf, bagaimanapun kau adalah orang yang sangat dihormati di Goryeo."

"Tidak masalah jika kita di khalayak umum, tapi tidak saat kita hanya berdua," pria itu membantah.

"Baiklahhh, Je No-ya. Jadi... jawab aku."

"Tentang pedang ini?"

"He'em."

Panglima Perang itu diam sejenak, memandangi pedang emas dengan ukiran naga yang terlihat sangat rumit, seolah-olah ukiran itu bukanlah buatan manusia. Kemudian, dia tersenyum tipis. "Entahlah, semuanya terjadi begitu saja."

"Begitu saja?"

Hwang Je No menarik napas panjang, menatap ke depan. "Dahulu, kami bertiga mendapat perintah dari Raja untuk memburu pedang legenda di gunung Long Huo. Bukan hanya kami bertiga, semua orang di seluruh negeri memburu pedang itu."

"Gunung Long Huo? Dimana itu?"

"Aku juga tidak tahu," Hwang Je No menggeleng.

"Bagaimana bisa tidak tahu?"

Pria itu tersenyum, "itulah mengapa ku bilang semuanya terjadi begitu saja. Kami bertiga, aku, Wang Jae, Guan Yu... memutuskan untuk berpetualang bersama. Naga Emas, Yin-Yang, Zamrud Hijau, kami tidak peduli pedang mana yang akan kami dapatkan nantinya, yang terpenting adalah menjadi yang terpilih."

Son Je Ha memeluk kedua lututnya, berpikir bahwa ceritanya akan menarik.

"Long Huo adalah gunung gaib, tidak sembarang orang bisa menemukannya begitu saja, dan banyak legenda mengatakan... jika Dewa Bumi bersemayam di gunung itu, untuk menjaga tiga pedang legenda yang menjadi simbol kehidupan. Lalu... kami tidak pernah menyangka jika kami akan mendapat petunjuk dan berhasil menemukan gunung Long Huo— entahlah, tapi gunung itu aneh. Gunung yang indah namun mengerikan."

"Kau tidak ketakutan kan?"

Hwang Je No langsung tertawa, "tentu saja aku ketakutan, tapi mengingat tujuanku, aku benar-benar harus memberanikan diri. Aku datang dengan niat yang baik, dan percaya jika Dewa Bumi akan melindungi dari marabahaya. Di tengah perjalanan, tiba-tiba terjadi gempa yang membuat kita bertiga terpencar. Aku tidak bisa menemukan Wang Jae dan Guan Yu, dan saat itu... aku sadar jika kami tidak lagi berada di alam nyata."

Son Je Ha mendelik, "wow... agak menyeramkan."

"Berada di alam gaib tentu saja membuatku sempat gemetaran, dan berpikir bagaimana jika aku gagal menemukan mereka dan tak bisa keluar dari sana. Tapi aku harus tetap berada pada tujuan sejak awal, mungkin saja setelah menemukan satu dari pedang legenda, aku bisa kembali ke alam nyata."

"Dan kau benar-benar mendapatkannya."

Hwang Je No tersenyum mengangguk.

"Luar biasa, sangat keren!" Je Ha bertepuk tangan kecil. "Apakah kau bertemu Dewa Bumi?"

"Uhh... ku pikir tidak, tapi entahlah. Aku hanya mendengar suara-suara yang menggema, jika Dewa Bumi akan selalu mengawasi orang-orang yang mewarisi tiga pedang legenda."

"Berarti kau sekarang sedang diawasi, Je No-ya."

Pria itu mengangguk kecil, "aku selalu bisa merasakan keberadaan sesuatu yang tak terlihat, tapi entah mengapa aku tidak takut. Karena itulah... aku selalu mencoba untuk berhati-hati ketika menggunakan Naga Emas."

Sekarang Son Je Ha mengerti, mengapa Hwang Je No selalu tidak ingin mencelakakan orang lain, sejahat apapun manusia itu, dia tidak akan sampai hati untuk membunuhnya. Yah, padahal jika itu orang jahat maka bunuh saja. Tapi sepertinya memang sudah kepribadian Hwang Je No.

"Dewa Bumi tahu bagaimana dirimu, kau adalah yang terpilih," mengulurkan tangan, ia menggenggam tangan suaminya.

"Aku merasa berdosa karena harus melarikan diri dari masalah seperti ini, tapi... ku harap Dewa Bumi mendengarku sekarang, dan mengerti bahwa aku hanya ingin melindungi orang yang ku cintai."

Pasangan itu saling melempar senyum, kemudian Hwang Je No merangkul istrinya, membawanya mendekat, bersandar satu sama lain. Sore itu terasa begitu damai, angin terasa lebih sejuk dan sedikit menusuk tulang, namun cahaya matahari membuat suasana terasa semakin sempurna.

"Terima kasih karena telah menepati janji," perempuan itu menggumam.

"Dan terima kasih, karena telah menjadi sumber kekuatanku," Hwang Je No membalasnya, mencium singkat pelipis wanitanya.

Rasanya, mereka berdua tidak ingin waktu berlalu begitu cepat. Mereka ingin waktu berhenti di sore itu, selamanya.

"Aku tidak sabar anak ini lahir," perempuan itu berujar.

"Aku juga."

"Apakah kau memikirkan nama untuknya?"

Hwang Yong-Geum tertawa kecil. "Tentu saja."

"Apa?"

"Hwang Jinlong*."

*Jinlong = Naga Emas dalam bahasa tiongkok

Son Je Ha, "sangat bagus."

"Tidak peduli laki-laki atau perempuan, dia akan menjadi seseorang yang sangat tangguh dan hebat."

Cengkerama penuh makna suami istri yang sedang menantikan anak pertama mereka, adalah hal paling berharga di dunia. Manis dan begitu berarti. Dua orang yang tak hanya memperjuangkan cinta, namun nyawa dan juga keadilan. Keduanya akan terus bertahan, tak peduli sebesar apa bahaya yang akan mereka terjang.

Hingga beberapa bulan pun berlalu...



Bersambung...

.
.
.


Gimana chapter baru ini? Lumayan banyak ternyata hampir 7rb words 😳

Semoga kalian menikmati ya, karena Truth akan segera tamat

Nantikan selalu perjuangan Hwang Je No dan Son Je Ha 😆

Continue Reading

You'll Also Like

38.8K 3.1K 36
Mereka dipertemukan di agensi hiburan ternama di Korea Selatan tanpa di sengaja. Tempat tinggal di lokasi perumahan yang sama, lalu perasaan yang men...
28.8K 322 1
Seperti hukum wajib, selalu ada murid yang meninggal karna bunuh diri setiap dua bulan sekali di SMA Mahapati. Tapi suatu hari, ada sebuah rumor yang...
8.9K 623 16
Berdasarkan kisah nyata dan informasi dari beberapa sumber. Sama halnya dengan penyakit kronis lain seperti diabetes atau penyakit jantung, banyak fa...
28.2K 2.2K 30
[ COMPLETED ] 𝑴𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒂𝒑𝒌𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒔𝒖𝒂𝒕𝒖 𝒚𝒂𝒏𝒈 𝒎𝒖𝒏𝒈𝒌𝒊𝒏 𝒎𝒖𝒔𝒕𝒂𝒉𝒊𝒍 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌 𝒅𝒊𝒘𝒖𝒋𝒖𝒅𝒌𝒂𝒏 𝒅𝒂𝒏 𝒕𝒆𝒓𝒘𝒖𝒋𝒖�...