A Light Far in Sight

By SeptianMR

607 145 3

[TAMAT - Genre : Horror, Drama, Slice of Life] Seorang ayah terpisah dari putra semata wayang. Baru belasan t... More

Prolog : Terlepas
Bagian 1 : Menginjak Dewasa
Bagian 2 : Di Warung
Bagian 3 : Barang Luar Biasa
Bagian 4 : Paling Dikenal
Bagian 5 : Rupa Wajah
Bagian 6 : Kenangan Kelam
Bagian 7 : Merasa Sulit
Bagian 8 : Peti di Tepi Sungai
Bagian 9 : Berhati-hati
Bagian 10 : Tidak Mau Tau
Bagian 11 : Menolak Keras
Bagian 12 : Bimbang
Bagian 14 : Ingin Kenal
Bagian 15 : Terungkap
Bagian 16 : Dibodohi
Bagian 17 : Ingin Bersama
Bagian 18 : Jangan Berpisah
Bagian 19 : Sedetik yang Berharga
Bagian 20 : Kejam
Bagian 21 : Demi Kamu
Bagian 22 : Tak Mau Pergi
Bagian 23 : Selamatkan Dia
Bagian 24 : Bapak, Apa Kabar
Bagian 25 : Sendiri
Epilog : Terikat

Bagian 13 : Tidak Adil

15 4 0
By SeptianMR

Untuk pertama kalinya, Karto membenci Carla Veronica.

Bagaimana tidak, gadis yang satu kelas dengannya tersenyum percaya diri karena diam-diam telah menyukai dirinya. Kedua orang tua yang menemani gadis itu turut senang mendengar pengakuan palsu gadis itu—Karto menganggap itu sama sekali tidak benar. Apalagi ayah dan ibunya sendiri yang menambahkan bumbu-bumbu manis hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya juga memiliki perasaan yang sama. Karto merasa sangat tidak tenang dan tidak senang. Sempat kali ia menyanggah halus, mempertanyakan apa yang ada di pikiran orang-orang. Namun ia langsung ditatap tajam oleh ibunya lalu dalam sekejap kembali mengembalikan suasana agar pihak lain tidak curiga. Selain itu, Carla terus saja menatapnya dengan seringai di bibirnya seolah gadis itu sedang memenangkan undian berhadiah.

Untuk pertama kalinya juga, Karto datang ke rumah Carla yang tidak diduga megah dan luas. Ia bisa menemukan tiga mobil dan empat sepeda motor sekaligus, mengira ada tamu lain di rumah itu namun sebenarnya itu semua kepunyaan dari pemilik rumah. Ia juga bertemu kedua orang tua Carla yang sangat bergaya penuh kemewahan. Apabila disandingkan dengan keluarganya sendiri, terlihat bagaikan dua rumah yang terpisah oleh jurang yang lebar dan curam. Juga rumah Carla terbilang dekat dengan sekolah, hanya perlu dua kali belok dengan setiap jalan yang ditempuh dalam satu menit.

Karto ingin sekali protes akan perjanjian ini. Ia tidak setuju dijodohkan dengan Carla. Namun apabila ia mengutarakan isi hatinya sekarang, maka ia akan berakhir dengan badan bengkak dan lebam dari pukulan cambuk oleh ayah-ibunya—keduanya sudah mengancam dirinya seperti itu tepat sebelum berangkat ke rumah Carla.

Suka dan tidak suka, Karto harus menutup mulutnya untuk saat ini.

|---po.oq---|

Sampai di rumah, Karto langsung ditarik paksa ke dalam kamarnya oleh ayahnya sementara ibunya mengekori di belakang dengan tatapan kesal.

"Kau ini ada apa? Bapak sudah lihat muka kau sendiri kecut macam jeruk busuk," tanya ayah yang terlihat geram.

"Pak, aku tidak ingin dijodohkan dengan Carla. Aku tidak suka sama dia!" seru Karto tegas.

Senyap. Baik ayah maupun ibunya terkejut bukan main.

"Bukannya kau sendiri yang—"

"Itu bukan aku yang melakukannya," Karto membantah. "Carla sendiri yang simpan foto-fotonya di laptopku. Aku juga tidak tahu kalau dia sudah tertarik padaku."

Ayahnya berdehem keras, memalingkan wajah demi menyembunyikan rasa malunya.

"Kau jangan bohong, Karto," sahut ibunya. "Kalau kau tidak suka anak itu, mengapa orangnya sendiri bilang kalau suka sama kamu?"

"Aku tidak tahu, emak. Aku juga kaget kalau dia bilang gitu. Aku dari tadi ingin menolak di depan mereka—"

"Diam kau, Karto!" Tiba-tiba ayahnya membentak keras.

Karto terperangah. Apa yang sudah terjadi pada kedua orang tuanya?

"Sekarang kau tidak bisa menolak atau menghindar lagi. Kami tetap akan menikahkan kau dengan Carla itu."

"Apa?" Karto mulai protes. "Tapi mengapa aku tidak—"

"DIAM KAU ANAK NAKAL!"

Seketika keadaan berubah tegang. Ayahnya mengangkat satu tangannya hampir menampar muka Karto hingga ibunya juga nyaris memekik.

Karto perlahan mundur, gemetar. Ada apa ini? Mengapa ayahnya malah memarahi dirinya? Apa yang salah dengannya?

"Kau tidak mau melihat ayah ibumu senang?" desis ayahnya kemudian, menurunkan tangannya. "Ini kesempatan besar untuk... ah, kau tidak akan mengerti. Kalau kau membatalkan perjodohan dengan Carla, kau tidak akan pernah bisa mendapatkan keinginanmu lagi."

Setelah itu ayahnya pergi dari tempat itu, disusul ibunya yang mendesah berat dan sempat menatap Karto dengan geram. Kini Karto sendirian di kamar, tubuh masih gemetaran. Ia menelan ludah, berusaha tenang dan melupakan semua yang terjadi.

Baru kali ini ayah marah besar padanya. Semasa hidupnya dirinya sering dimarahi, karena kebanyakan ia melakukan kesalahan yang sebenarnya dibilang wajar untuk anak kecil. Dan semua kemarahan yang ia terima sebagian besar berasal dari ibunya. Ayahnya jarang marah, kalaupun marah hanya untuk perkara yang cukup serius. Seperti saat ia salah tempat untuk mengantar buah kelapa, atau ia kena tipu dari seseorang yang semata-mata punya persaingan bisnis dengan ayahnya. Namun yang satu ini terbilang tidak wajar. Ibunya marah, namun tak disangka ayahnya turut memarahinya. Dan itu karena berurusan dengan keluarga lain yang tidak ia duga selama ini.

Karto sadar ia sudah masuk masa dewasa. Maka itu ia harus menghadapi momen yang akan dirasakan oleh orang dewasa saja. Seperti pernikahan, dimana merupakan momen mempertemukan pasangan hidup. Masalahnya ia sendiri tidak merasa membutuhkan pasangan hidup. Ia belum layak menjadi orang dewasa. Ia bahkan terlalu bodoh untuk melakukan hal yang berhubungan dengan kedewasaan. Ia sangat ingin kembali menjadi anak kecil, menjadi orang yang hanya bergantung pada orang lain.

Setelah apa yang terjadi barusan, ia takut, tidak siap bertemu orang lain di sekolah besok. Entah apa yang akan terjadi.

|---po.oq---|

Bagaimanapun, Karto tidak bisa menghentikan waktu maupun memutar balik waktu. Kalau hari esok telah tiba, ia tidak bisa mundur lagi ke hari kemarin.

Ia sampai di sekolah dengan sepeda tua miliknya. Dan baru masuk gerbang, gadis yang kini tidak disukainya muncul menghadang dirinya.

"Ya ampun, kamu hampir aja telat padahal tinggal tiga menit lagi bel masuk."

Dan gaya bicara gadis itu langsung berubah dari biasanya.

"Ayo jangan diam, taruh sepeda kamu di tempat parkir. Nanti kita berdua jalan bareng-bareng, ya?"

Apa? Jalan berdua bersama Carla. Karto merasa ingin pergi jauh dari orang itu.

Ia memarkirkan sepeda di tempat parkir yang hampir semuanya diisi oleh berbagai macam motor. Setidaknya bukan hanya dirinya yang berangkat sekolah naik sepeda. Pun Carla juga mengikutinya dari belakang meskipun jalan kaki. Setelah keluar dari tempat parkir, tau-tau Carla langsung merangkul tangannya layaknya pasangan kekasih.

"Ayo kita masuk kelas. Teman-teman pada tungguin nih," ucap Carla dengan suara yang sebenarnya terdengar manis.

Karto menghela napas sejenak dan membuang muka. Ia sama sekali tidak antusias.

Sepanjang jalan keduanya diperhatikan orang-orang sekitar yang lewat. Sejumlah perempuan ada yang berbisik-bisik, sedangkan sejumlah laki-laki tampak melongo tidak percaya. Karto sangat tidak nyaman mendapat tatapan aneh nan ngeri dari orang lain. Namun Carla tetap menampilkan wajah ceria nan manis di depan mereka.

Mendekati kelas, ia mulai mendengar sorakan heboh dari yang lain, dipastikan bahwa itu dari teman sekelasnya. Baru ketika ia dan Carla sampai di dalam kelas. Semua orang di dalam ramai-ramai mengucap selamat atas pertunangan keduanya. Karto merasa tidak percaya, kemarin di rumah Carla hanya membahas rencana acara itu. Hari pelaksanaan itu pun masih belum diputuskan.

"Astaga, kalian semua pada semangat sekali. Gue jadi lebih semangat karena sekarang bisa berduaan sama ayang," Carla melirik dengan ekspresi yang manis kepada Karto. "Kamu juga senang kan?"

Menyebalkan. Karto harus berpura-pura dari sekarang. Tidak ada jalan lain untuk menghindar maupun membantah.

Ia mulai menunjukkan senyum tipis di bibirnya. "Iya, seperti itu."

"Mantap sob! Padahal pacaran aja belum, tiba-tiba kau berdua langsung sat-set sat-set... bentar lagi halal tuh," komentar Deril.

"Aku nggak nyangka Karto diam-diam... jantan juga orangnya," tambah Beno.

Haruskah Karto bangga akan hal itu?

Sebagai akibatnya, Karto harus duduk satu meja bersama Carla, alhasil teman semeja yang sebelumnya tersingkir dan memilih duduk dengan yang lain. Karto masih tidak percaya bahwa ini sangat nyata terjadi. Ia tidak siap menghadapi masa-masa seperti ini.

Ia tidak siap menjadi orang dewasa.

"Karto, kamu jangan gugup begitu," ucap Carla berbisik ketika gadis itu dan dirinya sudah duduk di bangku yang saling bersebelahan. "Ada aku sekarang. Jadi kalau ada apa-apa aku yang bantu tangani. Oke?"

Karto hanya mengangguk masam untuk menaggapi Carla.

Ia merasa heran, apakah seseorang yang bertunangan menjadi hal yang luar biasa di lingkungan pergaulannya sendiri? Semua orang di kelas membicarakan dirinya dan Carla. Bahkan setiap guru yang datang juga dikabari bahwa ia dan Carla bertunangan. Tentu saja mereka mengucap selamat, dan Karto berusaha sebaik mungkin untuk menerimanya. Bagaimanapun, dalam relung hati ia sangat-sangat menentang status yang dirinya terima sekarang.

|---po.oq---|

Pulang sekolah, Karto harus menunggu sejenak di sekolah sampai keadaan benar-benar sepi.

"Jangan malu dong. Aku tidak masalah walaupun harus menumpang dengan sepeda reyot kamu," kata Carla santai.

Karto menggeleng resah. "Aku tidak mau yang lain melihat."

"Ya ampun, apakah harga dirimu hancur hanya karena kamu tidak punya kendaraan bagus? Apa aku belikan kamu sepeda yang baru biar lebih tenang?"

"Jangan Carla. Aku akan beli sendiri."

"Mumpung ada aku loh?" Carla mendekatkan wajah pada Karto yang enggan balas menatap. "Aku ada uang untuk belikan sepeda baru. Seperti aku yang sudah belikan kamu flashdisk waktu itu."

"Sudah kubilang jangan," sergah Karto, tidak ingin berdebat.

"Kamu mau tunggu sampai kapan? Di sekolah masih ramai," Carla mengamati sekitar. "Nanti mama aku cariin kalau kamu nggak jemput aku sekarang."

"Mengapa kau tidak naik ojek, daripada minta aku yang jemput kamu?"

"Dih, kamu nggak asik!" Carla mendorong Karto karena mulai kesal. "Aku tunangan kamu sekarang. Masa' kita harus pulang sendiri-sendiri sih?"

Karto menghelas napas. "Apapun keinginan untukmu."

Butuh waktu hampir satu jam agar keadaan sekolah benar-benar sepi. Setelah itu barulah Karto bisa mengeluarkan sepedanya lalu mengantar Carla pulang sampai rumah. Ia tetap merasa tidak enak, bukan karena ia pulang bersama Carla melainkan ia menggunakan sepeda yang jelas tidak cocok untuk orang seperti Carla. Ini adalah tragedi yang harus dihadapi mulai sekarang.

Sesuai yang dipikirkan, ibunya Carla mempertanyakan mengapa ia terlambat mengantar anak orang itu pulang.

"Jangan khawatir, Mah. Kita kan berduaan sejenak sebelum pulang. Mamah harusnya sudah tau kan?" kata Carla meyakinkan.

"Iya, dasar kalian anak muda," balas ibunya Carla. Lalu wanita itu menghadap Karto, "Kamu harus ingat waktu, jangan aneh-aneh dengan putri saya ya? Oh iya, sepeda kamu itu... mending ganti pakai yang baru."

"Mah, tolong belikan dia sepeda, ya? Jadi kalau mau antar-jemput aku dia tidak merasa malu. Iya kan, Karto sayang?"

Karto hampir merasa mual mendengar kalimat itu. "Saya akan coba beli sendiri. Jadi tidak perlu melakukan itu,"

"Jangan mempersulit diri. Nanti saya belikan sepeda baru buat kamu. Nanti tak kabari ayah kamu soal itu."

"Baik, bu. Terima kasih," Karto hanya merunduk mengetahui ucapan dari ibunya Carla.

Akhirnya Karto merasa sangat lega bisa bebas dari Carla. Ia harus pulang cepat-cepat untuk menenangkan diri. Ah, sebelum itu ia mampir kearah warung toko pak Cahyo yang sudah lama tidak ia datangi sejak rangkaian pertemuan yang membahas perjodohan yang begitu ia benci.

Dan sangat disayangkan sekali, toko itu sedang tutup hari ini. Padahal masih hari biasa bukan akhir pekan.

Ia begitu sedih. Mengapa akhir-akhir ini dirinya merasa tidak beruntung. Ketika ia berumur tujuh belas tahun, yang didapat hanyalah ujian dan derita. Ini tidak adil baginya. Tidak ada sesuatu yang menyenangkan dan menghibur selama menjadi calon orang dewasa. Merasa tidak ada yang ingin dicari, akhirnya ia melanjutkan perjalan menuju tempat tinggalnya sendiri.

|---po.oq---|

"Tolong jaga rumah untuk hari ini. Bapak sama ibu pergi ke pasar dulu."

Karto mengangguk singkat mendengar pesan dari ibunya, lalu ia memandang kedua orang tuanya yang keluar dari rumah menuju garasi. Sepertinya mereka akan naik mobil bak terbuka. Tidak ingin melihat lebih lama, Karto segera masuk ke dalam kamar.

Ia mengambil peti yang ia temukan di pinggir sungai waktu itu. Ia mencoba melihat macam-macam pakaian yang ada dalam peti tersebut. Sebagian besar berupa kemeja model perempuan, dan semacam pakaian kebaya. Ada rok pendek maupun panjang juga. Ia bentangkan semua pakaian itu satu per satu, hanya ingin tahu model dan ukuran masing-masing. Sesaat kemudian ia berpikir mengapa pakaian ini terlihat kecil dari pakaian ibunya yang biasanya—bukan berarti ibunya sendiri berbadan gemuk. Apakah ini pakaian ibunya saat masih muda?

Ketika mengambil rok panjang yang lain, hendak dibentangkan ke bawah, tiba-tiba ada sesuatu yang terjatuh. Sebuah benda logam. Karto mulai mengambilnya, baru sadar bahwa itu adalah sebuah kunci. Ia amati, dari bentuk, ukiran, dan warna. Dengan cepat ia menebak bahwa benda itu ada kemiripan dengan kunci di rumah ini. Apa jangan-jangan itu kunci untuk sebuah ruangan di dalam rumah. Karto berpikir sejenak, adakah ruang yang tak pernah ia masuki seumur hidupnya karena pintu terkunci? Ia sudah tahu kamar ayah-ibunya. Ia juga tahu ada gudang yang isinya kurang lebih mesin-mesin tak terpakai dan barang rongsokan.

Ada satu lagi, pintu lain di dapur berhadapan langsung dengan pintu kamar mandi.

Ia kemas semua pakaian-pakaian yang sempat dikeluarkan kembali ke dalam peti, meskipun agak asal-asalan karena terburu-buru. Setelah tertutup rapat dan mengembalikan peti ke bawah kasur, ia bawa kunci temuan tadi keluar dari kamar.

Karto turun ke dapur dan segera menemukan sebuah pintu yang ia tebak tadi. Mengapa ia baru sadar kalau ada pintu yang tak pernah dilewati? Sayangnya ada satu kendala, di depan pintu sudah terhalang satu rak piring yang biasa untuk tiriskan alat makan yang habis dicuci, dan satu lemari kayu agak tinggi isi koleksi alat makan lainnya. Maka ia harus menggeser salah satunya agar bisa dilewati, yang rak piring, karena lebih enteng. Masih belum cukup, ia geser lemari kayu sedikit demi sedikit karena di belakang ada tempat memasukkan kunci. Ia harus hati-hati karena bisa jadi lemari itu akan jatuh dan membuat semua barang di dalam pecah tak karuan. Setelah dirasa cukup, barulah ia memasukkan tangan yang memegang kunci agar menjangkau bagian gagang pintu yang sudah ada tempat lubang kunci. Entah apakah tebakannya benar bahwa kunci yang ia temukan tak sengaja itu adalah—

Benar, itu kunci pintu yang sedang ia buka, dan sekarang sudah terbuka sempurna. Tanpa berpikir panjang ia masuk ke dalam ruang asing yang tak pernah ia masuki seumur hidupnya.

Sungguh di luar dugaan, ruang itu bukanlah gudang yang sempat Karto bayangkan—karena biasanya pintu yang tak pernah menampakkan isi ruangan adalah tempat simpanan barang tak berguna—melainkan sebuah kamar kosong yang masih bersih dan rapi. Ternyata itu adalah satu kamar lain yang tidak ia ketahui.

Rasa penasaran Karto mulai berkembang cepat, tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan mengunjungi ruang ini ketika kedua orang tuanya pergi dari rumah. Dalam waktu singkat ia sudah menemukan satu benda yang sangat mengejutkan. Sebuah foto pigura yang dipajang di dinding, menampakkan tiga sosok berbeda kecuali satu yang bisa ia kenali, ibunya sendiri—yang masih muda—, seorang bapak yang tidak dikenal, dan seorang gadis muda seusia dirinya yang berambut kepang satu tampak di atas dada. Kemungkinan sosok bapak di foto adalah ayah pertamanya yang kata ibunya telah pergi. Sedangkan sosok gadis adalah kakak perempuan yang tidak diketahui.

Lalu pandangan matanya meluncur ke arah sebuah meja rias, ada cermin yang berhadapan langsung dengannya. Karto lebih fokus pada bagian datar, tumpukan kertas dan buku. Dilihat bagian itu dengan cermat. Kebanyakan isinya semacam catatan pelajaran sekolah yang tidak ia pahami. Namun ada sebuah buku bersampul tebal warna hijau yang paling menarik perhatian, dan ia ambil begitu saja. Setelah itu ia iseng membuka isi lemari kecil di sebelah meja rias. Nyaris kosong, kecuali tumpukan tabung plastik kecil tanpa kemasan berwarna putih polos. Mencoba membuka salah satu isinya, Karto segera terkejut. Banyak pil kecil warna terang yang kemungkinan besar obat—tetapi apakah masih bisa dikonsumsi pun tidak tertera tanggal kadaluarsa? Di sebelah tumpukan plastik itu, ada sebuah kertas yang barangkali adalah petunjuk dari obat yang ditemukan itu. Namun bukan itu rupanya, melainkan sebuah pesan kecil.

Maafkan aku yang terlalu sedih kehilangan putri kita. Jadi mohon jaga Ardi sementara aku pergi.

Alih-alih tidak ada nama penulis, justru nama Ardi yang disebut dalam surat. Seketika ia teringat akan seorang bapak yang ia temui di warung toko pak Cahyo.

Masih ada lagi, Karto menemukan sebuah foto kecil, mirip foto KTP atau foto resmi sekolah yang ditempel pada rapor miliknya. Seorang pria, terlihat masih muda, dan anehnya nyaris mirip dengan dirinya. Namun mustahil fotonya ada di kamar misterius ini, pun sosok di foto mengenakan kemeja polos warna putih—seumur hidup tidak pernah foto mengenakan baju tersebut.

Maka Karto memastikan bahwa itu adalah foto Ardi, foto si bapak di warung toko pak Cahyo ketika masih muda. Bapak itu pasti punya hubungan dekat dengan keluarganya. Ia harus mencari tahu dan menemui bapak itu.

Terakhir ia buka-tutup bagian lemari atau laci lainnya satu per satu, ternyata sudah tidak ada isinya lagi. Karto mengamati seisi kamar sekali lagi, memastikan tidak ada lagi yang harus dicari. Hingga akhirnya ia memutuskan keluar dari kamar tersebut. Tentunya dengan membawa oleh-oleh dari kamar itu, satu tabung plastik isi obat, satu kertas isi surat kecil, satu foto yang diduga bapak Ardi, dan satu buku hijau entah milik siapa.

|---po.oq---|

Continue Reading

You'll Also Like

5.9K 1K 5
[Cerpen] [5/5] "Mamimu, Memo?" tanya wanita berkonde besar itu kepadanya. Belasan kali. Pertanyaan yang sama. Melulu begitu. ===== Cerpen 5.000 kata...
220K 27.3K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...
369K 3.3K 18
18++ Bukan konsumsi anak2 Sekian lama menjanda, kau mendapatkan kabar jika ibumu akan menikah. Mungkin bagi sebagian anak. Ia akan bahagia. Namun tid...
254 58 7
Mari menyelam ke kolam imajinasi.