LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

By lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... More

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#14 Stay
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#42 Ungkapan
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#47 Tell the Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#51 Berawal dari Akhir
#52 Reason
#53 Gamon?
#54 Identitas Black Rose
#55 Dumbfounded
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#56 Memulai

1.8K 176 5
By lunetha_lu

"Oke,terakhir kita bahas project desain untuk film 'Annoying Kating'. Film yang diadaptasi dari novel ini mencakup logo, ilustrasi opening dan closing, juga kebutuhan desain lain yang berkaitan," jelas Agung yang kemudian menoleh pada Vanta. "Gue liat CV lo, lo suka baca novel 'kan, Ta? Coba lo ikut kerjain project ini ya."

Wajah Vanta langsung berbinar mendengar perintah Agung. Gadis itu mengangguk semangat karena diberi tugas yang disukainya. "Siap, Kak!"

"Alvian lead-nya, Melisa bisa bantu Vanta juga."

Mendengar nama yang belakangan mengusik pikirannya, sudut bibir Vanta yang naik langsung menukik turun.

'Gila!

Ini benar-benar gila!

Kenapa harus Toto lagi??'

Vanta merutuki nasib baik dan buruknya yang datang di saat bersamaan.

Sejak Toto menyatakan suka padanya, cowok itu sungguh-sungguh dengan usaha mendekatinya. Sering kali memberi gestur yang bikin Vanta salah tingkah. Apalagi saat cowok itu berkata, "Dulu, gue suka liat rambut pendek lo, keliatan segar dan mature. Tapi setelah liat rambut lo panjang lagi sekarang, lo tambah cantik."

Kalimat pujiannya sukses membuat jantung Vanta berpacu cepat dan memikirkannya bahkan saat dia sudah pulang ke rumah. Sesuai kehendak cowok itu.

Untung saja Vanta tidak langsung bertanya perihal lukisan Black Rose di kampus waktu itu. Kalau dia tahu Vanta sangat menyukai lukisannya, Toto pasti akan semakin berasumsi jika dia punya peluang besar untuk mendekatinya.

"Seperti lo yang berhak buat mengunci perasaan lo, gue juga berhak untuk tetap suka sama lo kan?" Sebegitu keras kepalanya seorang Toto.

Vanta benar-benar bingung harus bersikap bagaimana. Sehingga ketika semua yang dipendamnya terasa menumpuk, yang menjadi pilihannya saat itu adalah menceritakan yang sebenarnya pada Jessi. Berniat meminta saran.

"Jes ... sorry." Kalimat pertama yang diucapkan ketika panggilannya tersambung.

"Kenapa lo? Tiba-tiba nelepon bilang sorry?"

"Sorry. Gue bingung nggak tau harus gimana ...."

Sungguh, Vanta terlampau tidak tahan untuk memendam semuanya sendiri. Masalah dengan Toto benar-benar membebani pikirannya.

"Memang ada apa?" Perempuan cantik nan modis itu masih berusaha sabar menanggapi. Berjalan menyusuri mal yang tak jauh dari kawasan tempat tinggalnya.

"Lo bener," ucap Vanta tak lengkap.

"Apaan yang bener??" Jessi semakin gemas dibuatnya.

"Toto ..." Vanta membasahi tenggorokan yang mendadak terasa gersang sebelum melanjutkan, "nembak gue."

Ada hening beberapa saat yang membentang di antara keduanya. Hingga suara Jessi kemudian lebih dulu terdengar di sela-sela kebisuan mereka.

"Ahh, udah gue duga." Sama sekali tidak terkejut. Seolah sudah mendapat pencerahan dan bisa memprediksinya. "Betul 'kan, feeling gue. Terus, terus, gimana?" tanya gadis itu bersemangat.

Berbanding terbalik dengan Vanta yang ketar-ketir dan khawatir. "Sorry, gue nggak dengerin lo. Harusnya gue jauh-jauh dari dia. Setelah magang gue selesai, gue nggak bakal ketemu dia lagi."

Gadis cantik yang ditelepon oleh Vanta terdengar menghela napas. "Kenapa lo minta maaf? Emang apa yang salah dari dia yang suka sama lo?"

Vanta terdiam merenungi kata-kata Jessi. Apa yang salah? Dia sendiri tidak tahu persis. Hanya saja dia merasa semua ini tidak tepat. Ada juga seberkas rasa menyesal. Perasaan seperti merebut gebetan sahabatnya.

"Lo pasti lagi kebingungan, ya? Mau tau solusinya?" tanya Jessi, seakan sudah memiliki jawaban atas dilemanya.

Sejenak, Vanta mengerjap mendengar suara ringan di ujung telepon. Lalu dengan hati-hati bertanya, "Apa ... solusinya?"

"Gampang. Tinggal pacarin aja dia."

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

"Hah?! Gila lo! Gue nggak ada rasa apa-apa, masa—" pekikan terlambat dari Vanta segera terputus.

"Lo sama Alvin dulu, emang tadinya suka? Lo bisa jadian sama dia emang karena kalian pedekate dari awal? Nggak, kan? Kalian malah berantem."

"Tapi mana mungkin gue ...—"

"Orang juga bisa suka karena terbiasa. Apa salahnya dicoba?"

"Gue ... nggak bisa, Jes. Gue beneran nggak ada feel. Apalagi lo juga pernah ...."

"Ta, stop mikirin orang lain. Pikirin diri lo sendiri. Apa yang lo pingin? Fokus sama kebahagiaan lo. Gue juga pingin liat lo semangat lagi kayak dulu. Siapa tau dengan ada seseorang yang gantiin posisi Alvin, lo bisa berhenti murung."

Vanta kembali diam termenung. Perasaan berat menghimpitnya. Sungguh, kalau dia menolak Toto secara langsung, suasana mereka di kantor akan berubah tidak nyaman. Tetapi dia juga tidak bisa menerima lelaki itu.

Terlebih lagi, apa kabar perasaan Jessi? Dia juga harus memikirkannya. Yang Vanta tahu, Jessi itu cukup populer. Sudah beberapa kali berganti pacar. Tapi tidak satu pun yang bertahan lama. Pasti rasa sukanya pada Toto turut andil dalam hubungan percintaan Jessi.

"Gue pikirin dulu." Hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Vanta akhirnya.

***

Jessi berhenti melangkah dan menjauhkan ponselnya setelah selesai bercakap dengan sang sahabat di telepon. Raut bersemangat dan sudut bibir yang semula naik mulai luruh. Kelima jarinya meremas tali tas kertas berisi skincare yang baru dia beli. Matanya mulai memanas dan berkabut.

Dia butuh tempat duduk.

Di satu sisi, ia berharap seseorang menarik Vanta keluar dari kenangan yang membelenggunya. Namun, orang yang sekiranya memiliki peluang besar itu adalah seseorang yang pernah disukainya. Ralat, bukan pernah. Bahkan hingga detik ini, mendengar namanya saja hatinya masih bereaksi.

Ternyata cinta tidak seindah lirik-lirik lagu yang dilantunkan dunia, tak semulus drama romantis yang sering ditontonnya, atau rangkaian sajak manis yang dia lirik dari buku-buku koleksi Vanta. Mengagumi dan mengamati saja tidak cukup.

Tetapi, jika sahabatnya yang dipilih lelaki itu, dia bisa apa? Lain cerita jika Vanta menjadi rivalnya. Jessi akan tetap jujur dan bersaing dengan sehat. Nyatanya, ini bukan soal persaingan. Hanya soal hati yang tidak bisa dikondisikan.

"Kamu ... Jessi kan?" Suara rendah seseorang membuatnya mendongak dan berhenti melangkah.

Pria yang dikenalnya sebagai kakak dari sahabatnya itu menatap dengan bingung. Kemudian sedikit membelalak ketika setitik air dengan lancangnya menetes dari sudut matanya.

"Loh, kamu kenapa? Kamu sendirian di sini? Nggak sama Vanta?" Dengan gerakan panik laki-laki itu berusaha berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan pada gadis yang sedang menangis.

Kepalanya berputar ke sekeliling mencari ide. Hingga menemukan satu tempat yang dirasa pas, Vodka lalu berkata, "Duduk di sana dulu ya?" Sambil menunjuk salah satu kedai minuman dan donat yang tampak sepi.

Tidak sempat berpikir lagi, Jessi hanya menurut mengikuti Vodka.

"Kamu sendirian?" Sambil menunduk, gadis itu mengangguk pelan.

"Ada yang sakit? Kamu nggak pa-pa?" tanya Vodka lagi.

Kali ini Jessi terdiam.

'Sakit, katanya?

Yang sakit mungkin hatinya.'

Saking perihnya, air mata kembali membanjiri pipi Jessi. Membuat Vodka yang duduk di depannya kelimpungan. "Duh, beneran sakit ya? Mau saya antar ke dokter?"

Jessi mengusap kedua sudut matanya dengan punggung tangan. Mengangkat wajah untuk menatap lelaki di depannya. Menyaksikan kepolosan dan kebaikan Vodka rasanya seperti sedang berhadapan dengan sang sahabat. Ekspresi kakak beradik itu terlihat mirip.

"Nggak usah, Kak. Jessi cuma habis nonton film sad ending. Jadi kebawa sedihnya sampai sekarang."

Vodka mengedip dua kali sambil melongo, lalu tersenyum kikuk. "Aah, gitu ya. Kayak Vanta, dia juga kalau nonton yang sedih-sedih gampang baper,"

Ya. Jessi juga tahu itu.

Vanta pasti selalu menangis saat menonton adegan yang sedihnya bahkan hanya seujung kuku. Jessi ingat kebiasaan Vanta yang suka mengerutkan kening sambil membaca. Jessi tahu minuman dan makanan kesukaan Vanta. Jessi tahu sahabatnya hobi baca komik dan novel di mana pun dan kapan pun saat senggang.

Jessi sayang Vanta sebagai sahabatnya. Jadi kali ini, dia harus berhenti menangis. Jessi memutuskan akan mendukung apa pun pilihan Vanta. Sudah saatnya bagi dia juga untuk mengenyahkan perasaan lamanya. Sama seperti sarannya pada Vanta, dia juga harus berhenti melihat ke belakang.

"Iya, Kak." Dia berusaha tersenyum pada sosok yang serupa dengan Vanta itu.

Suatu saat, Jessi pasti akan menemukan cinta yang baru.

***

Menghadapi Toto yang sehari-hari duduk di sebelah mejanya saja bikin Vanta susah fokus. Apalagi sekarang, diminta pergi meeting berdua dengan cowok itu membahas konsep dari film yang desainnya akan mereka garap.

Sejak lembur malam itu, Vanta berusaha menghindari kontak berduaan saja dengan Toto. Dia belum tahu mau bagaimana menyikapinya. Sementara teman-teman kantor yang melihat perhatian Toto padanya terang-terangan menanyakan hubungan mereka.

"Eh, kayaknya Toto suka Vanta deh, ya nggak sih? Atau emang kalian lagi pedekate?" Cindy memulai gosip lebih dulu.

Kemudian Febi ikut menimpali, "Iya, ya. Liat aja tadi pas minumnya Vanta tumpah. Dia lapin meja deket Vanta terus cara dia lap tangannya itu loh, hati-hatiii banget."

"Terus beliin kopi buat Vanta doang."

"Iya! Iya! Sama pas Vanta nanya mesin scanner, dia langsung inisiatif bantuin 'kan? Omooo ...."

"Nggak, kok. Mungkin karena Vanta juniornya pas kuliah. Dia emang orangnya baik sama siapa aja. Dari dulu begitu," elak Vanta kemarin.

Untung dia jago akting. Teman-teman yang lain juga langsung memberi respons setuju dengan pendapat Vanta. Bagusnya, Toto terkenal ringan tangan. Jadi tidak akan ada kecurigaan lagi.

Tanpa sadar Vanta yang duduk melamun memikirkan kejadian itu menghela napas. Mengundang sosok di sebelahnya untuk menoleh.

"Segitu nggak nyamannya pergi sama gue?" tanya cowok itu, mengukir senyum tipis.

Vanta refleks menoleh, gelagapan. "Ng-nggak, kok. Bukan gitu."

"Gue bukan orang yang baik sama siapa aja," ucap lelaki itu sambil masih fokus mengemudi. "Jangan jadiin alasan karena gue terlalu baik, jadinya lo nolak gue."

'Hmm ... rupanya dia dengar obrolan para cewek di kantor kemarin.

Sialan.'

Batin Vanta risau.

Sekarang Vanta malah dibikin tercengang. Kalimat penolakan dengan "kamu terlalu baik buat aku" memang sudah terlalu mainstream. Lagi pula Vanta juga tidak berniat menggunakan dalih pasaran itu.

"Gue kan nggak bilang apa-apa," ujar Vanta sambil melirik keluar jendela. Tidak mampu bertatap wajah cowok di sebelahnya.

"Oh, oke. Berarti gue belom ditolak ya?"

"Hah?? Itu ...."

Suasana kembali hening selepas ucapan menggantung Vanta. Toto hanya membiarkannya, tidak mendesaknya untuk menjawab apa pun. Sedangkan Vanta sendiri tampak bingung. Dia tidak ingin magangnya terganggu hanya karena sikapnya yang mencampur urusan pribadi seperti ini.

Selanjutnya dia memejamkan mata erat, mengumpulkan kekuatan. Cukup lama sampai kalimat itu mampu meluncur dari mulutnya.

"Ya, gue memang nggak bisa terima pernyataan lo waktu itu. Tapi seperti yang lo bilang, lo bebas sama perasaan lo. Mau benci gue, mundur, atau gimana pun. Itu hak lo." Jari-jarinya meremat ujung kemeja agar gemetar di kedua tangannya tidak kentara.

Mengambil jeda dua detik, cowok di sebelahnya kemudian mengangguk, masih dengan tatapan lurus ke jalan. Tapi kemudian menoleh singkat dan bertanya, "Jadi intinya, lo kasih gue kesempatan untuk berusaha, begitu 'kan?"

"Lo bebas berupaya. Tapi gue nggak janji bisa bales perasaan lo."

Senyum tercetak di bibir pemuda tampan itu. Toto sendiri merasa bebannya sedikit terangkat. Setidaknya, tidak ada larangan untuknya. Berarti Vanta juga akan berhenti menghindarinya.


=== BERSAMBUNG ===


Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 10.9K 23
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) Hati-hati dalam memilih bacaan. follow akun ini biar lebih nyaman baca nya. •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan sa...
6.9K 313 30
Aozora Capella Savior, Wanita karier dimana bekerja dalam perusahaan yang sukses karenanya. Walaupun Masih tak dibanding dengan perusahaan sebesar A...
87.6K 12.7K 36
Wira pernah mencoba menjadi fakboy, tapi gagal karena dia memang ditakdirkan untuk menjadi softboy. [Special Collaboration] Start : 02 April - 13 Oct...
7K 952 20
Kim Seokjin, namja tampan, Cool dan dingin harus berurusan dengan mahasiswa baru yang suka berbuat onar bahkan di hari pertama mereka masuk. bagaima...