LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

By lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... More

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#14 Stay
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#42 Ungkapan
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#47 Tell the Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#51 Berawal dari Akhir
#52 Reason
#53 Gamon?
#55 Dumbfounded
#56 Memulai
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#54 Identitas Black Rose

1.8K 189 7
By lunetha_lu

Semenjak makan siang bersama di restoran fast food waktu itu, keduanya jadi lebih akrab di kantor. Vanta nggak segan-segan lagi saat bicara pada Toto. Cowok itu juga sering mengajaknya meeting dengan klien supaya Vanta bisa belajar cara pitching. Sebagai mentor dan mentee, mereka cukup kompak seperti semut.

"Ta, dimakan. Nanti keburu dingin," ujar Vodka yang duduk di depannya.

Akhir pekan ini Kak Oka berniat mentraktir Vanta makan di mal. Tapi kebetulan dia sudah ada janji dengan Jessi. Jadi, yang Vanta lakukan adalah mengajak Jessi sekalian mereka bertemu. Kapan lagi dia traktir Jessi tapi yang bayar Kak Oka? Cerdas bukan?

"Iya kak, bentar. Lagi kasih tau orang kantor besok Vanta izin."

Vanta: To, besok gw ga masuk

Vanta: Mau ke kampus

Vanta: Udah ijin sm Kak Agung

Vanta tidak tahu kenapa, tapi merasa perlu laporan pada pemuda itu. Barangkali Kak Agung lupa memberitahu. Dari pada nanti dia dicari-cari, lebih baik bilang duluan. Lagi pula Toto mentornya, juga teman sebelah mejanya.

Toto: Jam berapa?

Vanta: Jam 10'an mungkin

Toto: Sekalian aja, gw mau ke kampus jg

Toto: Jam 10 kurang gw ke rumah lo

"Hah?"

Suara Vanta seketika membuat Jessi yang duduk di sebelahnya dan kak Oka yang duduk di depannya menoleh padanya.

"Kenapa?" tanya Jessi.

"Ng ... nggak pa-pa." Vanta melipat bibirnya. Langsung menurunkan ponsel yang digenggam kedua tangan agar halaman percakapannya dan Toto tidak terlihat. Dia nggak mau dikira ada apa-apa dengan cowok itu karena memang mereka cuma sebatas kating dan junior yang kebetulan satu kantor.

"Oh iya, Ta," panggil Vodka. "Temen kamu Alvin apa kabar?"

Deg.

Vanta mendadak bertransformasi jadi batu. Jessi melirik Vanta dan Kak Oka bergantian, sedikit kaget karena kakaknya Vanta tahu tentang cowok itu. Yang Jessi pernah dengar dulu, kakaknya Vanta ini memang agak tidak peka orangnya. Terbukti dari kasus mantan pacar Vanta waktu itu.

"Lanjut studi di Kanada," sahutnya setelah jeda yang amat panjang.

Sambil menyendokkan beef pepper rice dari sebuah restoran hotplate di mal, Vodka berkata lagi, "Oh ... sambil kerja? Dia anak Rektor kan?"

Setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas, Vanta meraih sendok dan garpu. Mengaduk makanan di piringnya sambil menjawab, "Iya."

Tapi sesaat kemudian gerakannya terhenti, merasakan adanya kejanggalan.

"Dari mana kak Oka tau dia anak Rektor?"

"Dari namanya, dan dia bilang betul. Kamu inget proyek website kak Oka yang dulu?"

Vanta tak putus-putus memandangi kakaknya. Penasaran menunggu kelanjutan cerita saudaranya dengan kedua tangan masing-masing masih menggenggam sendok-garpu.

Karena Vodka belum juga melanjutkan, Vanta bertanya hati-hati. "Yang ... mana?"

"Black Rose."

Tanpa sadar gadis itu menahan napas. Buku-buku jarinya menegang. Seluruh fokusnya hanya terpusat pada nickname yang menggelitik di telinga tersebut.

"Kenapa ... memang?"

Jawaban Vodka berikutnya bukan hanya membuat sepasang mata bulat itu melebar maksimal. "Alvin Geraldy itu kan, web designer Black Rose yang pernah kerja sama kak Oka, ingat?"

Seketika aliran darah Vanta seperti membeku. Sekumpulan suara percakapan pengunjung mal yang mengudara tak lagi terdengar di sekitarnya. Hatinya yang telah lama teralihkan dari lelaki itu mendadak seperti menemukan setitik cahaya dalam ruang gelap yang mengungkungnya.

Vanta lalu merasa bergidik sendiri.

'Kebetulan macam apa ini?'

***

"Lo nggak mau ngontek dia?" tanya Jessi saat mereka sudah berpisah dengan kak Oka.

Melihat temannya yang jalan seperti mumi, membuat Jessi prihatin. Satu kenangan dan tali penghubung yang sangat rapuh mampu memengaruhi akal sehat sahabatnya.

"Bahkan waktu itu dia masih mikir buat anterin lo sama gue pulang, Ta. Meskipun dia pasti ngerasa ditampar sama kata-kata keterlaluan lo. Lo nggak kepikiran buat minta maaf sama dia? Toh, dia udah terlanjur di sana. Kalo lo jujur juga, mana mungkin dia langsung terbang balik begitu aja?"

"Dua tahun, Jes. Lo berharap gue bilang apa kalo ngontek dia?" Lalu mengangkat sebelah tangannya ke telinga, memperagakan gaya menelepon sambil mencibir dengan bibir bawah maju beberapa senti, "Hai Vin, ini gue Vanta. Sorry ya waktu itu gue bohong nggak maksud bikin malu di depan temen-temen lo. Cuma biar lo pergi lanjut kuliah aja." Lengkap dengan gestur tubuh menyebalkan.

"Kalo kayak gitu sama aja gue nggak tau diri plus nggak tau malu namanya!" seru Vanta menambahkan.

Jessi berdecak sebal setelah menatap gadis itu. Padahal dia amat yakin, Vanta menyesal. Dia yakin sudut hati terdalam gadis itu, Alvin masih menempati ruang spesial hingga Vanta tidak pernah sekali pun melirik cowok lain selama lebih dari dua tahun.

Alias belum bisa move on.

Tapi Jessi sendiri tidak punya solusi yang pasti. Dia cuma penonton yang tidak berada di posisi Vanta. Maka, dia bisa apa?

***

"Apa kabar dia?"

"Sangat baik." Toto memindahkan ponsel ke telinga kanannya. "Magangnya juga lancar."

Terdengar tawa renyah dari ujung sana. "Jawaban lo nusuk banget. Padahal gue di sini nggak baik-baik aja."

"Salah lo, kenapa pergi jauh-jauh?"

"Lo tau gue nggak punya pilihan."

"Yah, tapi kan dalam setahun dua - tiga kali lo balik Jakarta buat jenguk Samy. Lo juga udah tau faktanya, kalo ternyata dia terpaksa ngelakuin itu demi lo sama Bokap lo. Cuma ngunjungin diam-diam, buat apa coba? Mending samperin langsung."

"Sialan. Gue juga maunya gitu. Tapi kalo gue ketemu langsung, yang ada malah bikin gue nggak mau balik lagi ke sini."

Sunyi sebelum Toto bertanya, "Jadi, lo maunya gimana?"

"... Nggak tau. Gue belom siap."

"Jawab yang pasti." Suara Toto terdengar mendesaknya.

"Kenapa?"

"Karena kalau lo kelamaan mikir, gue mau ambil langkah secepatnya."

Ada kesunyian panjang yang melingkupi mereka. Tidak terlalu heran, atau bahkan mungkin sudah bisa menerka. Tetapi Alvin tidak menyangka kalau Toto akan mengatakannya langsung.

Cowok itu menghela napas sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Lakuin sesuka lo." Dan, telepon ditutup.

Toto mengambil napas panjang setelah panggilan berakhir. Sudah sejak lama dia hanya diam mengamati. Kali ini, dia tidak akan menunggu dan menahan seperti sebelumnya. Biarlah dia bekerja mengikuti instingnya.

***

Vanta berdiri mematung. Memandangi lukisan di hadapannya. Jika Black Rose yang bekerja sama dengan kak Oka adalah Alvin, apakah cowok itu juga yang membuat lukisan ini? Lukisan yang selalu membuatnya takjub.

Tidak ada paraf yang sama dengan lukisan ini pada website Black Rose. Cuma bermodalkan naluri. Tidak ada bukti pasti. Kendati kemiripan konsep sering kali terjadi.

Ketika pikirannya sedang berkelana jauh memikirkan si pembuat lukisan, ponsel di saku jins Vanta bergetar. Dikeluarkannya ponsel itu untuk melihat sekilas nama yang tertera pada layar. Panggilan masuk dari Toto.

"Lo udahan?" Suara pertama yang terdengar setelah Vanta menjawab telepon.

"Iya. Kenapa?"

"Di mana? Balik bareng, yuk."

"Galeri. Urusan lo udah kelar ya?"

"Udah, gue ke situ."

Tak sampai lima menit, Toto memasuki ruang galeri. Membuat beberapa pasang mata yang ada di sana refleks memerhatikannya. Selain karena wajah gantengnya, sosok Toto ini pasti terlihat sedikit asing di hadapan para mahasiswa yang Vanta yakini adalah adik tingkatnya.

Jadi bahan tontonan bukan lagi hal yang memusingkan Vanta karena dia sudah kenyang menghadapi hal demikian sejak SMA. Ditambah satu tahun pengalaman pertamanya di kampus berkat Alvin.

Maka Vanta menghampiri Toto dan langsung menyambutnya dengan kalimat panjang. "To, tolong tanda tangan laporan magang gue, dong. Diminta tanda tangan mentor sama penanggung jawab. Kak Agung aja atau siapa satunya?"

"Iya, Agung juga bisa. Nanti ditambahin stamp kantor. Mana?" Cowok itu berderap ke dekat meja yang ada di ujung ruangan. Duduk di salah satu pinggiran bangku panjang, diikuti Vanta yang mengeluarkan lembaran kertas dari map yang dipegangnya.

Vanta langsung meletakkan laporan magangnya di meja begitu berhasil mengeluarkannya. Dia juga meminjamkan pen untuk Toto agar cowok itu bisa membubuhi tanda tangan atau paraf. Tangan cowok itu kemudian mengisi beberapa kolom kosong.

Sambil masih berdiri di sebelahnya, Vanta mengamati coretan sederhana yang dibuat sang mentor. Kening Vanta mulai mengernyit ketika didapatinya bentuk tidak asing dari paraf tersebut. Dia pernah melihatnya. Vanta mengenal goresan identitas itu.

Kepala gadis itu berputar cepat ke arah lain untuk memastikan kebenaran dari informasi yang baru saja diolah dalam kepalanya. Matanya membelalak kaget, nyaris melompat keluar kalau saja suara Toto tidak mengalihkan perhatiannya saat itu.

"Udah, nih."

Vanta menoleh kaku. Udara sekitarnya terasa berat menimpa kedua pundak. Dengan suara lirih, satu tangannya terangkat perlahan. Menunjuk lukisan malaikat memeluk setangkai bunga mawar besar dan bertanya, "To, lo tau siapa yang bikin lukisan itu?"

Belum sempat Vanta mempersiapkan diri, Toto tersenyum. Langsung menjawab ringan tanpa tahu pergolakan yang tengah terjadi dalam dirinya. "Tau kok, kenapa?"

Napas Vanta tercekat. Seolah jawaban yang baru didengarnya mampu membisukannya beberapa detik.

Melihat Toto masih menunggu responsnya, susah payah Vanta membasahi kerongkongan sebelum dia memutuskan untuk berkata, "Ng ... nggak, nggak pa-pa."


=== BERSAMBUNG ===

Detik-detik mau berakhir. Aaa, akhirnya setelah sekian tahun bisa kelarin cerita ini juga.

Eh, nggak boleh seneng dulu. Belum tamat soalnya.

Pantau terus notifikasi dariku ya.

Soalnya aku bakal hapus beberapa part setelah selesai.

Jangan lupa vote dan comment.

LOVE.

Continue Reading

You'll Also Like

45.6K 2.9K 51
Jangan lupa follow akunku biar kalau aku update cerita makin kelihatan langsung klik deh. Pylaris Fredella atau biasa disapa Fredella yang berarti p...
730K 101K 45
Sejak orang-orang terkasihnya pergi meninggalkannya, Aruna merasa hatinya tak lagi ada. Ketika Ayahnya berubah dan harus bertanggung jawab atas selur...
98.3K 11.5K 31
Semuanya bermula dari sebuah insiden kecil yang menimpa Olivia Maier di GOR kampusnya ketika sedang menonton latihan futsal hingga mempertemukannya d...
6.9K 313 30
Aozora Capella Savior, Wanita karier dimana bekerja dalam perusahaan yang sukses karenanya. Walaupun Masih tak dibanding dengan perusahaan sebesar A...