Lover In War | βœ”

Por queentuucky

3.5K 491 143

[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐑𝐒𝐜𝐀π₯𝐒𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐒𝐭𝐑 𝐚 𝐬π₯𝐒𝐠𝐑𝐭π₯𝐲 𝐚𝐜𝐭... MΓ‘s

LOVER IN WAR
TEASER
Visual | Main Character
The Beginning
Prolog
LIW | 1
LIW | 2
LIW | 3
LIW | 4
LIW | 5
LIW | 6
LIW | 7
LIW | 8
LIW | 9
LIW | 10
LIW | 11
LIW | 12
LIW | 13
LIW | 14
LIW | 15
LIW | 16
LIW | 17
LIW | 18
LIW | 19
LIW | 20
LIW | 21
LIW | 22
LIW | 23
LIW | 25
LIW | 26
LIW | 27
LIW | 28
LIW | 29
LIW | 30
LIW | 31
LIW | 32
LIW | 33
LIW | 34
LIW | 35
LIW | 36
LIW | 37
LIW | 38
EPILOG
_the untold story_
_side track_

LIW | 24

49 12 5
Por queentuucky

Di meja kerjanya, terlihat Maura yang sudah mulai sibuk memeriksa berlembar-lembar kertas berisi laporan dana pemasukan dan pengeluaran yang baru saja disetorkan kepala bagian keuangannya barusan. Dilihat dari ekspresinya, jelas Maura masih belum baik-baik saja sejak kemarin malam. Ia masih memusingkan banyak hal yang ia sendiri tahu pasti jawabannya. Namun setidaknya, masih ada hal baik yang terjadi. Devan yang entah mengapa bersikap layaknya gentleman. Ia tidak mencoba memperburuk situasi dan Maura terbantu dengan itu.

Namun, Maura tak menyadari tatapan Devan yang diam-diam terus tertuju padanya. Memang sudah biasanya seperti itu, namun intensitasnya kini naik dua kali lipat. Devan sendiri tak menyadari itu. Ia hanya merasa perlu memastikan keadaan Maura diam-diam. Devan perlu tahu apa yang tengah dihadapi Maura hingga ia dapat menata kembali rencananya.

Di tengah 'pengamatannya', ponsel Devan bergetar dari balik saku celananya. Ia merogoh kantung celana dan melihat nama Jay terpampang di layar. Dengan segera, ia menerima panggilan itu sambil berjalan mengendap-endap ke dalam toilet. Tak lupa, ia memastikan keadaan di toilet sebelum menguncinya.

"Lapor, Komandan! Ada pengiriman barang baru yang akan dilakukan malam ini di koordinat 6.101511°S 106.886031°E. Target 1 dan 2 juga terlihat keluar dari kawasan sejak dua jam yang lalu"

Devan mengernyitkan dahi, taktahu dimana letak dari koordinat yang disebutkan Jay barusan.

"Priok," lanjut Jay kemudian sesaat setelah menyadari kesalahannya.

"Pengiriman barang baru di malam ini? Kamu yakin?" tanya Devan memastikan kembali.

"Siap, yakin, Komandan. Saya dapat info itu dari target 2 langsung, Komandan."

Devan tak langsung menanggapi, ia nampak berpikir keras.

Target 1 yang dimaksud Jay adalah Joe, sedangkan target 2 adalah 'komplotan sesungguhnya' yang tengah mereka incar. Sebenarnya Devan ingin mempercayai kabar dari anak buahnya, namun ia sendiri tidak yakin. Maksudnya, Joe tidak mungkin membiarkan berita penting ini keluar dari sembarang orang. Lagipula, bukannya mereka terlihat setuju untuk menjadi mata dan telinga bagi masing-masing pihak?

Ada banyak kemungkinan yang tak ingin Devan sebutkan satu per satu. Kebanyakan kemungkinan buruk. Jadi, respon Devan hanya satu.

"Tolong pastikan kembali kebenaran info tersebut dan lapor saya setelah kamu benar-benar yakin."

"Baik, Komandan!"

Panggilan itu tertutup, Devan memasukkan kembali ponselnya ke saku celana dan membuka kunci pintu toilet dan terdiam mematung saat melihat Maura berdiri tepat di hadapannya.

"Kenapa? Kok keliatan kaget gitu?" tanya Maura kemudian.

"Ya kaget, lah! Kamu ngapain berdiri di depan toilet cowok kayak gitu?"

Maura tak membalas. Ia hanya menunjuk pintu di belakang Devan. Dan seketika Devan tersadar bahwa ia salah memasuki kamar mandi.

"Aah, aku yang salah ternyata."

"Kenapa pintu toiletnya dikunci? Ini fasilitas kantor, bukan milik pribadi! Gimana kalo ada orang lain yang kebelet?" cecar Maura kemudian.

"Hah? Pintu toiletnya dikunci?" balas Devan pura-pura bodoh.

Maura menatapnya jenuh. "Gak usah sok kaget gitu! Aku liat sendiri kalo kamu sengaja kunci pintunya. Aku juga liat kamu yang jalan mengendap-endap, cek satu per satu bilik kamar mandi sebelum masuk. Tingkah kamu mencurigakan. Apa yang kamu sembunyiin dari aku?"

"Ngaco! Aku gak sembunyiin apa-apa, kok! Mana yang aku sembunyiin?" balas Devan tak mau mengalah sambil meraba-raba dirinya sendiri, berlagak seolah tak ada satu hal pun yang coba ia sembunyikan dari Maura.

Maura memicingkan kedua mata. Tentu ia tak mudah tertipu, tapi mendesak Devan sekarang juga bukan ide bagus. Lain kali, ia akan menangkap basah Devan memastikan ia mengakui kebohongannya dengan penuh rasa malu.

Melihat Maura yang tak lagi menaruh curiga padanya, Devan segera melarikan diri secepat kilat. Kini bukan Maura yang bergerak menjauhi Devan, namun sebaliknya. Yah, setidaknya untuk satu hari ini saja.

***

"Sini, biar gue bantu angkat," tawar Devan pada salah satu staf logistik. Setelahnya, Devan mengangkat tumpukan dus-dus paket berisi produk kecantikan itu dan membawanya ke parkiran di depan ruko; menuju mobil pick up berada.

Diam-diam, Devan melirik ke arah ruko di seberangnya yang nampak sepi. Sepertinya, info yang diberikan Jay barusan itu valid. Namun, Devan tak ingin percaya secepat itu. Jujur saja, ia masih berharap mendapatkan info lebih lanjut dari Joe; sang mata dan telinganya.

Tak lama kemudian, ponselnya kembali bergetar. Masih panggilan dari Jay.

"Lapor, Komandan! Ada laporan masuk soal jadwal kedatangan kapal kargo yang terlihat mencurigakan di titik koordinat pukul tujuh malam nanti. Kemungkinan kargo komplotan itu, Komandan."

"Apa yang kamu dapat dari target 1?" Tanya Devan keluar konteks.

"Target satu bersih, Komandan. Tidak ada info yang masuk dari target 1."

"Tunggu sampai target 1 menghubungi."

Di seberang sana, nampak Jay ingin mengatakan sesuatu namun tertahan hingga ia hanya membalas, "Siap, 86!"

***

Waktu terus berjalan namun hingga menjelang sore hari, Devan belum mendapat pesan apapun dari Joe. Itu membuat Devan cemas. Entah informasi yang diterima Jay itu nyata atau hanya pancingan semata, Devan tak dapat memastikan itu. Hanya lewat Joe Devan dapat mengkonfirmasi kebenarannya, namun nyatanya Joe tak jua menghubungi Devan atau bahkan memberi sedikit clue lewat anak buahnya.

Satu per satu karyawan Maura membubarkan diri, begitupula dengan Maura yang nampak tengah beres-beres. Devan mengintip sekilas ruko di seberang mereka lewat jendela di kantor Maura dan dapat dipastikan ruko itu masih tak berpenghuni. Kemungkinan besar, penghuninya tengah sibuk menurunkan muatan kapal di pelabuhan sana.

Seperti biasa, Devan menemani Maura berbenah dan berjalan bersamanya menuju lantai bawah. Maura tak banyak bicara. Ia langsung memasuki mobilnya dan pergi begitu saja tanpa berbalik sekalipun. Devan tak memedulikan itu, namun Devan merasa putus asa. Pada akhirnya ia berhenti berharap untuk mendapatkan informasi lebih dari Joe.

Sesaat setelah mobil Maura menghilang dari pandangan, Devan menghubungi Jay.

"Kita ke pelabuhan sekarang juga."

***

Devan sampai di pelabuhan dengan memakai atribut lengkap polisi tak lama kemudian. Dilihatnya sekeliling pelabuhan dan menyadari bahwa Jay dan Rhea masih belum berada di tempat.

Sambil menunggu keduanya dan armada tambahan yang diminta Jay, Devan memeriksa keadaan sekitar pelabuhan; takut-takut ada hal yang mencurigakan.

Namun nihil. Devan sama sekali tak melihat aktivitas mencurigakan. Sontak, Devan merasa was-was. Instingnya merasa ada sesuatu hal yang salah.

Untuk berjaga-jaga, Devan mencoba menghubungi seseorang yang paling bisa ia percaya lewat jam tangan pintarnya.

Ia kembali memastikan keadaan sekali lagi dan lagi-lagi tak ada hal yang mencurigakan di sana. Devan berpikir cepat dan tak lama, ia telah memacu roda duanya kembali ke ruko.

***

Devan memasuki ruko lewat pintu yang nampaknya sengaja tak dikunci. Dengan mengendap-endap, Devan mencoba memasuki ruko lebih jauh. Penasaran, ia mengecek ke lantai atas hingga ruangan yang awalnya gelap gulita itu diterangi oleh sinar lampu.

"Surprisee!"

Dihadapannya berjejer para anggota yakuza berbaju hitam yang melapisi tubuh kekar mereka. Kawanan yang sama dengan yang menyerangnya kemarin. Yang tak habis pikir, berdiri pula Jay di antara barisan para yakuza itu. Dilihatnya Rhea serta Joe yang duduk terikat dengan pistol yang diacungkan ke pelipis mereka masing-masing.

Devan tertipu. Ia terjatuh untuk yang kedua kalinya di jurang yang sama. Dua anak buahnya telah menikam Devan dari belakang.

"Apa yang sudah kalian lakukan? Mengkhianati POLRI?" seru Devan pada para mantan anak buahnya dengan dipenuhi amarah.

"Kami hanya berpikir rasional. Hidup kami lebih terjamin saat bergabung dengan naga merah. Mereka tidak akan membiarkan kami terluka," jawab salah satu dari mereka. Felix, anak buah Devan yang paling senior. Alasan dibalik turunnya Devan pada operasi kali ini.

Devan memutar kedua bola mata jengah mendengar alasan tak masuk akal yang Felix lontarkan.

"Lebih baik Anda menyerah, Komandan. Atau wanita Anda yang jadi taruhannya," lanjut Jay mengancam Devan. Seketika Joe memberontak dari atas kursinya, ia tahu pasti siapa wanita yang mereka maksudkan itu.

Devan mengepalkan kedua telapak tangannya. Dengan emosi yang memuncak, Devan menggeram. "Menyerah? Saya tidak mengenal istilah itu."

Dengan gerakan yang secepat kilat, Devan mengambil revolver dari balik saku celananya dan menembakkannya ke para yakuza. Satu-dua di antaranya terdorong ke belakang, namun tembakan itu tak menimbulkan efek yang cukup berarti. Sebagian yakuza yang tak tertembak berlari ke arah Devan mencoba mendesaknya.

Devan menendang, menangkis serta memukul beberapa orang yang mencoba menyerangnya. Di sela-sela pertempuran, ia sempat melirik ke arah Jay dan Alex yang berjalan menepi menjauhi arena pertarungan. Satu tonjokan berhasil menghantam Devan disaat fokusnya terbagi. Devan terhuyung ke belakang dan satu tonjokan lagi dirasakan kembali oleh Devan. Kali ini, rasa sakit terasa pada bagian abdomennya.

Devan terbatuk pelan dan meludah. Darah terlihat memenuhi rongga mulutnya. Dengan kasar, ia mengusap sekitar mulutnya dengan lengan kemeja. Ditatapnya satu per satu penyerangnya barusan dengan tatapan penuh dendam. Dan tanpa hitungan yang jelas, Devan sudah bergerak menerjang para yakuza itu dengan penuh tekad. Namun jelas, para yakuza itu tak dapat dikalahkan dengan mudah. Mereka malah semakin menyerang Devan dengan membabi buta. Menghajarnya dengan benda tumpul yang dapat mereka temukan di ruangan itu. Tanpa dapat dihindari, pukulan benda tumpul dapat Devan rasakan di tengkuknya. Devan menjerit kesakitan sebelum jatuh terduduk. Saat itulah Devan mengharap sedikit rasa belas kasihan, namun mereka terlalu berhati batu. Mereka terus menendang Devan dari segala arah hingga Felix menghentikan gerakan mereka. Para yakuza menuruti perintah dari Felix dan dengan gesit segera bergerak mencoba menahan gerakan Devan yang sudah mulai terbatas.

Devan menatap gerak-gerik Felix penuh rasa curiga, begitupula Rhea dan Joe. Felix memainkan ponselnya; terlihat menghubungi seseorang. "Kenapa pergi terburu-buru? Ayo, balik badan. Dan kamu akan melihat kesayanganmu yang satu ini."

Devan merasa was-was. Takut-takut, Devan melirik ke arah jendela yang menghadap langsung ke arah ruko Maura. Dilihatnya Maura di seberang sana yang nampak terpukul. Devan menggeliat; berusaha melepas cengkraman para yakuza di tubuhnya. Namun, cengkraman itu tak melonggar sama sekali.

"Siapa? Saya? Saya polisi! Tanya Devan tersayangmu ini. Kita ada di tim yang sama. Benar kan, Pak Komandan?" balas Felix lagi menjawab pertanyaan lewat ponselnya.

"Ck! Kamu masih saja tidak mau mengaku pada wanitamu itu walau sudah berada di situasi hidup dan mati seperti ini. Ya sudah, lah. Aku sudah berbaik hati memanggil kesayanganmu itu disaat-saat terakhirmu. Ada yang mau kamu sampaikan sebagai kata-kata perpisahan?"

Devan tak sudi membuka mulutnya, terlebih ia juga merasa tak berdaya setelah dihajar habis-habisan. Dan entah apa yang terlewatkan oleh Devan, tubuhnya dilempar keluar lewat jendela yang ada tepat di belakangnya.

Hal terakhir yang dapat Devan dengar hanyalah jeritan namanya yang terdengar sayup-sayup dan suara tembakan sebelum tubuhnya jatuh terbentur benda keras di bawahnya.

Seguir leyendo

TambiΓ©n te gustarΓ‘n

14.8K 1.6K 45
"Tadinya gue penasaran banget kenapa cowok-cowok suka ngeliatin cewek yang lagi ngucir rambut." Dila menengok ke arah samping, dan menemukan Juna yan...
74.5K 6.4K 44
Gianna Edrea Nolan, seorang gadis yang bisa dibilang biasa-biasa saja, tidak terlalu tertarik mengikuti trend, tidak peduli dengan berita dunia maya...
337K 41K 54
(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Karma is real. Itu pepatah yang cocok menggambarkan nasib Saka Rivano Thomas, sang dokter muda yang disibukkan mengejar cint...
11.3K 664 9
πŸ“local story ALERT: -cerita ini hanya mengandung FIKSI belaka -cerita ini tidak bersangkut paut dengan kehidupan NYATA para PEMERAN -para karakter s...