ALKISAH (STEFAN & YUKI)

By ChiMaggie

5K 797 615

Akan ku ceritakan satu kisah, bagaimana semua bermula More

Alkisah : 00
Alkisah : 01
Alkisah : 02
Alkisah : 03
Alkisah : 04
Alkisah : 05
Alkisah : 06
Alkisah : 07
Alkisah : 08
Alkisah : 09
Alkisah : 10
Alkisah : 11
Alkisah : 12
Alkisah : 13
Alkisah : 14
Alkisah : 15
Alkisah : 16
Alkisah : 18
Alkisah : 19
Alkisah : 20
Alkisah : 21
Alkisah : 22 (Flash Back)
Alkisah : 23
Alkisah : 24

Alkisah : 17

135 28 21
By ChiMaggie

Dua hari sejak pertemuan mereka di rumah sakit, Stefan tidak pernah melihat ke hadiran Yuki, bahkan bertemu ketika mereka pulang bersamaan pun sudah tidak pernah —membuat Stefan penasaran bukan main.

Apa gadis itu hantu, yang suka menghilang?

Stefan menghela nafas sedikit kecewa, saat lagi-lagi mendapati kotak masuk pesan di ponselnya —kosong. Sudah enam jam berlalu sejak dia mengirim pesan kepada gadis itu, namun gadis itu tak kunjung membalas.

"Mas, mas Stefan, mas!"

Larut dalam pikirannya, membuat Stefan tidak sadar bahwa sedari tadi salah satu pekerjanya sedang memanggil. "Eh, iya om An, gimana?"

Pekerjanya yang dia panggil dengan sebutan om An —itu, sedikit bingung melihat gelagatnya. "Bah, ku panggil-panggilnya kau dari tadi mas, gak kau dengarnya ku panggil, masih sakit kau mas, iya?"

Stefan tersenyum canggung. "Ah, tidaknya itu om. Cuma lagi mikir aja." Jawab Stefan. "Gimana om, ada yang bisa saya bantu?"

Om An menggangguk mengiyakan lalu menunjuk ke arah kardus yang entah sejak kapan sudah dibawa oleh om An. "Ini, stok makanan kita habis, mau mas yang belanja atau aku yang belanja?"

Stefan nyaris saja menawarkan dirinya untuk pergi berbelanja —memenuhi stok makanan mereka— kalau saja telfon dari Yuki tidak berdering. "Om, maaf kayaknya saya minta tolong om saja dulu yang belanja." Senyum konyol Stefan lagi-lagi terpatri diwajahnya. Dia mengambil beberapa lembar uang untuk diberikan kepada om An, lalu segera pamit undur diri dari sana, membuat om An agak bingung dengan tingkahnya.

000

Stefan berdecak pelan saat mengetahui alasan mengapa gadis itu tidak pernah kelihatan dan tidak pernah mengiriminya pesan duluan.

Yuki bilang, sedang sibuk dengan jadwal coass, lalu untuk alasan mengapa mereka tidak pernah berpapasan, karena setiap Yuki pulang, gadis itu masuk ke rumah lewat pintu belakang.

Stefan memijat pangkal hidungnya —kebiasaannya jika berhadapan dengan Yuki yang mulai sedikit tidak masuk akal menurutnya. "Apalah kamu itu dek, terus punya no hp saya, cuma di jadikan pajangan aja?"

Stefan sadar bahwa dirinya tidak berhak untuk merajuk seperti ini. Memangnya, dia siapa? Ayah gadis itu saja bukan, apa lagi pacar gadis itu? Stefan mulai pusing memikirkannya sedangkan gadis diseberang sana, malah tertawa pelan.

"Bukan gitu selain sibuk coass, saya kan menghargai privasi kakak. Mana tau kakak lagi sibuk dengan pawangnya kakak."

Untuk beberapa detik, alis Stefan mengerung, otaknya belum menangkap maksud perkataan Yuki, sampai sesaat kemudian, barulah dia sadar dan segera menepuk jidatnya lumayan keras.

Kenapa dia tidak memberitahukan statusnya?

"Buk, mon maap sebelumnya, memangnya bapak ini playboy cap kadal?"

"Hah, gimana-gimana?"

Stefan menghela nafasnya cukup panjang, lalu menghembuskan nafas itu cukup kasar. Ampun Yuki. "Ibuk Yuki yang terhormat, bapak mana mungkin gencar mendekati ibuk, kalau ada pawang disisi bapak, sampai sini paham?"

Gelak tawa, lagi-lagi terdengar dari seberang telfon membuat Stefan menggeram gemas. Untung jauh. "Ye, biasa aja kali pak. Iya paham. Deketin sebagai sahabat nih ceritanya?"

Lagi, Stefan menepuk jidatnya, sungguh Stefan tidak paham lagi bagaimana teknik untuk membuka hati dan pikiran gadis itu, bahwa dia ini tertarik, bukan mau jadi sahabat. Ampun Yuki (2). "Terserah mu lah dek. Capek saya tuh. Saya matiin telfonnya ya, lagi sibuk kerja."

Stefan berharapnya sih gadis itu akan menahan —dia kan hanya berpura-pura saja, nyatanya masih rindu pada Yuki, tapi untuk kesekian kalinya gadis itu mampu membuyarkan harapannya. Yuki memang troublemaker. "Okay, semangat kerjanya kak, selamat siang, dah." —tutt tutt tutt.

Stefan mengepalkan jemarinya, lalu berjingkrak gemas. "Ada ya cewek begini, untung sayang."

000


Warung

Al memperhatikan Yuki yang sedang mematikan sambungan telfon dengan sikap santai. Alis Al mengerung bingung —tidak menyangka, sikap gadis dihadapannya ini, masih sama seperti dulu — tidak pernah berubah.

Kasihan Stefan.

"Itu, kamu matiin sepihak sambungan telfon kalian?" Al memberanikan diri untuk bertanya.

Pertanyaan itu sukses membuat Yuki yang kini sedang makan, menatapnya sejenak. "Iya, katanya ada kerjaan, jadi ku matiin aja, takut ganggu."

Al berdehem pelan, menyeruput jus jeruknya kemudian memijat pelan belakang lehernya —sepertinya bukan hanya dia saja yang harus melewati masa pendekatan yang cukup sulit, korban selanjutnya sudah pasti adalah Stefan. Al cukup mawas diri bahwa lelaki itu memiliki perasaan khusus pada Yuki. Lantas, bagaimana dengan Yuki? Apa gadis itu tau?

Berdasarkan tingkat kepekaan dan kewaspadaan yang selalu ditanamkan oleh gadis itu sejak jaman dulu, Al berani bertaruh, Yuki sama sekali tidak  menyadari perasaan Stefan, kalaupun sadar, pasti sudah ditepis gadis itu dengan berbagai pikiran positif —membuat Al sedikit gemas, kapan mau dapat pacar kalau sikapnya seperti ini?

"Yuki, kamu tau, sebenarnya dia itu ngambek, bukan mau matiin telfon dalam arti sesungguhnya. Sibuk juga hanya alasan, kalau sibuk beneran kenapa dia masih sempat angkat telfon kamu?"

"Eh, emangnya begitu?" Yuki bertanya dengan mata bulat yang semakin membulat sempurna, sepertinya gadis itu terkejut.

"Ya memang begitu. Kamu tau gak, dia dua hari mantengin kamu terus sampe rela tiduran di teras biar bisa papasan sama kamu saat kamu balik ke rumah, tapi kamu malah baliknya lewat pintu belakang." Al berseloroh panjang kali lebar, berharap agar gadis dihadapannya ini, dibukakan pintu hidayah. Dia mengakui, mengejar Yuki untuk mendapati simpati gadis itu —apa lagi untuk mendapatkan hati gadis itu, butuh usaha ekstra. Bukannya sama sekali tidak bisa, namun dari presentase 0 sampai 100%, tingkat kesusahannya mencapi 90%.

Sungguh malang nasih Stefan.

"Kasihan, apa aku temui aja kali ya."

"Boleh juga. Kebetulan hari ini dia pulangnya siang, karena besok udah balik ke Bandung. Kerjaannya udah kelar." Al mencoba memperhatikan gerak-gerik Yuki, barang kali gadis itu merasa kecewa ketika mendengar Stefan akan pulang besok, namun apa yang dia harapkan dari seorang Yuki?

Yang dia dapatkan hanyalah. "Bagus sih, kasihan baru sembuh dari sakit terus jauh dari keluarga lagi. Kalau udah kelar gini kan bisa dekat keluarga lagi."

Ampun Yuki.

000

Stefan berjengit dari posisi wenaknya —berbaring diatas tempat tidur sembari mendengar musik menggukana earphone — tatkala mendengar suara gadis yang begitu familier, kini sedang memanggilnya dengan cara yang—

"Kak Stefan, main yuk!"

"Kak Stefan main yuk!" —unik, seunik pola pikir gadis itu.

Memangnya, usia mereka sudah berapa?

Stefan segera berdiri menyibak selimutnya, mengintip dari tirai. Entah kemana perasaan kesalnya —tadi siang— menguap, kini senyum mengembang diwajahnya merasa bahagia bukan main. Di depan teras rumah, sudah ada Yuki yang mengenakan jeans panjang dan kaos putih longgar, tangan gadis itu menenteng sebuah dakon —yang entah didapatkan gadis itu dari mana— sebelah tangannya lagi, menteng martabak telur dan dua jus.

"Kak Stefan! Oh kak Stefan! Main yuk!"

Tanpa menunggu berlama-lama, Stefan segera melesat menuju gadis itu berada, di ruang tamu dia sempat berpapasan dengan Al yang sedang tertawa geli melihat kelakuan mereka.

Begitu sampai di teras, Stefan mencoba terlihat netral, inginnya sih berpura-pura untuk kesal. Tapi sayang beribu sayang, niatnya itu harus gagal karena Yuki sedang tersenyum nyengir ke arahnya mengangkat barang bawaan ke atas sembari mengerlingkan mata.

Ya Tuhan, godaan iman apa lagi ini.

"Aku tadi beli dakon lho di pasar. Kita main yuk. Main di pendopo depan rumah aja." Tawar Yuki.

Stefan teregelak mendengarnya. Ajakan gadis itu, sudah persis seperti ajakan anak SD untuk pergi bermain. "Eh beneran baru beli?"

Yuki mengangguk mengiyakan. "Perdana banget ini, pak! Ibuk seneng pokoknya akhirnya bisa beli mainan ini."

Lagi-lagi Stefan tergelak. "Astaga buk, segitu senangnya bah!"

"Ah kelamaan, ayok buruan. Bang Al, aku sama kak Stefan pamit!" Belum selesai dengan gelakannya, Yuki langsung menarik tangannya menuju ke arah pendopo, tak lupa gadis itu berpamitan pada Al yang langsung dijawab oleh lelaki itu.

"Iya, mainnya jangan sampai maghrib, pamali."

000

Gak terasa udah part 17 aja.. ngetik ini tuh butuh kata-kata yang pas untuk menggambrkan perasaan mereka. Dan memang alurnya agak lambat karena untuk Yuki sadar kalau dia cinta Stefan, butuh waktu lama sekitar 11 bulan, tapi gak mungkin juga kan saya buatnya selama 11 bulan, pasti di skip lah ambil yang penting-penting aja.  Saya sudah berusaha mengemas ceritanya sedemikian rupa, tapi kalau masih jelek harap dimaklumin, di usahakan bakalan di revisi dalam waktu dekat 😁.

Oh iya, saya mau ucapin makasih buat pembaca setia dan yang tukang ngevote... daku sayang kalian semua 😘🤗

Buat silent readers, gak papa. Daku juga sayang kalian 😘🤗

Sekali lagi makasih udah mampir ke lapak ini (dikira jualan ka😆)









Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 22.4K 27
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
322K 25.3K 36
Warning!!! Ini cerita gay homo bagi yang homophobic harap minggir jangan baca cerita Ini ⚠️⛔ Anak di bawah umur 18 thn jgn membaca cerita ini. 🔞⚠️. ...
896K 135K 47
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
2M 30.7K 46
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...