FINDING MOMMY

Por mgicboba

63.5K 5.5K 757

[ Complete ] 𝐟𝐭. 𝐉𝐞𝐧𝐨 & 𝐉𝐚𝐞𝐦𝐢𝐧 ❝Daddy sayang kalian berdua, sangat. Lebih dari yang kalian tahu.❞... Más

Introduce; Kisah ini bermula disini
Prelude; Jaedan RH. dan kucing
Prelude; Narendra RH. dan kopi
First page; Patah lagi
Second page; Rumit
Third page; Action figure
fourth page; disappointed
fifth page; Hari yang buruk
sixth page; The Reason
seventh page; Sebelas action figure
eighth page; Sakit sekali rasanya
ninth page; Teganya Kamu
tenth page; Perang dingin
eleventh page ; Tanpa sebuah 'tapi'
twelfth page : Only love can hurt like this
thirteenth page ; Memangnya mau pergi kemana?
fourteenth page; Lebih dekat untuk bertemu mama
sixteenth page; Kakak mau foto keluarga
seventeenth page; Tell me the truth
eighteenth page; Bagaimana kalau aku tidak baik baik saja?
nineteenth; Jaedan's birthday
twentieth note; Ini bukan salah siapa siapa
twentie-first page; Cemburu
twentie-second page; Cukup jadi anak yang bahagia
twentie-third page; 'Nanti' itu sesaat sebelum mati
twentie-forth page; Kita tidak punya pilihan lain
twentie-fifth page; Jadi siapa yang jahat?
twentie-sixth page; Last goodbye?
twentie-seventh; Kakak bisa pulang dengan tenang
twentie-eight page; We all need someone to stay
Outro; Kisah ini berakhir disini
Extra; The letter
Alternative Ending
For you!
Spin Off (edited)

fifteenth page; Anak 'kita' ya?

1.7K 164 8
Por mgicboba

—𝐅𝐈𝐍𝐃𝐈𝐍𝐆 𝐌𝐎𝐌𝐌𝐘—
©mgicboba, 2022

**

Jaedan paling tidak suka saat dia sudah sampai di kelas, niatnya sudah sangat bulat untuk mengikuti mata kuliah dengan serius—tetapi dosennya malah berhalangan hadir. Soalnya kalau sudah begini nih pasti hari liburnya akan hilang alias digunakan untuk mengganti kelas yang kosong tadi.

Seperti hari ini, dia sudah bersemangat pergi menuju kampus, tetapi ketika pemuda itu baru saja selesai memarkirkan mobilnya—pesan dari Mahen masuk, bukan siapa pengirimnya yang langsung bisa menyita perhatian Jaedan, namun isi pesan yang dikirim.

Mahen
Hari ini kosong, lo nggak
usah ke kampus.

Jaedan
Lah napa br blg skrng
sihh, gue udah nyampe parkiran

Jaedan
🙄🙄

Mahen
Ya mana gue tau lo jam
segini udah nyampe kampus.
Biasanya juga telat lo

Mahen
Tadi yang udah dateng pada cabut
ke caffe biasa.

Jaedan
Yaudah gue kesana dah

Dengan langkah gontai, Jaedan kembali ke dalam mobilnya dan segera keluar dari area parkiran menuju caffe yang biasanya dikunjungi oleh para mahasiswa kampus ini. Selain karena tempatnya yang strategis, tempat mereka nyaman untuk mengerjakan tugas atau hanya sekedar melamun sambil minum kopi dan meratapi hidup tak bewarna dan sangat datar seperti seorang gitaris yang langsung bisa Jaedan lihat ketika cowok itu masuk ke dalam.

Namanya Alkena. Jaedan kalau lihat dia langsung teringat akan betapa rumitnya mapel kimia pada bab tata nama senyawa yang pernah ia pelajari saat masih SMA itu.

Alkena tidak punya saudara yang bernama Alkana dan Alkuna, sebab dia adalah anak tunggal dari kedua orang tua karier yang super sibuk. Cowok itu sering menghabiskan waktu di caffe ini bersama gitar dengan stiker logo Avengers kesayangannya.

Jaedan menghampirinya diatas panggung kecil dan melakukan tos ala ala anak cowok kepada semua teman teman, kakak tingkat dan adik tingkat yang ada disana.

"Jaedan Hale... tumben lo kesini? Cewek lo mana??" Tanya salah satu kakak tingkatnya. Namanya Dylan, Jaedan pernah mengejeknya waktu ia masih menjadi maba karena kelakuannya yang sok banget jadi kakak tingkat, namun ternyata setelah mengenalnya lebih dalam—Dylan adalah anak yang menyenangkan.

"Gitu deh," Jaedan duduk dan mengambil alih gitar yang tadinya ada dipangkuan Alkena, ia tidak berminat untuk menjelaskan apapun soal hubungannya yang kandas dengan Karina.

Semua orang selalu suka dengan suaranya yang lembut, terutama para pengunjung cewek cewek yang kini sedang tersipu dan senyum senyum malu ketika ditatap langsung oleh Jaedan.

"Behh, emang bintang nya fakultas teknik yang satu ini fans nya ada dimana mana!" Seru Dylan sambil menepuk pundak Jaedan sebanyak dua kali dan tersenyum bangga.

"By the way, kalian putus karena Karina balikan sama mantannya?" Alkena tiba tiba membahas soal hubungannya dengan gadis itu lagi.

"Hah?" Jaedan bingung.

"Iya, gue pernah liat dia sama si Louis cipokan di depan perpustakaan anjir, gila banget! Gue mau ngasih tau lo waktu itu, Jae. Tapi gue takut salah orang, ditambah lo waktu itu kayanya masih di rumah sakit."

"Kapan?? Lo liat mereka kapan?" Jaedan bertanya lagi, dia tahu ini bukan saat dan tempat yang tepat untuk membahas hal hal seperti ini, tapi Jaedan harus tahu. Itu artinya saat dirinya melihat Karina berciuman dengan pria lain waktu itu—itu bukan kali pertama?

Serta—laki-laki yang berciuman dengan Karina saat itu adalah Louis? Mantan Karina sekaligus sepupu dari musuh bebuyutan nya sejak SMA, Leon.

"Beberapa minggu yang lalu." Jawab Alkena.

Beberapa minggu yang lalu—itu berarti memang benar saat Jaedan masih ada di rumah sakit, masih dalam kondisi yang kritis akibat kecelakaan mengerikan hari itu. Karina sudah menjalin hubungan dengan laki laki lain di belakangnya sejak lama.

Mendadak rasanya Jaedan ingin tertawa dan menangis secara bersamaan.

Ia merasa sangat tolol.

Ditengah-tengah bisingnya suara suara di kepalanya—Jaedan mendengar suara seseorang yang sangat ia kenali. Panggilannya membuat suara suara bising di kepala Jaedan seketika berhenti. Cowok itu mengedarkan pandangannya hanya untuk menemukan seorang wanita berparas cantik berdiri tidak jauh darinya sedang melambaikan tangannya.

Jaedan tersenyum tipis. Ia tidak tahu mengapa, tapi ketika bersama atau sekedar melihat Christie tersenyum ke arahnya—Jaedan merasa segalanya jauh lebih baik.

**

"Tante sejak kapan disini?" Jaedan memutuskan untuk bertanya saat ia sudah duduk dihadapan Christie.

"Sejak kamu nyanyi"

"Tante nontonin Jaedan nyanyi???"

Christie terkekeh, "Iya, suara kamu mirip—hng.. maksudnya suara kamu bagus" Hampir saja ia menyebut nama Jeffrey.

"Hehehehe, makasih tante... kata dad, dulu daddy juga suka nyanyi waktu masih sama mama. Tapi sejak mama pergi.. daddy udah enggak pernah nyanyi lagi," Jaedan menyeruput kopinya, "Ternyata daddy ngerasa se-kosong itu setelah mama pergi. Jaedan pikir.. selama ini yang paling ngerasa kangen sama mama cuman Jaedan sama Nana." Cowok itu tertawa hambar.

"Aneh, padahal lihat wajah mama aja nggak pernah, tapi kok bisa kangen. Mama pergi waktu saya masih umur dua tahun, waktu ingatan saya belum terlalu bagus buat mengingat ingat wajah mama. Kadang saya mikir... apa mama sebegitu nggak menginginkan saya dan saudara saya? Kalau saya diberi kesempatan buat ketemu mama sekali aja sebelum saya mati, saya cuman mau bilang kalau saya kangen dan sayang banget sama mama. Saya pengen peluk mama sekali aja."

Christie merasa tertampar dengan curahan Jaedan barusan. Rasanya ia ingin menangis sambil meminta maaf pada anak-anaknya yang pernah ia tinggalkan. "Ini mama, anakku.." Christie membatin, sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jatuh.

"Saya nggak pernah tahu gimana rasanya dimarahin habis habisan oleh mama saya sewaktu saya dapat nilai merah di raport atau waktu saya sengaja bolos sekolah buat pergi main game, saya iri ngeliat temen temen saya yang bisa ngerasain dimarahin sama ibu mereka waktu saya masih SMA. Saya mencoba jadi anak yang bandel dan suka bikin onar cuman buat liat daddy marah, tapi nyatanya enggak."

"Dad cuman bilang—" Jaedan memperagakan bagaimana gestur tubuh Jeff ketika sedang menasehati dirinya dengan melipat tangannya di depan dada dan membuat buat suaranya agar terdengar mirip dengan sang ayah. "—Kakak, daddy nggak bisa jagain kamu sehari dua puluh empat jam, daddy paham kalau di usia kamu ini tuh emang baru susah di bilangin. Lain kali jangan gini ya. Gitu sih kira-kira"

Christie tidak membuat pertimbangan apa apa lagi ketika dia tiba tiba berdiri dan menarik Jaedan ke dalam dekapan hangatnya. Dia memeluk anak itu sangat erat sambil mengelus kepala bagian belakang dan punggung lebarnya.

Punggung yang telah menanggung banyak beban, punggung yang seharusnya kokoh ini malah terasa amat rapuh.

Christie telah melewatkan banyak hal. Dia tidak menyaksikan masa masa dimana anaknya tumbuh menjadi balita, anak anak, kemudian remaja, dia tidak menyaksikan anak anaknya berbicara, berjalan dan merangkak untuk pertama kalinya.

Jaedan maupun Nana tidak pernah melihat senyum bangga Ibu mereka saat melihat mereka yang bisa melakukan sesuatu untuk pertama kalinya, saat melihat tingkah menggemaskan yang mereka lakukan.

Dia juga melewatkan proses bagaimana kini putra sulungnya sudah sebesar dan setinggi ini..

Christie tidak berada di samping anak anaknya ketika mereka menangis ketakutan saat pertama kali masuk sekolah, dia juga tidak ada di samping mereka berdua ketika mereka mengenakan pakaian wisuda sambil tersenyum lebar ke arah kamera.

Jeffrey adalah seorang ayah yang sangat hebat.

Jika pria itu bisa mendengar suara hati Christie—wanita itu cuman mau mengatakan, "Tunggu aku sebentar saja."

"Tante??" Jaedan mengerjap bingung.

"Nggak pa-pa, kayaknya... kamu baru butuh pelukan." Christie menarik napas dalam-dalam dan melanjutkan ucapannya, "—Pelukan seorang ibu."

Jaedan terdiam untuk beberapa detik kedepan, dia berusaha mencerna keadaan yang terjadi tiba tiba. Jaedan diam saja dan tidak berkutik. Bukan karena ia tidak suka dipeluk seperti ini oleh Christie, namun karena muncul sebuah perasaan yang tidak pernah ada dan ia rasakan sebelumnya, Jaedan belum pernah merasakan sebuah pelukan yang seperti ini. Gimana ya menjelaskannya? Jaedan juga bingung memilih kata kata nya.

"Terimakasih, tante, meski tante bukan mama saya, tapi saya jadi bisa punya gambaran gimana rasanya dipeluk mama." Ucapnya setelah lima detik dia terdiam. Jaedan menaruh dagunya di pundak kecil Christie dan memejamkan matanya sambil berkata—

"Anak tante beruntung banget."

"Kenapa gitu?"

"Bisa ngerasain pelukan hangat Ibunya setiap hari." Diam diam Jaedan merasa iri.

Christie melepaskan pelukan mereka, ia memegang kedua bahu Jaedan sambil menatap mata sendu laki laki itu. "Tante bakal datang kapanpun dan dimanapun Jaedan butuh pelukan."

**

"Gue pengen cerita soal ini tapi ngomongnya gimana ya"

"Ya ngomong tinggal ngomong ae kali"

"Ini masalahnya gue belum cerita ke siapa siapa nih.."

"HAH? JADI GUE ORANG PERTAMA? YANG BENER?"

Jeff menatap wajah sahabatnya, Darma, yang tampak sangat bahagia, padahal Jeff cerita satu kalimat saja belum, bapak bapak tiga anak itu sudah heboh tidak karuan.

"Jadi gimana nih?" Darma sudah menutup MacBook miliknya dan menatap Jeff dengan pandangan super serius ala ala bapak bapak gosip. Selain Eirene dan Johnny, Darma adalah orang yang paling Jeff percayai untuk bercerita apa saja tentang dirinya bahkan sampai ke hal hal detail yang tidak mungkin diketahui oleh orang orang biasa.

Yah.. walo Darma sering dijadikan opsi kedua buat Jeff, tapi tetap—anything for you lah pokoknya kalo buat Jeffrey, teman pertama yang dia kenal ketika masuk sekolah menengah pertama.

"Gue ketemu dia."

"Dia saha? Mamang siomay yang gue kenalin ke lo waktu pertama kali pindah kesini?"

"Bukan anjir" Jeff menggeplak pelan punggung tangan Darma yang menganggur.

"Lah, terus? Kalo cerita jangan setengah setengah ya mohon maap. Soalnya kemaren tetangga gue ada yang cerita setengah setengah besoknya mencret."

Jeff membuang napas pasrah, ini salah satu faktor mengapa ia selalu menjadikan Darma sebagai opsi kedua untuk bercerita soal lika liku hidupnya yang mirip mirip sama game hill climb racing, karena terkadang Darma menanggapinya dengan lelucon, walau Jeff tahu niat pria itu untuk menghibur dirinya. Berbeda dengan Johnny yang bersikap layaknya seorang pria dewasa. Ya memang sudah dewasa, sih.

"Gue ketemu Christie, waktu masih di Australia.
Dia udah ketemu Nana sama Jeje dua kali, gue nggak tahu ya apa mereka juga tukeran nomor wasaf."

"Christie Julia Pamela yang pernah lo ceritain dulu banget itu?!?!?!"

"Iya"

"Christie bini lo?! Emak nya Nana sama Jeje?!?!"

Lagi-lagi Jeff harus membuang napas berat."Technicallyshe's not my wife—em.. not yet karena kita belum sempet nikah waktu dia ninggalin gue sama anak-anak. Menurut lo gue harus gimana, Dar? Kali ini gue serius, lo kalo jawabnya becanda lagi nih panci di rumah lo bisa terbang ye, bukan piring lagi." Jeff mengancam.

"Ya jujur aja sama anak anak lo, toh mereka udah cukup dewasa buat tahu semuanya. Ya mungkin mereka enggak langsung bisa nerima kebenarannya, mungkin mereka juga butuh waktu, tapi semakin lo nunda buat ngomong yang sebenernya dan semakin lo ngehalang halangin mereka buat ketemu, semakin rasanya sakit pas mereka tahu kebenarannya nanti dan—lo tahu sendiri ntar gimana reaksinya."

"...."

"Emang lo mau anak anak lo nganggep bapaknya ngelarang anak anaknya buat ketemu emaknya sendiri?"

"Ya enggak lah.. tapi gue takut."

"Takut kenapa sih, sob?" Darma jadi gregetan.

"Gue takut mereka malah benci sama Christie. They had been abandoned by their own mom, they had been strangers to her own mom for years, and Christie had not seen them since that night, since he left Nana who was a baby in my apartment that night. Lo pikir apa yang bakal ada di kepala Jeje sama Nana kalau tahu itu?" [ Mereka telah ditinggalkan oleh ibu mereka sendiri, mereka telah menjadi orang asing bagi ibunya sendiri selama bertahun-tahun, dan Christie nggak pernah melihat mereka sejak malam itu, sejak dia meninggalkan Nana yang masih bayi di apartemen gue malam itu ]

**

Jaedan baru sampai ke rumah tepat pukul setengah sebelas malam. Setelah ia bertemu dengan Christie dan pulang dari caffe, dia pergi ke kost-an si Mahen buat mengisi waktu luangnya sambil menonton netflix bersama teman teman satu tongkrongannya. Tidak ada yang cowok itu lakukan selain menonton netflix sambil nyemil keripik kaca yang menganggur di sana. Soalnya Mahen makan dikit aja besoknya langsung diare, jadi Jaedan dengan suka hati membantu sahabatnya untuk menghabiskan makanan itu.

Lalu pulangnya—dia harus pergi ke toko buku, mencari beberapa buku untuk keperluan mata kuliah nya. Namun bukannya menemukan buku yang ia cari, Jaedan malah menjumpai pacar—sori, mantan pacarnya sedang berduaan dengan seorang laki laki yang sangat dia kenal. Louis namanya, yang pernah ikut campur saat dia dan Leon terlibat dalam pertengkaran sengit karena saat itu Leon melibatkan Nana, adiknya yang tidak tahu apa apa.

Mereka berdua terlihat begitu bahagia layaknya pengantin baru atau pasangan serasi yang di damba dambakan oleh semua orang. Termasuk Jaedan sendiri. Entah apa buku yang sedang mereka cari, Jaedan sih berharap mereka lagi nggak nyari buku panduan 'bagaimana menjadi orang tua yang baik' atau buku panduan 'bagaimana menjadi pasangan yang baik'.

Akhirnya Jaedan keluar dari toko buku itu tanpa membawa buku yang dia cari, namun ia malah membawa luka lama yang melukai hatinya.

Sebelum benar benar pulang ke rumah—Jaedan membelokkan mobilnya ke arah toko es krim langganannya.

Jaedan memakan es krimnya sendirian di tengah kerumunan orang. Dia merasa kesepian di antara ramai nya toko es krim itu, dia tetap merasa sendiri bahkan ketika pelanggan lain mengucapkan permisi untuk duduk di bangku yang ada di hadapannya karena tidak ada bangku lain yang kosong selain itu.

Jaedan juga mampir beli ayam richeese tidak tahu kenapa, dia hanya ingin membeli ayam pedas itu.

Jeff belum pulang, seperti biasanya.

Dia melewati kamar Nana yang lampu nya sudah mati. Berniat menutup sedikit lebih rapat pintu kamar remaja itu, tetapi Jaedan malah mendengar suara tangisan.

Jaedan tidak bisa menganggap itu hantu karena kalau pun itu hantu—mestinya dia sudah takut dengan Nana, karena cowok itu dua kali lipat lebih menyeramkan daripada hantu.

"Na??"

Jaedan masuk ke dalam dan memanggil nama anak itu bersamaan dengan jari telunjuknya yang menekan saklar lampu agar ia bisa melihat lebih jelas.

Jaedan ternganga sejenak melihat keadaan kamar remaja itu. Buku-buku super tebal yang jumlahnya tidak sedikit bertebaran di lantai, sedangkan si pemiliknya sedang sibuk menulis sesuatu sambil menangis, kentara dari punggungnya yang bergetar pelan dan pundaknya yang bergerak naik turun.

"Hey.. what happened?" Tanya Jaedan lembut sembari menyentuh pundak sempit sang adik.

"Na, lo kenap—astaga! Lo mimisan!" Jaedan memekik terkejut ketika ia melihat bagaimana buruknya wajah Nana sekarang. Darahnya yang mengalir dari hidung sampai menetes ke celananya saja tidak dia sadari.

Jaedan buru buru mengambil tisu dan langsung membersihkan darah yang masih mengalir dari hidung bocah itu. Nana kelihatan tidak peduli dengan kehadiran saudaranya, dia masih fokus dengan ratusan soal di hadapannya dan tangisannya yang belum berhenti.

"Narendra Robertson Hale."

Ketika Jaedan menyebut nama lengkapnya, barulah anak itu berhenti beraktivitas dan menolehkan kepalanya.

"Gue tanya lo kenapa? Berhenti dulu belajarnya, lo pasti mimisan karena terlalu capek." Jaedan menutup buku super tebal yang ada di hadapan Nana.

Namun alih alih menjawab—Nana justru makin menangis, membuat Jaedan bingung setengah mampus. "Lah????"

"Ilai k-himiha ghuhe dhaphet elaphan huluh tighha oang..." [ Nilai kimia gue dapet delapan puluh tiga doang.. ]

"Ngomong yang jelas!"

"I'm so f*cking tired. Nilai kimia gue dapet delapan puluh tiga doang, coklat Silverqueen gue meleleh karena panas, kopi yang gue beli rasanya manis, terus kertas tugas gue basah kena iler nya Ares gara gara dia tidur diatas kertas tugas gue... terus kemarin gue ketemu sama perempuan yang pernah gue ceritain ke lo, namanya tante Christie, ternyata anaknya dia itu cowok yang ngerebut mantan gue.. terus tadi gue salah ambil kaos kaki, jadinya panjang sebelah.. pensil gue patah dan seragam gue kotor karena kena kopi... kemarin dompet gue juga ketinggalan waktu makan di McD.. haaaaaa!!!"

Nana bercerita panjang lebar tentang bagaimana hari hari nya sungguh melelahkan dan penuh akan cobaan sambil menangis tersedu sedu.

Jaedan tidak tahu bagaimana harus menghibur anak itu, makanya yang ia lakukan setelah itu adalah membawa Nana ke dalam rengkuhannya. Memeluknya yang masih menangis, persis seperti yang dilakukan oleh Christie pagi tadi pada Jaedan.

Jaedan tidak mengatakan apa-apa, dia tidak mengatakan 'tidak apa-apa, semuanya akan baik baik saja', karena dia tahu—terkadang menjadi tidak baik baik saja itu tidak masalah. Yang dia lakukan hanya memeluknya sambil mengelus dan menepuk nepuk pelan punggung nya.

Mereka tetap berada di posisi seperti itu setidaknya sampai tangis Nana mereda, dan laki laki itu mulai tenang.

"Have you calmed down?" [ Udah mendingan? ] Tanya Jaedan saat pelukan mereka melonggar. Nana mengangguk samar.

"Makasih" Ucapnya singkat.

"Iya.."

Jaedan tahu, dia bukan seorang kakak yang sempurna, bahkan bisa dibilang—dia masih belum bisa disebut sebagai seorang kakak yang baik untuk Nana. Jaedan masih sesekali melukai anak itu, dia masih sesekali membuatnya menangis karena keisengannya, namun... Jaedan akan selalu berusaha menjadi seorang kakak yang selalu ada ketika saudaranya membutuhkan dirinya.

Dia akan selalu datang ketika Nana membutuhkan Jaedan, dia akan selalu siap ketika Nana memanggil dirinya. Jaedan akan merelakan pundak dan hoodie kesukaannya basah karena air mata adiknya. Jaedan juga rela membuang waktunya hanya untuk memeluk Nana yang sedang lelah dengan semuanya sampai dia benar benar bisa memastikan remaja itu baik baik saja setelahnya.

"Udah dulu belajarnya, lo pasti belum makan, kan? Tadi gue beli ayam richeese, ada di atas meja makan."

"Agak ngeri ya lo ngasih yang pedes pedes malem malem begini"

"Ya kalo nggak mau, gue juga beli es krim sih tadi, ada di pintu kulkas sebelah kanan."

"Lo mau gue mati? Nggak jadi, mending makan ayam"

**
【07.15】

Terkadang—ada kalanya Nana berharap jika saja dia adalah anak tunggal, dia bisa hidup dengan tenang tanpa gangguan gangguan dari Jaedan alias lebih baik tidak punya abang macam Jaedan yang sifatnya kadang mirip mirip sama setan, dia bisa hidup dengan segala kasih sayang Jeff hanya untuk dirinya. Namun malam itu.. tiba tiba saja pikirannya berubah. Mungkin jika dia adalah anak tunggal dan Jaedan tidak ada—Nana akan merasa sangat kesepian, sebab tidak ada seseorang yang bakal menghiburnya disaat suasana hati Nana sedang sangat buruk, tidak akan ada seseorang yang bakal memeluknya, menenangkan dirinya saat ayahnya sedang tidak berada disampingnya, dan tidak ada seseorang yang akan membuatnya jengkel setengah mati sampai marah marah karena kejahilannya.

Belakangan ini, Nana lebih sering menghabiskan waktunya untuk belajar. Hari harinya ia gunakan hanya untuk pergi ke tempat les, mengikuti kelas tambahan, lalu belajar lagi dirumah karena selain ujian akhir dan ujian masuk perguruan tinggi sudah dekat yaitu karena Nana sedang merindukan Winter. Sudah ku bahas sebelumnya jika Nana mempunyai cara yang unik untuk melupakan masalah masalahnya. Ya, dengan cara itu.

Namun sepertinya cara seperti itu malah membuat Nana tidak bisa atau kurang dalam mengekspresikan emosinya. Dia lebih memilih untuk diam, meredam semua emosinya dengan mengerjakan puluhan bahkan ratusan soal di buku daripada mengungkapkan apa yang sedang ia rasakan secara langsung.

Itu seperti bom waktu. Semakin lama dan semakin banyak yang ia pendam—maka akan meledak suatu saat.

Dan itu terjadi hari ini ketika Nana sudah sangat lelah menghadapi semua cobaan yang ia terima beberapa hari terakhir dan juga hari ini. Mulai dari nilai mata pelajaran kimia nya yang hanya mendapatkan nilai delapan puluh tiga, sampai baju seragamnya yang kotor karena terkena tumpahan kopi yang disebabkan oleh kecerobohan pelanggan caffe.

Emosinya meluap begitu ia sampai di dalam kamar. Nana membiarkan air matanya mengalir bersamaan dengan darah yang keluar dari lubang hidungnya, ia biarkan begitu saja.

Lalu disaat saat seperti itu—Jaedan yang menjabat sebagai anak tertua di rumah ini datang bagaikan seorang penyelamat. Nana tidak menolak saat kakaknya menarik dirinya kedalam rengkuhannya. Nana juga tidak menolak saat Jaedan menepuk nepuk pelan punggungnya untuk menenangkan dirinya. Pelukan cowok itu sama hangatnya dengan pelukan Jeff, Nana bisa merasa tenang sekaligus aman dalam rengkuhan saudaranya.

Meski terkadang anak itu bisa sangat menyebalkan dan hampir selalu membuat Nana darah tinggi karena akhlaknya yang hilang entah kemana—Jaedan juga bisa menjadi seseorang yang bakal sangat Nana butuhkan di waktu waktu tertentu. Saat dia kewalahan untuk mengurusi tanamannya sekaligus tanaman milik Jeff yang ada di belakang rumah—Jaedan selalu ada untuk membantu.

Saat dirinya tiba tiba ditodong pisau dan secara tidak terduga dilukai oleh seseorang yang pernah bermasalah dengan kakaknya di bangku sekolah—Jaedan langsung membalas orang itu bagaikan sebuah tameng, ia bahkan rela dipanggil oleh komite kedisplinan sekolah hanya untuk membela Nana.

Sebagai ucapan terimakasih nya, karena Nana terlalu gengsi untuk mengucapkan terimakasih secara langsung pada Jaedan—akhirnya remaja itu yang membuat sarapan untuk orang rumah tadi pagi. Ia sengaja membuat satu porsi sup rumput laut hanya untuk Jaedan.

Beruntungnya anak itu tidak tahu kalau Nana hanya membuat satu porsi, soalnya kalau tahu nanti pasti bakal selamanya Jaedan akan meledek Nana.

"Je! Hapus nggak videonya!!"

Nah kan, baru saja dipuji—anak itu sudah bertingkah lagi, sifatnya yang menjengkelkan seperti setan yang lupa dikurung kalau masuk bulan ramadhan itu kembali membuat Nana rasanya pengen ngamuk.

Nana sempat bertengkar kecil dengan Jaedan tadi pagi sebelum anak itu pergi entah kemana, karena Jaedan mengambil video Nana yang sedang menangis sesenggukan dengan wajah super memalukan secara diam diam.

"Nggak mau wlee! Ini buat senjata gue kalau lo berani macem macem sama gue, oke, anggap aja ini pembalasan soal masalah action figure sebelas juta gue yang lo rusakin."

Nana jadi bete setengah mati sejak pagi tadi sampai sekarang.

**
09.20

Jeff sedang sibuk berkutat dengan berbagai dokumen yang harus ia tanda tangani di hadapannya ketika hp nya terus terusan berdering diatas meja pria itu. Awalnya, Jeff tidak mengindahkan panggilan itu sampai panggilan ke enam karena yang masuk adalah nomor tidak dikenal.

Jeff hampir mematikan hp nya ketika panggilan ke tujuh masuk dengan nama putra sulungnya yang tertera di layar—Jeff langsung meletakkan semua yang dia pegang untuk mengangkat panggilan dari Jaedan.

"Halo, kak, kenapa??"

"Jeffrey! Kenapa tidak mengangkat telpon ku???!"

Jeff mengernyit, ia melihat kembali layar hp nya hanya untuk memastikan bahwa nomor yang baru saja menghubunginya adalah Jaedan, bukan orang lain apalagi seorang wanita.

"Who are you? Kenapa hp anak saya ada di kamu??" Jeff jadi was-was, dia sedikit trauma dengan insiden saat dia ditelfon oleh pihak rumah sakit.

"It's me, Christie. Maaf lancang memakai hp Jaedan, aku—"

"Akhir-akhir ini kamu sering sekali ya bertemu dengan anak anak saya, sebenarnya ada perlu apa sampai harus sesering ini bertemu? Kalau kamu memang mau mengatakan yang sebenarnya, cepat lakukan. Jangan mengulur waktu, jangan bikin mereka terluka lebih dalam."

"Dengarkan aku dulu! Jaedan tiba-tiba sesak napas, sungguh, aku tidak tahu apa apa! Aku tidak tahu sama sekali penyebabnya, jadi tolong cepat kemari!!"

Christie berseru diseberang sana, dari intonasi suaranya terdengar bahwa wanita itu sedang panik.

"....."

"Jeffrey, kamu mendengarku?? Aku butuh—"

PIP—

Jeff langsung mematikan sambungan telepon tanpa mendengarkan apa yang ingin Christie katakan setelah itu, ia bergegas tanpa berpikir panjang. Lokasi rumah Christie tidak jauh dari kantornya, kira kira bisa ia tempuh selama sepuluh menit menggunakan mobil jika dilihat dari maps.

Itu waktu normal jika Jeff mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, namun saat ini pria itu sedang diselimuti oleh rasa cemas, ia melajukan mobilnya hingga kecepatan tinggi sehingga Jeff bisa sampai di tempat tujuan kurang dari sepuluh menit.

Setelah memarkirkan mobilnya dengan asal di depan rumah Christie, ia buru buru keluar dan melangkah lebar lebar masuk ke dalam rumah yang lumayan besar dengan gaya modern milik Christie.

Sekarang, yang ada di kepalanya hanya Jaedan, Jaedan, Jaedan, dan Jaedan, tidak ada yang lain. Jeff mengetuk pintu rumah wanita itu dengan tidak sabaran sehingga terkesan sedikit kasar, ia hampir mengumpat saat Christie tidak kunjung membuka pintu rumahnya.

"Dimana Jaedan?!" Tanya pria itu terburu buru, raut wajahnya kelihatan panik.

"Ada di kamar, Jae—"

Jeff berlalu begitu saja, dia sama sekali tidak tertarik dengan penjelasan yang akan keluar dari bibir Christie.

BRAK!

Jeff langsung disuguhkan dengan pemandangan yang membuat hatinya remuk seketika, ia menemukan Jaedan terbaring diatas ranjang dengan mata terpejam dan alis yang berkerut dalam disertai dadanya yang bergerak naik turun dengan pelan, jelas sekali pemuda itu kesulitan untuk mengambil napas.

Jeff langsung menghampiri anak itu dan duduk berlutut disamping ranjang berukuran king size itu dan menoleh, menatap tajam ke arah Christie. "Kamu masih makan apa anak saya?!"

Christie yang sedikit gelagapan saat itu tidak bisa berpikir apa-apa lagi, dia hanya kebingungan dengan eskpresi panik dan khawatir disana melihat kondisi Jaedan.

"Kakak bisa berdiri??" Jeff menggenggam tangan Jaedan yang bergetar dan dipenuhi oleh ruam merah sampai ke wajahnya, wajahnya juga kelihatan sedikit bengkak.

Jaedan menggeleng lemah, tangannya yang satu lagi bergerak pelan meremat jari kelingking Jeff. "Sh-shakith.. dad-da Jej-jhe sakit.." [ Sakit.. dada Jeje sakit.. ] Keluhnya.

Jeff melihat bungkus coklat di atas nakas yang ada di sisi kirinya, dia buru buru melihat komposisi yang terdapat di bungkus coklat tersebut dan betapa terkejutnya Jeff saat membaca tulisan 'Mengandung 95% kacang kacangan' matanya sampai melotot melihat tulisan itu terpampang jelas pada kolom komposisi makanan.

Pria itu buru buru memasukkan bungkus coklat tersebut ke dalam saku jas nya kemudian berbalik.

Menarik pelan tubuh Jaedan ke punggungnya dibantu oleh Christie, setelah dirasa posisinya sudah benar, Jeff buru buru keluar dari rumah menuju mobilnya untuk segera membawa Jaedan ke rumah sakit. Deru napas anak itu kian memberat, Jeff bisa merasakan nya melalui hembusan napas Jaedan di lehernya.

"Maaf.. maafin dad, maaf nggak bisa jagain kakak, maaf bikin kakak kesakitan."

Obat alergi yang ada di rumah sudah pasti tidak bisa mengurangi sesak pada saluran pernapasan laki laki itu, dia membutuhkan seorang dokter. Jeff juga tidak memiliki inhaler karena jujur— sebelumnya Jaedan tidak pernah bereaksi separah ini terhadap alergi nya. Kemungkinan besar karena kandungan kacang pada coklat yang ia makan terlalu besar.

**

"Kamu mau bunuh anak saya? Kamu mau bikin anak saya nggak bisa napas sampai mati?!"

"Anak kita." Christie mengoreksi pelan.

"Terserah. Kamu udah bikin nyawa Jeje dalam bahaya! Gimana kalau saya telat datang?! Gimana kalau dia—ah! tck!" Jeff tidak melanjutkan ucapannya, ia berdecak kesal sambil mengusap wajahnya frustasi.

Christie menundukkan kepalanya dalam dalam. Ia merasa sangat, sangat, sangat bersalah sudah membelikan Jaedan sebungkus coklat dengan 95% kandungan kacang kacangan setelah Jeff memberitahunya bahwa Jaedan alergi terhadap segala jenis kacang kacangan, dia hampir membunuh anaknya sendiri dengan memberi makanan itu.

"Sandwich buatan mantan pacarnya yang pakai selai kacang sedikit, Jeje udah jelas jelas tahu ada kacang di dalamnya aja kadang tetap dia makan, karena dia menghargai pemberian perempuan itu." Jeff berhenti sejenak untuk menarik napas, "Apalagi coklat yang kamu kasih, yang dia nggak tahu apa ada kandungan kacang di dalamnya, mana mungkin dia menolak pemberianmu, dan mana mau dia ngecek komposisi makanannya, dia nggak setega itu buat curiga ke kamu." Katanya.

Memang sih, dokternya bilang—tidak perlu khawatir karena mereka sudah menyuntikkan epinephrine kepada Jaedan. Mereka juga memberikan oksigen untuk membantu pernapasan Jaedan yang sempat tersumbat, kortikosteroid untuk meredakan peradangan, dan antihistamin untuk meredakan reaksi alerginya.

Jaedan sempat muntah muntah dan tidak sadarkan diri selama di perjalanan menuju rumah sakit tadi. Jeff kelewat cemas melihat hal itu, hatinya seperti dihancurkan sampai  berkeping keping melihat anaknya kesakitan hanya untuk meraup oksigen.

Jaedan mengalami shock anafilaksis. Reaksi yang Nana takutkan ketika Jaedan terlalu sering memakan makanan mengandung kacang kacangan yang sering diberikan oleh Karina, dulu.

"Maafkan aku, Jeffrey. Maaf sudah hampir membahayakan nyawa anak kita." Ucapnya sangat pelan di kata 'kita' supaya Jeff tidak mendengarnya, namun nyatanya pendengaran pria itu masih terbilang tajam di usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi, dia mendengar kata itu.

"Maaf."

"Hng?" Christie mendongak dan menaikkan alisnya.

"Maaf sudah membentakmu yang tidak tahu apa-apa, saya sangat khawatir sama Jeje, dia pernah sekarat dan saya tidak ada di sampingnya saat itu, dia juga pernah masuk rumah sakit dan sesak napas waktu masih kecil karena bulu kucing. Saya takut melihatnya tidak bisa bernapas kaya tadi."

Kalau ada orang yang harus disalahkan—Jeff berpikir orang itu adalah dia.

Ini sedikit berlebihan namun setiap Jaedan masuk rumah sakit karena sakit parah atau karena alerginya—Jeff merasa sangat takut, bahkan kata 'sangat' saja tidak mampu mendeskripsikan bagaimana rasa takutnya ketika putranya berkali kali masuk rumah sakit.

Nana jauh lebih jarang masuk rumah sakit, imun yang dia punya lebih kuat dibandingkan dengan milik kakaknya. Namun bukan berarti Jeff juga tidak takut saat tiba tiba anak itu drop karena terlalu lelah beraktivitas atau terlalu lelah belajar.

Dia hanya takut jika saja tiba tiba dunia dan cinta nya diambil, dia takut jika secara tiba tiba kebahagiannya direnggut darinya tanpa permisi. Dia sangat takut hanya untuk membayangkan.

Itu adalah sesuatu hal yang selalu berputar putar di kepala Jeff, namun tak pernah ada orang yang benar benar mengerti atau memahami dia.

Pernah suatu kali ketika Nana masih berusia lima belas tahun, ketika untuk pertama kali nya dia belajar mengendarai motor—dia mengalami kecelakaan di persimpangan jalan yang ada di dekat perumahan. Jeff sudah hampir gila ketika anak bungsunya pulang dengan keadaan bersimbah darah.

Masalahnya Nana baru saja belajar mengendarai motor, bagaimana kalau kecelakaannya parah? Jeff berpikir begitu, soalnya Nana ini termasuk anak yang lumayan sembrono kalau nyetir.

Tapi ketika anak itu masuk ke dalam rumah—dia malah bertanya, dimana biasanya Jeff meletakkan panadol yang bewarna biru.

"Hubungannya apa sama panadol?!" Jeff gregetan, darahnya masih mengalir dari lengannya namun anak itu masih sempat sempatnya cengengesan sambil bertanya dimana dia menyimpan panadol dengan bungkus warna biru itu?

"Iya.. biasanya kan kalau sakit, dad ngasih panadol dulu.." Jawabnya polos.

Yang luka Nana, tapi yang rasanya mau menangis malah Jeff.

**

Jaedan membuka kelopak matanya perlahan, ia merasa pusing dan lemas. Bau antiseptik ruangan yang menyengat bukan menjadi aroma pertama yang mendominasi indera penciuman Jaedan, melainkan aroma yang sangat ia kenali—parfum Jo Malone Star Magnolia Cologne yang memiliki bau khas aroma lemon yang segar dan magnolia yang lembut, hangat dan menyejukkan, itu parfum yang dipakai oleh ayahnya.

Awalnya, Jaedan merasa takut dan bingung, ia berada di mana sekarang, ruangan serba putih yang sangat sepi membuatnya tidak nyaman, namun setelah Jaedan tahu bahwa Jeff ada disana, disampingnya, ia merasa jauh lebih tenang.

"Dad.." Panggilnya pelan, tangannya bergerak kesana-kemari mencari keberadaan tangan besar sang ayah, dan langsung menggenggamnya erat erat ketika ia  menemukan jari kelingking pria itu.

Jeff langsung mendongakkan kepalanya, dan menatap wajah pucat Jaedan dengan raut cemas, "Hey.. what do you feel?? Ada yang sakit? Masih sesak nggak?"

Jaedan menggeleng, ia bisa bernapas dengan normal kembali, namun kepalanya terasa sangat berat dan—"Pusing.."

"Iya nggak pa-pa, itu cuman efek samping." Jeff menenangkan sembari mengelus kepala putra sulungnya dengan begitu lembut, merapikan rambut Jaedan yang sudah memanjang dibagian depan.

"Dad, maaf.."

"Huh? Kenapa kok minta maaf?"

"Harusnya jam segini kan daddy baru di kantor, pasti nanti kerjaannya jadi banyak karena ditinggal gara gara aku.."

"Kok ngomongnya gitu??? Enggak sama sekali, kamu lebih penting dari segalanya."

**

To be continued

"Dad..! panadol nya dimana? Tangan aku berdarah"

jgn lupa vote teman teman.. 🥰

Seguir leyendo

También te gustarán

48.3K 6K 73
-SUDAH TAMAT- [About Lee Jeno & Lee Taeyong] Perpisahan adalah keputusan yang berat bagi setiap orang yang diberi pilihan itu. Tapi terkadang hal i...
105K 8.7K 84
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
52.3K 6.5K 29
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
13.8K 2K 30
[UPDATE KALAU DAH DAPET 1 DRAFT:')] [BUKAN CERITA BXB!] Ibnu tak mengerti apa alasan Manaf bisa bertahan bertahun-tahun dalam belenggu kekejaman bapa...