Riana - Lepaskan Tali di Lehe...

By Ramdan_Nahdi

180K 15.5K 770

Sebuah kos-kosan berubah menjadi angker, saat salah satu penghuni melakukan bunuh diri. Namanya, Riana. Entah... More

Lepaskan Tali di Leher
Riana Mengikutiku
Kamar Petra
Mbak Cici
Kronologi Penemuan Jenazah
Sesak
Rencana Pengajian
Pergi ke Masjid Kampus
Tali Yang Masih Tergantung
Dapur
Riana Mengincar Petra
Alasan Riana
Do or Drink
Membersihkan Kamar Riana
Tali Tambang
Pesugihan Tali Gantung

Sebelum Ada Korban Lain

8.8K 813 33
By Ramdan_Nahdi

"Gua ke kamar bentar, Pet." Aku berjalan ke kamar.

Kriet!

Kubuka pintu, lalu menyalakan lampu. Duduk sebentar di atas kasur, sembari memikirkan percakapanku dengan Pak Karta.

Apa benar Riana yang memilihku untuk melepaskan tali itu? Jika kulepaskan, apa ia akan langsung menghilang, atau ... malah akan terus mengikutiku? Argh! Entahlah! Aku lelah mikirkannya. Lagian ia yang melakukan tindakan itu, kenapa harus merepotkanku.

Bergegas aku pergi mandi. Sempat terdiam sebentar di depan kamar mandi, lalu membuka pintu. Melirik ke atas, seketika itu baru teringat kalau kamar mandi Riana berada di atas sana. Tali itu pun masih menggantung di sana.

Hiy~

Aku langsung merinding saat memikirkannya. Saking takutnya, terpaksa mandi dengan pintu terbuka. Setelah itu, bergabung dengan teman lain yang sedang diskusi di ruang tamu.

"Lama amat, lu," omel Petra.

"Mandi dulu, Pet," balasku. "Dah sampe mana pembahasannya?"

"Bagi tugas buat belanja bahan makanannya," balas Amira.

"Oh ya, Ra. Daniar baik-baik aja?" tanyaku.

"Sementara dia ngungsi dulu ke kosan temennya."

"Semoga cepet sembuh."

"Iya, Bal."

Kami pun lanjut berdiskusi. Mas Ilham, Farel dan Amira mendapatkan tugas belanja. Dahlia, Poppy dan Gina mendapatkan tugas memasak. Sementara aku, Supri dan Petra mendapatkan tugas mempersiapkan box makanan.

Dari semula 18 orang penghuni kosan. Kini hanya tersisa setengahnya. Mbak Cici dan Daniar dikabarkan tidak bisa datang. Mungkin mereka masih trauma dengan Riana. Sementara enam orang lainnya ada yang pulang kampung, mengungsi ke kosan lain atau memutuskan untuk pindah.

Aku berharap setelah pengajian ini, kondisi kosan kembali seperti dulu. Aman dan tentram tanpa gangguan. Sehingga kami bisa kembali mengobrol sampai subuh di ruang tamu.

__________

Sekitar satu jam kemudian, Mas Ilham, Farel dan Amira sudah kembali ke kosan. Semua bahan makanan sudah diserahkan pada bagian dapur. Sementara aku, Petra dan Supri mulai mempersiapkan box makanan.

"Kenapa gak beli yang sterofoam aja sih," keluh Petra sambil membentuk box kardus.

"Sampah plastik, Pet!" sahut Supri.

"Abisnya ribet bener kudu staples satu-satu."

"Dah kerjain aja. Munpun lagi libur kuliah."

"Padahal weekend gini, paling enak mongkrong di kampus. WIFI-nya nyebut."

"Eh, Bal. Lu diem aja," tegur Supri.

"Tau tuh, daritadi diem doang. Lagi mikirin apa sih?" timpal Petra.

"Kagak mikirin apa-apa. Lagi fokus aja," sahutku.

"Lebay amat, cuman motongin kertas nasi aja ampe fokus banget."

Sekitar pukul satu siang, makanan sudah siap. Rencananya pengajian akan digelar sehabis magrib. Aku pun kembali ke kamar, untuk rebahan di atas kasur. Baru sebentar, sudah dibawa ke alam mimpi.

Mimpi di sebuah ruangan kosong. Ada kursi yang tergeletak di bagian tengah ruangan. Tepat di atas kursi itu, terlihat sebuah tali yang menggantung, dengan bagian ujung yang membentuk lingkaran. Persis tali yang biasa digunakan oleh orang yang gantung diri.

Mataku tertuju pada tali itu yang kini mulai bergerak perlahan. Kiri. Kanan. Perlahan aku melangkah maju. Menegakan kursi yang tadi tergeletak, lalu naik ke atasnya. 

Kini tali itu berada tepat di hadapan. Kuraih, lalu memasukannya ke leher. "Tendang kursinya, Bal," bisik Suara halus di telinga.

Kutendang kursi. Seketika itu leherku tercekik. Aku meronta-ronta, meminta pertolongan, tapi tak ada seorang pun datang. Dada ini sangat sesak, disertai rasa sakit di leher.

"Bal! Iqbal!" panggil Suara seseorang.

Dug! Dug! Dug!

"Bal! Bangun!"

Sontak aku terbangun dari tidur, sembari menarik napas panjang.

Dug! Dug!

"Bal!" Ternyata itu suara Petra yang memanggilku sembari menggedor-gedor pintu. Ingin menyaut panggilannya, tapi tenggorokan ini terasa sakit.

Tuk! Tuk! Tuk!

Petra mengetuk kaca jendela, sambil menengok ke dalam. "Woy! Buka!" teriaknya.

Aku bangkit, lalu membuka pintu. "Parah daritadi dipanggilin kagak bangun-bangun!" omelnya.

"Gua lagi tidur, Pet," balasku, sambil menahan rasa sakit di tenggorokan.

"Tidur apaan! Gua liat tadi lu nyekek diri sendiri. Tuh liat aja ke kaca, masih ada tandanya!"

"Hah? Masa?" Aku melihat cermin. Benar, ada tanda merah melingkar di leher.

Pantas saja, rasa sesak dan sakit itu terasa sampai bangun tidur. Apa Riana ingin membunuhku? Kenapa?

"Woy! Bal! Mulai deh, diem lagi," ucap Petra.

Reflek aku menoleh, "Sekarang jam berapa?"

"Jam lima. Buruan bantuin di depan."

"Bantuin apaan lagi?"

"Pasang balon! Ya ... apa kek. Daripada di kamar sendirian, terus nyekek diri sendiri."

Aku dan Petra berjalan ke ruang tamu. Terlihat karpet sudah digelar. Gelas-gelas minuman kemasanan dan kue camilan pun tertata rapih di bagian tengah.

"Baru muncul nih anak," tegur Supri. "Eh itu leher merah amat. Hayo! Abis ngapain kalian berdua?" imbuhnya.

"Kagak ngapa-ngapain!" balasku dan Petra, kompak.

"Itu si Iqbal, tidur sambil nyekek diri sendiri. Untung gua bangunin, kalau kagak, bisa nambah satu lagi," sambung Petra.

"Serius?" Amira menghampiri kami, lalu menatapku.

"Gua juga gak tau, yang jelas pas bangun leher gua sakit sama napas sesak banget," jelasku.

"Emang lu mimpi apaan?" tanya Supri.

"Tadi gua mimpi dikejar-kejar anjing gitu." Aku tak mau bercerita yang sebenarnya, nanti mereka malah semakin takut.

"Emang tuh anjing gigit leher? Kan biasanya kaki?" tanya Amira.

"Kalau yang dimimpi gua agak laen emang. Malah gigit leher," balasku.

"Oh, begitu. Ya udah, kalian mandi atau siap-siap dulu aja. Nanti abis magrib kumpul di sini lagi."

Sekitar pukul 18:15, warga sekitar sudah mulai berdatangan. Bapak kos pun sudah hadir, bersama seorang Ustad kenalannya.

Sebelum acara pengajian di mulai, bapak kos mengajak Pak Ustad naik ke lantai dua. "Harus cepet dibersihin. Sebelum ada korban lain," ucap Pak Ustad sembari menuruni tangga. Aku tak sengaja mendengarnya, karena posisiku sedang berdiri di depan kamar.

SEBELUM ADA KORBAN LAIN

Kalimat yang cukup menggangguku. Apalagi jika dihubungkan dengan kejadian yang menimpa Mbak Cici dan Daniar. Keduanya mengalami kecelakaan akibat ulah Riana. Belum lagi, kejadian yang menimpaku tadi.

Pengajian dimulai dengan membaca surat yasin, dilanjutkan dengan membaca ayat-ayat rukiyah. Diakhirnya dengan doa bersama. Setelah itu, aku, Petra dan Supri membagikan nasi box pada setiap warga yang datang.

Warga mulai membubarkan diri. Sementara Pak Ustad dan Bapak Kos masih mengobrol di teras. "Semoga aja doa kita sampai. Biar Riana bisa lebih tenang," ucap Supri seraya melipat karpet.

"Amin!" sahutku.

Dep!

Listrik tiba-tiba padam. Hanya berselang beberapa detik kemudian terdengar suara orang berteriak dari arah dapur.

BERSAMBUNG

Continue Reading

You'll Also Like

86.5K 2.9K 11
⚠️ Cerita ini dibuat berdasarkan imajinasi author. □□□ "Salah satu dari kalian harus mati!" Awalnya sekelompok remaja menjejakkan kaki di gunung Lawu...
960K 65.4K 25
Udin-seorang satpam yang baru kerja di sebuah rumah sakit, sering mendapatkan panggilan telepon aneh. Asalnya dari kamar mayat. Panggilan itu terus m...
1.2K 65 14
Kisah horor klasik tentang misteri di balik teror hantu Pocong yang dikaitkan dengan beberapa kematian di sebuah desa di Jawa Barat. Terjadi dengan s...
4.4K 335 21
Sisi kelam di sebuah Desa mistis, yang di juluki Desa Mayat. Karena kematian secara mendadak dan beruntun, mengharuskan para warga setempat mencari t...