LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

By lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... More

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#14 Stay
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#42 Ungkapan
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#51 Berawal dari Akhir
#52 Reason
#53 Gamon?
#54 Identitas Black Rose
#55 Dumbfounded
#56 Memulai
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#47 Tell the Truth

2K 219 4
By lunetha_lu


Hari ini rasanya waktu berjalan sangat cepat. Setelah puas bermain dengan Alvin cs, tahu-tahu langit sudah gelap. Benda bulat yang bersinar redup di langit mengintip dari balik awan. Ketika Alvin mengantar Vanta pulang, jarum jam bahkan menuju angka delapan.

"Thanks ya buat hari ini, hati-hati pulangnya," ujar Vanta saat mereka sudah harus berpisah.

Tiba-tiba cowok itu bergumam, "Gue jadi nyesel ambil skripsi cepet-cepet."

Seraya membuka sabuk pengaman, Vanta menatapnya heran. Bukannya bagus ya lulus cepat? Jadi nggak perlu lama-lama belajar dan bisa mulai bekerja.

"Kenapa?" tanya gadis itu akhirnya.

"Karena gue jadi nggak bisa lebih lama satu kampus sama lo."

Apa setelah ini Vanta harus pergi ke dokter untuk cek diabetes? Setiap kata dan perlakuan cowok ini seperti gula batu. Rasanya semua yang dilaluinya bersama Alvin nyaris sempurna. Cowok itu sungguh memperlakukannya dengan baik kali ini. Terlampau indah hingga perpisahan menjadi rasa takut terbesarnya. Tanpa sadar Vanta menggigit bibir bawahnya. Rasa grogi dan cemas yang tak berdasar tiba-tiba membaur.

"Jangan gitu, nanti lecet," Rupanya Alvin memerhatikannya. Mencondongkan badan, dia mengusap pelan bibir Vanta dengan ibu jari. "Kalo mau, sini, gue yang gigitin. Nggak bakal sakit."

Cowok itu lalu terkekeh melihat reaksi Vanta yang diam tegang dengan kedua pipi semerah tomat. Kenapa tadi dia bisa bersikap biasa saja waktu Alvin mengecupnya? Kenapa sekarang dia malah jauh lebih berdebar dibandingkan tadi??

Vanta aneh! Ke mana aja sih? Telat banget! Dia baru berdebar sekarang saat teringat ciuman pertamanya dengan Alvin. Dan itu sukses bikin jantungnya tidak bisa tenang di dalam sana.

"Lo nggak keluar lagi kan ntar malem?"

"Nggak, kan gue udah nggak kerja."

Cowok itu manggut-manggut. "Bagus. Kalo bisa sekalian jangan keluar-keluar dari pikiran gue juga."

Bukan cuma melebarkan bola mata, Vanta kontan menganga. Sejak kapan cowok ini jadi kang gombal?? Apa otaknya sudah korslet?

"Ish, cheezy tau nggak?!" Cemberut, tapi dalam hati mesem-mesem juga, luluh oleh ketampanan sang pacar.

Fix ini mah.

Dia kena serangan bucin akut tingkat dewa.

"Apa kita perlu pake panggilan sayang?" tanya cowok itu dengan cengiran khasnya.

"Norak ah!"

Alvin tidak peduli dengan kritik pedas Vanta karena dia malah melanjutkan, "My Lemon."

Bukan hanya kedua pipinya lagi, seluruh wajah Vanta sekarang sudah memanas dan melepuh. Dia lalu melirik cowok di sebelahnya dengan salah tingkah.

Ragu-ragu sebelum membalas, "... M-my Dajjal." Tangannya mencengkram tali tas erat menahan malu.

Sumpah, ini benar-benar memalukan! Protes, tapi masih tetap ikut memberi panggilan.

Namun Alvin tidak langsung bereaksi. Hening.

Cowok itu mengerjap bingung dan bertanya, "Lah, kok Dajjal?"

"Karena dulu setiap hari gue selalu maki lo dalam hati, 'dasar iblis, titisan dajjal'. Jadi rasanya itu yang paling cocok."

"Jelek banget panggilan buat gue," Meski mengeluh, tetapi cowok itu terkekeh. "Ternyata gue sehina itu ya dulu."

"Lo sendiri, kenapa lemon?" Vanta tetap bertanya walau dia merasa sudah tahu jawabannya.

"Karena lemonade."

"Masih diinget aja," ucapnya tersenyum.

"Mana bisa dilupain? Lo orang pertama yang siram gue pake lemonade dengan tanpa perasaan."

"Dan lo orang pertama yang potong rambut gue dengan tanpa perasaan."

"Aahh..." Ekspresi wajah Alvin seketika berubah murung. Dia mengusap tengkuknya, menyesali perbuatan di masa lalu.

"Gue nggak bermaksud bikin lo merasa bersalah. Itu udah lewat. Lagipula rambut gue mulai panjang, coba liat." Vanta memutar kepalanya menyamping, menunjukkan rambut yang sudah mulai bisa terkuncir. Senyumnya seolah berkata, "I am fine, don't worry".

Kebaikan dan kepolosan gadis itu membuat Alvin semakin tenggelam dalam perasaan. Maka, hal yang dilakukan pemuda itu selanjutnya adalah menarik Vanta secara refleks. Merengkuh gadis itu dalam dekap tangannya. Kemudian Alvin berbisik lembut, "Sorry...."

***

Setiap kali habis bertemu gadis itu, mood-nya pasti berkali-kali lipat membaik. Hanya mengingat wajahnya saja selalu bisa membuat dia tanpa sadar mengukir senyum. Mungkin dia harus coba melukisnya untuk menyalurkan bayang-bayang wajah Vanta yang selalu muncul memenuhi isi kepalanya.

"Kamu sudah pulang,"

Alvin menoleh tanpa menjawab. Membenahi raut yang semula berseri-seri dan kembali memasang benteng pertahanan tinggi-tinggi. Dia bisa saja mengabaikan kalimat basa-basi itu, tidak perlu menjawabnya. Seperti yang selama ini dia lakukan. Namun kesepakatan dengan Vanta untuk mencoba move on terus terngiang. Sehingga kakinya berhenti melangkah. Berdiri diam di ruang tengah saat suara itu menyapanya.

"Kamu ada waktu?" tanya Raffael yang duduk di sofa. "Mau minum teh?" Kemudian mengangkat cangkir porselen yang ada di depannya.

Butuh waktu beberapa detik untuk pemuda itu berpikir sebelum ia memutar tubuhnya dan bergabung duduk di sofa. Alvin sedikitnya sudah menduga. Bahwa ajakan minum teh itu merupakan pembuka dari pembicaraan serius yang akan disampaikan sang ayah.

***

"Ma, Ata udah selesai cuci piring ya." Gadis itu mengelap tangannya pada kain yang tergantung di dinding dekat sink cuci piring.

Sementara mama masih sibuk dengan bahan-bahan makanan di dapur. Persiapan untuk besok memasak. "Iya, istirahat gih."

Baru saja dia mengambil ponselnya yang tergeletak di meja konter dapur, saat benda kecil itu bergetar di tangan dengan jeritan ringtone tanda panggilan masuk.

Dari Alvin.

Alvin?

Tadi Vanta memang mengiriminya pesan, sekadar bertanya apakah laki-laki itu sudah tiba di rumah seperti biasanya. Tapi selang dua jam tidak ada balasan. Hanya menerka kalau Alvin tidak sempat mengecek ponselnya saat pulang. Sehingga tanpa menduga sesuatu telah terjadi, Vanta menekan tombol hijau di layarnya. Mengira kalau cowok itu hanya akan menjelaskan mengapa dia telat menjawab pesannya tadi.

"Ya?" sahutnya sambil melangkah ke kamar.

"Lo di rumah kan?"

Sedikit bingung Vanta menyahut. "Iya, kenapa?"

"Bisa keluar sebentar?"

Vanta mengerjap, sedang mencerna ucapan Alvin barusan.

Tapi kemudian laki-laki itu melanjutkan, "Gue di depan rumah lo."

Baru masuk kamar, Vanta sudah bergegas keluar lagi saat mendengarnya ada di depan. Menuju ruang tengah untuk membuka pintu rumahnya. Kalau tidak salah, di luar gerimis. Kenapa malam-malam begini cowok itu datang lagi?

Melihat Alvin yang sudah berdiri di depan gerbang rumahnya diserbu oleh rintik gerimis yang semakin deras, ia buru-buru membuka pagar.

"Lo kenapa malem-malem gini ke sini? Gerimis pula, malah keluar mobil. Besok kan masih bisa—"

Kalimat Vanta berhenti begitu saja ketika cowok itu tiba-tiba memeluknya erat. Sangat erat, sampai rasanya Vanta sulit bernapas.

"Vin?"

"Sebentar aja. Please...," mohonnya. Sambil membenamkan wajah di pundak Vanta.

Keheranan, namun tetap diam menuruti cowok itu. Menepuk-nepuk punggung Alvin pelan berusaha menenangkannya. Teringat mereka ada di depan rumah, Vanta mengedarkan pandangan ke sekeliling. Untung jalanan rumahnya sudah sepi. Tidak ada tetangga yang berada di luar rumah lagi. Dia lalu menoleh ke ruang tamu.

Menimbang-nimbang sejenak sebelum bertanya, "Mau masuk?"

Cowok itu mengangkat wajahnya. Pipinya basah. Entah karena gerimis atau air yang merembes dari sudut-sudut matanya. Satu yang pasti, keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Vanta kemudian menuntunnya masuk. Menyuruh Alvin duduk di sofa ruang tamunya.

Penampilannya tampak kacau, ekspresi wajahnya nanar. Vanta tidak bertanya apa yang terjadi. Dia hanya mengusap pundaknya mencoba menenangkan.

Saat itulah mama datang, bertanya, "Ada apa, Ta?"

Beliau sedikit kaget melihat kehadiran Alvin. Tetapi Vanta menatap mamanya dengan pandangan memohon, menunjuk Alvin dengan pandangan matanya agar diizinkan berada di sana sementara. Mama yang paham dengan situasi tersebut kembali ke dapur, membuatkan teh hangat.

"Dia... minta maaf, Van," ujarnya dengan kepala tertunduk. Kedua telapak tangannya menopang dahi, menutup sebagian wajah.

Vanta yang duduk di sebelahnya masih setia mendengarkan. Tidak berniat menyela sedikit pun.

"Dia kasih tau gue semuanya." Laki-laki itu menurunkan tangannya. Kesepuluh jarinya terlipat di pangkuan.

Masih menunduk dengan mata memerah, dia melanjutkan, "Gue salah...."

Rupanya ayah Alvin sudah memberitahunya. Kesimpulan yang muncul di pikiran Vanta setelah mendengar kalimat tak utuh dari cowok itu.

"Gue... salah ya?" ulangnya, kali dengan pertanyaan.

Setiap kata yang keluar dari mulut Alvin terdengar begitu pilu. Menularkan sesak yang juga dapat dirasakan Vanta. Sebagai jawaban dia menggeleng.

"Lo nggak salah, Vin. Bokap lo nggak salah. Semua menyimpan deritanya masing-masing. Nggak ada yang perlu disalahkan."

Cowok itu menoleh lirih dan bertanya lagi, "Gue harus gimana?"

Di hadapannya bukan lagi Alvin yang percaya diri seperti biasa. Bukan Alvin yang jahil dengan ketengilan ekstranya. Hanya seorang pemuda yang pernah memiliki goresan di hati dan tidak tahu cara menyembuhkannya.

Maka, yang bisa dilakukan oleh Vanta yang tidak punya jawaban atas pertanyaannya hanyalah memberi pelukan pada lelaki itu. Berharap rasa sesaknya dapat sedikit terangkat.

Sambil mengelus puncak kepalanya, dia berkata lembut, "Vin, nggak semua harus lo cari tau jawabannya. Terkadang kita cuma perlu menghadapi kenyataan dengan ikhlas. Menerima kejadian yang udah berlalu. Jalani hidup lo sekarang. Nggak perlu bertanya-tanya gimana ke depannya."

Ya, begitulah yang Vanta pelajari dari pengalamannya selama ini. Bahkan Alvin juga salah seorang yang mengajarkannya demikian secara tidak langsung.

"Lo memang nggak bisa mengulang momen bersama nyokab lo meski akhirnya tau apa yang terjadi. Tapi, lo bisa mulai membuat kenangan yang baru sama bokap lo. Jangan sampe muncul penyesalan serupa nantinya."

Malam itu, Alvin menuangkan semua beban yang ditampungnya. Dengan Vanta sebagai pendengar sekaligus tempatnya bersandar. Mereka tidak lagi sendiri. Dia percaya, keberadaan mereka telah ditakdirkan untuk saling melengkapi.


=== BERSAMBUNG ===

Jadi pengen ikutan peluk Alvin T_T

Continue Reading

You'll Also Like

85.2K 7.3K 36
#7 in timetravel, 11 April 2020. #6 in Majapahit, 5 Juni 2020. "Jujur, sampai sekarang, gue masih gak ngerti sama apa yang gue alami. Dan gue juga ga...
177K 14.3K 63
Seminggu sebelumnya, Ariendra Pilli masih menjadi Produser Treya di kantor. Seminggu berikutnya, Treya memanggil Rend "Sayang", pakai acara menyanda...
1.1M 113K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
823K 79.2K 57
Bagas dan Dara telah bercerai lima tahun yang lalu. Dara tidak ingin bertemu dengan Bagas lagi karena begitu tersakiti dengan perceraiannya. Tapi tid...