LOVE LIKE LEMONADE [TAMAT]

By lunetha_lu

486K 31.4K 1.3K

Semula Vanta tidak tahu, kalau satu perlawanannya bakal menjadi masalah serius. Siapa sangka, cowok yang dita... More

Prolog
#1 Vanta Lollyta
#2 Lapangan Basket
#3 Pembalasan Berikutnya
#4 Boyfriend?
#5 So Embarrassed
#6 Jealousy
#7 Rencana Alvin
#8 Hate You 3000!
#9 Semua Orang Punya Rahasia
#10 Unexpected
#11 Bahan Gosip
#12 Panas Dingin (1)
#13 Panas Dingin (2)
#14 Stay
#15 Sleep Well
#16 Last War
#17 Soft Drink
#18 Black Rose
#19 Hide and Seek?
#20 About Her
#21 Rest in Love
#22 Jaminan
#23 New Begin
#24 Past
#25 Cheer Up
Announce
#26 Who is He?
#27 Bala Bantuan
#28 Vodka Beryls
#29 Bukan Pacar
#30 First Attempt
#31 Bertemu Lagi
#32 Teman Baik
#33 Permintaan Sulit
#34 Tentangnya
#35 Pilihan Tepat
#36 Once More
#37 Mulai Berpikir
#38 Akhirnya Terucap
#39 - Move Forward
#40 Perkara Status
#41 Yours
#43 Benda Keramat
#44 Momen Baru
#45 Namanya Cemburu
#46 Hidden Truth
#47 Tell the Truth
#48 Bucin Detected!
#49 Dilema
#50 Trurth or Lie
#51 Berawal dari Akhir
#52 Reason
#53 Gamon?
#54 Identitas Black Rose
#55 Dumbfounded
#56 Memulai
#57 Yang Sebenarnya
#58 D-Day
#59 Dajjal Kesayangan (END)

#42 Ungkapan

2K 231 15
By lunetha_lu

Sambil mengerjakan tugas UTS (Ujian Tengah Semester) di kamar, Vanta menguap beberapa kali. Berbeda dengan jurusan lain yang mengerjakan ujian tertulis di kampus, jurusan desain biasanya menerima tugas praktik yang harus dikerjakan di rumah. Hingga pada saat jadwal ujian, mereka hanya akan mengumpulkan tugas, dan... selesai.

Tak jarang mahasiswa jurusan lain menyuarakan rasa iri mereka. Tapi... hei! Mereka tidak tahu bagaimana perjuangan para mahasiswa DKV bergadang demi mengumpulkan tugas yang katanya 'tinggal kumpul doang' itu.

Tugas praktik harian dan tugas UTS yang jatuh tempo dikumpulkannya mirip-mirip sering kali membuat para mahasiswa mau tak mau menjelma jadi tukang sulap dadakan. Mengerjakan semuanya dengan mode SKS. Ehem, SKS-nya itu maksudnya Sistem Kebut Semalam.

Vanta menghela napas sambil mencampur warna cat air. Sesekali memukul-mukul pinggangnya yang encok. Karena kamarnya sempit, dia tidak bisa menaruh meja kerja di kamar. Akibatnya Vanta harus menanggung pegal dan sakit punggung saat membungkuk mengerjakan tugas di lantai.

Dia melirik ponselnya yang berdering singkat. Melihat nama yang tertera pada notifikasi pesan masuk membuat sudut-sudut bibirnya terangkat naik.

[Udah tidur?]

Segera dia membalas pesan dari sang pacar. Cieee, pacar. Vanta menahan senyum setelah meledek diri sendiri.

[Belom, lagi ngerjain tugas UTS.]

Baru sebentar terkirim, ponselnya berbunyi lagi. Tanda panggilan masuk.

"Kenapa? Kok telepon?" tanya gadis itu. Masih dengan senyum mengembang tanpa Alvin ketahui.

"Mau nemenin lo nugas, biar nggak bosen."

Vanta lalu meletakkan ponselnya di lantai. Menekan mode pengeras suara.

"Gue loudspeaker aja ya, sambil ngecat."

"Oke."

"Lo nggak ngerjain tugas?" Seraya mencampur warna kuning, biru, sedikit merah, dan putih untuk menghasilkan warna baru.

"Tadi baru aja ngerjain skripsi. Sekarang lagi istirahat, terus inget lo, yang tadi siang ninggalin gue."

"Ugh, sorry..." Dia memasang raut menyesal, meski tahu Alvin tidak dapat melihatnya. "Oh iya, lo sidang akhir semester ini ya. Terus gimana skripsi lo?" tanyanya mengalihkan topik.

"Yah, lumayan... penulisannya udah 60 persen, karya masih nunggu acc."

Sementara Vanta mengerjakan tugas, mereka masih mengobrol di telepon. Bercerita banyak hal di kampus, juga tentang tugas-tugas semester awal. Hanya dengan percakapan sederhana seperti itu saja waktu berlalu cepat. Tanpa terasa pekerjaan Vanta sudah hampir selesai.

"Gara-gara sambil nelepon, nggak berasa udah mau selesai nih," ujar Vanta memberikan sentuhan terakhir pada gambarnya.

"Baguslah... abis itu langsung istirahat lo. Udah hampir jam dua pagi,"

"Lo juga."

"Besok jangan pulang duluan lagi ya, tunggu gue," pinta cowok itu.

"Iya,"

"Lain kali kalo begadang, telepon gue aja biar nggak bosen."

Tugasnya benar-benar selesai. Vanta membereskan peralatan yang berserakkan di lantai seraya menjawab, "Okee."

"Van," panggil Alvin pelan.

"Apa lagi, Sayang?"

Hening. Keduanya terdiam. Sementara Vanta terkesiap sendiri dengan kata-katanya. Kebiasaan dengan Jessi mendadak muncul begitu saja. Bikin malu!

"Woww... mau dong, disayang." Terdengar kekehan geli dari seberang sana.

"Ish, keceplosan. Biasa Jessi yang suka panggil-panggil terus...."

"Udah selesai belom lo?"

"Udah. Ni mau tidur. Sakit pinggang, gue."

"Kalo tempat lo nggak nyaman, besok mau ngerjain tugas di rumah gue?"

Vanta mengambil jeda sejenak untuk berpikir. "Di... rumah lo? Apa nggak pa-pa?" Teringat ayahnya Alvin sedang pulang ke rumah.

"Emang kenapa? Kan cuma ngerjain tugas. Apa lo mau sekalian sayang-sayangan juga?"

"Argh! Dibilang nggak sengaja!"

Alvin malah menertawakannya.

"Ya udah, istirahat deh lo."

"He-eh. Bye...."

"Good night, 'Sayang'." Cowok itu sengaja menekankan kata sayang sebelum tertawa lagi dan menutup telepon.

Dia nggak tau, dampaknya bikin Vanta nyaris kejang-kejang saking malunya. Laki-laki itu selalu tahu cara membuat Vanta mendidih. Meski hanya tersenyum atau menatapnya, dia selalu mampu membuat Vanta meleleh.

Vanta lalu merebahkan diri di kasur. Matanya yang belum terpejam menatap langit-langit kamar. Kerut di sudut-sudut bibir akibat menahan senyum segera pudar. Sebetulnya, ada sesuatu yang tidak diceritakan pada Alvin mengenai alasannya yang terburu-buru pulang siang tadi.

***

Siang tadi, setelah kelas terakhir Vanta.

Vanta bergegas melangkah ke salah satu kedai kopi ternama di mal yang tak jauh dari tempat tinggalnya sambil mencengkram kedua tali ransel erat. Jantungnya berdetak cepat bukan hanya karena dia yang setengah berlari, tapi juga karena cemas dengan situasi yang akan dihadapinya nanti.

Seharusnya dia pulang bersama Alvin hari ini. Tetapi karena panggilan tak terduga, tekpaksa dia membuat alasan untuk keluar kampus lebih dulu tanpa menunggu cowok itu.

Setibanya di kedai kopi tempat janji temunya, ia menyapukan pandangan ke sekeliling. Mencari sosok yang meminta waktunya untuk bertemu. Ketika menangkap penampilan seseorang yang tak asing, Vanta mengatur napas sejenak. Mempersiapkan diri sebelum menyapa pria itu.

"Selamat siang, Pak,"

Orang yang disapanya pun mengangkat wajah dari gelas kopi yang masih mengepul.

"Vanta Lollyta?" tanya pria paruh baya itu memastikan. Kemudian dibalas anggukkan oleh Vanta. "Silakan duduk," ucapnya.

Vanta mengambil tempat di seberang pria itu. Duduk sembari bermain tebak-tebakan dengan pikirannya. Telapak tangannya mendadak berkeringat.

"Kamu mau pesan sesuatu?"

"Tidak apa-apa, terima kasih."

"Oh ya, perkenalkan, saya Raffael Geraldy. Kamu pasti bingung mendadak dipanggil seperti ini. Saya cuma mau mengobrol sedikit."

Dalam hati, Vanta bertanya-tanya. Mengapa waktu pertemuan ini tepat sekali? Tidak lama setelah ia jadian dengan Alvin, ayahnya mengajak bertemu. Masa untuk meminta Vanta putus dari putranya? Apa beliau akan meyiramnya dengan kopi panas? Atau melemparkan selembar cek seperti di film-film?

Vanta memainkan jari-jarinya di pangkuan. Duduk dengan peraasaan tidak tenang. Masih menebak-nebak apa yang ingin disampaikan pria yang wajahnya mungkin akan sama dengan Alvin di masa mendatang.

"Boleh saya bertanya?" izin Vanta.

"Ya, silakan."

Tanpa mengurangi rasa hormat, ia bertanya, "Maaf, Bapak mengajak bertemu sebagai Rektor di kampus kami, atau... sebagai ayahnya Alvin?"

Pria itu diam sejenak lalu tersenyum. Tidak ada aura permusuhan atau tatapan tak suka dari Raffael. Beliau cenderung tenang. Vanta sampai merasa kesulitan memprediksi apa yang dirasakan pria ini.

"Kamu memang gadis yang cerdas. Pantas saja mendapat beasiswa penuh." Raffael menyeruput kopinya sebelum memulai lagi. "Saya cuma penasaran, seperti apa teman yang dibawa Alvin ke rumah. Gadis itu... kamu kan, yang beberapa kali datang baru-baru ini?"

"... Saya kurang tau, apa Alvin membawa teman lain selain saya. Tapi mungkin, iya, itu saya."

"Rasanya tidak ada lagi yang datang. Mengingat dia tidak pernah mengajak siapa pun ke rumahnya sejak... dia SMP."

Raut Vanta seketika berubah, teringat akan hal-hal yang diceritakan lelaki itu. Dia dan segala masalah keluarga yang dialaminya.

"Apa kamu tau keadaan keluarganya?" tanya Raffael menyadari reaksi Vanta.

Bola matanya sempat melirik ke arah lain, ragu untuk menjawab. Tapi kemudian Vanta mengedip sekali dan mengangguk.

"Kalau begitu, anggap saja saya mengajak bertemu sebagai ayah Alvin. Melihat kamu yang sepertinya dekat dengan dia, saya ingin berterima kasih."

"Berterima... kasih?" Vanta merasa bingung.

"Anak itu... dia benar-benar berubah. Selama ini meskipun jauh, saya terus mengawasinya. Tapi dia tetap sama, selalu membatasi diri dengan orang lain. Membuat masalah sebagai bentuk pemberontakannya sejak dia SMA. Tapi sejak saya melihat kedatangan kamu bersamanya, dia jadi lebih dewasa."

"Itu... apa maksudnya... Bapak mengawasi kami?" tanya Vanta hati-hati. Takut kalau kalimatnya menyinggung atau bahkan tak tepat.

Tetapi Raffael tersenyum, menunjukkan sorot mata sungkan. "Maaf. Saya tidak bermaksud begitu. Hanya saja, saya merasa senang dengan perubahan sikapnya."

Terjawab sudah, alasan mengapa Vanta belakangan merasa seperti diikuti. Rupanya itu bukan cuma khayalannya. Tapi memang dia telah diamati.

"Maaf membuat kamu tidak nyaman. Saya sendiri merasa tidak enak, tapi saya ingin bertemu langsung dengan orang yang membawa perubahan pada hidup anak saya. Dia tidak melarikan diri dari saya lagi. Kami bisa duduk di ruangan yang sama. Dia bahkan mau menjawab pertanyaan saya," Raffael berhenti sesaat. Menahan perasaan berkecamuk dalam dada.

Pria paruh baya itu mulai berkaca-kaca. Dia menarik napas panjang untuk mengendalikan sesuatu yang hampir tumpah.

"Itu... sungguh kemajuan yang luar biasa. Kamu pasti orang yang penting untuknya, sampai-sampai bisa memencairkan pribadi yang keras seperti dia," imbuh Raffael.

Menerima pujian atas hal yang tidak benar-benar dilakukannya membuat Vanta tidak enak hati.

"Saya tidak melakukan apa-apa. Sungguh... . Dia yang punya keinginan untuk berubah. Saya rasa jauh di lubuk hatinya, dia rindu dengan keluarganya."

Setelah Raffael berterima kasih sekali lagi dengan tulus pada Vanta, mereka mulai mengobrol ringan. Raffael bertanya tentang Alvin di kampus dan teman-temannya. Rupanya ayah Alvin sangat ramah. Beliau juga bertanya pada Vanta, apakah dia bersedia menemuinya lagi kapan-kapan untuk menceritakan tentang Alvin? Dia tidak ingin menahan Vanta terlalu lama hari itu. Sebab Raffael tahu para mahasiswa sedang dalam masa UTS.

Selama tujuh tahun putranyamenutup diri, akhirnya ada seseorang yang dipercayanya untuk berbagi. Dan ituadalah seorang gadis cerdas dan baik di mata Raffael. Meski mungkin belum lamaVanta mengenal putranya, tapi setidaknya ada banyak cerita yang bisadisampaikan dari seseorang yang secara langsung berada di sisinya.

=== BERSAMBUNG ===

Bisa aja Vanta keceplosannya :v

Continue Reading

You'll Also Like

63.4K 7.9K 44
✅Follow dulu sebelum baca ya! ✅ Mungkin kah jatuh cinta dalam tujuh hari selama masa ospek?? Alayya, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang...
515K 21K 36
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.5M 74.1K 52
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.1M 112K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...