910 : Sorry, I Hurt You

By sapidolls

2.3M 214K 25.9K

❝Gibran, aku cuma ingin bahagia. Kenapa aku berakhir di penjara?❞ Katanya hubungan akan lebih awet jika cinta... More

CHAPTER 01 - BRENGSEK
CHAPTER 02 - KENAPA TERLUKA
CHAPTER 03 - DARK CIRCLE
CHAPTER 04 - KHAWATIR
CHAPTER 05 - SHINCHAN
CHAPTER 06 - CALON MANTU
CHAPTER 07 - PAHIT
CHAPTER 08 - PEDIH
CHAPTER 09 - PATAH
CHAPTER 10 - HANCUR + CAST
CHAPTER 11 - MADHAVI DAN MEGIN
CHAPTER 12 - BICARA TAKDIR
CHAPTER 13 - LEPAS
CHAPTER 14 - HANTAMAN KERAS
CHAPTER 15 - LUKA
CHAPTER 16 - SEPANTASNYA
CHAPTER 17 - KAMU BUKAN RATU
CHAPTER 18 - MASIH SAMA
CHAPTER 19 - AMARAH
CHAPTER 20 - RUANG RAHASIA
CHAPTER 21 - BABY MOCHI, MAMA MOKI & PAPA MOKA
CHAPTER 22 - TARUHAN
CHAPTER 23 - IM OKEY
CHAPTER 24 - MABUK
CHAPTER 25 - MR. AROGAN
CHAPTER 26 - PEKA
CHAPTER 27 - JANGAN TINGGALIN GUE, YA?
CHAPTER 28 - KEMBALI PADAKU
CHAPTER 29 - TOXIC SISTER
CHAPTER 30 - HAMPIR
CHAPTER 31 - TERUSIK?
CHAPTER 32 - KEJELASAN
CHAPTER 33 - TUAN DAN BABU
CHAPTER 34 - BERCERITA DI ATAP
CHAPTER 35 - PEDULI?
CHAPTER 36 - DAMN IT
CHAPTER 37 - HANYA MADHAVI
CHAPTER 38 - PERHATIAN MADHAVI
SPESIAL CHAPTER
CHAPTER 39 - DARI GIBRAN UNTUK MEGIN
CHAPTER 40 - KEBENARAN
CHAPTER 41 - PENGORBANAN
CHAPTER 42 - TANGGUNG JAWAB?
CHAPTER 43 - MENGEJARMU
CHAPTER 44 - MEGIN, GUE SAYANG SAMA LO
CHAPTER 45 - PERGI, MEGIN!
CHAPTER 46 - MEGIN MILIK MADHAVI
CHAPTER 47 - BABU BARU
CHAPTER 49 - PENYERANGAN
CHAPTER 50 - LAKI-LAKI
CHAPTER 51 - GETIR
CHAPTER 52 - KONSER MUSIK
CHAPTER 53 - HURT SO GOOD
CHAPTER 54 - SEHARUSNYA AKU TIDAK MELEPASMU
CHAPTER 55 - DITUNTUT
CHAPTER 56 - AKU AKAN MENUNGGUMU
CHAPTER 57 - MAMA UNTUK LAKSANA
Hii Guys
CHAPTER 58 - SORRY, I HURT YOU
CHAPTER 59 - 910
EXTRA PART
SUSURUPRIS, INI SEKUEL OR EXTRA PART?
hilang
NEW SEQUEL
BUKA DONG!
CERITA BARU
AU IG AFTER 910 | SEQUEL : akun igeh aku udah balik gaes!
SEGERA TERBIT
VOTE COVER
OPEN PO

CHAPTER 48 - JADI, KHAWATIR NIH?

25.3K 2.9K 369
By sapidolls

JANGAN LUPA VOTE KOMMENT YANG SEMANGAT!

BTW GW LAGI SUKA BAT DENGERIN LAGU 'HINGGA TUA BERSAMA'. KALIAN SUKA DENGERIN LAGU APA SEKARANG?

FOLLOW AING DULU YA →sapidolls

HAPPY READING ❥

"Jangan lupa istirahat!" pesan Madhavi sebelum ia meninggalkan rumah Megin. Baru saja ia mengantarnya pulang dari sekolah.

"Iya," jawab Megin.

"Nggak lupa sama yang tadi gue bilang, kan?"

"Apa ini nggak berlebihan?"

"Gue perlu tau keadaan lo di sini. Kalo lo nggak tinggal di sini itu nggak masalah."

Megin menghela napas dan akhirnya mengangguk. Ia masuk rumah, Madhavi pun kembali masuk mobil dan melajukan mobilnya entah ke mana. Ia tidak akan pulang ke rumah secepat ini.

Yang Madhavi maksud adalah sebuah kamera kecil. Ia memberikan Megin tiga buah kamera untuk ia pasang di rumahnya agar jika Reya sewaktu-waktu melakukan hal keterlaluan lagi Madhavi akan segera datang dan melindungi Megin.

Setelah masuk rumah, Megin pun memasang kamera di ruang tamu, ruang tengah dan dapur di tempat yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun. Seperti di dalam vas bunga. Ia memasang semua kamera saat tidak ada orang di luar, mereka sibuk di kamarnya masing-masing.

Tadi Madhavi sudah mengajaknya makan, ia juga dibelikan banyak cemilan oleh Madhavi. Tasnya penuh dengan cemilan sekarang. Megin memakannya di kamar setelah mandi. Jika nanti malam Megin lapar, ia akan membeli di luar saja. Atika mana mengizinkan Megin menghabiskan nasinya.

Sedang asyik memakan cemilan pintu kamarnya diketuk brutal, Megin menghentikan aktifitas makannya dan membuka pintu.

"Buatin gue mie instan! Pake telur pake sosis jangan lupa!" titah Reya. "Cepetan anjir laper gue!" Reya menarik tangan Megin kasar agar keluar dari kamarnya.

Megin menghela napas. Ia pun pergi ke dapur untuk memasak mie seperti yang Reya mau. Ketika membuka lemari, di sana tidak ada mie instan yang bisa ia masak. Ketika membuka kulkas pun tidak ada sosis hanya tersisa beberapa butir telur. Megin pergi ke Reya yang tengah duduk santai sambil menonton tv.

"Reya, mienya abis."

"Ya terus? Lo bakal berdiri di sini aja gitu?" Reya menggeleng. "Belilah, tolol!"

Reya menatap Megin tajam ketika lagi-lagi Megin masih berdiri di tempatnya. Ia malah melihat jendela dan membuka tirai, melihat rintik hujan mulai turun ke bumi.

"Budeg lo, hah?" bentak Reya.

"Hujan, Re. Gue buatin yang lain aja, ya? Lo mau apa? Nasi goreng atau sayur apa?" tawar Megin lembut, tapi lagi-lagi yang ia dapat adalah sebuah bentakan.

"Lo budeg apa gimana? Gue mau mie, bukan yang lain! Ngerti?" Reya melempar asbak rokok ke arah Megin, membuat Megin memejamkan matanya.

"Iya-iya, gue ngerti. Gue beliin."

"Nggak pake lama. Awas lo!"

Dengan terpaksa Megin segera pergi, mencari payung, mengambil uang di kamarnya juga jaket, lalu keluar rumah. Udara sore yang hampir menggelap ini cukup dingin, apa lagi turun hujan begini, meski tidak terlalu lebat.

Megin pergi ke alfamart yang ada di dekat rumahnya. Ia mengambil mie instan dan sosis. Jika tadi Madhavi tidak memberinya cokelat, mungkin Megin akan membelinya sekarang. Ia segera pergi ke meja kasir dan menaruh semua barang belanjaannya di sana.

"Eh, Kak Megin?" Sebuah panggilan membuat Megin menoleh ke belakang. Melihat Grace ada di belakangnya dengan keranjang belanjaan.

"Grace?" kaget Megin.

"Ih Kak Megin, hujan-hujan keluar rumah. Dingin tau Kak, nanti sakit. Nanti kak Gibran khawatir."

Megin tertawa. "Kakak cuma keluar bentar. Ini juga mau pulang."

"Oh, iya. Mau sekalian kami anterin nggak?"

"Eh."

"Kak Gibran ada di depan tuh, Kak."

Megin menerima kantung plastik yang kasir itu berikan dan membayar. Lalu ia membuka pintu dan menuruni beberapa anak tangga. Ia berhenti di tempat saat Gibran yang ada di dalam mobil membulatkan mata dan langsung keluar.

"Megin!" Gibran melihat Megin seolah sudah tidak melihat lama saja.

"Hai, Bran." Kemudian Megin mendekat, membagi payungnya pada Gibran agar cowok itu tidak kehujanan. "Biar nggak basah," ucap Megin.

Gibran terdiam, ia menahan senyumnya, seperti salah tingkah. Sama saja seperti dulu, Gibran masihlah sosok yang sangat mencintai Megin.

"Beli apa?" tanya Gibran basa-basi.

"Beli mie hehe."

"Jangan sering-sering, ya, Cantik. Nanti kamu bisa kena usus buntu," nasihat Gibran lembut sambil mengusap puncak kepala Megin.

"Iya, Bran," patuh Megin.

"Kamu baik?" tanya Gibran.

Megin pun mengangguk. "Baik."

"Baby mochi?"

"Baik."

"Madhavi baik, kan?"

"Baik kok, Bran. Dia juga nggak ngelarang aku ketemu siapa pun, termasuk kamu."

"Syukur deh." Gibran dapat bernapas lega mendengar ini.

"Gibran, kamu juga baik?" Megin balik bertanya dan sebuah anggukan serta senyuman seolah berusaha meyakinkan Megin jika Gibran baik-baik saja.

"Aku baik-baik aja selama kamu juga baik."

"Hujan-hujan emang enaknya deket-deketan, ya? Ikut dong!" Grace yang baru keluar dari alfamart ikut gabung begitu saja di tengah-tengah mereka dan tersenyum tanpa dosa.

"Kak Gibran, jangan deket-deket kak Megin, nanti makin cinta loh!" ledek Grace.

"Berisik banget sih lo? Tau gini nggak gue jemput tadi!" kesal Gibran. Ia ada di sini sekarang karena menjemput Grace yang kerja kelompok di rumah temannya sampai sore.

Grace menjulurkan lidahnya, kemudian ia menarik tangan Megin dan membawanya duduk bersama di jok belakang.

Tidak mau kehujanan, Gibran segara masuk ke mobil dan melihat Grace yang asyik sendiri dengan Megin. Mereka memang cukup dekat. Diam-diam Gibran tersenyum di depan sana. Ia pun melajukan mobilnya. Sementara dua orang itu terus berbincang-bincang tentunya membawa nama Gibran. Yeah tidak heran sih, Gibran kan memang terkenal di kalangan dua orang itu.

"Pokoknya Kak Gibran jangan sampai gagal ya rekrut Kak Megin jadi kakak iparnya Grace. Kalo bukan Kak Megin, Grace nggak mau!" kata Grace atau terdengar seperti paksaan.

"Grace, jangan ngomong gitu!" pinta Megin.

"Kak Megin nggak mau jadi kakak Grace gitu? Kak Gibran aja nggak bisa hidup tanpa Kakak, dia bakal kayak mayat hidup tau Kak kalau lagi galau," terang Grace.

Gibran yang mendengar itu tidak terima. Ia menoleh ke belakang. "Rese lo, Cil. Orang ganteng kayak gue mana bisa galau."

"Lambemu! Semalam siapa yang nabrak tembok gegara nggak liat jalan dengan benar? Semalam siapa yang lagi gelap-gelapan di dapur sambil bercucur air mata?"

"Ya mana gue tau. Yang jelas itu bukan gue! Lo kalo ngomong jangan ngadi-ngadi!" balas Gibran.

"Ah, nih orang!" Grace tidak habis pikir dengan jawaban Gibran. Ia ingin membuka suara lagi tapi Gibran mengancam.

"Ngomong sekali lagi, gue turunin lo di sini. Biarin aja dibawa wewe gombel."

"Jahat lo, Kak. Gue aduin ke Bunda entar."

Dari pada mengurusi Gibran, Grace lebih baik bicara pada Megin. Kakaknya yang lembut dan sangat cantik ini. Pantas saja kakaknya begitu menyukai Megin, Megin saja sesempurna ini, mana pintar lagi.

"Kak Megin nggak putus kan sama Kak Gibran?" tanya Grace dengan raut begitu berharap. Lantaran ia melihat Gibran yang akhir-akhir ini sering murung dan galau, kan siapa tahu begitu. "Iya, kan, Kak?"

"Kami nggak pacaran, Grace," jawab Megin. Gibran pun melihat semuanya dari spion yang ada di depannya. Dadanya seketika terasa sesak mengingat seperti apa hubungan mereka sekarang.

"Loh yang bener? Nggak pacaran pasti udah tunangan, kan?" Grace menunduk, mengangkat tangan Megin dan melihat cincin indah yang tersemat di jari manisnya. "Dari Kak Gibran, kan?"

Mobil berhenti. Mereka sudah sampai di depan rumah Megin karena jaraknya yang dekat. Grace pun beralih mengambil tangan Gibran dan mencari cincin di sana. Tapi ia tidak menemukan cincin yang sama di jari manis kakaknya.

"Kak kok nggak couple-an cincinnya sama Kak Megin?" tanya Grace bingung.

"Udah sampai, Gin. Mendingan kamu masuk ke rumah," titah Gibran, Megin pun mengangguk.

"Kak!" Grace ingin jawaban, kenapa Gibran tidak mau menjawabnya malah meminta Megin turun?

"Apa pun itu, Kakak harap juga itu yang terbaik," kata Megin pada Grace sebelum ia turun dari mobil. "Makasih udah mau nganterin pulang."

"Nggak masalah," jawab Gibran. "Bahagia terus ya, Gin!"

"Meski pun bukan aku lagi yang buat kamu bahagia. Seenggaknya ngeliat kamu bahagia sama orang lain aku ikut bahagia," batinnya.

"Kamu juga," balas Megin.

Grace melihat ke duanya dengan bingung. Hubungan mereka juga cukup membingungkan. Sampai sekarang ia masih memikirkan itu.

•••

"Lama bener lo? Beli di planet lain?" sengit Reya ketika Megin datang. "Cepet buatin! Lelet banget sih! Nggak tau apa gue lagi laper?" Reya mendorong Megin agar segara memasakannya makanan. Kalau Megin tidak menurut, ia tidak mau Reya menyakitinya lagi. Ia juga takut Reya sampai melukai baby mochi. Karena itu, Megin langsung melakukan apa yang Reya mau.

Ia memasak di dapur, sedari tadi Reya memperhatikan di meja makan sambil mengetuk-ngetuk sendok ke meja. Seolah tengah menghitung waktu.

"Gimana sejarahnya Madhavi ngehamilin lo, Cupu? Lo pasti seneng kan sekarang lagi ngandung anak orang kaya? Gue tau banget lo punya ambisi kuat buat pendidikan. Gimana bisa lo nggak gugurin bayi itu? Lo pengin kaya dan morotin harta Madhavi, kan?" tuduh Reya.

Sontak Megin menggeleng. "Gue bahkan nggak pernah kepikiran kayak yang lo bilang, Reya. Dan perlu lo tau, gue sayang sama anak gue. Gue nggak akan gugurin dia meski pun pendidikan taruhannya."

Kesalahannya dulu adalah kesalahan yang paling Megin sesali. Ia tidak akan melakukannya lagi.

"Pantesan belakangan ini Madhavi suka lindungin lo. Ternyata ada jabang bayinya di perut lo. Haha, lucu banget." Reya tepuk tangan dan mendekati Megin. Melihat mie yang tengah dimasak dan sebentar lagi akan matang.

"Kenapa gue nggak kepikiran buat nginjek perut lo, ya?" kata Reya tepat di samping wajah Megin dengan senyum devil yang terlihat begitu menakutkan.

"Uhh, takut, ya?" Reya kembali terkekeh.

"Angkat, udah mateng!" Megin meringis ketika Reya mencekal tangannya dan menyentuhkannya ke pinggiran panci yang panas. Ia langsung menarik tangannya dan meniupnya karena terasa perih dan panas.

"Reya!" bentak Megin.

"Apa? Mau gue injek perutnya?"

Dengan kesal dan jari yang masih sakit, Megin mengangkat mie yang ia masak dan menaruhnya di atas mangkok. Ia menaruh semua bumbu dan memberikan ke Reya.

"Udah."

"Makasih Megin," kata Reya sok manis.

Megin hanya mengangguk malas, ia mengambil gelas, menuangkan air putih di sana dan duduk di meja makan. Megin langsung menaruh gelas itu ke meja kembali saat merasa bahu dan punggungnya terasa panas. Megin berdiri dan kelabakan karena ini sungguh panas dan terasa perih.

"Aahh sshhhhh!" ringis Mengin.

"Ups, nggak sengaja," kata Reya sambil menutup mulutnya. Ia yang telah menumpahkan mie kuah panas itu ke bahu Megin.

"Kasian, sini gue bantuin."

"Nggak usah." Megin menyingkirkan tangan Reya dan berniat ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Megin pikir sudah sampai di sini saja, tapi tidak. Megin terjatuh dengan lutut mencium lantai terlebih dahulu ketika Reya mengulurkan kakinya ke depan sehingga Megin terjatuh. Dirinya kembali meringis, Megin tidak bisa sabar lagi.

"Reya!" bentak Megin.

"Sakit, ya?" Reya mendekat dan mencengkeram rahang Megin cukup kuat. "Lo pikir gue bakal biarin lo hidup tenang setelah jadiin gue babu di sekolah, hah?" Suaranya meninggi dan matanya melotot tajam. Ia membuang wajah Megin cukup kasar dengan napas memburu.

"Gara-gara lo gue diperlakukan selayaknya binatang. Gara-gara lo gue dikeluarin dari band dan temen-temen gue benci sama gue. Semuanya gara-gara lo, jalang!" Di tendangnya tubuh Megin berulang kali.

"Lo itu pembawa sial!" Lagi-lagi Reya menendangi tubuh Megin. Megin berusaha melindungi dirinya dan bangkit. Ia ingin lari, tapi Reya mendorong tubuhnya sampai membentur tembok.

"Lo harus rasain apa yang gue rasain jalang!" Reya menoleh ke belakang, mengambil mie yang berjatuhan ke lantai dan memasukkannya ke mulut Megin dengan paksa meski itu tidak berhasil.

"Reya! Gue minta maaf. Tolong jangan kayak gini!" pinta Megin. Ia mendorong tubuh Reya sampai terjatuh. Dalam hati ia terus memanggil Randi agar segara pulang. Terkadang Randi pulang malam atau sehabis magrib ketika bekerja di bengkel, seperti sekarang. Mau memanggil Atika, wanita itu pasti tidak akan peduli.

Kakinya sakit. Megin tidak bisa berjalan cepat.

"Reyaaaa!" Megin membelakkan mata ketika di belakang sana Reya memegang pisau dapur dan berjalan ke arahnya. Megin terus menggeleng.

"Reya. Sadar, Re! Jangan lakuin itu, Reya!"

"Mati lo Megin! Matiiiii!"

"Reyaaa!" jerit Megin ketika Reya berlari ke arahnya dan siap untuk menusuk. Megin tidak bisa berlari dengan cepat. Ia terus menggerat kakinya sekuat tenaga sambil melihat ke belakang dengan perasaan takut bukan main.

Apa semuanya akan selesai di sini?

Megin tidak tahu lagi apa yang akan terjadi jika saja tidak ada seseorang yang menariknya ke belakang tubuh yang lebih besar dan tinggi darinya itu.

Suara pisau terlempar jauh terdengar. Megin membulatkan matanya mendapati Madhavi ada di depannya dan darah segar menetes ke lantai.

"Madhavi!" kaget Megin bukan main. Matanya memerah ketika melihat tangan Madhavi tergores pisau sampai mengeluarkan darah.

"Ada apa ini? Reya apa yang kamu lakukan?" Randi pulang. Ia melihat keadaan rumahnya yang begitu tegang, lalu menatap Reya tajam ketika melihat Madhavi terluka.

Tak elak, Reya pun terkejut. Ia melihat pisau yang terpental jauh karena Madhavi dan melihat Madhavi yang ada di depannya dengan luka di tangan. Mulutnya menganga tidak percaya.

"Reya! Gila kamu?" Dengan langkah cepat Randi menarik tangan Reya dan memasukkannya ke kamar.

"Lo nggak papa?" Di depan sana Madhavi membalik tubuhnya dan bertanya. Ia melihat tubuh Megin dari atas sampai bawah untuk memastikan.

"Lo yang kenapa-kenapa, Madhavi!" jawab Megin cukup khawatir. Ia melihat telapak tangan Madhavi dengan mata berair.

"Kalo lo sampai mati gimana?" Mendengar itu Madhavi terkekeh.

"Jadi, khawatir nih?" tanya Madhavi.

"Ya khawatir lah!" jawab Megin ngegas.

Lagi-lagi Madhavi terkekeh. Baru pernah Megin khawatir padanya dan Madhavi bahagia.

"Apa gue harus terluka biar lo peduli sama gue?"

"Ngomongnya dijaga!" kesal Megin. Ia menarik tangan Madhavi dan membawanya keluar. "Tunggu sebentar."

Megin kembali masuk dan mencari kotak P3K. Ia buru-buru keluar dan mengobati luka Madhavi. Madhavi hanya memperhatikan dengan senang.

"Kenapa senyum-senyum? Apa nggak sakit? Darahnya banyak banget gue takut lo pingsan. Kalo mati gimana?"

"Gue nggak akan mati, kan kita belum nikah."

"Madhavi, serius!"

"Gue serius banget!"

"Ishhhh!" Melihat Megin kesal, Madhavi jadi gemas sendiri. Ia mengacak puncak kepalanya lembut dengan tangannya yang tidak terluka.

"Untung kameranya dipasang. Kalo nggak gue nggak tau apa yang bakal terjadi. Setelah Reya maksa lo keluar beli mie, gue langsung pergi ke sini. Gue takut dia bakal macem-macem dan bener, Reya emang gila. Lo nggak papa, kan? Mana yang sakit? Mana? Mana?"

Megin menghentikan aksi Madhavi yang terus meneliti tubuhnya dengan membingkai wajahnya lembut. "Gue nggak papa, okey?"

"Gue liat Reya numpahin mie ke badan lo! Gue harus bawa lo ke rumah sakit!"

"Madhavi! Nggak usah! Pake salep cukup!"

"Ya udah entar gue beliin salepnya. Malam ini lo tinggal sama gue di apartemen. Gue nggak mau tau! Gue takut Reya kayak setan lagi entar. Gue bakal izin sama om lo dan gue janji nggak akan ngapa-ngapain lo. Janji! Oke?"

Megin mengangguk, jujur ia masih takut. Tangannya masih terasa perih karena terkena panci yang panas. Bahunya juga sama. Reya kali ini benar-benar sangat gila.

Madhavi sangat khawatir. Ia memegang tangan Megin dan melihat luka memerah di sana bekas memegang panci panas tadi.

"Gue bakal lakuin apa pun asal lo baik-baik aja. Jangan hilang dari hidup gue, ya, Gin, atau gue bakal hancur."

To be continued

Kayak dejavu. Gibran juga pernah bilang gitu ke Megin.

Tapi, ah, sudahlah. Kalo Madhavi nasibnya bakal kayak apa ya?

Percaya gak kalo Madhavi beneran cinta sama Megin?

Kira-kira ada potensi nyakitin lagi gak?

Madhavi tipe cinta mati, kek bapaknya. Emang bener buah gak jatuh jauh dari pohonnya. Sayangnya takdir gak ada yang tau. Ini bakal kayak gimana ya? Apa nasibnya bakal sama kayak bapaknya?

Kalo mereka nikah pake adat apa ya cocoknya?

HAHAHAHA

Spam next sebanyak-banyaknya di sini!

Spam 👽 sebanyak banyaknya di sini!

Follow Instagram
@anflowdise
@wattpadidol

Gue lagi gak sehat. Doain gw cepet sembuh ya :)

Makasih udah baca.

Jaga kesehatan!

See you next chapter ❥

Flow
31-03-2022

Continue Reading

You'll Also Like

5.7M 243K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
Early By Kei_naa

Teen Fiction

419 62 37
bulir air mata ku tak tertahan saat mengetahui semuanya. kau yang selalu menganggap ku berharga yang nyatanya terlihat tidak sama sekali di mata ku. ...
LIES [Revisi] By jh

Teen Fiction

189K 12.5K 51
🚨Disclaimer🚨 • Masih jauh dari kata sempurna. • Sedang proses revisi 🙆‍♀️🙆‍♀️🙆‍♀️ Dua tahun berada di dalam hubungan toxic,membuat Vanya trauma...
588 59 36
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] Bukan cerita tentang percintaan mulus yang berawal dari persahabatan, tetapi jalan hidup Anela yang menjadi rumit karena ula...