His Promises

By preciouspearls

402K 41.5K 2.1K

"Pernah gak sih kamu berfikir atau ngerasa kayak gitu? Ngebayangin kalau dunia kamu aneh dan kosong kalau gak... More

Acknowledge
BAB 1
BAB 2
BAB 3
BAB 4
BAB 5
BAB 6
BAB 7
BAB 8 - Bali part 1
BAB 9 - Bali Part 2
Intermezzo
BAB 10 - Bali part 3
Bab 11 - Bali part 4
Bab 12 - Bali Part 5
BAB 13 - Bali Part 6
BAB 14
BAB 15
BAB 16
BAB 17
BAB 18
BAB 19
BAB 20
BAB 21
BAB 22
BAB 23
BAB 24
BAB 25
BAB 26
BAB 27
BAB 28
BAB 29
BAB 30 - END
Additional Part

Additional Part 2

12.6K 1.1K 125
By preciouspearls

4255 words. Enjoy! 😉

~||~

Sudah hampir satu minggu kota Jakarta di guyur hujan setiap pagi dan malam. Membuat kemacetan di saat berangkat dan pulang kerja. Shafira frustasi. Perempuan itu sudah hampir dua minggu ini lembur. Walaupun dia tidak perlu lagi bekerja di hari Sabtu karena pada akhirnya Shafira berani untuk menolak permintaan atasannya itu dengan dalih bahwa suaminya marah. Tetapi kini hampir setiap hari dia baru keluar kantor pukul 8 malam dan apabila Ayah mertuanya sedang ada di kantor, Shafira memanfaatkan situasi untuk 'kabur' jam 6 sore.

            Hingga saat ini Shafira masih tidak mengerti kenapa dirinya harus selalu lembur padahal menurutnya tidak ada pekerjaan deadline yang harus mereka kerjaan. Well, Shafira memang sedang mengerjakan majalah kantor yang setiap dua bulan sekali terbit dan annual report. Namun, pekerjaan itu tidak harus di kerjakan terburu-buru karena pekerjaan Shafira masih berjalan sesuai jadwal yang telah di sepakati. Tidak terlambat tetapi malah terlalu cepat.

            "Hari ini kalau bisa gak usah lembur, ya? Kamu keliatan capek banget. Harusnya izin aja." ujar Revaldo. Saat ini mereka sedang berada di dalam mobil. Revaldo akan mengantar Shafira kerja kemudian baru menuju restorannya.

            Shafira menganggukan kepalanya. Dirinya juga berencana untuk kabur saat jam pulang kerja. Hal yang ingin dirinya lakukan adalah tidur panjang di kasurnya.  

            Shafira merasa sudah berada di titik terlelahnya. Dia bahkan sempat menangis selama tiga hari berturut-turut di toilet kantor saking frustasinya. Dia sudah muak merevisi isi majalah kantor dan annual book yang tidak pernah selesai itu. Merevisi hal yang menurutnya tidak perlu di revisi, mengulang tulisan yang sudah sempat di tulisnya beberapa hari lalu karena bu Ita pada akhirnya lebih memilih tulisan Shafira yang lama dari pada hasil revisi ke empatnya. Ditambah komentar Amelia yang menyudutkannya mengenai hasil editan foto yang dilakukannya secara otodidak.  Membuat Shafira merasa berada di dalam wormhole with no way out.

            Dirinya tidak paham apa yang terjadi pada bu Ita hingga perempuan paruh baya itu kini selalu mengkritik hasil kerjanya habis-habisan tanpa menjelaskan apa maunya dan bagian mana yang harus Shafira ubah.

            "Kalau aku resign gimana ya?" Shafira bergumam. Lebih kepada diri sendiri.

            Revaldo melirik Shafira. "Gimana apanya? Ya gak gimana-gimana." sahut Revaldo bingung.

            Shafira menghela nafas panjang. Matanya memanas, dirinya berdeham. "Aku bingung."

            "Aku lebih bingung, sayang." ujar Revaldo tidak mengerti kemana arah pembicaraan mereka. "Kalau kamu mau resign ya resign aja. aku gak masalah kok, malah seneng. Tapi kamu mau kerja lagi atau mau dirumah aja? kalau dirumah aja kamu bosen gak?"

            "Iya makanya aku bingung." Shafira melemparkan pandangannya kearah jendela yang tertutup embun karena diluar sana hujan.

            "Kamu kenapa mau resign? capek ya?" Revaldo mengusap kepala Shafira dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya memegang stir mobil walaupun mobil mereka dalam keadaan berhenti karena lampu merah.

             "Kalau capek doang, istirahat juga udah selesai." Sahut Shafira pelan. Dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menangis walaupun tangisannya sudah berada di ujung lehernya. "Aku.... Apa ya.... Aku suka kerjaan aku. Aku nyaman sama orang kantor aku.. tapi... gimana ya.. aku juga masih bingung mau aku apa."

            "Coba kamu ambil cuti dulu seminggu ini. Aku rasa kamu memang lagi capek aja, bosen sama kerjaan kamu. harus refreshing." Hibur Revaldo. "Kalau kamu nyaman gak kerja selama seminggu itu dan niat resignnya semakin tinggi, silahkan resign. Tapi kalau ternyata kamu masih kangen kerja, ya di lanjut. Pokoknya aku gak mau kamu kerja karena terpaksa. Gak ada yang maksa kamu kerja. Saat ini kamu kerja cuma buat ngisi waktu kamu dan kalaupun kamu resign pasti nanti kamu akan nemuin kegiatan yang bikin kamu gak bosen. Jadi santai aja. Gak ada yang ngejar-ngejar kamu dan nyuruh kamu untuk kerja atau gak kerja." ucap Revaldo tegas namun santai.

            Shafira menganggukan kepalanya. "Oke." Perempuan itu tersenyum pada Revaldo dan laki-laki itu mengacak-acak rambut Shafira.

~||~

            Niat Shafira untuk cuti kandas karena besok paginya perempuan itu memang tidak kerja, tetapi bukan karena cuti. Melainkan karena dirinya demam. Revaldo memaksanya untuk ke rumah sakit tetapi Shafira menolak dan meyakinkan Revaldo bahwa dirinya akan sembuh setelah istirahat dan minum paracetamol yang di beli laki-laki itu di apotik 24 jam.

            Atas bantuan ayah mertuanya, Shafira mendapat jatah libur 3 hari dengan surat dokter yang sudah dikirimkan ke kantor. Shafira bahkan sudah tidak peduli akan di anggap sakit atau absen di dalam system HRD kantor. Dirinya pun sudah mengirim chat kepada bu Ita untuk izin sakit dan tidak lagi membaca balasan dari atasannya itu.

            Selama dua hari di apartemen, Shafira hampir menghabiskan harinya di tempat tidur dan ke kamar mandi. Revaldo pun hanya ke restoran di pagi hari setelah membuatkan sarapan untuk Shafira dan memastikan istrinya minum obat kemudian kembali ke apartemen di jam makan siang.

            Ponselnya yang sudah dua hari di abaikannya itu berdering berkali-kali hari ini. Dengan malas Shafira mengambil ponselnya dan nama bu Ita tertera di layar ponselnya. Benaknya berkecamuk. Otaknya menyuruhnya untuk mengabaikan panggilan itu, tetapi hatinya meminta untuk mengangkatnya karena walau bagaimanapun Shafira masih memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya.

            Shafira menghela nafas. Otaknya mengalah. Perempuan itu akhirnya mengangkat telepon itu.

            "Hallo," ucapnya dengan suara serak.

            "Hallo, fir. Kamu apa kabar? Udah sehat?"

            "Udah lumayan bu. Ada apa ya?" tanya Shafira langsung to the point.

            "Syukurlah. Fir, kamu kira-kira besok bisa masuk gak? Saya tau kamu dapet 3 hari buat istirahat dari dokter. Tapi saya perlu kamu jam 10 pagi besok."

            "Memangnya ada apa ya bu?"

            "Saya mau minta kamu ke kantor Mercedes benz, ketemu sama managing directornya untuk wawancara. Inget kan saya pernah bilang goals divisi corcomm itu bisa wawancara managing director Mercedes benz karena kita terpilih untuk ngurusin advertising mobil baru mereka di Indonesia? Nah ini kesempatan kita Fir. Dan kalau besok kita gak bisa wawancara, saya gak tau lagi kapan dia available."

            "Memang Amelia gak bisa bu?" tanya Shafira pelan. Shafira merasa mewawancarai seorang executive dengan kondisinya yang tidak prima bukanlah pilihan yang tepat.

            "Fir, Amel kan masih junior staff. Saya belum bisa ngasih tugas ini ke dia, apalagi ini eksklusif banget."

            "Ibu ikut saya juga?" tanya Shafira yang sebetulnya ingin menanyakan kenapa tidak atasannya saja yang bertemu dengan managing director Mercedes benz itu. Shafira tidak mengerti kenapa harus dirinya yang pergi karena walaupun pernah mewawancarai beberapa pejabat perusahaan yang bekerja sama dengan mereka untuk majalah kantor, tetapi Shafira juga belum pernah mewawancarai seorang pejabat perusahaan secara formal dan langsung. Yang biasa Shafira lakukan adalah mewawancarai mereka saat event mereka di adakan, atau produk mereka di luncurkan.

            "Nah itu dia, Fir. Saya juga gak bisa. Saya ada undangan pertemuan perwakilan advertising agency di kuningan bareng anak sales."

            Shafira mengerutkan keningnya. "Jadi saya pergi sendiri ya bu? kalau gitu Amel ikut saya aja bu, sekalian dia belajar." Ujar Shafira mulai paham maksud dan tujuan bu Ita memaksanya untuk kerja.

            "Amel ikut saya, Fir. Disana juga ada beberapa media yang dateng jadi saya mau kenalin Amel ke mereka supaya koneksinya makin luas."

            Akhirnya, Shafira mengerti juga.

            "Kamu pakai mobil kantor aja, Fir. minta jemput dari rumah kamu dan abis wawancara kamu bisa langsung pulang."

            Shafira menggigit bibirnya. Perempuan itu dilemma antara menolak pekerjaan itu atau menerimanya. Menurut hatinya, tentu saja dia harus menerimanya. Selain merasa memiliki tanggung jawab atas pekerjaan, Shafira juga tidak mengelak bahwa tawaran wawancara dengan managing director Mercedes benz adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang dua kali. Dan tentu saja, sebagai seorang pekerja yang berada di dunia komunikasi, ngobrol dengan eksekutif dari brand mobil kelas atas itu akan menjadi nilai tambah untuk dirinya.

            "Oke deh bu. Saya bisa. Untuk isi pertanyaan-pertanyaannya gimana ya?"

            "Nanti saya kirim by email ya, Fir. maaf banget ya Fir ganggu istirahat kamu. Semoga kamu cepet sehat ya. Salam sama suami kamu." kemudian bu Ita menutup teleponnya.

            Shafira membeku di tempat. Bagaimana dia bisa lupa bahwa kini dirinya sudah bersuami. Shafira lupa bahwa kini dia tidak bisa hanya membuat keputusan sendiri, tetapi Revaldo pun memiliki hak untuk mengeluarkan keputusannya. Terlebih laki-laki itu adalah imamnya, kepala keluarganya.

            Perempuan itu memejamkan matanya dengan lemas. Berharap bahwa Revaldo tidak marah dengan keputusannya untuk bekerja besok. Toh, Cuma setengah hari. Setelah itu dia bisa langsung pulang.

~||~

            "What the hell were you thinking ?" Yep, tentu saja Revaldo marah. Suami Shafira itu marah besar begitu Shafira memberitahu bahwa dirinya akan bekerja besok. Revaldo bahkan sudah hampir menghubungi ayahnya seandainya Shafira tidak merebut ponselnya.

            "Cuma setengah hari aja. habis itu aku langsung pulang, janji." Ucap Shafira pelan. "Aku juga udah nggak lemes banget. Demamnya juga udah hilang kok. Udah gak pusing juga." tambahnya sambil menundukan kepala. Enggan menatap Revaldo yang sedari tadi mondar-mandir di dalam kamar mereka.

            Revaldo menatap Shafira dan menyilangkan keduatangannya di dada. "Terus sekarang kamu ngapain buka laptop? Besok kerja berarti istirahat dari sekarang."

            "Ini bu Ita kasih list pertanyaan, tapi ternyata Cuma penjelasan aja. jadi aku lagi bikin list biar besok gampang." Jelas Shafira yang memang sedang duduk bersila diatas Kasur dengan laptop dipangkuannya.

            "Something is wrong with your boss. Masa orang sakit di suruh kerja. Maksa pula." Desis Revaldo. "Aku telepon ayah ya? Dia kenal kok managing director nya mercy. Aku minta buat di reschedule aja."

            Shafira menatap Revaldo. "Please jangan. Aku gak mau manfaatin ayah, atau posisi aku di keluarga kamu. Biarin aja begini dulu. Kalau dia udah keterlaluan baru kamu boleh bilang sama ayah."

            "Fine." Revaldo mendengus kesal. "Tapi kalau sampai kamu drop lagi setelah besok kerja, aku bener-bener bakal kasih tau ayah semuanya. Biar ayah bisa cek ada apa sama atasan kamu itu."

            Setelah mengomel panjang lebar, Revaldo keluar dari kamar. Menghindari Shafira saat emosi adalah salah satu hal yang selalu dilakukan Revaldo. Dirinya tidak ingin mengucapkan kata-kata yang nanti nya akan melukai Shafira. Perempuan itu hanyalah seorang pegawai yang loyal, masih berjiwa ambisius karena umurnya masih muda sehingga Revaldo tidak heran melihat Shafira merelakan waktu istirahatnya untuk bekerja. Hal tersebut memang bagus di mata perusahaan. Walaupun begitu, apabila terjadi sesuatu pada Shafira, perusahaan tidak akan merasa kehilangan sebab mereka bisa segera mendapatkan gantinya.

            Lucky him, Shafira bekerja dibawah naungan ayahnya, keluarganya. Sehingga Revaldo dengan mudah mengetahui, dan mengontrol  kegiatan Shafira di dalam sana serta mencari tahu dengan mudah informasi mengenai orang-orang yang bekerja dengan Shafira. Revaldo hanya ingin Shafira memiliki batas dimana dia harus membuat garis antara kehidupan pribadinya dengan pekerjaannya dan mana prioritas di hidupnya. Dari sejak Shafira bercerita mengenai keadaan di kantornya, Revaldo masih menunggu dan melihat dimana Shafira akan menarik garis. Karena apabila Shafira masih berdiam diri, mau tidak mau, Revaldo yang akan bergerak untuk membuat batasan. walaupun itu artinya Shafira harus resign dari kantornya.

~||~

            Pukul 12 siang Shafira keluar dari kantor Mercedes benz di daerah Simatupang, Jakarta Selatan. Seperti perkiraan Shafira, supir yang mengantarnya ke kantor Mercedes benz adalah supir kantor yang di gunakan ayah mertuanya. Mengingat Revaldo mengizinkannya untuk pergi, pasti suaminya itu yang meminta secara langsung agar di antar oleh pak Yanto. Mobil yang digunakan pun mobil kantor milik ayah mertuanya. Sebuah mercedez benz C- class yang memang sudah ada sejak pertama kali Shafira bekerja. Shafira sebetulnya ingin menolak untuk diantar pak Yanto tapi mengingat Revaldo masih kesal padanya, Shafira pun mengurungkan niatnya untuk menolak.

            "Langsung pulang, bu?" tanya pak Yanto setelah Shafira masuk ke dalam mobil.

            Shafira meringis, pak Yanto pasti sudah di titah oleh Revaldo untuk segera membawanya pulang setelah selesai meeting.

            "Iya pak, langsung pulang. Mampir ke starbucks dulu ya pak." Pinta Shafira begitu membayangkan ice signature chocolate di hari yang terik ini.

            "Starbucks mana, bu?" tanya Pak Yanto.

            "Di mana aja pak. Kalau bisa yang searah pulang ya." Sahut Shafira seraya menyandarkan tubuhnya pada kursi.           

            Setelah semuanya selesai dan adrenaline nya perlahan menghilang, Shafira akhirnya merasakan bahwa tubuhnya lemas sekali. Tubuhnya seperti melayang dan kepalanya pusing. Shafira pernah merasakan hal ini sebelumnya. Gejala typus dan demam berdarah. Mengharuskan Shafira berdiam di rumah sakit hampir satu minggu. Semoga kali ini tidak terjadi lagi.

            "Pak saya tidur sebentar. Kalau udah sampai starbucksnya bangunin ya." Setelah mendapatkan respon dari pak Yanto, Shafira pun memejamkan matanya. Berharap ketika dirinya bangun, tubuhnya bisa lebih fresh.

~||~

            Hal pertama yang dilihat Shafira ketika membuka mata adalah wajah Revaldo yang duduk disampingnya. Mata laki-laki itu terlihat sayu dan redup namun berkilau begitu tatapan mereka bertemu.

            "Thank God." Desah Revaldo penuh syukur begitu melihat Shafira membuat matanya.

            "Aku di gendong ke apartemen sama kamu? apa sama pak Yanto?" tanya Shafira heran karena dirinya sudah ada di atas sebuah Kasur.

            Revaldo menggelengkan kepalanya. "Coba liat lagi." ucapnya pelan.

            Dengan kening mengkerut, Shafira melihat sekelilingnya yang memang terasa asing kemudian melihat ke arah tangannya yang berat. Tangan kanannya di genggam oleh Revaldo, sedangkan tangan kirinya terlilit jarum infus.

            "Kenapa?" tanya Shafira bingung. Sudah berapa kali dia terbangun dan berada di rumah sakit ? dua kali? tiga kali? ugh.

            Revaldo mengusap kepala Shafira. "Pak Yanto telepon dan panik, dia bilang gak bisa bangunin kamu. dia sempet pegang tangan kamu untuk cek nadi dan pak Yanto bilang kamu demam tinggi dan dia mutusin buat bawa kamu ke UGD Siloam. Rumah sakit paling dekat sama kalian." Jelas Revaldo.

            Shafira berfikir, mencoba mengingat apa yang terjadi dengannya namun hal terakhir yang di ingatnya adalah dia tertidur di mobil dan meminta pak Yanto untuk membangunkannya.

            "Aku tidur." Gumam Shafira pelan.

            Revaldo mendesah. "Don't do that to me ever again. I nearly had a heart attack." bisik Revaldo pelan namun tegas. "Aku bahkan minta Dimas buat anter aku ke sini karena aku gak bisa nyetir sendiri. Can you imagine that? Dapat telepon dari supir yang anter istriku, bilang dia gak bisa bangunin istriku dan sampai harus cek nadi, Fir."

            Shafira terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. "I'm sorry." Ucap Shafira pelan. "Aku gak ada niat sama sekali buat takutin kamu."

            "I know." sahut Revaldo.

            "Udah berapa kali kamu visit aku di rumah sakit?" tanya Shafira sambil tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana.

            "Dua kali. pertama waktu kamu sakit typus dan aku ajak kamu untuk tinggal di Bali. Pertama kali bilang kalau aku sayang sama kamu. kedua waktu kamu infeksi, dan aku nikahin kamu di rumah sakit."

            Shafira benar-benar tertawa kali ini. "Ada apa dengan kita dan rumah sakit ya?" tanyanya membuat akhirnya Revaldo tertawa kecil. Tubuh laki-laki itu akhirnya lebih rileks.

            "I have no idea." Revaldo menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

            "Semoga ini kali terakhir aku di rumah sakit."

            "I don't think so."

            Shafira mengerutkan keningnya. "Kenapa?" tanyanya heran. "Apa aku ada sakit yang lain? aku sakit apa sih? Bukannya tipes ya? Aku udah feeling typus kok. sakitnya sama kayak waktu dulu." ucap Shafira bertubi-tubi. Kini perempuan itu panik. pikiran-pikiran negative bermunculan di kepalanya dan semuanya terisi nama-nama penyakit mematikan.

            "Hey, hey, rileks. Maksud ku bukan hal buruk. Kamu gak apa-apa. Cuma kecapekan aja. Hasil darah kamu gak nunjukin DBD atau typus." Jelas Revaldo mencoba menenangkan Shafira.

            "Terus kok aku ada diruang inap bukan di UGD?" tanya Shafira heran.

            "Iya kamu perlu bedrest. Besok boleh pulang tapi di rumah harus bedrest satu minggu." Ujar Revaldo. "Aku udah bilang sama ayah. Everything is under control. Kamu gak perlu mikir apa-apa lagi. terutama kerjaan atau atasan kamu. aku udah pastiin dia gak ganggu kamu seminggu ini." tambahnya.

            "What is wrong with me?" tanya Shafira bingung. Perempuan itu merubah posisi tidurnya menjadi duduk, membuat Revaldo akhirnya memilih duduk berhadapan dengan Shafira.

            Revaldo mengelus kepala Shafira dengan sayang. "You have a bun in the oven."

            Shafira mengerutkan keningnya. "Hah? Bun in the oven? Roti di oven? Rot— Astaga." Begitu paham maksud Revaldo, tangan kanan Shafira refleks memegang perutnya kemudian menatap Revaldo yang tersenyum lebar.

            "Are you ready ?" bisik Revaldo tidak bisa menutupi senyum lebarnya. Tangan kanannya merayap mengusap pelan perut Shafira.

            "Are you?"

            "I am."

            Shafira tersenyum. "So do I."

            Revaldo segera menarik Shafira ke dalam pelukannya. "Jaga diri baik-baik. Jaga Kesehatan, jaga makan kamu, ya. Aku mau kamu— kalian berdua sehat. Oke?"

            Shafira menganggukan kepalanya didalam pelukan Revaldo. "Hari ini aku hampir kena serangan jantung tiga kali. pertama dengar kamu pingsan, kedua pas dokter bilang hormone HCG kamu tinggi dan kemungkinan besar kamu lagi hamil."

            "Dia baik-baik aja?" tanya Shafira begitu melepaskan pelukannya dan mengelus pelan perutnya yang masih terlihat rata.

            "Baik-baik aja. aku minta dokter cek usg untuk make sure semuanya. Sorry gak nunggu kamu bangun." Ucap Revaldo. "This little bean, umurnya baru 7 minggu, dan waktu usg ternyata udah bisa dengar detak jantungnya. Dan itu ketiga kalinya aku hampir kena serangan jantung."

            Shafira tertawa kecil. "Selama dia baik-baik aja, aku gak masalah." Shafira mendesah lega. Dia tidak peduli bahwa Revaldo yang pertama kali mendengar detak jantung anak mereka selama dia baik-baik saja.

            "Kamu harus tiduran lagi. dokter bilang kamu kecapekan banget, kandungan kamu agak lemah tapi setelah bedrest harusnya gak ada masalah. Nanti kamu bakalan dapet beberapa obat dan vitamin." Jelas Revaldo seraya membantu Shafira untuk tiduran kembali.

            "I guess this little bean change everything." Ucap Shafira.

            "Oh ya?"         

            Shafira menganggukan kepalanya. "Kayaknya aku mau resign aja."

            "Kamu yakin?"

            "Iya. Nanti setelah aku masuk, aku akan ngomong sama bu Ita. One month notice tapi mau abisin cuti juga. Jadi mungkin cuma dua minggu aja aku masih kerja setelah pengajuan resign."

            "Kamu bener-bener udah yakin?" tanya Revaldo agak tidak percaya. "Kata dokter gak apa-apa kalau kamu masih mau kerja selama kamu jaga kesehatan dan nggak kecapekan."

            "Iya aku yakin, kok. Ini bukan masalah aku kecapekan kerja atau gimana. I love my job, I love my friend there tapi aku udah gak bisa kerja lagi sama bu Ita. Lingkungan divisiku udah gak baik untuk aku sendiri. Aku takut kalau masih ada disana bisa pengaruhin perkembangan anak aku. Jadi lebih baik aku mundur aja. kalau memang rejeki aku bisa kerja lagi, kalau belum ada ya aku dirumah aja. gak apa-apa kan?"

            Revaldo mengelus pipi Shafira. "Of course it's okay. Kalau kamu bosen, kamu selalu bisa ikut aku ke restoran."

            Shafira merasa lega. Lega karena dia memiliki alasan besar untuk berhenti bekerja. Bukan karena tidak tahan bekerja dengan bu Ita, bukan karena Amelia yang selalu menjadi anak kesayangan bu Ita, tetapi karena Shafira ini menikmati masa kehamilannya dengan tenang dan hal itu hanya bisa dia dapatkan dengan menjauh dari bu Ita dan Amelia.

            "As long as you're happy, I'm happy." Ucap Revaldo. "Happy wife, happy life."

            Shafira tertawa dan mengulurkan kedua tangannya. Meminta Revaldo untuk memeluknya. "I love you."

            Revaldo tertawa dan mengeratkan pelukannya. Tidak meyangka Shafira yang pertama akan mengucapkan tiga kata itu. "You do know I love you more."

~||~

            Hampir 2 minggu Shafira meninggalkan kantor. Begitu masuk kembali, dirinya merasa asing. Shafira sudah merasa tidak memiliki ikatan dengan kantor itu lagi. Entah karena dirinya sudah berniat untuk resign atau memang karena Shafira sudah lama tidak masuk kantor. Tetapi yang pasti saat dirinya duduk di kursi meja kerjanya, Shafira semakin yakin untuk resign. Dia tidak pernah seyakin ini sebelumnya.

            Shafira pun sudah mengajukan resign kepada bu Ita di hari ke lima di masuk kerja setelah bedrest. Namun yang orang kantornya tahu adalah Shafira tidak masuk karena sakit, bukan bedrest karena sedang hamil. Shafira tidak ingin orang kantor mengetahuinya jadi dia meminta ayah mertuanya untuk merahasiakannya.

            Jumat sore ini, Shafira berniat untuk ke Noire bersama dengan ayah mertuanya. Mereka akan makan malam bersama. Merayakan kehamilan Shafira sekaligus bersilaturahmi karena orang tua Shafira juga akan ada disana. Mereka akan menginap di apartemen Revaldo dan pulang di hari Minggu.

            "Sehat-sehat ya, Fir." ucap Anjani saat mereka berpapasan di depan pintu masuk kantor.

            Shafira melotot. "Ayah bilang ya?"

            Anjani menganggukan kepalanya sambil tertawa. "Mana bisa dia gak cerita. Happy banget si bapak."

            Shafira tertawa. "Iya happy banget." Sahutnya. "Makasih ya bu."

            "Nikmatin masanya. Gak kerja juga gak apa-apa. jadi kamu bisa fokus cari kegiatan yang bisa bantu perkembangan si beany." Bisik Anjani menyebut nama panggilan dari ayah Revaldo untuk anak yang berada di perutnya.

            Shafira menganggukan kepalanya. hingga saat ini tidak ada satupun orang kantor yang mencurigai alasan Shafira untuk resign. Hal terakhir yang diinginkannya adalah dirinya di gosipkan tidak akur dengan bu Anjani atau Amelia. Dia ingin keluar dari kantor ayah mertuanya dengan perasaan tenang tanpa masalah. Selain itu, juga untuk menjaga nama baik ayah mertuanya.

            "Jadi pulang bareng bapak?"

            "Jadi, bu. Biar suami gak perlu jemput. Jauh kasian macet."

            "Bapak dari ruang meeting atas langsung ke lobi. Kamu mau tunggu di lobi apa di dalem kantor?"

            "Di lobi aja. pak Yanto juga lagi jalan dari basement." Ucap Shafira.

            "Ya udah, aku mau selesain laporan meeting biar senin gak panik pagi-pagi." Ujar Anjani membuat Shafira tertawa.

            Setelah berpamitan pada Anjani, Shafira segera berjalan keluar dan berpapasan dengan ayah mertuanya. Mereka kemudian menaiki lift untuk menuju lobi gedung kantor yang mereka gunakan itu.          

            "Si Shafira itu sering banget sakit. Kemarin yang paling parah sih. Abis izin sakit eh tiba-tiba minta resign. Gak bertanggung jawab itu namanya. Kamu jangan kayak gitu ya, Mel. Mentang-mentang menantu yang punya perusahaan jadi seenaknya." Suara yang amat sangat familiar di telinga Shafira membuat perempuan itu kaget mendengar semua ucapannya. "Kinerja dia juga menurun. Bukannya membaik karena ada nama yang harus dia jaga, malah ngedrop gitu."

            "Mungkin load kerjaan yang di kasih ibu kebanyakan buat dia," sahut Amelia.

            "Justru ringan lah. Kan ada kamu jadi di bagi dua. Dia nya aja kerja gak bisa under pressure. Aku pressure dikit aja langsung sakit. Sejak jadi menantu pak Herman jadi manja begitu dia."

            "Ibu gak takut nanti dia ngadu ke pak Herman kalau ternyata dia ngerasa di tekan sama ibu ?"

            "Ya liat aja. kalau dia ngadu berarti dia gak professional lah. Kerjaan sama kehidupan pribadi di campur."

            Shafira secara refleks menahan ayah mertuanya yang sudah ingin maju menghampiri bu Ita dan Amel yang berjalan di depan mereka kemudian turun menggunakan escalator menuju basement.

            "Keterlaluan. Ternyata dia sengaja bikin kamu kerja lembur." Geram pak Herman.

            "Udah, Yah gak usah di fikirin. Toh minggu depan minggu terakhir aku kerja sama dia." sahut Shafira mencoba menenangkan ayah mertuanya itu.

            "Tapi atasan seperti itu harus di tegur supaya gak begitu lagi sama bawahannya. Gimana kalau nanti dia begitu juga sama pengganti kamu? kasian orang yang mau growth jadi gak bisa."

            "Mungkin dia cuma sama aku aja bermasalahnya. Kalau misalnya dia begitu juga ke pengganti ku baru deh ayah mau ngapain dia bebas." Seru Shafira.

            "Aneh. Dia kayak gak tau siapa kamu loh itu."

            "Justru dia tau, yah. Makanya dia berani mincing aku. Kalau aku ngadu ya bener kata dia ketauan kalau aku gak bisa bedain lingkungan professional sama pribadi."

            "Ya nggak begitu juga. Perusahan juga perlu tau gimana superior memperlakukan bawahannya. Makanya setiap tahun ada evaluasi. Tapi ternyata susah juga buat staff untuk jujur karena biasanya mereka gak mau bermasalah sama atasannya nanti. Ya kayak kamu ini."

            Shafira tertawa. "Beda dong, yah. Kalau aku ngadu, orang ngeliatnya lain. Antara percaya sama aku tau aku cuma cari perhatian ayah aja."

            Pak Herman menggelengkan kepalanya. "Kadang-kadang kok lebih capek ngurusin pegawai sendiri dari pada ngurusin bisnisnya." Gerutu Pak Herman membuat Shafira tertawa.

~||~

            "Hey baby mama." Sapa Revaldo saat laki-laki itu membuka pintu mobil yang terparkir di depan Noire. Ayahnya yang mendengar hal itu hanya menggelengkan kepalanya dan meninggalkan kedua sejoli itu untuk masuk terlebih dahulu ke dalam restoran.

            Shafira tertawa. "Ih apa sih! Malu."

            "Loh kok malu? Aneh." Revaldo menggelengkan kepalanya.

            "Belum keliatan ini." Shafira menunjukan perutnya.

            "Ya nggak apa-apa. kan bukan bohong juga."

            Shafira mengedikan bahunya. "Terserah kamu aja deh." Ucapnya. "Mama papa udah dateng?"

            "Belum." Sahut Revaldo. "How's work today?"

            "Fine."

            "Just fine?"

            "Iya. Gak ada masalah apa-apa. gak ada kerjaan yang bikin stress juga."

            "Tetep mau resign?" tanya Revaldo.

            Shafira menganggukan kepalanya. "Makin yakin malah."

            "Good." Revaldo mengangguk puas. "Besok kita ke Cilandak ya."

            "Ngapain?"

            "Liat rumah."

            "Mau beli rumah?"

            Revaldo menggelengkan kepalanya. "Liat rumah sekalian ketemuan sama design interior."

            Shafira berhenti berjalan dan menatap Revaldo. "Kamu udah beli rumah? Atau gimana? aku bingung."

            "Aku udah beli rumah itu sejak aku nikahin kamu. Dan selama ini lagi proses renovasi. Aku belum bilang sama kamu karena aku ngerasa waktunya belum tepat aja. Kemarin kita masih sama-sama kerja, masih nyaman tinggal di apartemen tengah kota dan kita juga belum ngobrol how or where we want to raise our kids. Tapi karena sekarang kamu udah resign dan ternyata ada beany, I think this is the time. We're moving to the house. More space, more room, build a good environment to raise our kids." Jelas Revaldo.

            Shafira tidak tahu kenapa dia menangis. Salahkan hormone kehamilannya. Namun semua ucapan Revaldo sangat menyentuh hatinya. Shafira adalah tipe orang yang sulit mengungkapkan isi hatinya, tetapi Revaldo adalah tipe orang yang lantang. Berbicara apa adanya dan tidak malu untuk mengungkapkan isi hatinya. Yang terkadang membuat Shafira sedih karena dirinya tidak bisa selantang itu.

            "Kok nangis sih? Apa kamu belum siap pindah ke rumah?" Revaldo menghapus air mata di pipi Shafira.

            Shafira menggelengkan kepalanya. "I'm just... I'm overwhelmed. Aku gak tahu kamu udah berfikir sampai kesana dari dulu."

            "It is called a plan dan kayaknya semua suami bakal mikir kayak gitu."

            "No. and you are different." Ucap Shafira. "You make me feel loved."

            Revaldo tertawa. "You should. You make me a better person."

            Shafira memeluk Revaldo erat dan laki-laki itu tertawa. Dia tahu bahwa Shafira tidak pandai untuk mengungkapkan perasaannya pada Revaldo dengan kata-kata. Tetapi perempuan itu lebih menunjukkannya. Contohnya seperti ini, dengan memeluk erat Revaldo di depan pintu masuk Noire.

            "I love you more, baby. And another baby." Ucap Revaldo membuat Shafira tertawa.

            "We love you too."

            Sekarang semuanya akan baik-baik saja. Apabila Shafira harus melewati kembali masalah yang dihadapinya kemarin untuk dapat merasakan kebahagiaan nya hari ini, akan dia lakukan kembali. Karena semua masalahnya terasa sepadan dengan kebahagiaan yang di rasakannya.

            She never give up. Thank God for that. And he keep his promises. Marrying her, makes her happy and won't let her feel alone. It's all worth it.

~||~

Aku berusaha untuk masukin semua endingnya disini supaya gak ada part2 selanjutnya lagi😂

Anw, kisah shafira dikantor, it's happened to me. Sedih banget harus ninggalin kerjaan yang aku suka, temen-temen kantor yang asik hanya karna 2 orang. Tapi aku putusin buat cabut demi kebaikan mental ku sendiri. Karna hampir selama 6 bulan aku di treat kayak staff bego gak bisa kerja apa-apa. Padahal bulan bulan sebelumnya kerjaanku okey dan KPI ku bagus. Aku gak tau salahku dimana, apakah personal ku menyinggung atasanku. I don't know.

Kalau di aku, si amelia ini lebih parah. We're friend from the beginning. Aku yang bantu dia menyesuaikan diri dikantor karna dia anak baru dan terakhir kerja di luar negeri. Hampir tiap hari pulang kerja kita nongkrong bareng. pulang bareng, friday night bareng hahaha. Curhat kerjaan tengah malem. We share everything, She was like a sister that I never had. Awalnya aku dan dia emang kurang suka sama atasanku, tapi dia jelek2in atasanku terus. endingnya jadi nempel dan selalu team up sm atasanku buat kritik kerjaku hahaha. Dia bahkan ngejelekin etnis nya sendiri krn kebetulan atasanku satu etnis sama dia. ujungnya jadi bestie.

sedih guys ditusuk dari belakang. Apalagi sama temen deket yang literally deket banget. We even share funny pic or vid on ig's dm every fckn day. Bayangin sakitnya kyk apa hahaha. Salahku juga yg terlalu deket sama temen kantor. But it was 2 years ago. Next time cari temen yang beda divisi atau beda kantor sekalian hahaha. Doain aku cepet dapet kerja lagi ya!

Hahha sorry ya jadi curhat. Well, hope you guys are doing okay and enjoy your day!

Xoxo
🤗💋

Continue Reading

You'll Also Like

103K 11.8K 27
Dua orang yang tak pernah akur, tiba-tiba saja selalu bersatu dalam sebuah kebetulan. Kebetulan yang tak hanya terjadi satu kali saja. Berkali-kali m...
197K 24.5K 31
Reuben Rasya Atmadja, bertahun-tahun mencintai Alia-sahabatnya. Dan dia berpura-pura ikut bahagia atas kebahagiaan sahabatnya yang sudah menjalin cin...
25.9K 1.8K 32
Gabriel Tirtanara selalu mendapatkan wanita-wanita tanpa banyak berusaha. Ikrar bilang, jika dia dan Edgar menyukai seorang wanita, maka lebih baik b...
11.8K 922 112
Bermula dari Maudi Betari Putri seorang mahasiswa tingkat akhir yang patah hati karena harus merelakan kekasihnya yang harus di jodohkan demi menerus...