[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

39. Kubangan Berdarah

22.1K 3.8K 8.1K
By tx421cph




Selamat Membaca


Pria itu berjalan sendirian di tengah-tengah rimbunnya pepohonan, saking rapatnya pohon-pohon itu hingga cahaya dari rembulan bahkan tak bisa menembus masuk sama sekali. Wajahnya terlihat sangat lesu, dia bahkan berjalan tanpa bantuan lampion, kakinya hanya terus berjalan mengikuti insting. Sesekali berjalan di atas aliran sungai kecil membuat ujung jubahnya basah.

Pandangan Jae Hyun nampak kosong, sebagian rambut panjangnya sesekali jatuh menutupi pandangan karena ia tak mengenakan ikat kepala seperti biasanya. Lalu helaan napas menguar dari mulutnya, ia ikat rambutnya dengan gerakan lemah, sedikit asal-asalan.

Wang Jin sudah mati.

Demi Tuhan, Seon Jae Hyun tidak ingin menginjakkan kakinya di istana.

Kematian Wang Jin membuat Wang Yeol begitu syok hingga pria itu sempat kesulitan bernapas setelah menuntut jawaban darinya, Jae Hyun tidak ingin Yeol tahu, tapi bagaimana Sang sulung benar-benar harus tahu semua yang telah terjadi di istana.

Wang Yeol sangat hancur, dia terus menangis tanpa henti dan terus memohon kepada Jae Hyun untuk melakukan sesuatu karena sadar dirinya yang lumpuh sungguh tak berdaya.

Tapi bahkan... Seon Jae Hyun sendiri tak bisa melakukan apapun, jangankan ia, ayahnya juga tak sanggup.

Ini baru permulaan, bukan? Sebentar lagi, akan ada begitu banyak orang yang mati. Sebentar lagi, korban akan terus berjatuhan tanpa henti.

Setelah Ye Hwa, Goryeo kini kehilangan salah satu Pangeran terhebat mereka. Wang Jin.

"Eiy Jae Hyun! Jangan diam saja dan melihat! Han terus memukuliku sejak tadi! Hentikan dia!"

"Jae Hyun sini! ayo main bola!"

"Hahaha boleh kan aku memanggil Jae Hyun? Tuan Seon terdengar terlalu kaku, kita kan sudah sangat akrab sejak aku baru lahir!"

"Aduh Jae Hyun! Bisakah sehari saja tidak perlu belajar?! Otakku ingin meledak!"

Tuan cendekiawan menundukkan kepalanya, dia berhenti di dekat sebuah genangan air yang terlihat bening, memantulkan bayangan dirinya yang nampak pucat.

Mendadak, kilas balik antara ia dan Wang Jin terus memutar tanpa henti di kepalanya.

"Jae Hyun, Panglima Hwang kenapa sangat kuat sekali? Aku ingin mengalahkannya tahu!"

"Hahaha kenapa anda ingin mengalahkan Panglima Hwang?"

"Jika Hwang Je No saja tidak bisa ku atasi, bagaimana aku bisa melindungi adik-adikku? Bukan hanya Yeol hyung yang wajib untuk melindungi kami tahu! Aku ini kakak kedua, aku merasa sangat malu, duh!"

Wang Jin tidak pernah berbohong jika dia sangat menyayangi adik-adiknya. Dia sama seperti Wang Yeol, hanya saja memang kelakuannya sedikit menyimpang hingga membuat semua orang geleng-geleng kepala.

"Aku merindukan Yeo Kyung dan Ye Hwa, bagaimana kabar mereka ya? Apakah mereka hidup bahagia sekarang?"

"Jangan khawatir Hwangja-nim, saya yakin para tuan putri telah menikahi pria yang tepat."

"Tepat ya, tapi Baek Min Ho itu sangat ketus, aku sudah berulang kali memarahinya untuk tidak berlaku dingin pada adikku! Lain kali, aku akan menghajarnya jika dia melakukan itu lagi, sungguh!"

"Haha, saya pikir Pangeran Baek Min Ho hanya sedikit malu."

"Min Ho dan Fei Yu sama saja, mereka pria kaku dan tidak ahli dalam menangani wanita."

"Lalu bagaimana dengan anda? Memangnya anda ahli dalam hal wanita?"

"Iya dong!"

"Yang benar?"

"Iya! Iya! Hanya saja aku belum menemukan wanita yang tepat sampai sekarang, doakan aku agar segera bertemu jodohku hahaha!"

Lagi dan lagi. Kenangan demi kenangan berputar di kepala Jae Hyun seiring dia terus berjalan mengikuti aliran sungai kecil. Beberapa kelinci liar bermata merah yang lewat bahkan tak ia gubris sedikit pun.

Lalu sejenak, langkahnya langsung terhenti. Dia berhenti di bawah sebuah batang pohon yang cukup besar, merasa kakinya tiba-tiba menjadi sedikit lemas, tangannya kemudian berpegangan pada batang pohon tersebut.

Dadanya terasa sangat sesak.

"Bisakah... kau memberikan surat ini kepada hyung-nim, Jae Hyun?"

"Hwangja-nim..."

"Dia... aman bersama Nona Oh Seong So, kan?"

"Mhm."

"Aku tidak akan menunggu balasan darinya," Sang putra Wang kedua nampak tersenyum, terlihat lebih teduh dan lembut, tidak berbinar dan ceria seperti biasanya. "Apapun reaksinya nanti, tolong jangan beritahu aku— jika bisa, kau pun jangan hadir. Tidak perlu, tidak perlu melihat aku mati, itu tidak penting, haha..."

"Hwangja-nim, anda— apakah... anda yakin?"

"Yakin tentang apa?" Jin memandangnya lagi, "yakin untuk memberontak dan melarikan diri? Lalu adik-adikku akan menjadi target pelampiasan atas pemberontakanku?"

Jae Hyun langsung bungkam seribu bahasa.

Pangeran Wang kedua menggeleng, "Jae Hyun, tidak akan ada lagi jalan keluar. Lagipula... semua ini berawal dariku, kan? Semuanya salahku, apa yang ku tanam, itulah yang akan ku tuai."

"Aku akan berbicara dengan Yang Mulia Raja, aku akan berusaha untuk meyakinkannya—"

"Meyakinkan apa? Wang Jae benar, aku membuat Yeol hyung dikeluarkan dari keluarga kerajaan, dan aku juga telah melakukan pemberontakan secara terang-terangan, mengibarkan bendera perang dengan keluarga kerajaan. Jae Hyun, aku bahkan menyesal melakukan itu."

"Tidak, Hwangja-nim. Inilah yang sebenarnya diinginkan Yeol Wangseja, dia tidak ingin terikat dengan kerajaan, dia hanya ingin hidup damai dan bahagia dengan kekasihnya, dan dia ingin... anda yang memimpin Goryeo."

Jin tertawa kecil, "pada akhirnya Wang Jae yang mendapatkan tahta itu, aku sungguh tidak menyangka abeoji menunjuknya sebagai pewaris tahta— yah, bukan berarti aku tidak suka sih, aku tidak sebenci itu jika Wang Jae jadi Raja, hanya saja... Jae Hyun, apa yang sudah ku lakukan kepada Jae, ya? Kenapa... dia setega itu untuk menjatuhiku hukuman mati? Apakah dia tidak pernah menganggapku sebagai saudaranya?"

Seon Jae Hyun tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Jin.

"Aku tidak pernah menjahatinya kok, sungguh. Aku bahkan selalu membelanya ketika ada orang yang mengatainya anak haram, karena tidak ada yang namanya anak haram di dunia ini, Wang Jae lahir dari cinta kedua orang tuanya, aku tahu itu dengan sangat baik. Wang Jae... adalah anak yang baik."

Jae Hyun menghela napas panjang, bersandar di batang pohon seperti dadanya sedang kesakitan. Dia mendongak ke atas langit, memandangi rimbunnya dedaunan yang menghasilkan suara tangis menyedihkan di sepenghujung hutan— kata Son Je Ha padanya kala itu.

"Tak bisakah... Kau kembalikan saja aku? Ini sangat menyakitkan..." gumaman Jae Hyun menguap di udara, hanya bisa didengarkan oleh angin malam dan beberapa kelinci liar.

***

BRAK!

"K-Kyung Soo?! Nak!"

"Kyung Soo-ya, ada apa?"

Setelah membanting pintu rumahnya sendiri— sebenarnya dia tidak membanting, hanya menggebraknya sedikit terlalu kuat, Kyung Soo masuk ke dalam rumah, agak linglung dan nyaris saja terjatuh hingga membuat kedua orang tuanya terkejut.

Ibu dan ayahnya seperti tampak baru mengobrol di ruang tamu, duduk di atas bantal tipis menghadap dua cangkir teh gingseng yang tak lagi sepanas tadi. Ibunya itu nyaris melompat kaget, Nyonya Bae segera berdiri dan menghampiri putra semata wayangnya.

"Ada apa? Apa yang terjadi?!"

Kyung Soo berpeluh pada keningnya, pemuda itu terengah, menandakan jika ia baru saja berlari— sepertinya dari istana.

Tangannya gemetar, Sang ibu bisa merasakan itu ketika memegangi lengan putranya.

"W-Wang Jae... Wang Jae sudah— gila..."

Kedua orang tuanya langsung terdiam, mereka saling pandang.

Mereka yakin, anak laki-laki mereka menyaksikan eksekusi Pangeran Wang Jin dengan mata kepalanya sendiri.

"Apa... yang terjadi setelahnya?" Tanya Tuan Bae, mencoba untuk tetap terlihat tenang.

"Jasad Pangeran Wang Jin tidak dikremasi ataupun dikuburkan dengan layak, mereka... mereka menggantung kepala Pangeran Wang Jin di halaman belakang istana, dan saat ini... terjadi pertengkaran antara para pangeran dan juga— Raja..."

Nyonya Bae sangat terkejut, wanita itu menutupi mulutnya tidak menyangka, benar-benar syok. Namun melihat Kyung Soo yang nampak pucat, dia segera memeluk putranya itu, mencoba membuatnya tenang.

"Kita hanya bisa mendoakan arwah Pangeran Jin sekarang, semoga dia bisa beristirahat dengan tenang," Sang ibu mulai menitikkan air mata.

"Apakah menurut ibu Pangeran Jin akan beristirahat dengan tenang? Ibu yakin akan itu?" Kyung Soo sangsi.

Sang ibu tidak sanggup menjawab.

Tuan Bae diam saja sejak tadi, terlihat berpikir selama beberapa saat. Semenjak Wang Jae dinobatkan menjadi Raja selanjutnya, Goryeo menjadi kacau balau. Banyak warga memberontak dan menolak untuk membayar pajak, hingga melakukan aksi protes langsung di depan istana.

Dan setiap hari selalu ada korban jatuh akibat kekerasan prajurit kerajaan.

"Ayah!" Panggil Kyung Soo, "bagaimana dengan Je Ha! Kenapa aku tidak tahu gibu-nya bukan lagi Tuan Seon tapi Wang Jae?! Je Ha akan menjadi target selanjutnya! Kita harus menolongnya ayah!"

Tuan Bae menghela napas pasrah, "Kyung Soo-ya, kau tahu gyobang saat ini tengah dikepung, bukan? Bahkan... ayah melihat sendiri Tuan Seon sulit untuk masuk, apalagi orang seperti kita."

"Lalu bagaimana dengan Je Ha?! Ayah sungguh akan membiarkannya mati dengan naas di tangan Wang Jae?!" Kyung Soo berteriak, mulai sulit mengontrol emosinya.

"Kyung Soo tenanglah dulu," Nyonya Bae menahan lengannya.

"Son Je Ha milik Raja, kita sudah bukan ranahnya, jika kau ingin menolong Je Ha, mungkin satu-satunya harapan ada pada Tuan Seon Jae Hyun sebagai penyumbang terbesar rumah gyobang."

Bae Kyung Soo menggertakkan gigi sekaligus mengepalkan tangannya kuat-kuat. Dia tahu jelas orang kecil sepertinya tak memiliki kuasa untuk campur tangan dengan masalah Raja, tapi Son Je Ha... sahabatnya itu—

"Bagaimanapun, ayah yakin jika Raja tidak akan membunuh Son Je Ha, dia tidak akan mati, jangan khawatirkan itu," lanjut Tuan Bae.

"Bagaimana ayah bisa menjaminnya?!"

"Ayah tidak bisa menjamin, tapi... Raja tidak akan membunuh Son Je Ha tanpa alasan, bukan? Skenario terburuknya, Je Ha akan dibawa ke istana dan dinikahi— meski itu seharusnya ilegal."

Kyung Soo benar-benar frustrasi.

"Apakah kau tahu, siapa yang menjadi target Raja selanjutnya?"

Pertanyaan Sang ayah membuat Kyung Soo tersadar kembali, dia memandang kedua orang tuanya.

"Kelompok gwanaksan, bukan?" Tebak Tuan Bae.

——-oOo——-

"Hei, Ren!"

"Ya, kakak ipar?"

Pria rupawan itu memalingkan pandangannya dari bidak xiangqi* menuju seorang perempuan berparas tak kalah cantik yang duduk di seberang. Lalu tersenyum tipis untuk menanggapi.

*Xiangqi = merupakan permainan dari Cina yang dimainkan oleh dua orang dan termasuk dalam permainan papan berstrategi sekelompok dengan catur, shogi dari Jepang, dan janggi dari Korea. Arti kata xiangqi secara harfiah berarti adalah "catur gajah"

"Sungguh, apakah aku tak boleh berkunjung ke Songak? Ini sudah lama sekali aku tidak bertemu keluargaku semenjak aku menikah! Lama sekali!"

Ren sejujurnya sedikit panik dengan tuntutan dari Yeo Kyung, namun beruntung dia sangat pandai mengendalikan ekspresinya. Raut wajahnya masih setenang air danau, dan ia tersenyum dengan lembut menanggapi kejengkelan Sang putri.

"Sebaiknya... mari kita menunggu dari keluarga di Goryeo, jiejie."

"Berapa lama lagi? Sebenarnya kenapa aku tidak boleh pergi sendiri?!"

Ren menghela pelan, "jiejie, kau adalah menantu pertama Dinasti Song, tentu saja kau benar-benar sangat dijaga— tidak, jangan katakan kami mengurungmu, itu sama sekali tidak benar, ayah dan ibu sangat menyayangimu."

"Aku tahu, aku tahu," Yeo Kyung mendengus, mendadak dia merasa tidak enak pada Ren. "Tapi aku juga rindu keluargaku tahu! Aku rindu Yeol orabeoni! Terakhir kali pun aku hanya bertemu Han orabeoni, aku juga ingin bertemu dengan saudaraku yang lain! Dan aku juga sangat merindukan eonni!"

Si bungsu itu mengeluh, dan Si bungsu yang satu lagi mulai sedikit panik bagaimana cara merespon keluhan Yeo Kyung dengan benar.

Bagaimana Ren bisa menjelaskan... jika Wang Yeol telah lengser dan Raja Gwangjong serta Ye Hwa telah meninggal?

Yeo Kyung benar-benar tidak tahu apapun, Si bungsu itu harus dijauhkan dari fakta mengerikan yang menimpa keluarganya di Songak. Kaisar Taizu juga telah mengetahui semua itu, dan ia bahkan telah mengupayakan segala cara agar Yeo Kyung tidak tahu semua yang terjadi.

"Dan satu lagi!!"

Yeo Kyung kembali berteriak, kali ini Ren terkejut hingga ia tersentak, nyaris menyenggol papan xiangqi. "A-apa?"

"Kenapa kakak sulungmu itu terus bepergian ke Songak?! Dia tidak bahkan tidak mau mengajakku sama sekali!" Marahnya.

"Jiejie, kau bilang... tidak suka bersama dengan dage."

Perempuan muda itu diam sesaat, "iya sih... sampai sekarang aku benar-benar tidak menyukainya! Pria memuakkan! Kenapa harus dia yang dinikahkan denganku sih? Kenapa bukan kau?!"

Ren mengedikkan sepasang alisnya, "apa?"

"Ehm, maksudku... diantara tiga putra Kaisar, kenapa aku harus menjadi istri Si Pangeran Es itu?!" Yeo Kyung memalingkan pandangan.

"Kau sungguh tidak menyukai dage?" Tanya Ren lagi.

"Tidak lah!"

"Bahkan sedikit pun?"

"Tetap tidak!"

"Kenapa?"

"Apanya?"

"Semua orang hingga rakyat kami berkata, dage adalah pria yang sempurna. Dia calon raja yang sangat tepat dan satu-satunya yang bisa menggantikan a tia*, bahkan banyak sekali putri dari berbagai kerajaan dan berbagai negeri datang untuk menjadi istri dage."

*A tia = ayah (panggilan kekerabatan orang tiongkok dalam dialek kanton)

"Huh, mereka semua hanya melihat dari topeng kakakmu saja," Yeo Kyung mendecih.

Ren sejujurnya agak takjub— sejak awal dia sudah takjub dengan Si putri bungsu ini karena sama sekali tidak terpikat dengan aura dan pesona kakak sulungnya. Wen Fei Yu sangat tampan, dia berwibawa dan bijaksana, kekuatan tempurnya luar biasa, dan juga sangat cerdas. Sempurna.

Tapi Yeo Kyung benar-benar tidak tertarik bahkan sedikit pun?

"...kenapa bukan kau?!"

Sejenak, Wen Ren merasa wajahnya sedikit panas.

"Ehm," dia berdeham sejenak, "bagaimanapun, ku rasa lama-lama kau akan menyukai dage," dia tersenyum lembut.

"Eiy, tidak mungkin! Aku—!"

"Ren."

Obrolan sepasang anak bungsu itu terhenti begitu saja ketika seseorang datang dengan aura dinginnya. Suara beratnya membuat Yeo Kyung menoleh dengan cepat hingga wanita muda itu melotot kaget, nyaris saja menginjak rok hanfu-nya sendiri.

Ren juga terkejut dengan kedatangan kakak sulungnya yang sangat tiba-tiba, tapi reaksinya tidak seberlebihan Yeo Kyung. Sejenak, Ren jadi teringat dengan Han.

"Dage," dengan sigap Si bungsu berdiri, mengibaskan sepasang lengan hanfu-nya yang lebar dan menautkan kepalan tangannya di depan dada, memberi salam hormat.

"Hei! Kau dari Songak, kan?!" Sambar Yeo Kyung tanpa berbasa-basi atau bahkan memberikan salam penghormatan pada Putra Mahkota.

Fei Yu hanya melirik sosok wanita cantik yang berdiri di samping adik bungsunya, wajahnya datar. Kelewat datar. "Tidak," sesingkat itu jawabannya.

"Yang benar?!" Yeo Kyung mendengus.

Wen Fei Yu merotasikan netra gelapnya dengan malas, "aku mendapat perintah dari kaisar untuk mengurus benteng di daerah perbatasan."

Ren, "iya, itu benar kok."

Yeo Kyung balas mendengus jengah sembari melengos.

Fei Yu terlihat tidak peduli sama sekali.

"Ikutlah denganku, Ren," pintu Si sulung, hingga kemudian dia segera berlalu dari sana tanpa mengatakan apapun lagi.

Wen Ren mengerjap sebanyak tiga kali, agak bingung, lalu dia menatap Yeo Kyung. "Kurasa... dage ingin membicarakan perihal benteng pertahanan itu," katanya.

Yeo Kyung mengibaskan tangan, "ya ya pergilah, aku akan pergi jalan-jalan ke luar istana."

"Tidak, jangan."

"Kenapa?"

"Tunggu aku, aku akan mengantar jiejie, hanya sebentar kok."

"Hm, baiklah, aku akan menunggu di halaman depan."

Ren tersenyum mengangguk, lalu kakak iparnya itu segera berbalik dan meninggalkan ruangan. Senyum lembutnya seketika memudar ketika sosok Yeo Kyung menghilang dari pandangannya, digantikan sebuah raut cemas dan gelisah.

Dia harap, kakaknya tidak membawa kabar buruk dari Goryeo.

Wen Fei Yu berada di aula senjata. Sebuah aula terbesar di dalam istana Kekaisaran Song, aula yang menyimpan 250 jenis senjata, dan hanya boleh dimasuki oleh para Pangeran serta Kaisar.

Ren masuk ke dalam sana, rupanya saudara-saudaranya sudah berkumpul. Wen Jun entah sejak kapan hadir dan darimana ia, Ren sama sekali belum melihat kakak keduanya sejak pagi.

Baru saja Si bungsu ingin memberikan salam hormat pada kedua kakaknya, kata-kata Fei Yu membuatnya nyaris jantungan.

"Wang Jin sudah mati."

Ren, "W-Wang Jin?! Pangeran Wang Jin?!"

Jun sepertinya sudah tahu sebelum Ren, pria itu tampak tidak seterkejut dirinya, hanya ada ekspresi marah yang tergambar sangat jelas.

"Apa yang terjadi ge?!"

"Wang Jae sialan!" Jun menggertakkan gigi, "sejak awal aku tidak pernah menyukainya! Dan lihat apa yang dia perbuat! Benar-benar anak terkutuk!"

Ren semakin dibuat terkejut, "Wang Jae yang membunuh Wang Jin? Apakah itu sungguhan?!"

"Mn," singkat Fei Yu.

"Sungguh, ini terasa sangat aneh! Sejak awal semuanya sudah janggal!" Jun masih protes, "Wang Jae tiba-tiba menjadi Raja setelah dia menghilang, bukankah itu aneh?! Sangat tidak masuk akal! Dan dia bisa menjadi Raja hanya karena sepucuk wasiat?! Memangnya benar itu tulisan Raja?!"

"Itu sudah divalidasi, memang benar tulisan Raja Gwangjong," Fei Yu menjawab lagi.

"Tapi sungguh tidak masuk akal, ge?!" Si pangeran kedua mulai emosi— tidak, dia selalu emosi. "Kita semua tahu jika bagaimanapun Wang Jae tidak pantas sama sekali menjadi Raja! Dengan kepribadian bipolarnya itu?! Apa orang-orang Raja Gwangjong sudah gila?!"

Fei Yu. "Aku tidak tahu, aku pun... juga ragu, semuanya mungkin telah disabotase."

Ren. "Tidak! Tunggu! Kenapa Wang Jae membunuh Jin?! Wang Jin adalah saudaranya sendiri?!"

"Memangnya Wang Jae tahu apa arti persaudaraan?" Jun sarkas, "dia bahkan tidak bisa menghargai saudaranya sendiri! Brengsek, aku sangat marah sekarang, Jin adalah temanku! Aku tidak pernah lagi mengganggu Wang Jae karena Jin yang meminta dan aku sangat menghargai apa yang dia katakan! Jin menyayangi bocah sialan itu bahkan meski mereka tidak seibu!"

Meski Wen Jun sangat membenci Wang Jae, Fei Yu merasa semua yang dikatakan adiknya itu sama sekali tidak salah.

Saat hari eksekusi Jin, Fei Yu ada disana. Beruntung orang-orang Goryeo tidak memerhatikan kehadirannya dan dia tidak cukup mencolok, tapi Fei Yu sama sekali tak bisa melakukan apapun, dia bahkan tak bisa mendekati para pangeran lain karena mereka semua sangat terpukul.

Goryeo benar-benar kacau.

Dan Wen Fei Yu cukup syok dengan keputusan yang dibuat Wang Jae hanya dalam semalam.

Wen Jun, "lihat saja! Dia pasti akan menyingkirkan semua saudaranya!"

"Gege jangan bicara begitu!" Sela Ren.

"Tidak Ren, ku pikir apa yang dikatakan Jun bisa saja menjadi kenyataan. Aku merasa Wang Jae benar-benar akan menyingkirkan siapapun yang berpotensi mengancam tahtanya."

Jun menghela napas tidak percaya, "kan! Wang Jae sudah seperti diselimuti iblis! Dia tak terselamatkan!"

Ren panik, "l-lalu apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa membiarkan lebih banyak orang mati! D-dan bagaimana perasaan Yeo Kyung nantinya?!"

"Untuk saat ini sebisa mungkin kita menyembunyikan semuanya dari Yeo Kyung," Jun menjawab dengan cepat, "dage!" Lalu dia menatap kakak tertua yang nampak bergelut dengan pikirannya sendiri, "ku pikir kita harus membalas kepada Goryeo! Kita bisa menyerang mereka! Aku ingin membalas dendam atas kematian Wang Jin!"

Fei Yu tidak menjawab, masih sibuk menyelami pikirannya.

Maka Si bungsulah yang menjawabnya, "tidak bisa ge, kita tidak bisa gegabah! Itu akan menimbulkan konflik besar antara Dinasti Song dengan Goryeo! Dan aku takut, akan menyebabkan perang berkepanjangan nantinya."

"Lalu apa lagi memang?! Jika kita hanya sibuk berpikir lebih lama, Wang Jae pasti sudah membantai banyak nyawa manusia!"

"Ren."

Di tengah-tengah perdebatan Pangeran kedua dan ketiga, Sang Pangeran tertua kemudian angkat bicara.

"Ada apa dage?"

"Bisakah kau membujuk Wang Han untuk datang kemari? Kau harus membawanya ke Bianjing."

~~~

"Maafkan atas kelancangan saya, Yang Mulia Raja. Tapi... menghukum mati Pangeran Wang Jin, bukankah itu keterlaluan?"

Wang Jae memicing, menatap pria tua yang merupakan salah satu menteri kerajaan. Sejak menteri itu berbicara, Sang Raja sudah menunjukkan ketidaksukaannya. Menteri adalah golongan dari orang-orang yang menentang penobatannya secara terang-terangan.

"Apa kau sadar dengan apa yang telah kau katakan, menteri Jang?"

Para menteri dan petinggi kerajaan itu menundukkan kepalanya di depan Raja meski mereka kontra, mereka sedang melakukan rapat pertemuan dan mengkritik seorang Raja sebenarnya tidaklah salah. Karena menjadi Raja bukan berarti kau bisa semena-mena melakukan semuanya sesuka hati.

"Saya sangat sadar, pyeha."

"Kau tahu apa yang sudah dilakukan Wang Jin? Dia bukan hanya menghasut Raja dan membuat Wang Yeol dibuang, kemarin dia bahkan melakukan pemberontakan dan beraliansi dengan Baekje! Kau sebut itu bukan kejahatan besar?! Dia dengan jelas menentang Raja Gwangjong! Ayahku!"

"Sesuai dengan aturan yang berlaku, Pangeran Wang Jin tidak membunuh siapapun, meski anda mengatakan jika Pangeran Wang Jin yang menyebabkan Pangeran Wang Yeol terbunuh, itu sedikit tidak setimpal."

Pria tua yang dipanggil menteri Jang oleh Wang Jae, tetap berbicara dengan sopan dan juga gestur yang santun, dia bahkan tidak berkontak mata sama sekali.

"Tidak setimpal? Kejahatan tetaplah kejahatan, para menteri sekalian. Siapa yang bisa menjamin jika Pangeran Wang Jin tidak akan melakukan kudeta lagi di masa yang akan datang? Dia jelas hanya menginginkan tahta." Guan Yu menyambar perbincangan itu, tanpa permisi dan tanpa etika.

Salah seorang menteri yang lain terlihat tidak suka. "Dan sejak kapan, seorang Algojo diizinkan untuk turut serta dalam rapat politik kerajaan? Menyela pembicaraan seperti itu—"

"Aku yang menyuruh Guan Yu ada di sini, dia adalah orangku," potong Wang Jae cepat, sorot tajamnya menelusuri pria-pria yang jauh lebih tua darinya, "siapapun yang tak menyukainya, enyahlah dari sini."

"Tapi ini tidak sesuai dengan peraturan kerajaan, pyeha. Orang yang harus ada di sisi anda dan berbicara mewakili anda adalah Penasihat kerajaan, Tuan Seon Ji Won."

Benar, Seon Ji Won memang ada di sana. Sejak tadi dan selama ini dia memang berdiri tak jauh di samping tahta Wang Jae, namun mulutnya hanya terbungkam— lebih tepatnya ia dibungkam. Raja seperti tak ingin mendengar pendapat darinya sama sekali, dan Guan Yu terus berbicara dan membuatnya tak memiliki kesempatan.

Seon Ji Won sejujurnya sudah tak lagi inign berdiri di sana.

Wang Jae ini... dia jelas tidak tahu banyak tentang politik.

"Pyeha, alangkah baiknya anda tidak merusak tradisi para leluhur. Mohon anda untuk memikirkan raja-raja terdahulu, kakek, paman, dan ayah anda yang lebih dulu memerintah Goryeo selama puluhan tahun. Kami disini ingin membantu anda, namun anda sungguh anti-kritik."

Kerutan di dahi Wang Jae berdenyut sesaat setelah dia mendengar kalimat itu. Dia mulai tersulut emosi.

"Anti-kritik?" Ulangnya, dengan nada yang ditekan. "Aku adalah aku, ayahku adalah ayahku, jangan pernah samakan aku dengan para raja terdahulu!! Aku memiliki wewenang penuh untuk melakukan apapun pada negeri ini!!"

Aula di dalam changdeokgung menjadi sangat menegangkan, para menteri itu langsung bungkam dan cukup ketakutan setelah suara menggelegar Sang Raja terdengar.

Sejujurnya mereka ingin mengatakan lebih dari itu, masih banyak sekali kritik-kiritik yang ingin mereka layangkan kepada Sang pemimpin.

"Guan Yu! Usir mereka yang menentangku dari kerajaan! Cabut jabatannya sebagai menteri!!"

"Ye, pyeha."

"Pyeha!! Pyeha anda tidak bisa melakukan ini!"

"Pyeha maafkan saya! Ampuni saya!"

Guan Yu bersama beberapa prajurit menggeret paksa sekitar 3 orang menteri yang baru saja dengan berani mengkritik Raja, menyeretnya begitu saja dengan paksa keluar dari ruangan tanpa memedulikan teriakan ampun mereka.

Menteri-menteri yang lain langsung bungkam seribu bahasa, bahkan tidak berani berkutik sedikit pun.

"Apakah ada lagi yang ingin menentangku seperti tiga orang itu?" Dingin Wang Jae, menautkan tangannya di belakang punggung, berdiri di depan singgasananya dan memandang rendah semua orang. "Kalian bukan siapa-siapa di depanku, jadi berhentilah mengatakan omong kosong. Sadarkah kalian betapa busuknya mulut kalian itu? Lebih baik hiduplah dengan menjadi bisu," Sang Raja menyeringai.

Seon Ji Won menarik napas dengan samar, menghembuskannya dengan lelah. "Pyeha," panggilnya pelan.

"Apa? Kau mau mengoreksiku juga?"

"Tidak," Ji Won menundukkan kepalanya.

Wang Jae mendecih, "jangan membela tikus-tikus kerajaan itu, lagipula mereka hanyalah pria-pria tua yang sebentar lagi akan mati, menyedihkan."

"Ye," Ji Won mencoba untuk menetralisir keadaan meski ia tahu para menteri sebenarnya sangat marah, "mari kita melanjutkan rapat ini dengan tenang."

"Sudah cukup untuk hari ini," Wang Jae mengibaskan keliman jubah emasnya, mulai berjalan turun dari singgasana, "aku akan beristirahat sebentar, lalu memburu kelompok gwanaksan."

Seon Ji Won tercekat di tempatnya.

***

Menjelang petang, Sang Raja tidak pergi aula singgasana, dia benar-benar serius tentang membantai tempat persembunyian gwanaksan. Ia melepas mahkotanya dan meletakkannya di atas meja, menyambar sebilah pedang berwarna legam dengan simbol Yin pada pangkalnya. Wang Jae mencengkeram gagang pedang itu, kemudian mengalungkannya ke belakang punggung.

Untuk sesaat, entah mengapa kemudian ia terdiam. Hingga tak berapa lama kemudian tubuhnya berbalik dan menatap sebuah peti yang diletakkan di atas sebuah meja besi dengan kain merah.

Wang Jae menghampirinya, mengusap peti dengan ukiran emas, kemudian membukanya perlahan.

Di dalam sana, sebilah pedang lain disimpan. Tampak disegel dengan rantai yang membelenggu dari pangkal pedang hingga ujung pisaunya. Warna perak yang begitu memukau, berkilat menakjubkan dalam pantulan mata Sang Raja.

Pedang Yang.

Wang Jae mengusap pedang perak yang selama ini dia simpan di sana.

Brak!

Sang Raja terkejut, peti itu ditutup oleh seseorang membuat Wang Jae menarik tangannya dengan cepat.

"Guan Yu."

Si Eksekutor kerajaan masuk ke dalam kamarnya, memandangnya dengan sorot datar. "Mari tidak membuang waktu, Yang Mulia."

Wang Jae menghela, sembari mengangkat sepasang alisnya. "Ya..."

"Mengapa? Anda ingin membawa Yang?" Tuntut Guan Yu.

Yang ditanya tidak menjawab, hanya melirik peti yang telah tertutup itu.

"Anda tidak perlu menggunakan dua bilah pedang hanya untuk segerombolan tikus seperti mereka, Yin sudah sangat cukup. Pyeha, anda sama sekali tak terkalahkan dengan Yin. Anda pun tahu betul, Yang tidak bisa digunakan untuk bertempur, Zamrud Hijau lah yang akan sangat cocok dengan Yin."

Wang Jae masih diam, sampai akhirnya dia hanya berkata, "aku tahu."

"Mari," ujar Guan Yu, "saya telah menyiapkan kuda anda dan 500 prajurit sudah siap untuk berangkat."

"Kau yakin mereka masih ada di sana?"

"Ya, hanya saja bajingan Yoon Gi itu sudah melarikan diri, karena itu kita harus memancingnya dengan menghancurkan markas mereka."

"Aku mengandalkanmu, Guan Yu."

"Jangan khawatir, Yang Mulia."

"Yang Mulia."

Ketika baru saja keduanya keluar dari kamar Sang raja, seseorang berdiri di depan pintu. Mata pria itu langusng bersua dengan Guan Yu yang berada di depan, membuat lawannya tampak memicing. Pandangannya berubah menjadi semakin tidak suka ketika tahu siapa pria yang berdiri di belakang Seon Jae Hyun.

"Ada apa, Tuan Seon?" Guan Yu mengangkat sedikit dagunya, namun dia memandang Hwang Je No.

"Aku ingin berbicara dengan Yang Mulia Raja, bukan denganmu, bisakah kau menyingkir?"

Guan Yu tampaknya agak sedikit terkejut dengan kata-kata tuan cendekiawan yang begitu terang-terangan, nada ketidaksukaannya benar-benar terdengar jelas.

Sang Eksekutor mendengus sarkas, "kau—"

"Tinggalkan kami, Guan." Sahut Wang Jae di belakangnya.

Guan Yu menoleh dengan cepat, "tapi Yang Mulia, kita sedang terburu—"

"Hanya sebentar, jangan khawatir," sela Raja.

Jelas sekali ekspresi ketidaksukaan Guan Yu, namun karena Raja sudah berkata seperti itu, dia pun tak bisa membantah lagi. Sembari melayangkan tatapan tajamnya pada dua orang itu, Sang Algojo segera menyingkir dari lorong tersebut, meninggalkan Wang Jae, Seon Jae Hyun, dan Hwang Je No dalam satu ruangan.

"Kenapa wajah kalian seperti itu?" Tanya Wang Jae datar.

"Yang Mulia, bisakah anda menghentikan rencana pembantaian gwanaksan ini?" Jae Hyun mulai bersuara.

Raja terlihat seperti sudah jengah, "jangan ikut campur urusanku jika aku tidak meminta kalian untuk turut serta."

"Tolong pikirkan ini sekali lagi, pyeha," mohon Jae Hyun. "Gwanaksan adalah keluarga dari Nyonya Na Yoon, ibu anda, apakah anda sungguh ingin membantai orang-orang yang merupakan keluarga ibu anda?"

"Keluarga?" Ulang Wang Jae, "mereka hanyalah beban untuk ibuku."

"Yang Mulia, mereka tidak bersalah," Hwang Je No menyahutnya. "Sebagian besar dari mereka hanya anak-anak muda dan bahkan anak kecil."

"Hwang Je No, Hwang Je No," Wang Jae tersenyum miring ketika mendengar Panglima bicara, "jangan berlagak peduli, kau memiliki masalah sendiri denganku. Aku tahu kau ingin berbicara denganku, kan? Tunggu saja, mari kita bicara setelah aku membantai gwanaksan."

Wang Jae hanya mendengus geli, hingga selanjutnya ia mengibaskan keliman jubah rajanya dan melewati kedua orang itu.

Namun kemudian, kata-kata Seon Jae Hyun selanjutnya membuat langkahnya terhenti.

"Wang Jae, kau telah menodai simbol suci Yin dan Yang. Seharusnya kau adalah simbol keseimbangan kehidupan, namun ku pikir kini kau tak pantas untuk menjadi tuan dari simbol suci itu sendiri."

Suara di belakangnya itu, membuat Wang Jae merasa geram. Kalimat tuan cendekiawan sepertinya berhasil memprovokasi Sang raja hingga dia benar-benar merasa marah.

"SEON JAE HYUN!!"

SRING!!!

Pedang Yin ditarik keluar dari punggungnya, Wang Jae memutar tubuhnya dengan cepat dan mengayunkan pedang tajam itu ke arah Seon Jae Hyun, seperti dia benar-benar serius ingin membunuh tuan cendekiawan.

Trakk!!

"Pyeha!!!"

Sadar jika Seon Jae Hyun sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, Hwang Je No menarik seruling giok hitam di pinggang dan menangkis Pedang Yin. Giok hitamnya yang sebelumnya sudah retak karena Pedang Yin pun kini merambat retakannya, membuat Je No panik dan menghempaskan serangan itu.

"Tuan Seon, mundur!" Seru Je No.

Namun bukannya mundur, Seon Jae Hyun masih tetap berdiri di tempatnya, memandang Sang Raja tanpa takut sedikit pun.

"Kau mau membunuhku?" Ujarnya rendah, "bunuh saja, hunuskan Pedang Yin padaku."

"Tuan Seon!!" Di sisi lain, Hwang Je No sangat khawatir karena Seon Jae Hyun terus mencoba memancing amarah Wang Jae.

"Kau tahu, Wang Jae? Tidak ada satu pun pedang di dunia ini yang mampu membunuhku, bahkan pedang legendamu itu."


***


"KATAKAN KEMANA BAJINGAN ITU PERGI!!"

Trang!!

Trang!!


"Mengapa tiba-tiba orang kerajaan datang kemari?!! Ada masalah apa?!"

Pria dengan pedang hijau besar itu turun dari kudanya, memandang remeh para pemuda yang panik luar biasa ketika prajurit kerajaan menerobos masuk ke dalam markas. Mereka tentu saja tidak akan pernah menyangka orang-orang kerajaan akan sampai kemari karena tidak ada seorang pun yang akan bisa menemukan tempat persembunyian kelompok gwanaksan selama bertahun-tahun.

Apakah ini karena Nyonya Na Yoon sudah meninggal? Atau—

"Katakan dimana Yoon Gi, maka kami akan segera meninggalkan tempat ini," dingin Guan Yu.

Bagaimanapun, pemuda-pemuda gwanaksan itu tahu jika mereka tidak akan ada gunanya untuk melawan 500 prajurit ditambah salah seorang petarung terbaik Goryeo sekaligus Algojo terkejam.

"Kami tidak tahu, Tuan Yoon Gi sudah pergi dari sini lama sekali!" Seru salah seorang murid di sana.

Guan Yu mendengus geli, "kau pikir aku akan percaya, hei bocah ingusan."

"Kami sungguh tidak berbohong!! Tidak akan ada gunanya kalian mengepung tempat ini! Cari dan geledahlah sampai kalian bisa menemukan Tuan Yoon Gi jika tidak percaya!!"

"Tidak perlu menggeledah."

Para prajurit kerajaan yang berjajar, segera memberi jalan pada seorang pria yang baru saja masuk. Pria dengan jubah raja, tampak berjalan dengan tegap nan tangguh. Sorot mata bagai elang yang mematikan, seperti mencekik siapapun yang bersua dengannya.

"Dia akan datang dengan sendirinya," Wang Jae menyeringai.

"Pangeran Wang Jae?"

"Pangeran?" Pria itu mendecih, "aku adalah Raja, akulah Rajamu!" Bentaknya.

"Anda... andakah yang membawa para prajurit ini kemari?" Seorang pemuda yang tampaknya paling tua di antara pemuda-pemuda itu buka suara, memandang Wang Jae tidak percaya.

"Siapa lagi pikirmu?"

"M-mengapa...? Apakah anda sungguh-sungguh mengira jika Tuan Yoon Gi yang membunuh Nyonya Na Yoon?"

"Itu memang dia," sahut Guan Yu, "kau tidak percaya? Dia telah mengkhianati pemimpinnya sendiri."

"Itu hanyalah fitnah belaka! Tuduhan tidak bermakna!! Tuan Yoon Gi adalah orang yang paling dipercayai Nyonya Na!! Itu sungguh tidak masuk akal!!"

"Anak-anak ini berisik sekali," dengus Wang Jae kesal, melirik Guan Yu.

Padahal mereka bisa melihat, anak-anak kecil berusia mulai dari 6 hingga 10 tahunan bersembunyi di balik kakak-kakak seperguruannya, tampak begitu ketakutan.

"Kalian benar-benar tidak akan mengatakan dimana Yoon Gi?" Tekan Guan Yu.

"Berapa kali kami harus mengatakan jika kami tidak tahu?! Ku bilang periksa saja tempat ini jika tidak percaya!!"

Diam sebentar Wang Jae, dia hanya memandangi murid-murid ibunya yang lebih terlihat seperti tikus ketakutan dengan keringat di dahi. Kelompok gwanaksan yang katanya adalah bandit mematikan? Kemana perginya semua julukan itu?

Wang Jae pun menyeringai tipis, "bunuh mereka."

"Pyeha! Anda adalah putra pemimpin kami! Kita adalah saudara seperguruan! Apakah anda benar-benar akan melakukan ini?!!"

"PYEHA!!!"


Trang!! Trangg!!!


"JANGAN SAKITI ADIK-ADIK KAMI!!!"

Para prajurit menyerang dari berbagai sisi, untuk melarikan diri pun mereka tak bisa karena tempat itu benar-benar telah dikepung. Pemuda-pemuda itu balas melawan, mereka tangguh dalam bela diri meski tanpa senjata, namun kini mereka harus bertarung sembari melindungi adik-adik mereka yang masih sangat kecil.

"WANG JAE HENTIKAN!!!"

Seorang pemuda yang tergolong paling tua di antara murid-murid yang lain terlihat sangat marah dengan perlakuan tidak manusiawi ini. Dia ingin berlari ke arah Wang Jae dan menerkamnya, namun para prajurit sialan ini menghalangi dan sekarang dia sedang menjaga 3 orang anak di belakangnya.

"Sung Chan hyung!! Hati-hati!!"

Trang!!

Pemuda itu bernama Sung Chan, dia langsung menebaskan belatinya ke serangan tiba-tiba prajurit dari arah kanan.

"Kalian baik-baik saja?!" Serunya, "ayo masuk ke dalam!! Jangan keluar!!!"

"Hyung!!"

Trang!! Trang!!!

Pertempuran itu jelas-jelas kalah jumlah, Guan Yu bahkan turun tangan langsung, dia telah membunuh 5 orang murid gwanaksan dengan pedang legendanya hanya dalam beberapa saat.


Zratt!!!


"?!"

Wang Jae mundur selangkah ketika seseorang tiba-tiba menyerangnya, sebuah belati diayunkan. Karena Wang Jae berhasil menghindar, belati itu tak berhasil menusuknya, hanya saja saking cepatnya gerakan belati tersebut, lehernya berhasil tergores. Tergores hingga mengalirkan setetes darah. Hanya setetes.

Sang Raja sama sekali tidak merasa kesakitan, dia hanya memicing sembari mengusap setetes darah itu dengan ibu jarinya. Pandangannya beralih pada seorang pemuda yang menjadi pelaku dari jatuhnya setetes darah Sang raja.

"Gong Jun," Wang Jae menggumam.

Dia masih ingat betul dengan pemuda ini, pemuda pengecut yang selalu ketakutan. Sekarang Wang Jae cukup tidak menyangka karena Gong Jun ini berani untuk melayangkan serangan padanya.

"K-Kau adalah orang baik..." Gong Jun berkata dengan gemetar sembari menodongkan belati dengan kedua tangannya, "Nyonya Na selalu mengatakan kepada kami jika putranya adalah orang baik."

Wang Jae malah tertawa mendengarnya, "Gong Jun, Gong Jun. Kau pikir... semua orang akan selalu menjadi baik? Memangnya arti dari orang baik menurutmu itu apa? Orang yang akan selalu membiarkan dirinya kalah dan tertindas?"

Gong Jun masih gemetaran di tempatnya, dia sendiri tidak menyangka bisa-bisanya ia menghadapi Wang Jae seorang diri seperti ini.

"Kau bodoh dan pengecut, kau tidak tahu apa-apa arti dari kehidupan, kau tidak tahu apa pun mengenai penderitaan dunia, berhentilah berkata seolah aku ini adalah pendosa," tekan Wang Jae tajam.

"Jika begitu hentikan!!!" Gong Jun mulai menangis, dia sejujurnya ingin menangis sejak tadi namun pemuda itu menahannya. "Hentikan semua ini dan biarkan kami hidup!!!"

"Gong Jun, jangan pernah menangis saat kau sedang bertarung, itu akan menunjukkan jika kau lemah. Seorang lelaki sejati tidak akan menangis dengan mudah dan mencoba untuk tegar."

"Maafkan aku, Nyonya Na..." pemuda itu menggumam, pelan sekali.

"Kau seharusnya memohon untuk hidup sejak aku mengajak kalian untuk bicara baik-baik tadi," dengus Wang Jae.


JRASHH!!!


"UGHH!!"

Darah bercipratan ke wajah Wang Jae ketika sebilah pedang besar dihunus. Pedang itu menusuk— melubangi dan mengoyak perut Gong Jun dari belakang, Si pemuda langsung muntah darah, belatinya jatuh ke atas tanah.

Pedang Zamrud Hijau.

"Ny-nyonya... Na, t-ti...dak menging...in—kan..."


Brugkh!!


Gong Jun belum menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya itu sudah ambruk ke tanah lebih dulu, dan sebelum itu, Guan Yu telah mencabut Pedang Zamrud Hijau dari perut Si pemuda.

Wang Jae maju dua langkah, lalu kaki kanannya mendarat di kepala Gong Jun. "Sudah ku bilang berhenti mengatakan omong kosong," decihnya. "Habisi mereka semua, Guan."

Meskipun Wang Jae tidak memberi perintah itu, Guan Yu tentu saja akan membantai mereka semua. Sekarang, sebagian besar pemuda gwanaksan itu telah mati, darah berceceran dimana-mana. Anak-anak menangis karena ketakutan, para pemuda yang tersisa sungguh tak tahu harus berbuat apa.

Dan pada akhirnya, Guan Yu benar-benar membantai mereka semua, tidak peduli anak-anak sekalipun.

"HENTIKAN!!! BRENGSEK HENTIKAN!!!"

Itu dia, seorang pria yang mereka tunggu-tunggu.

Seorang pria melompat masuk, berlari menghampiri para prajurit yang masih menyiksa murid gwanaksan yang sekarat.

Wang Jae menyeringai tipis.

Yoon Gi membunuh para prajurit itu dengan sangat bringas, mencabik-cabik tanpa kenal ampun.

Itu adalah pertama kalinya dia melakukan hal itu. Melakukan hal yang sangat bertentangan dengan ajaran Na Yoon.

"BAJINGAN BRENGSEK JIKA KAU MEMILIKI MASALAH DENGANKU MAKA DATANGLAH PADAKU!! MENGAPA KALIAN MEMBUNUH ANAK-ANAK YANG TIDAK BERDOSA!!!"

Yoon Gi syok setengah mati semenjak dia menginjakkan kaki di markasnya. Mayat dimana-mana, darah menggenang dimana-mana. Mereka semua adalah saudara seperguruannya.

Jika tahu semua akan menjadi seperti ini, Yoon Gi tidak akan pernah pergi. Sejak awal dia tidak ingin melarikan diri jika mereka tidak memaksa Yoon Gi untuk kabur, mereka sudah berjanji bahwa mereka akan baik-baik saja dan akan tetap menjaga rumah yang sudah mereka bangun bersama Nyonya Na Yoon.

Namun apa?

"AAARRGGHHH!!!!"

Wang Jae masih menyeringai, dia menghampiri Yoon Gi yang memeluk jasad adik-adik seperguruannya, memaksa mereka untuk bangun, berharap mereka masih hidup. Hanya ada beberapa anak yang masih tersisa di sana.

"T-Tuan Yoon Gi!"


DUAGKHH!!!

BRUKK!!


Wang Jae menendang kepala Yoon Gi, kemudian menginjaknya. "Muncul juga kau, pria cacat."

"W-Wang Jae..." Yoon Gi menggeram marah, dia mencoba untuk bangun, namun anehnya tenaga Wang Jae benar-benar sangat besar. "Kau... brengsek! Kau bukan manusia!!"

"Hahaha, ya terserah, tapi aku adalah rajamu," Wang Jae tertawa, "kau sampah tidak berguna, untuk apa memangnya manusia cacat sepertimu hidup? Bahkan orang yang kau layani kini sudah mati, kan?"

"Jangan— rgghh sentuh mereka...!"

"Sayang sekali, seharusnya kau memohon lebih awal."

JRASHH!! JRASHH!!

"AARRGGGHHH!!!"

Tanpa belas kasihan sedikit pun, Wang Jae menyambar dua pedang milik prajurit dengan asal dan menusuk kedua punggung tangan Yoon Gi. Menusuknya hingga pedang itu tertancap ke tanah, memaku tangan Yoon Gi.

Sebisa mungkin, Yoon Gi mencoba untuk tetap menjaga kesadarannya.

"W-Wang—!!"

Dengan tangannya, Wang Jae menjambak rambut Yoon Gi, memaksa pria itu menatap ke depan. "Lihatlah, inilah kekuatan dari seorang penguasa, kekuatan yang tiada tandingannya."

"TUAN YOON GI!!"

"HENTIKAN!! HENTIKAN!!"


JRASHH! JRASHH! JRASHH!!


Dengan Pedang Zamrud Hijaunya, Guan Yu menebas para pemuda dan anak-anak yang masih hidup. Menusuk perut dan dada mereka tanpa apapun, memotong tangan dan kakinya, bahkan ada yang ia tebas lehernya hingga putus. Jeritan hingga tangisan benar-benar membuat telinganya menjadi tuli.

Sang Eksekutor hanya terus menebas dan menebas, membuat darah memerciki wajahnya dengan seringai lebar, Zamrud Hijau terus meminum darah, hingga batu berwarna hijau itu sekilas terlihat seperti bersinar kegirangan.

Yoon Gi berteriak, berteriak untuk meminta mereka berhenti meski sudah terlambat, berteriak dengan suaranya yang hampir menghilang.

"Lihatlah dengan mata kepalamu, inilah kekuatan dari penguasa. Seorang penguasa. Penguasa."

Kalimat itu terus berdengung di telinga Yoon Gi di kala ia terus meraung dan berteriak dengan pita suaranya yang nyaris putus seperti digorok.

"Temuilah ibuku," Wang Jae mendengus, "temuilah dia dan sampaikan salamku padanya, katakan jika aku sangat mencintainya dan aku akan menjadi raja yang adil serta bijaksana."

Melalui ekor matanya, Yoon Gi bisa melihat dengan jelas Wang Jae mengangkat Pedang Yin tinggi-tinggi. Raja itu menginjak punggungnya, mengangkat Pedang Yin tepat di atas kepalanya.


JREB!!!


Yoon Gi bahkan tidak sempat untuk melolong kesakitan, saking cepatnya gerakan itu, dan saking tajamnya mata Pedang Yin menusuk lehernya—

Dia tewas seketika.



Bersambung...

.
.
.

😅😅😅

Continue Reading

You'll Also Like

33.6K 5.2K 171
Lu Gu menikah atas nama saudara laki-lakinya dan menikah dengan pemburu ganas di Desa Qingxi. Betapapun bersalahnya dia, di bawah paksaan pemukulan...
952K 191K 45
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak d...
169K 23.2K 37
jangan nyari yang jauh yang deket aja bikin nyaman [complete] ©2017 1# nancyjewel 1# hyeyeon 4# kwoneunbin
2.5K 577 42
Na Jaemin as Aksa Narendra Yeonhee as Sapphire Nayara "The soul becomes dyed with the color of its thoughts."-- Marcus Aurelius Semua warna mencermin...