***
My Brother
Written By HwangFitri_
***
Indonesia, 23:12 -
Seorang wanita dengan menggunakan baju karyawan kerja tengah berdiri di depan sebuah halte, sesekali dia berjalan mondar-mandir kesana kemari dengan uring-uringan.
Wanita itu menggigit kuku ibu jarinya dengan ketakutan.
"Di mana taxi-nya?! Astaga! Arggg!"
Wanita itu frustasi karena sudah hampir setengah jam dia berada di halte itu untuk menunggu angkutan umum, tetapi tak ada yang lewat satupun.
"Cowok gila itu enggak ada di sini, kan?!" gumamnya khawatir.
"Semoga ..." lirihnya.
Karena sudah putus asa tak mendapatkan angkutan yang lewat, wanita itu berjalan dengan cepat menjauh dari halte. Siapa tahu, di depan sana ada ojek yang bisa mengantarkannya pulang.
Baru beberapa meter wanita itu berjalan, langkah kakinya dengan cepat tertahan.
Wanita itu menelan salivanya dengan susah saat melihat seorang pria tengah berdiri tak jauh dari posisinya.
Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan pelan. Wajahnya sudah pucat karena ketakutan dengan pria yang ada di hadapannya itu.
Perlahan dia berjalan mundur, tetapi pria itu dengan cepat menahannya agar tak membuat jarak lebih jauh lagi.
"Hai, Sayang," sapa Al sambil tersenyum lembut.
Wanita itu menggelengkan kepalanya karena takut dengan Al. Dia takut bila Al melukainya karena ucapan Al siang tadi saat di kafe, sewaktu dia menumpahkan banyak makanan dan minuman di atas perut Rexi.
"Kau tampak terlihat begitu cantik dibandingkan wanita hamil yang kutemani tadi," kata Al dengan sangat lembut.
Wajah wanita itu merona.
Al mengelus wajah wanita itu dengan sangat lembut.
"Apa pekerjaan kamu sebagai pelayan kafe tidak mendapatkan banyak gaji, sampai kamu rela melukai wanita hamil hanya untuk mendapatkan bayaran?" tanya Al lembut.
"Ha?!"
Wanita itu berhenti merona dan malah kembali terlihat panik.
"Ah ... Lupakan saja, Sayang. Lupakan kejadian siang tadi. Itu tidak penting," kata Al.
"Yang terpenting sekarang, kita akan bersenang-senang, Cantik," kata Al lagi.
Kalimat Al yang begitu ringan dan romantis berhasil membuat wanita itu merona untuk yang kedua kalinya.
"Akan aku sewakan hotel berbintang lima untuk tempat kita bercinta, Sayang," kata Al sensual.
"Tapi, aku harus tes kemampuan kamu, seberapa mahir kamu dalam bercinta," kata Al tenang sambil tersenyum manis.
Wanita itu menunduk malu. Kalimat Al membuatnya lupa akan ketakutannya kepada Al.
"Cobalah untuk hisap jari telunjuk tangan kananku, Sayang. Aku ingin merasakan, bagaimana mahirnya servismu nanti," kata Al, lalu memasukkan jari telunjuk tangan kanannya ke dalam mulut wanita itu.
Tanpa pikir panjang, wanita itu buru-buru menghisap telunjuk Al seakan-akan yang dia hisap itu adalah permen manis.
"Hisaplah, Sayang. Hisap secepatnya," kata Al menyemangati sambil terus mengelus punggung wanita itu dengan sensual.
"Uhm ..."
Al tersenyum tipis sambil terus menyaksikan wanita itu menghisap jari telunjuknya dengan cepat.
Al mendekatkan bibirnya pada daun telinga kanan wanita itu.
"Hisap racunnya sampai habis, Sayang," bisik Al sambil tersenyum menyeringai.
Wanita itu membulatkan matanya dengan lebar saat Al membisikkan kalimat itu kepadanya.
Al mendorong wanita itu dengan kasar hingga terjatuh di atas aspal.
"Nyawamu tinggal lima belas menit lagi, Sayang. Lakukanlah hal yang bermanfaat semasa sisa hidupmu," kata Al tenang.
Wanita itu terbatuk sambil berusaha untuk mengeluarkan semua cairan di dalam tubuhnya.
Al tersenyum menyeringai, lalu mengeluarkan tissue basah dari sakunya dan menghapus bekas hisapan wanita itu pada jari telunjuk tangan kanannya.
"Uhuk! Uhuk! Lo ..."
Wanita itu memukul-mukul dadanya, tak kuasa menahan sakit di sana.
"Sekarang gue percaya sama apa kata orang. Ketampanan dan kecerdikan harus satu paket untuk buat orang lain terpana dan patuh sama kita," kata Al tenang sambil tersenyum kecil.
Wanita itu terbatuk-batuk sambil memukul-mukul lehernya.
"Rasakan, Sayang. Rasakan buah dari nafsumu. Bercinta tak kau dapat, nyawa kau hilangkan," kata Al santai.
"Lo! Ughhhh!"
"Tak usah banyak bicara, Sayang. Ladeni saja lehermu yang sedang kesakitan," kata Al lembut.
Wanita itu terbaring di atas aspal dengan lemah.
Al berjongkok.
"Mau hisap jari gue lagi? Lumayan kalau lo hisap sisa racunnya," kata Al lembut.
Wanita itu menangis menahan sakit.
Al memasang ekspresi sedihnya.
"Aduh ... Anjingku kesakitan. Ah ... Ralat, maksudnya, anjing Anggara kesakitan," kata Al dengan nada suara dibuat sedih.
Wanita itu kaget dengan ucapan Al. Darimana Al tahu kalau dia suruhan Anggara.
"Ah iya, sempat aja lo mau ucapin salam perpisahan sama Anggara. Gue baik hati, gue teleponin dia buat lo," kata Al menawarkan.
Wanita itu tersenyum ditengah-tengah kesakitan.
"Walaupun lo bunuh gue ... Anak lo ... Da ... Dan juga calon ibu dari anak lo ... Me ... Mereka bakalan ogah ... Pu ... Punya ayah dan suami pembunuh kayak lo!" teriak wanita itu keras.
Usai wanita itu mengatakan kalimat putus-putus itu, cairan darah kental keluar begitu banyak dari kedua lubang hidung dan juga mulutnya.
Al terkekeh.
"Jangan banyak bicara dan mengeluarkan emosi, Sayang. Semakin lo gunain urat lo, cairan itu makin banyak keluar dari tubuh lo," kata Al memperingati.
"Ah iya! Tadi, lo bilang kalau anak gue dan Rexi bakalan ogah dan enggak sudi punya keluarga pembunuh kayak gue? Lo salah besar!" seru Al bangga.
Al tertawa keras.
"Bukan gue yang bunuh lo. Tapi, lo yang bunuh diri lo sendiri!" tegas Al.
Wanita itu menatap Al dengan tajam.
"Gue cuma nyuruh lo buat hisap jari gue, dan lo dengan senang hati mau nurut sama apa yang gue bilang," kata Al santai.
"Sialan ..." umpat wanita itu dengan emosi.
Al terkekeh, lalu menjatuhkan pandangannya untuk menatap waktu pada jam tangan rolex-nya.
"Ah ... Dua menit lagi lo bakalan ketemu sama Tuhan. Kalau sampai di sana nanti, lo jadi orang baik sama Tuhan, yah? Jangan pernah mikir buat celakai Tuhan sama kayak lo celakai Rexi," kata Al memperingati.
Usai mengatakan kalimat sinisnya kepada wanita sekarat itu, Al berdiri dari duduknya, lalu memperbaiki kerah bajunya.
"To ... Tolong gu ... Gue ... Se ... Selamatin gu ... Gue ..."
Al tersenyum tipis saat mendengarkan ucapan permintaan tolong wanita itu.
Nasi sudah menjadi bubur. Wanita itu pastinya tak dapat diselamatkan karena racun yang Al gunakan sangat mematikan.
Al melangkahkan kakinya untuk berjalan pergi dari TKP.
Al benar-benar membunuh wanita itu dengan sangat mulus tanpa jejak. Ah ... Dia benar-benar sangat licik sekali.
Al membenci siapa saja yang mengganggu kehidupannya dengan Rexi, apalagi berniat mencelakai anaknya.
Tanpa berpikir panjang, Al berjalan santai ke arah mobilnya yang terparkir tak cukup jauh dari sana. Dia tak pernah berhenti untuk menampilkan senyuman kemenangannya.
***
- To Be Continued -
***