Lover In War | βœ”

By queentuucky

3.5K 491 143

[ Seri ketiga dari Marriage In Rush ] 𝐜𝐑𝐒𝐜𝐀π₯𝐒𝐭 - 𝐫𝐨𝐦𝐚𝐧𝐜𝐞 - 𝐰𝐒𝐭𝐑 𝐚 𝐬π₯𝐒𝐠𝐑𝐭π₯𝐲 𝐚𝐜𝐭... More

LOVER IN WAR
TEASER
Visual | Main Character
The Beginning
Prolog
LIW | 1
LIW | 2
LIW | 3
LIW | 4
LIW | 5
LIW | 6
LIW | 7
LIW | 8
LIW | 10
LIW | 11
LIW | 12
LIW | 13
LIW | 14
LIW | 15
LIW | 16
LIW | 17
LIW | 18
LIW | 19
LIW | 20
LIW | 21
LIW | 22
LIW | 23
LIW | 24
LIW | 25
LIW | 26
LIW | 27
LIW | 28
LIW | 29
LIW | 30
LIW | 31
LIW | 32
LIW | 33
LIW | 34
LIW | 35
LIW | 36
LIW | 37
LIW | 38
EPILOG
_the untold story_
_side track_

LIW | 9

69 12 2
By queentuucky

Persis seperti apa yang telah Maura duga sebelumnya, Laura tidak akan melepaskannya begitu saja. Ia semakin gencar menghubunginya bahkan ia sampai repot-repot meluangkan waktunya untuk 'mampir' ke ruko Maura yang letaknya cukup jauh dari kediaman Williams seperti saat ini. Benar-benar pengangguran yang untungnya kaya raya.

Laura duduk di sofa yang letaknya berada di seberang Maura. Sambil mengunyah keripik kentang yang sengaja ia simpan di kantor, Laura mulai berceloteh. "Jadi, Devan-Devan itu beneran pacar lo? Ketemu di mana? Kok gak bilang-bilang? Padahal gue gak pernah alfa nanyain pasangan lo, ada atau enggaknya. Mau sok-sokan misterius gitu?"

Dengan sengaja, Maura membanting bundelan laporan yang sedang diperiksanya sambil menghela napas berat. Keningnya ia pijat pelan; mencoba menyingkirkan rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang. "Lo gak bisa nunggu sampe gue beres kerja, ya? Seriusan, La. Gue lagi pusing ngurusin data-data yang masuk dan elo malah memperburuk rasa pusing gue."

Laura tak menanggapi ucapan Maura dengan serius. Ia menggedikkan sebelah bahunya sambil terus mengunyah keripik kentang di tangan. "Lo bisa istirahat dulu bentar buat cerita ke gue, Ra. Feel free. Gue selalu ada buat dengerin curhatan lo."

Maura akui temannya yang satu ini memang agak gila dan butuh sedikit konseling, tapi Maura melupakan hal penting lainnya dari Laura. Temannya yang satu itu memang tidak tahu diri. Jadi, daripada ia ikut-ikutan gila, Maura memilih untuk meladeni keinginan Laura karena ia tahu Laura tidak akan berhenti mengoceh sebelum ia mendapatkan jawabannya. 

Maura memanggil salah satu tangan kanannya lewat interkom nirkabel yang terletak di atas mejanya. Tak lama, anak buahnya itu datang ke ruangan Maura. Dengan cepat, ia menyerahkan bundelan yang sebelumnya ia periksa sambil memberi perintah untuk mengecek data-data yang ada dengan cermat dan kemudian mengusir bawahannya itu tanpa ragu-ragu. 

Setelahnya, Maura dengan cepat berpindah posisi mendekati Laura. Diambilnya keripik kentang miliknya yang berada dalam genggaman Laura dan mengunyahnya perlahan. Ia mencoba mengulur sedikit waktu untuk mencari alibi dengan mengunyah keripik itu perlahan-lahan. Laura yang paham siasat Maura segera merampas keripik kentang itu; memaksa Maura untuk membuka mulut secepatnya karena Laura sudah penasaran setengah mati. 

Maura berdesah pelan. Ia melemparkan badannya ke belakang hingga posisinya kini bersandar di sofa. Sesaat kemudian, ia pun buka suara. "Devan itu bawahan gue. Dia kerja di sini. Udah kenal sejak tahun pertama taruhan ini dimulai. Mm, dari satu setengah tahun yang lalu? Atau ... dua? Dia juga tau kalo gue lagi dalam masa taruhan. Jadi, dia udah beberapa kali minta gue untuk nikahin dia di mana itu cuma becandaan doang. I don't take it seriously karena--sumpah, deh!--dia gak beneran minta gue nikahin. Kedengeran kayak main-main, tau gak? However, yang kemarin itu cuma main-main aja. Oke? Don't take it seriously. Got it?"

Laura nampak berpikir untuk beberapa waktu; mencoba menganalisis jawaban dari Maura. Masuk akalkah jawabannya itu?

"Siapa yang tahu kalo dia gak serius? Listen, bukan elo yang nentuin dia serius atau enggak. Perasaan orang gak ada yang tau, 'kan? Lo harus tanya Devannya sendiri tentang perasaannya ke elo buat mastiin."

"Iya!" seru Maura di luar kendali. Ia terlihat mengatur napas sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Gue tau itu. Gue tau kalo gue gak berhak ngecap seseorang tulus atau enggak cuma dari perlakuannya doang, tapi seenggaknya dari situ gue bisa nilai dia dengan mata kepala gue sendiri dan Devan tuh beneran cuma main-main, La. Gak lebih! Jadi, kesimpulannya, gue masih jomblo. Masih cari-cari pasangan yang terbaik buat gue kayak yang Ferli dan Tintan lakuin. So, please, jangan ganggu gue lagi dan biarin gue cari pasangan gue dengan tenang tanpa ada gangguan dari elo. Oke?"

Nada suara Maura yang menaik di akhir kalimatnya ternyata tak cukup mampu untuk menggentarkan Laura. Laura menyimpan keripik kentang dalam dekapannya di atas meja, meminum sekaleng coca-cola di atas meja dan melangkahkan kaki menuju pintu keluar tanpa banyak kata. Maura menghela napas lagi sambil meletakkan sebelah tangannya di atas kening. Ia kira, Laura akan pergi menjauh saat itu juga. Namun, seperti yang sudah dibilang tadi, teriakan frustasi Maura itu tak mampu membuat Laura mundur.

Dari celah pintu ruang kantor Maura yang terbuka sedikit, Laura berseru kencang. "YANG NAMANYA DEVAN MANA? ADA ORANGNYA DI SINI?"

Seisi karyawan Maura yang berada di lantai atas jelas terkejut mendengar Devan dipanggil oleh tamu bosnya. Begitu juga dengan Maura yang ikut membulatkan kedua bola mata di tempatnya duduk. Rasanya, ia bahkan belum sempat mengambil napas dengan benar dan sudah diberi kejutan lain lagi oleh sahabatnya itu. Benar-benar sesuatu.

Sambil menahan rasa penasaran, karyawan-karyawan Maura itu menunjuk ke salah satu meja yang letaknya berada di tengah-tengah ruangan. Di kursi itu, terlihat Devan tengah terduduk sambil menatap ke arah Laura dengan tatapan kebingungan.

"Kamu yang namanya Devan?" tanya Laura lagi sambil menunjuk ke arah Devan berada. Devan menganggukkan kepalanya sekali. Melihat validasi dari lelaki itu membuat Laura semakin percaya diri. Dengan lambaian tangan, ia menyuruh Devan untuk menghampirinya. Meski ragu-ragu, Devan mendatangi tempat Laura berdiri juga. 

Di dalam ruangan, Maura hanya mampu menghela napasnya berulang kali. Meski itu adalah kantornya, tapi jelas, ia tidak akan pernah bisa melawan Sanchez yang kini bertambah gelarnya menjadi Williams née Sanchez. Bisa-bisa, bisnis kecil-kecilannya ini kembali bangkrut seperti mimpi buruknya yang lalu-lalu.

Devan dibawa masuk ke dalam kantor Maura oleh Laura. Maura bahkan tak mencoba menghentikan tingkah sahabatnya yang satu itu karena sudah terlalu lelah meladeni tingkahnya. Terserahlah

Ditempatkannya Devan dipinggir Maura dengan sengaja. Laura menggeser kursi putar milik Maura dan menempatkannya di hadapan Devan. Laura mendudukkan dirinya di kursi putar itu sambil mengulurkan sebelah tangannya pada Devan; mengajaknya bersalaman. Devan menyambut uluran tangan itu dengan percaya diri.

"Laura," ucap Laura memperkenalkan diri. Sesaat, Devan mulai memahami situasi yang ada. Ia membalas perkenalan Laura itu dengan senyuman simpul. "Devan."

"Pacar Maura, right?" tanya Laura sambil melepaskan jabatan tangannya. Devan menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepala. "Sayang banget, Maura gak mau ngaku kalo lo itu pacarnya. Did I miss something?" lanjut Laura kemudian.

Maura yang duduk di samping Devan melirik ke arahnya diam-diam. Dilihatnya Devan yang tak merubah ekspresinya. Ia terlihat telah memprediksi hal ini. 

"Sebenarnya saya udah confess sama Maura beberapa kali. Kemarin, saya confess lagi. Bedanya, kemarin, saat saya confess, Anda telfon Maura. Jadi, sebagai bentuk nyata kesungguhan saya, saya rasa saya harus memperkenalkan diri saya sebagai pacar Maura kepada Anda," jawab Devan yang membuat Laura terganggu dengan formalitasnya. Jujur saja, ini juga kali pertama Maura melihat sikap Devan yang terlalu formal.

Laura mengibaskan sebelah tangannya di hadapan Devan sambil memintanya untuk tak terlalu kaku; buat nyaman saja. Cukup pakai panggilan kasual, katanya. Panggilan gue-elo lebih enak didengar. Dan Devan setuju.

"Jadi, lo beneran suka sama temen gue ini? Maura?" Lagi-lagi, Devan mengangguk. "Kalo gitu, lo tau gak apa yang buat Maura gak yakin sama perasaan suka lo ini?" 

Untuk pertanyaan Laura yang satu ini, Devan membutuhkan beberapa waktu untuk berpikir. Pada akhirnya, Laura meminta temannya untuk menjelaskan keraguan yang dirasakannya. Maura menolak pada awalnya karena ia pikir itu semua tidak perlu. Karena pada intinya, Maura tidak menyukai Devan dan alasan itu saja sudah cukup untuk menolak Devan mentah-mentah. Namun Laura tetap memaksa dan karena Maura tidak ingin terlihat buruk di hadapan Devan, ia pun terpaksa mengungkapkan perasaan mengganjalnya itu.

"Pertama, gak ada alasan pasti kenapa aku harus percaya sama semua omongan kamu--yang tadi kamu bilang sebagai confess itu. Kamu gak pernah sungguh-sungguh tiap bilang suka ke aku. Cara kamu confess itu bukannya bikin aku tersentuh, tapi malah bikin geli. Ilfil. Kamu selalu merengek untuk dijadiin calon suami aku karena kamu tau aku lagi dalam masa taruhan dan kamu cuma mau main-main doang sama aku. Dan itu semakin jelas saat kamu kembali ungkit-ungkit taruhan aku dan teman-teman aku saat kamu lagi confess kemarin. Kedua, sorry to say, tapi aku pengen cari jodoh yang terbaik untuk diri aku sendiri. Dan sudah bisa dipastikan, itu bukan kamu.

"Jadi, boleh gak kamu klarifikasi ke Laura tentang hubungan kita yang sebenarnya. Hubungan yang cuma sebatas atasan dan bawahan. Gak lebih dari itu. Karena aku sendiri udah muak direcokin terus sama Laura. Aku mau fokus cari laki-laki terbaik buatku dan menikah secepatnya seperti apa yang Laura pengin, tapi aku juga butuh waktu untuk itu semua."

Kedua makhluk hidup berbeda jenis kelamin yang berada di satu ruangan yang sama dengan Maura itu terdiam. Maura  nampak menarik napasnya pelan; mencoba menenangkan dirinya sendiri. Emosinya kali ini tak beraturan dan PMS membuat perasaannya semakin acak-acakan.

Lama terdiam, baik Laura juga Devan nampak tengah memberikan sedikit waktu untuk Maura agar dapat menenangkan dirinya sendiri. Saat dilihatnya kondisi Maura yang telah lebih baik dari sebelumnya, dengan kurang ajarnya Devan menggenggam kedua tangan Maura yang berada di pangkuannya. Maura mencoba melepaskan pegangan tangannya, namun genggaman tangan Devan terlalu erat. Sedangkan Laura hanya membiarkan adegan di hadapannya berjalan begitu saja. Ia juga ingin tahu sejauh mana Devan akan bertindak.

"Aku sadar kalau selama ini aku terkesan main-main sama kamu. Semua confess-confess aku ke kamu sebelumnya emang pantas dicurigai; antara serius atau enggaknya. Tapi kamu harus percaya sama aku. Seenggaknya, kasih aku waktu dan aku akan buktiin kalau aku beneran serius sama kamu."

"Gak perlu!" tolak Maura mentah-mentah. "Kamu gak perlu buang-buang waktu untuk hal yang gak penting itu. Akhirnya bakal sama aja, kok! Kamu gak akan pernah ada di urutan the most suitable man to be my husband."

Saat mengatakan itu, genggaman Devan di kedua tangan Maura malah semakin mengencang. Nampaknya, Devan berusaha keras menahan rasa kesal lewat genggaman tangannya itu. Maura sempat mengaduh perlahan dan aduhan itu mampu menyadarkan Devan. Sesaat kemudian, Devan mengendurkan cengkramannya. Maura segera menarik kedua tangannya dan mengusapnya perlahan; mencoba menghilangkan rasa sakitnya. Devan melirik sekilas kedua tangan Maura yang memerah karena cengkramannya. Seketika, Devan merasa bersalah. Seharusnya ia tidak hilang kendali begitu.

Melihat situasi tak nyaman dari dua manusia di hadapannya, Laura mengambil insiatif. "Oke. Karena Devan tadi minta waktu untuk membuktikan keseriusannya, gimana kalo kita kasih aja."

"APA?!" seru Maura kemudian. Lagi-lagi Laura mengabaikannya.

"Lo juga perlu cari cowok lain yang sesuai kriteria lo kan, Ra? Jadi, gue kasih kalian waktu lima bulan untuk kalian saling mengenal dan selama lima bulan itu, lo juga bebas cari cowok lain, Ra. Yah, singkatnya, gue kasih waktu buat kalian pdkt. Sisa waktunya, bisa dipake buat persiapan pernikahan."

"Lima bulan? Tunggu, sisanya masih ada lima bulan lagi sampai batas akhir taruhan kita, La. Mana cukup waktu lima bulan itu dipake buat cari cowok? Apalagi lo tau sendiri kalo tipe cowok impian gue itu gak main-main. Seenggaknya, tambahin jadi delapan bulan. Dua bulan buat persiapan pernikahan kayaknya cukup. Lewatin kelas pranikahnya dan resepsi yang bisa dirayain kapan aja, kita cuma perlu ke gereja doang, baca sumpah pernikahan, tanda tangan surat-surat dan voila! Gue nikah tanpa melewati batas taruhannya," protes Maura panjang lebar. Tanggapan Laura sudah jelas. Meski ia tak mengatakan sepatah kata pun, tapi dari mimik wajahnya saja sudah terbaca jelas sekali; Laura tak menerima protesan Maura. 

Melihatnya, Maura menutup mulutnya rapat-rapat. Laura mengalihkan pandangan pada Devan dan bertanya singkat. "Paham?"

Meski lumayan berbelit, Devan masih mampu memahami ucapan Laura. Singkatnya, ia diberi waktu lima bulan oleh Laura untuk masa pendekatan dengan Maura dan itu waktu yang lebih dari cukup untuk mengorek seluruh informasi yang Maura miliki soal kartel narkoba yang menjadi partner in crime-nya selama ini. 

Melihat anggukan singkat dari Devan, membuat Laura merasa puas. Dilihatnya ekspresi kecut dari temannya yang sanggup membuat Laura menghela napas berat. Ditepuknya bahu Maura pelan untuk sekali-dua kali; mencoba memberi semangat yang nampaknya tak berpengaruh.

Continue Reading

You'll Also Like

13.6K 1.5K 45
"Dasar gila!" "Gue denger ya, Mbak." "Lah bener kan?" "Siapa orang yang masih waras yang ngatain cantik orang yang baru pulang setelah seharian kerj...
4.6K 773 63
Ketika bertemu bagai musuh, namun rindu saat menjauh. Kala semesta membuat mereka saling merengkuh, ternyata kenyataan membuat mereka menjauh. Mereka...
254K 12.8K 30
"Ayo bahagia bersama, Sa." Sudah tidak ada lagi cinta dalam diri seorang Teressa Anastasia. Kegagalan kedua orang tuanya dalam pernikahan membuat dia...
412K 24.2K 29
Story Kedua Neo Ka🐰 Duda Series Pertama By: Neo Ka Gayatri Mandanu itu ingin hidup simpel, tidak ingin terlalu dikekang oleh siapapun bahkan kadang...