Perhatian Reya teralihkan ketika melihat sosok yang selama dua hari ini tidak keluar dari kamar kini menampakkan dirinya dengan seragam sekolah.
"Keluar juga lo dari kamar. Gue pikir udah mati!"
Tidak ada jawaban apa pun, Megin hanya diam saja seolah tidak ada yang berbicara.
"Kamu itu nggak pernah sadar diri, ya? Udah numpang, tinggal seenaknya sendiri. Kamu pikir ini rumah kamu yang cuma santai tidur aja?" Atika pun kesal, ia ingin memberi pelajaran pada anak itu.
Dua hari ia tidak bisa dihubungi dan mengurung diri di kamar membuat pekerjannya bertambah saja. Harusnya kan setelah pergi ia bisa santai bukan mengerjakan tugas yang seharusnya Megin lakukan.
"Orang tua saya menitipkan anaknya di sini. Saya bukan benalu, saya sadar diri. Untuk apa saya menyisihkan uang gaji saya untuk kebutuhan rumah dan memberi untuk Tante? Lalu bagaimana dengan harta orang tua saya yang kalian ambil? Apa itu tidak bisa membuat kalian menghargai kehadiran saya di sini?"
Megin sudah muak. Ia tidak tahan lagi mendengar semua kata-kata menusuk dari dua manusia yang merupakan bibi dan sepupunya sendiri. Tidak ada hubungan saudara, di sini hanya ada pembantu dan atasan.
"Lo didiemin makin nglunjak, ya!" Reya menggeram, ia berniat mendorong Megin namun anak itu mencekal tangannya dan membuangnya kasar.
"Nglunjak? Bukannya kalian yang ngambil hak anak yatim piatu?"
"Lo!"
"Gue bener, kan?"
Byur!
Matanya terpejam saat tiba-tiba Atika membuang air putih ke wajahnya. Membuat baju bagian atasnya basah. Tangannya terangkat, mengusap tetesan air yang tersisa di wajah dengan tatapan penuh emosi, namun sebisa mungkin Megin mengontrol ekspresinya.
"Anak biadab! Kalo kami nggak ambil uang kamu, gimana kamu bisa makan, huh? Gimana kamu bisa tidur, mandi, pake listrik. Kamu pikir hidup itu gratis? Gila kamu? Mikir!"
Megin mengepalkan tangannya kuat-kuat. Untuk makan apa? Mereka jarang memberinya makan. Untuk memberinya kamar yang layak? Mereka hanya memberi kamar kecil dengan kasur yang keras. Listrik, air? Bukannya uang yang mereka ambil lebih dari untuk membayar itu semua dalam jangka waktu panjang? Dan apa itu semua diperhitungkan padahal mereka saudara bukan orang asing.
"Kalian yang gila!" akhir Megin. Setelahnya ia keluar dari rumah tanpa memakan apa pun dan dengan keadaan hati yang buruk.
Tidak peduli bajunya yang basah, Megin ingin cepat pergi. Megin teramat lelah.
Seperti biasa, ia menunggu di halte bus. Bus datang dengan cepat dan ia naik ke sana. Duduk di bangku belakang sambil melihat jalanan dengan tatapan kosong.
Ia bahkan tidak memberi tahu Gibran tentang kondisinya. Ia juga tidak memberi tahu Gibran jika hari ini akan berangkat sekolah.
Megin menghindar.
Ia belum sanggup melihat wajah tulus penuh senyum itu.
•••
Bosan.
Sepi.
Rindu.
Ada yang bilang dari dirinya.
Gibran dengan mood kurang baiknya berangkat sekolah yang berakhir ia menaruh kepalanya di atas meja dengan wajah cemberut.
Megin tidak membalas pesannya.
Megin tidak memberinya kabar apa pun.
Padahal Gibran menunggu, tapi itu berakhir sia-sia.
Sekarang pun Megin belum berangkat. Apa ia tidak berangkat lagi?
"Jangan gitu dong. Nggak suka," lirih Gibran. Ia memainkan jarinya di atas meja saking bosannya. Namun, suara tas diletakkan di bangku depannya membuat Gibran mendongak.
Matanya membulat kaget dan seketika wajahnya berubah ceria kembali.
"Megin!" seru Gibran senang bukan main.
Ia mendekat, memegang ke dua bahu Megin dengan mata berbinar masih tidak percaya.
"Megin, lo berangkat sekolah! Lo balik lagi! Astaga, gue seneng banget!" Gibran beralih menggenggam ke dua tangan Megin erat. Ia terus tersenyum dan menatapnya dengan binar kebahagian.
"Gue khawatir banget, Gin. Lo kenapa? Lo ada masalah?" tanya Gibran lembut.
"Muka lo pucet. Lo sakit lagi, Gin?" Diusapnya pipi itu lembut, Gibran tidak bisa terus melihat Megin seperti ini.
"Megin, ada apa?" Megin masih menutup bibirnya rapat-rapat. Dengan perlahan ia melepaskan genggaman tangan Gibran, membuat Gibran menatapnya penuh tanya.
"Megin ...."
Bel berbunyi, membuat ucapan Gibran tidak bisa diteruskan.
"Balik ke bangku, Bran," pinta Megin.
"Lo utang penjelasan sama gue."
Terpaksa Gibran kembali ke bangkunya, tapi pasti nanti ia akan menagih penjelasan pada Megin. Ia harus tahu apa yang terjadi. Meginnya terlihat tidak baik-baik saja, ia tidak boleh terpuruk.
Semua siswa yang ada di luar pun mulai masuk kelas. Tak terkecuali Madhavi dan teman-temannya. Mereka tertawa dengan cerita yang hanya mereka yang tahu. Seperti tengah mentertawakan seseorang. Apa lagi Cakra dan Liona, mereka tertawa paling keras. Madhavi, anak itu diam saja. Setia dengan sikapnya yang sekeras batu dan sedingin es.
Sejak masuk kelas, Megin terus memperhatikannya sampai anak itu duduk di bangkunya sendiri. Bersandar di kursi dan menunggu guru datang dengan diam.
Secepat kilat Megin mengalihkan perhatiannya saat Madhavi menatap ke arahnya. Apa ia merasa sedang diperhatikan?
"Megin, astaga. Akhinya lo berangkat juga. Kangennn!" Sheila yang baru masuk kelas langsung memeluk Megin dan bertanya banyak hal. Tapi Megin hanya tersenyum tipis dan mengangguk.
"Guys!" Ketua kelas berdiri di depan mereka semua. Ia membawa selembar kertas dan menunjukannya pada mereka.
"Pak Satya nggak hadir. Kita belajar mandiri di kelas. Beliau ngasih tugas. Tolong dikerjain dan jangan berisik, ya! Kalo udah selesai tumpuk di meja depan nanti bakal dikumpulin ke meja Pak Satya."
"Asik asik!"
"Bisa nih sambil dengerin musik."
"Kantin boleh nggak?"
"Kalian nggak boleh keluar kelas. Tetap di kelas, bebas lakuin apa pun asal jangan berisik."
"Iya iya iyaaa!"
"Siap pak ketu!"
Ketua kelas membacakan tugas apa yang harus mereka kerjakan. Setelah itu mereka semua mulai sibuk mengerjakan tugas itu.
"Oh, ya, Megin. Di panggil wali kelas ke ruang guru. Sekarang," kata ketua kelas.
Megin yang tengah membuka buku, mencari jawaban pun menghentikan aktifitasnya. Ia menunduk, lalu melepas pulpennya dan berdiri tanpa mengatakan apa pun. Hal ini sudah Megin duga. Ia pun menjadi pusat perhatian, sedikit ada yang mencibir tapi Megin seolah tuli.
Setibanya di meja wali kelas. Megin di minta duduk di depan wali kelasnya. Bu Ara, ia menghela napas, lalu menggelengkan kepalanya menatap Megin.
"Alfa dua hari. Ada apa sama kamu Megin?"
"Maaf, Bu," jawabnya sambil menunduk.
"Kamu tidak bisa terus begini, Megin. Nilai kamu juga menurun. Beasiswa kamu bisa dicabut kalau nilai kamu terus begini."
"Jangan, Bu! Saya mohon!"
"Sebagai murid beasiswa. Kamu harus bisa mempertahankan nilai kamu jangan sampai anjlok. Di luar sana masih ada yang berhak dapat beasiswa selain kamu."
"Maaf, Bu. Saya tidak akan mengulanginya lagi."
"Bagus. Terus pertahankan jangan sampai posisi kamu diambil oleh orang lain."
"Baik, Bu. Saya janji!"
Bu Ara mengangguk kecil, ia sudah melihat perubahan Megin beberapa bulan ini. Nilainya sedikit turun dan sering absen. Ia peduli, karena itu ia menegurnya. Anak itu berprestasi, sayang sekali jika terus begini.
"Kamu sakit?"
"Saya---"
Kenapa harus sekarang? Megin menutup mulutnya karena perutnya terasa mual. Ia pun menggeleng kecil. "S-saya tidak apa-apa, Bu."
Megin berdiri, kemudian ia meminta izin untuk keluar. "Baik, Bu. Jika sudah selesai saya kembali ke kelas karena ada tugas yang harus saya kerjakan."
"Ya, silakan."
Bu Ara mempersilakan Megin untuk pergi. Anak itu pun langsung keluar dengan langkah cepat. Tujuan utamanya adalah kamar mandi. Ia sudah tidak tahan lagi.
Kondisi kamar mandi sepi. Megin membuka salah satu bilik dan memuntahkan isi perutnya di kloset. Perutnya perih, Megin belum mengisinya dengan apa pun dan kembali dikeluarkan. Rasanya tenaganya terkuras habis. Megin lemas. Ia bersandar pada dinding sambil memegang perutnya.
Air matanya jatuh, ia meremat tangannya sendiri begitu kuat.
Sekarang harus bagaimana?
Nilainya turun, ya bagaimana ia bisa fokus setelah kejadian itu?
Bagaimana ia bisa hidup tenang saat beasiswanya bisa dicabut kapan saja oleh seseorang yang memiliki kekuasaan lebih tanpa hati itu?
Bagaimana Megin tidak stress.
Dan sekarang?
Apa ia tidak akan gila?
Bagaimana ia bisa baik-baik saja.
Megin tidak baik-baik saja. Megin hancur!
Sayapnya sudah patah. Ia tidak bisa terbang lagi menggapai apa yang ia inginkan.
Haruskah ia menghadapi ini sendiri? Haruskah ia yang merasakan semuanya? Haruskah ia menanggung sesuatu yang bukan kesalahannya?
Tidak!
Megin tidak bisa!
Ia tidak tahan lagi.
Megin harus memberitahunya. Apa pun yang akan terjadi nanti.
Ia butuh titik terang, terutama untuk masa depannya yang berada di ujung tanduk.
•••
"Mau ke mana?" tanya ketua kelas melihat Madhavi berjalan menuju pintu.
"Toilet," jawabnya singkat. Ketua kelas mengangguk tanda mengizinkan.
Padahal sebenarnya ia tidak ke toilet, tapi pergi ke atap. Menyalakan korek api dan membakar nikotin favoritnya di sana dengan semilir angin yang menyejukkan tubuh.
Madhavi merebahkan tubuhnya di kursi panjang yang ada di sana. Menghisap candunya dan mengeluarkan asap dari bibirnya. Tugasnya sudah selesai, Madhavi hanya ingin ketenangan. Ia sudah muak dengan ketegangan di rumahnya yang tiada henti. Membuatnya serasa tinggal di neraka.
Kegiatan santainya terganggu karena ponsel di saku celananya bergetar. Madhavi pun mengambil ponselnya itu dan melihat siapa yang mengirim pesan.
Sebuah nomor tidak dikenal. Apa-apaan.
Ia membukanya tanpa mintat sedikit pun. Namun, sebuah tulisan yang ada di sana sontak membuatnya terkejut dan terduduk dengan mata melotot.
+6283123xxx
[Madhavi, gue hamil.]
To be continued
Hayolo. Sekarang bagaimana?
Don't forget to take care of yourself everyday. I love you
Jangan lupa vote komment dear :)
Flow
25-12-2021