Zian [END]

By aboutdee

2.2K 570 290

Ini tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir du... More

# Kolase Hidup Zian
1. Sebuah Kehilangan
2. Januari beserta lukanya
3. Sesak disudut ruang kamar
4. Dia dan keindahannya
5. Berusaha bertahan
7. Filosofi sebuah buku bagian 2
8. Berhenti atau Lanjut?
9. Sebuah Jawaban
10. Akhir sebuah keputusan
11. Kolase sebuah kenangan
12. Riuh sebuah pasar
13. Sepiring donat kentang
14. All about you
15. Bolos berkedok healing
16. Hujan dan Lukanya
17. Better not to know
18. Berdamai dengan kecemburuan
19. Hari biasa
20. Tiga Tahun Yang Lalu
21. 2022 dan Kultum singkat
22. Tahun baru - pasangan baru
23. Mengenang sebuah perpisahan
24. Bayangan Tentang Bapak
25. To Make Peace
26. Bertemu
27. Dipta dan perasaannya
28. Dipta dan Hujan
29. Hujan yang membawamu pergi
30. Every Second
31. Timeless
32. Dipeluk semesta
33. Jejak Tentangmu
34. Untuk yang masih di Bumi
35. Sang Tokoh Utama
36. Kini Selesai [FINAL]

6. Filosofi sebuah buku

63 29 8
By aboutdee

"Lo mau sarapan apa?" tanya Fera setelah mereka sampai di kantin kampus.

Menjadi teman satu angkatan makhluk berisik seperti Fera ini sungguh dibutuhkan kekuatan batin yang kuat.

Fera terdiam menatap rentetan menu yang tertempel di dinding. Sedangkan Zian, sibuk membuka laptop. Ia serahkan segala keputusan menu sarapan pagi ini ditangan temannya itu. Meski ia tau, mungkin hasilnya tidak akan memuaskannya.

"Kamu tim bubur diaduk atau enggak?"

"Enggak"

"Kenapa? enak kalau diaduk tau lebih kerasa. Bumbunya menyatu kek perasaan lo sama Dipta"

"Suka-suka gue dong"

"Jawab dulu kenapa?"

"Nggak"

"Kenapa? kenapa? kenapa? kenapa nggak suka diaduk? kenapa Zian?" bawel Fera.

"Karena tampilannya bikin enek."

"Penampilan itu nggak penting tau. Yang penting itu rasanya ...."

"...."

"Ehh ... lo doyan ketoprak kan?"

"Doyan"

"Kok lo semua-semuanya doyan sih? yang nggak lo doyan apa?"

"Ngga ada!!"

"Mustahil banget manusia doyan semua jenis makanan."

"Fer ...." Zian mulai jengah dengan sikap bawel Fera.

"Bisa langsung pesen aja nggak?".

Fera tersenyum, "Oke ... nasi campur aja."

Zian kembali berkutat dengan layar laptop. Mengerjakan beberapa tugas yang belum ia kerjakan. Terlalu banyak hal penting yang ada dalam laptopnya. Kuliah dan juga beberapa kenangan yang mungkin tidak akan bisa lagi ia dapatkan dilain tempat. Zian kini menjadi gadis yang selalu menyimpan kenangan berbentuk apapun. Album foto, file foto di laptop dan flashdisk, bahkan ada beberapa kenangan yang ia abadikan didalam tape recorder yang ia dapatkan dari Dipta hadiah tahun pertama ulang tahun Zian setelah mereka kenal.

Karena Zian pernah menyimpan kenangan hanya dalam ingatan. Namun, kini kenangan itu perlahan menghilang. Tentang beberapa momen masa kecilnya bersama mama, beberapa momen bersama keluarganya. Dan yang paling gadis itu sesali adalah, kenyataan bahwa kini ia sama sekali tidak bisa mengingat kembali suara sang mama.

"ZIAN !!!" teriak Fera dari meja kasir.

"ES NYA APAAN? LO PAKE AYAM APA TELOR? MAU KERUPUK NGGAK?"

Zian mendengus kesal, "Air putih, telur ceplok dan ga pake kerupuk."

Fera tersenyum menampakkan giginya yang seperti vampir itu, "Air putih satu teh adem satu, aku pake ayam temenku pake telur ceplok katanya. Sama kerupuknya satu aja ya."

Fera kembali ke tempat di mana Zian duduk. Entahlah bagaimana bisa Fera mengikuti langkah kaki Zian sejak SD. Satu SMP, tiga tahun dikelas yang sama satu bangku pula. Satu SMA, dikelas yang sama hanya satu tahun dan itupun satu bangku. Sekarang, satu kampus, satu fakultas, satu jurusan, satu kelas pula, untungnya duduknya satu-satu jadi nggak satu bangku, meski sampingan.

Tidak ada alasan khusus kenapa Fera memilih jurusan Sastra Indonesia padahal, yang Zian tahu, Fera sangat suka desain. Berapa kalipun orang-orang tanya kenapa dia memilih sastra, jawabannya akan selalu sama. Bahkan, nada suaranyapun selalu sama.

"Karena disastra ada Zian Malika Adinata."

Jawaban yang sangat klasik. Tapi dengan hadirnya Fera dalam hidup Zian. Zian menyadari banyak hal baru. Tentang, dunia lain yang tidak ia mengerti. Contohnya adalah Fera sendiri.

Bagaimana gadis itu membenci apapun yang berkaitan dengan ospek. Katanya, ospek hanya ajang perbudakan senior, karena jika itu diniatkan mengenal lingkungan tempat belajar, bukannya perkenalan itu bisa dilakukan seiring berjalannya waktu mereka belajar ditempat itu. Atau sesederhana bubur ayam. Bagaimana gadis itu lebih mementingkan rasa daripada penampilan.

"Zi ... masa ni ya gue minta diskon kerupuk satu doang kaga dikasih, pelit banget anjir."

"Padahal nih ya, waktu gue makan di warung depan kampus gue makan kerupuk lima gratis tau," lanjutnya.

"Ya lo makan aja disana."

"Nggak asik banget temanan sama Zian." Fera mendengus dengan wajahnya yang imut.

"Gue ga minta lo temanan sama gue."

"Busyeetttt calon istrinya Mas Dipta pedes banget mbak mulutnya."

Zian menatap Fera, "Lo nggak punya temen lain ya selain gue?"

Zian menggeleng, "Enggak. Orang lain prikk banget mukanya, cuma lo doang yang mending."

Zian tidak ingin lagi membalas omongan Fera. Karena ia tau, itu tidak akan ada ujungnya. Bahkan jika Zian bisa, ia ingin meneteskan Lem G dibibir Fera, agar gadis itu terdiam.

Berhasil menghabiskan satu piring nasi campur dengan telur ceplok membuat perut Zian ingin meledak. Masakan Teh Dian emang paling juara se antero kampus. 80% mahasiswa sini pasti akan menyerbu masakan Teh Dian yang rasanya itu ada ciri khas tersendiri.

Zian menilik ponselnya, ada satu pesan dari sang kekasih. Tanpa pikir panjang gadis itu langsung membalasnya.

Dipta ♡♡ : "Nanti sore free ngga?"

Zian : "Habis maghrib keknya udah free."

Dipta ♡♡ : "Anterin ke gramed mau ^_^"

Zian : "Jamput oke"

Dipta ♡♡ : "Siap laksanakan"

Gadis itu lantas merapikan barang-barangnya. Lalu melangkah bersama Fera menuju ruang kelas. Zian bukanlah gadis paling cerdas di jurusannya, tapi semua orang di kampus terutama seangkatannya bisa memastikan bahwa Zian adalah mahasiswa paling rajin pasal mengerjakan tugas-tugas. Meski tak jarang, ada beberapa tugas yang ia tak mengerti dan malah mengerjakannya dengan seadanya.

Syukur yang teramat pada Tuhan, bahwa gadis itu berhasil mendapatkan beasiswa. Meski hanya partial scholarship. Meski mendapat beasiswa sebagian, Zian tetap tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padanya. Karena baginya, jika dalam keluarga gadis itu sudah kalah dalam lingkungan pendidikan gadis itu harus berhasil. Karena dia tidak ingin takdir mengalahkannya disegala hal.

Pukul sembilan. Zian berlari menuju parkiran motor, menyalakan motornya lalu melaju dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Dia tidak peduli lagi bagaimana Fera akan pulang, karena sejak pagi Fera mau nebeng ke kampus, Zian sudah menjelaskan bahwa ia tidak bisa mengantar Fera pulang.

"Sial!! gue nggak dianterin beneran," gerutuk Fera yang menatap punggung Zian yang lenyap dibalik gerbang.

Gadis itu tau persis, resikonya menerima pekerjaan yang ditawarkan oleh Pak Syaiful. Selain perihal jarak ia akan capek dengan waktu yang terus mengejarnya. Bahkan jika ia bisa, ia ingin memindahkan rumahnya diantara kedua tempat yang sering ia kunjungi yaitu kampus dan tempat kerja.

"Dulu waktu gue masih bocah, nggak pernah sekalipun gue mikir kalo hidup gue bakal semelelahkan ini," batin gadis itu.

Gadis itu sering banget ngeluh tentang banyak hal. Tugas kuliah yang banyak, kerjaan yang bikin capek fisik, atau orang sekitar yang bikin capek hati. Tapi anehnya dia tetep jalanin itu semua. Dan sampai dititik sekarang ini, dia berhasil membuktikan bahwa dia mampu bertahan seburuk apapun itu keadaan.

Mengingat sejenak perkataan Pak Syaiful sewaktu Zian duduk dibangku pojok perpustakaan sembari menangis dalam diam.

"Kalau takdir bersikap nggak baik sama kita, berarti kita yang harus bersikap baik sama dia." Jujur, kala itu Zian yang notabennya masih mahasiswa baru, ia sama sekali tidak mengerti dengan bahasa orang-orang di kampus apalagi Pak Syaiful adalah seorang dosen. Otak Zian masih terlalu lemot kala itu.

Mengerti mimik wajah Zian yang kebingungan dosen dengan kecamata kotak itu angkat bicara, "Kita harus berteman sama musuh, supaya kita bisa tahu kelemahannya. Jadi singkatnya kamu harus berteman dengan takdir, kamu harus bersikap baik sama takdir, supaya kamu tau keinginan takdir itu gimana. Dengan cara apa pak? dengan cara bersikap baik sama dia, ikutin alur ceritanya, ikutin apa maunya."

Pak Syaiful bangkit dari duduknya lalu mengambil asal sebuah buku. Meletakkan buku bersampul warna oranye diatas meja tepat didepan mata Zian.

"Hidup itu kayak buku ini."

Zian bergeming. Gadis itu sungguh tidak mengerti apa yang dibicarakan dosennya ini.

"Dalam sebuah buku pasti ada prolog atau pembukaan. Ada isi atau inti dan yang pasti juga punya ending atau epilog. Waktu kita baca buku ini lembar demi lembar, kita nggak akan tau lembar selanjutnya akan gimana, kita nggak tau dibab selanjutnya akan ada apa, dan yang jelas kita juga nggak akan tau endingnya akan seperti apa. Sama seperti hidup. Kita nggak tau besok akan gimana, besok akan ada apa, atau sekedar besok mau makan apa aja kadang kita nggak tau. Hari ini udah planing makan nasi padang, ehh uangnya nggak cukup karena buat bayar listrik di kosan."

"Di buku ini ada banyak sekali tokoh-tokoh baru yang bermunculan seiring cerita ini dijalankan, konflik-konflik mulai yang dari paling ringan sampai yang paling berat atau klimaksnya. Sama kayak hidup. Ada banyak orang yang kita temui, dari mulai pedagang cilok keliling kompleks, pengamen lampu merah, sampai dosen-dosen di kampus. Dan tanpa kita sadari, orang-orang ini yang menghadirkan konflik-konflik dalam hidup kita."

"Maksudnya Pak?" tanya Zian tak mengerti.

"Sesimpel teman satu kelas kamu yang titip absen, atau penjual seblak yang salah terima pesanan, kamu pesennya sedeng dibuatkan yang ekstra pedas, akhirnya perut kamu sakit terus bolak-balik kamar mandi. Itu semua adalah konflik ringan yang kamu temui seiring kaki kamu melangkah, dan konflik itu muncul karena orang-orang baru dalam hidup kamu. Kalau klimaksnya ... tergantung bagaimana si penulis mau kasih kita ujian."

"Dan yang jelas, konflik-konflik ringan dan orang-orang baru itu akan selalu kasih kita sebuah pelajaran. Karena selalu ada alasan kenapa manusia ini diciptakan."

"Yaudah kamu lanjutin nangisnya maaf mengganggu," pamit Pak Syaiful lalu beranjak pergi.

Belum sampai lima langkah beliau berbalik, "Oh ya ... filosofi buku ini belum selesai, kita lanjut lain waktu," ucapnya lalu kembali melangkah hingga punggung dengan kemeja merah maroon itu hilang dibalik lemari buku.

Setelah kejadian itu, Zian selalu menganggap dosen berusia 40 tahunan itu adalah laki-laki pengganti Bapak. Kini selain menganggap Pak Syaiful sebagai dosen, ia juga menganggap beliau sebagai guru kehidupan Zian.

Dibawah panas matahari pagi setengah siang itu, Zian melangkahkan kakinya menuju tempat belajar baru. Bukan hanya gaji yang akan ia dapatkan, tapi disetiap tempat yang Zian kunjungi ia akan mendapatkan pelajaran yang berharga. Tentang hidup atau mungkin pelajaran yang lainnya.



Bersambung ....

"Karena kita tidak tahu, keindahan apa yang menunggu kita di ending cerita."

-Zian Malika Adinata-


"Si cantik nan gumushh"

-Syafira Arindra-

Continue Reading

You'll Also Like

806K 6.8K 13
SEBELUM MEMBACA CERITA INI FOLLOW DULU KARENA SEBAGIAN CHAPTER AKAN DI PRIVATE :) Alana tidak menyangka kalau kehidupan di kampusnya akan menjadi sem...
Sherly By Har~

Short Story

28.2K 966 30
[COMPLETE] Terkadang jika kita terlalu menikmati hidup, kita lupa dengan akhirnya. Maka dari itu, aku tidak pernah mau menikmati apa itu hidup dan ap...
My Choice [END] By -

Teen Fiction

92.5K 2.4K 11
[Baca Lengkapnya bisa di Fizzoo novel ya gais dengan judul "Pilihan Alinka" ] Taruhan antara 2 orang cowok most wanted di sekolah untuk mendapatkan c...
640K 75.4K 30
Bagaimana rasanya di campakkan oleh kedua orang tua sendiri? Bagaimana rasanya tidak di sayang oleh kedua orang tua sendiri? sakit bukan? ya, sangat...