Cinta Raja Naga (Telah Terbit)

By Aywa_17

357K 7.6K 654

Note: [21+] Cerita ini mengandung konten seksual dan dibutuhkan pemikiran dewasa untuk dapat menyaring isi ko... More

Prolog
Pertemuan Pertama
Hilangnya Kesucian
Pindah
Kembali Ke Sana
Amarah Pemilik Gaun
Narendra Dan Bayangan Satya
Tamu Tak Diundang
Hukuman
Info

Mimpikah?

12.4K 748 37
By Aywa_17

Kinan menurut untuk memejamkan mata walau tak menampik, sebetulnya hatinya merasa curiga bahwa sosok di hadapannya itu cuma bermaksud mengerjainya saja. Di hadapannya, Satya tersenyum diam-diam sebagai pemenang. Tidak ingin membuang waktunya dengan berlama-lama mengagumi kecantikan manusia di depannya, Satya langsung mendaratkan kecupan di bibir mungil Kinan yang saat itu seketika terkejut bukan kepalang. Namun, ketika Kinan membuka mata bermaksud melabrak sosok yang sudah lancang mencuri ciuman pertamanya itu, ia malah disambut dengan suara jerit histeris Maya yang berlari menyongsong ke arahnya.

"Ya ampun, dari mana aja lo?"

Kinan seakan tak peduli dengan seruan temannya, menoleh panik ke sana kemari berusaha menemukan keberadaan lelaki misterius tadi, yang sayangnya tidak lagi terlihat di sudut mana pun Kinan memandang.

Maya langsung mendekapnya erat seolah mereka sudah terpisahkan selama bertahun-tahun. Meremas punggung Kinan sambil berusaha menahan diri untuk tidak menangis kesekian kalinya semenjak ia sadar telah kehilangan seorang teman berharga di perkemahan.

"Gue takut banget tahu, kalau lo kenapa-napa. Dari tadi gue sama Andre dan lainnya nyariin lo. Sampai beberapa teman ikutan nyebur ke danau, tapi lonya nggak ada. Kenapa sekarang lo bisa ada di sini lagi? Eh, pakai baju siapa juga lo sekarang?"

Kinan hanya menelan ludah tanpa mampu berkata-kata. Jangankan memahami sederet pertanyaan Maya, memikirkan bagaimana dirinya bisa kembali berada di ujung dermaga saja, Kinan belum mampu.

Sadar bahwa temannya itu mungkin masih syok, Maya segera memanggil teman-temannya yang masih kebingungan di luar sana. Dan tak lama, satu per satu orang mulai berdatangan. Mengajukan beragam pertanyaan yang serupa. Akan tetapi, respons Kinan tetap sama.

Gadis itu sama sekali tidak mampu memberikan tanggapan dan cuma terdiam serupa orang linglung hingga akhirnya ia tiba di rumah orang tuanya diantarkan Andre dan Maya. Johan yang sebelumnya sudah sempat mendengar kabar tentang menghilangnya sang putri, bergegas berlari menyambut begitu mendengar teriakan salah satu pegawainya yang melaporkan kedatangan Kinan bersama dua temannya.

Hari masih sangat pagi, dan bahkan mentari pun belum menampakkan diri. Namun, Andre dan Maya sudah dicaci maki oleh pria parlente itu lantaran dianggap gagal menjaga putrinya sebagaimana janji mereka ketika membujuk agar diizinkan mengajak Kinan pergi untuk berkemah.

"Om, kan, sudah bilang kalau Kinan ini nggak bisa diajak pergi-pergi ke tempat seperti itu. Tapi gara-gara kalian, dia hampir saja kehilangan nyawanya!"

Johan berjalan mondar-mandir sambil berkacak pinggang di depan dua muda-mudi yang tertunduk lesu di ruang tamunya, serupa gayanya bila sedang memarahi anak buah yang tidak becus bekerja. Tidak peduli walau sebenarnya mereka ini adalah anak dari teman-temannya sendiri. Johan tak juga merasa puas mengomeli mereka meski harus mengulang kalimat beberapa kali.

"Hampir saja kemarin Om lapor polisi. Kalian tahu betapa berharganya Kinan bagi keluarga kami? Dia satu-satunya putri yang kami miliki. Kalau terjadi apa-apa sungguhan, saya nggak akan segan nuntut kalian dan bersumpah akan mengirim kalian ke penjara sampai membusuk di dalamnya!"

Kembali tak ada tanggapan. Johan yang melihat kelebat dokter—yang tadi dipanggilnya untuk memeriksa sang putri—telah keluar dari kamarnya, seketika mengibaskan tangan dan mengusir kedua tamunya itu pergi.

Buru-buru pria itu lantas menghampiri sang dokter wanita dan mengutarakan sederet rasa penasaran bercampur dengan kepanikannya. Namun, Johan hanya mendapatkan jawaban singkat dari sang lawan bicara, "Tidak ada luka yang serius. Dia hanya syok," tutur dokter tersebut sebelum memberikan resep dan pamit undur diri.

Johan pun segera mendatangi kamar sang putri tanpa perlu repot mengantarkan dokter itu keluar. Dan sampai saat ini, Kinan masih tampak terguncang dan linglung memeluk erat guling di kamarnya.

"Kamu nggak pa-pa, kan, Nak?" tanya Johan hati-hati sambil beranjak naik ke tempat tidur.

Suaranya itu berhasil menarik perhatian Kinan dan menoleh padanya. Seperti sangat kelelahan, Kinan hanya mengangguk lemah tanpa kata. Tak sadar jika kini tatapan Johan sudah sibuk mengamati gaun yang tengah melekat pantas pada tubuhnya.

"Tidak mungkin!" Johan terpekik saat baru tersadar akan sesuatu.

Seketika saja, Johan seperti dilemparkan ke masa lalu, dan teringat akan sosok wanita yang pernah membantai rekan-rekan sesama penyamunnya di masa itu. Wanita sialan itulah yang telah membuatnya mendapatkan teror mimpi buruk dari sosok berjubah hitam selama bertahun-tahun.

Semenjak Johan mendapatkan mimpi buruk pertamanya di mana ia tiba-tiba berada di dalam hutan pada malam hujan petir, sosok berjubah hitam itu selalu mendatangi mimpinya setiap kali putrinya berulang tahun. Mengatakan ancaman yang sama selama bertahun-tahun, dan sekarang Johan benar-benar melihat putrinya mengenakan gaun yang sama dengan mendiang istri si sosok berjubah hitam, wanita yang selalu dipanggilnya Tatya, tak pelak rasa hati Johan serasa diiris-iris.

Johan merasa hidupnya telah dikutuk, membeliak sambil menunjuk-nunjuk geram pada gaun sang putri. "It-itu, baju yang kamu pakai, kamu membelinya di mana? Kenapa Papa sama sekali tidak pernah melihat kamu memakai gaun itu sebelumnya? Apa mama yang belikan tanpa sepengetahuan Papa?"

Kinan ikut menunduk memperhatikan pakaiannya sendiri, terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menggeleng. "Ini bukan baju Kinan."

Johan menelan ludah. Mendadak saja napasnya terasa sesak meski di depan sang putri ia berusaha untuk tetap terlihat tenang. "Lalu baju siapa?"

Johan berharap—walau harapan itu sangat tipis, ia akan mendengar bahwa itu adalah baju yang dipinjam sang putri dari salah satu temannya yang kebetulan mirip dengan baju wanita dari masa lalunya. Namun sayangnya, tanggapan Kinan terdengar sebagai sebuah sambaran petir. Dan bukan sembarang sambaran, melainkan sambaran yang tepat mengenai kepalanya.

"Dipinjemin orang yang nolong Kinan. Katanya, ini baju mendiang istrinya."

Johan pun sontak turun dari tempat tidur sang putri dengan ekspresi tegang yang tak lagi bisa disembunyikan. "Kenapa kamu masih memakainya kalau itu memang bukan milik kamu? Sekarang, cepat lepaskan! Papa akan membakar baju itu sebagai bentuk buang sial. Anak gadis yang belum menikah tidak semestinya memakai pakaian yang bukan miliknya. Apalagi pemilik pakaian itu telah meninggal. Pamali!"

Walau terkejut dengan teriak berlebihan sang papa, Kinan tidak ingin membantah dan segera menyusul turun dari tempat tidur lalu berlari ke kamar mandi untuk bertukar pakaian.

Keputusan Johan untuk membakar gaun itu disadari Kinan sebagai keputusan yang tepat, sebab setiap detailnya hanya membuatnya jadi kembali teringat pada kenangan tak masuk akal pertemuannya dengan pria asing berparas rupawan namun mengerikan itu. Lebih-lebih, sepasang mata hijaunya yang sangat mengintimidasi dan terekam jelas di dalam kepala. Juga yang paling mengganggu, adalah ciuman lancangnya. Kenangan terakhir itu yang bikin Kinan merasa sangat tidak nyaman dan ia benar-benar ingin melupakannya.

"Besok, mama kamu akan pulang dari luar kota. Sebaiknya kita tidak membicarakan apa pun soal kejadian nahas yang menimpa kamu kemarin agar dia tidak cemas. Kamu mengerti?" Usai melemparkan gaun putih itu ke dalam kobaran api di dalam drum di belakang rumah, Johan mendekati Kinan yang hanya termenung menatap kobaran api melahap setiap ujung gaun secara perlahan.

Kali ini pun Kinan mengangguk pasrah. Tak berminat mengutarakan pendapat sampai kemudian Johan kembali memberi titah, "Dan Papa punya satu permintaan. Agar kamu jangan lagi bergaul sama teman-teman kamu itu."

Barulah kemudian, Kinan menoleh dan menatap sang papa dengan atensi penuh. "Maksudnya Andre sama Maya?"

"Ya siapa lagi?" Johan membenarkan lengus. "Mereka sudah gagal mengemban kepercayaan yang Papa berikan dan itu sangat mengecewakan."

"Mereka nggak bersalah, Pa. Ikutan berkemah itu kemauan Kinan. Nyebur ke danau itu juga kecerobohan Kinan sendiri yang pengen ngerasain segarnya mandi di alam bebas. Nggak ada sangkut pautnya sama mereka. Malahan kalau nggak ada mereka yang nyariin, Kinan nggak tahu lagi kayak gimana nasib Kinan sekarang."

"Papa tetap larang kamu bergaul sama mereka. Kalau mereka nggak bujuk kamu waktu itu, kamu juga nggak akan pergi ikutan kegiatan kemah-kemahan yang nggak berguna itu, kan?"

Kinan menahan napas. Ia benci ketika papanya mulai membuat peraturan konyol dan tak masuk akal di usianya yang sebulan lagi genap dua puluh satu tahun itu. Apalagi, sekarang larangan Johan menjadi semakin ngawur dan kelewatan.

"Pa, Kinan sudah dewasa. Kinan berhak buat menentukan dengan siapa Kinan akan bergaul. Papa nggak bisa nyalahin teman-teman atas keputusan yang Kinan mau dan ambil sendiri. Lagian bukan mereka yang maksa buat ikut kemah. Kinan cuma minta bantuan mereka buat ikutan ngomong ke Papa waktu itu. Supaya Papa percaya kalau yang ikut kegiatan nanti banyak dan Kinan nggak bohong. Lagian Andre dan Maya itu kan anak teman-teman Papa juga. Papa kenal sama orang tua mereka. Kalau Papa nyalahin mereka terus larang-larang Kinan buat bergaul sama mereka, itu namanya kekanakan. Sampai kapan Papa mau terus-terusan ngatur circle pertemanan Kinan?"

"Apa pun alasan kamu, keputusan Papa nggak akan berubah. Mau setua apa juga, kamu tetap anak Papa. Anak semata wayang yang harus Papa jaga dengan segenap jiwa dan raga. Mengenai Andre dan Maya itu anak siapa, nggak ada urusan. Karena yang terpenting bagi Papa adalah kamu. Cuma kamu!" Johan sadar peraturan yang ia buat memang cukup keras, tapi ia tidak ingin melunak hanya karena sekarang sang putri tampak begitu kecewa padanya.

"Ini peringatan terakhir dan Papa sangat serius, Kinan. Mulai sekarang, kamu nggak boleh pergi ke mana-mana selain kuliah. Jangan pernah meninggalkan kota ini apalagi pergi ke tempat-tempat wingit seperti kemarin. Sekali kamu langgar, Papa nggak akan segan-segan buat ngurung kamu di rumah. Inget itu."

Muak karena lagi-lagi pertengkarannya berakhir dengan kemenangan sang papa yang memiliki jiwa diktator dan over protective, Kinan memilih untuk langsung pergi ke dalam rumah dan menenggelamkan diri di kamarnya. Sudah cukup Kinan dibikin pusing memikirkan bagaimana dirinya bisa berpindah tempat hanya dengan modal menutup mata dan ciuman. Kinan tidak ingin menjadi bertambah pening memikirkan keputusan sang papa yang selalu semena-mena.

Hari itu, Kinan hanya ingin menghabiskan sisa hari liburnya dengan tidur sepanjang waktu. Namun belum juga niat itu terlaksana, keberadaan gaun putih tak asing yang tiba-tiba muncul di atas kasurnya membuat Kinan refleks menjerit histeris bahkan nyaris terjengkang secara tidak elite.

Bagaimana mungkin bisa? Gaun itu jelas-jelas sudah dibakar oleh papanya dan ia lihat dengan mata kepala sendiri sudah hangus dan menjadi abu. Lantas sekarang tiba-tiba saja kembali berada di atas kasurnya dan masih dalam kondisi utuh seperti semula? Apakah semua yang ia dan papanya lakukan tadi cuma mimpi?

"AAA...!!!"

*

Continue Reading

You'll Also Like

21.4K 4.4K 54
[Mantra Coffee : Next Generation Season 2] Halaman terakhir sudah penuh terisi dan ditutup oleh sebuah titik, tetapi sejatinya selalu ada awal baru d...
5.4K 468 53
Kecil, putih, terbang melesat? Apa lagi kalau bukan Naci (nasi kecil) seorang hantu yang tinggal di pohon pete bersama keluarganya. Ini kisah tentang...
217K 27K 48
Kumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan s...
74.7K 6.1K 85
[COMPLETED] Kematian seorang Guru di SMP GENTAWIRA membawa Zuna dan Diana kembali ke sekolah lama mereka. Awalnya hanya Zuna yang ditugaskan untuk me...