In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

88.7K 17.7K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

62. Winter Fever

1K 206 132
By AdistaSucardy

Kutatap wajah Leo dengan perasaan campur aduk. Kesedihan kini memenuhi sorot matanya. Ia menunduk muram, memainkan kentang panggang dengan garpunya. Ia seperti kehilangan selera makan tiba-tiba.

Hatiku mencelus. Ini adalah kali pertama aku melihat Leo bersedih. Ia biasanya selalu heboh dan ceria. Dan sekarang, ia tampak seperti sedang kecewa terhadap dirinya sendiri.

Kulirik Teresa yang duduk tepat di samping Leo. Ia masih belum menyadari apa yang terjadi. Gadis itu tampak tenang menikmati makanannya.

Perasaanku semakin tidak karuan. Teresa sudah lama menunggu momen di mana Leo akan membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Hari ini Leo akan melakukannya, gadis itu pasti akan sangat bahagia. Namun, Leo malah kehilangan cincinnya.

Aku menarik napas panjang. Kulirik Mark yang sedang mengunyah daging panggang. Kusentuh lembut pahanya untuk menarik perhatiannya.

Mark menoleh.

Aku tidak tahu bagaimana harus memberitahu Mark tanpa didengar Teresa.
Tapi kami harus melakukan sesuatu.

Sebelah alis Mark terangkat, ia menungguku mengatakan sesuatu. Di saat yang bersamaan, Leo melihat ke arah kami.

Mark semakin heran menyadari bahwa Leo tampak sama gelisahnya denganku.

"Kenapa tiba-tiba hening?" Teresa memandangi kami satu per satu.

Aku dan Leo semakin gusar. Sementara itu, Mark benar-benar bingung.

Leo kembali merogoh kantong-kantong jaketnya. "Kunci mobil," gumamnya tidak jelas. "Sepertinya aku menjatuhkannya saat bermain salju tadi." Ia menyempatkan diri untuk melempariku kode agar membantunya bersandiwara.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

Tatapan Teresa melebar. "Kau ceroboh sekali! Bagaimana kita akan pulang nanti?!"

Mark melirikku. Ia seperti curiga akan sesuatu.

Kuturunkan kedua tanganku ke bawah meja dan memutar-mutar cincin pernikahan di jari manisku untuk
menjelaskannya kepada Mark.

Sayangnya, Mark malah mengerutkan dahi, tanda tidak paham dengan apa yang kumaksud.

"Maaf, nanti akan kucari setelah selesai makan." Leo bergumam untuk menenangkan Teresa.

"Akan kubantu," timpalku. Tiba-tiba aku merasa kenyang. Aku khawatir dengan cincin Leo.

"Tidak punya kunci cadangan?" tanya Mark. "Untuk jaga-jaga, barangkali tidak bisa ditemukan. Saljunya lumayan tebal."

Leo tampak mencelus. Meski Mark belum tahu apa yang sebenarnya hilang, ucapannya membuat Leo berkecil hati. Dan kenyataannya memang begitu, saljunya tebal sedangkan halaman rumah kami bisa dikatakan cukup luas.

"Tidak ada," jawab Leo pasrah.

Teresa memutar bola matanya. "Ya sudah, nanti kita cari bersama-sama. Kecuali untuk Clavina. Kau duduk saja, jangan sampai kau kedinginan dan malah jatuh sakit."

"Teresa benar." Mark langsung menyambar.

"Aku akan ikut. Titik." Kuteguk air putih dalam gelasku banyak-banyak.

"Clavina..." tegur Mark.

"Tadi aku sudah bilang 'titik'." Aku menegaskan bahwa keputusanku tidak dapat diganggu gugat lagi.

Mark menghujaniku dengan tatapan tidak setuju, namun aku mengabaikannya.

Seusai makan siang, kami berempat langsung turun ke halaman dan mulai menyapu area. Sebelum Mark bergerak untuk bergabung bersama Leo dan Teresa yang sudah lebih dulu menyaruk-nyaruk salju, aku menahan tangannya.

"Kita perlu bicara," kataku dengan suara rendah.

"Ya?" Mark menunduk menatapku.

Aku menelan ludah. "Leo bukannya kehilangan kunci mobil, melainkan cincin untuk melamar Teresa," bisikku. "Teresa belum tahu."

Mark tampak terkejut. "Kau serius?"

Aku mengangguk.

"Baiklah kalau begitu. Kita bantu mencarinya." Mark memutuskan.

Leo mengais-ngais salju tepat di titik di mana ia terperosok karena 'serangan' Mark. Ia belum menemukan apa-apa.

Kami semua berpencar. Aku berjalan sambil menyaruk-nyarukkan kakiku di atas salju, berharap bisa menemukan cincin itu. Kami sudah mencari selama hampir sepuluh menit namun tidak ada hasil. Aku memeluk diriku sendiri karena mulai tidak tahan dengan suhu dingin.

Aku terus berjalan sembari menunduk bersama menit-menit yang terus bergulir. Kepalaku agak berdenyut dan hidungku mulai mampet. Rasa mualku datang kembali dan bahuku mulai menggigil.

Entah sudah berapa lama aku berjalan menyaruk saat pandanganku mulai berkunang. Tubuhku agak sempoyongan. Ketika aku merasa mulai oleng ke samping, aku merasakan tangan besar memegangi lengan atasku, menahanku agar tidak terjatuh.

Aku menoleh, Mark sedang berdiri menunduk menatapku. Aku tidak sadar saat ia tadi menghampiriku. "Masuk ke rumah." Ia memerintah tegas.

"Tapi cincinnya belum ditemukan," sahutku sambil berbisik.

"Biar kami yang lanjut mencari. Kau beristirahat saja." Mark menyingkirkan salju yang jatuh di bahuku. "Suhu udara semakin dingin."

"Sebentar lagi saja." Aku membantah.

Mark memberiku tatapan menegur. Ia justru terlihat lebih galak saat diam dan tidak mengatakan apa-apa begitu.

"Oke." Aku menyerah. Aku melangkah berbalik menuju teras sambil menelusupkan kedua tanganku ke dalam saku jaket. Salju turun semakin banyak. Samar-samar, aku mendengar Teresa menggerutu kepada Leo karena membuatnya harus mencari kunci saat hujan salju begini.

Bukannya masuk ke rumah, aku malah hanya berdiri di antara dua pilar teras. Aku memandangi Mark, Leo, dan Teresa yang masih menyisir area halaman yang sepenuhnya berwarna putih.

Beberapa saat kemudian, aku melihat Teresa berjongkok. Mungkin ia kelelahan. Namun setelah kuperhatikan dengan lebih teliti, ternyata ia sedang mengais salju di area di mana wajah Leo diperosokkan Mark. Ia mengangkat sebuah kotak mungil berwarna hitam ke udara dan mengocok-ngocoknya.

Tunggu, itu cincinnya!

Malah Teresa yang menemukannya!

Padahal, tadi Leo sudah mencari di area itu.

"Apakah ada yang kehilangan perhiasan di sini?" Teresa berseru.

Leo menoleh. Begitu juga Mark. Mereka menatap Teresa horor.

Teresa menoleh ke arahku. "Clavina, apakah ini milikmu?" serunya dari kejauhan.

Aku hanya bisa menggeleng bodoh.

Leo berjalan kikuk ke arah Teresa. "Uh... itu sebenarnya milikku."

Teresa terbengong.

Mark lekas-lekas berjalan menghampiriku dan bergabung bersamaku di teras. Ia tampak gusar, sama seperti Leo.

Aku memegang lengan Mark sembari berbisik. "Bagaimana ini?"

Mark menarik napas. "Semua pasti akan baik-baik saja."

Aku kembali memandang ke arah Leo dan Teresa. Leo mengambil cincin itu dari tangan kekasihnya. Situasi berubah canggung. Teresa tidak mengatakan apa-apa, gadis itu tampak bingung dan terkejut.

Dan tiba-tiba, Leo berlutut di hadapan Teresa.

Aku terkesiap. Sedetik kemudian, Mark menarik lembut lenganku agar aku ikut dengannya masuk ke dalam rumah.

"Beri mereka waktu untuk berdua saja," gumam Mark.

Aku ingin sekali menyaksikan bagaimana Leo melamar Teresa, namun Mark memilih agar kami memberi mereka ruang.

Saat tiba di dalam rumah, aku berdiri di dekat kaca jendela. Mark berdiri di belakangku. Leo masih berlutut di sana dengan cincin teracung di udara. Leo tampaknya sedang mengatakan banyak hal. Sementara itu, aku bisa melihat Teresa sedang menangis sembari membungkam mulutnya.

Beberapa saat kemudian, Teresa terlihat menganggukkan kepala. Leo meraih tangan gadis itu dan menyelipkan cincin ke jari manisnya. Sejurus kemudian, Leo mengecup Teresa dan mereka saling berpelukan.

Aku tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Hatiku terasa hangat melihat pemandangan dari balik kaca jendela. Aku bahagia sekali menyaksikan apa yang baru saja terjadi.

"Akhirnya..." gumam Mark di belakangku. Punggungku diusapnya hangat.

"Aku ikut lega." Aku berujar. Mataku masih memandang ke luar jendela. Leo dan Teresa kembali bermain lempar salju sekarang.

"Dulu aku melamarmu dengan cara yang sama sekali tidak romantis." Mark berujar aneh.

Aku menoleh, tidak percaya Mark mengatakan hal seperti itu. Ia sedang menatap lurus Leo dan Teresa yang masih bermain kejar-kejaran di halaman padahal suhu udara sedang dingin sekali.

Kakiku berjinjit tinggi-tinggi. Tanganku terulur meraih leher Mark, membuatnya menunduk. Aku kemudian memberanikan diri untuk mengecupnya sebelum rasa takutku membuatku mengurungkan niat.

Mark tampak terkejut sekali. Namun setelah itu, ia tersenyum lebar.

"Mark, niat tulusmu jauh lebih bernilai dari bentuk romantisme apapun," kataku dengan bersungguh-sungguh. "Saat itu kau bahkan tidak mencintaiku, tapi kau memutuskan untuk tetap melakukannya karena menurutmu itu adalah satu-satunya cara untuk menolongku."

"Belum mencintaimu." Mark mengoreksi. Ia mengusap lembut pipiku yang dingin dan beringsut mendekat. "Dan sekarang aku menyadari bahwa menjadikanmu istriku adalah keputusan terbaik yang pernah kulakukan."

Rongga dadaku semakin disesaki hawa hangat mendengar ucapan Mark. Ia seperti sedang bersiap untuk memelukku erat, namun aku menahannya karena Teresa dan Leo kini sudah kembali naik ke teras depan.

"Aku belum memeluk Clavinaku hari ini." Mark mengeluh sambil mengikutiku di belakang.

Aku hanya tersenyum geli mendengar ucapan konyol Mark. Saat kembali ke teras, aku disambut dengan raut berbunga-bunga Leo dan Teresa.

Teresa langsung memelukku.

"Aku turut berbahagia," ucapku tulus.

"Terima kasih," sambut Teresa dengan suara bergetar. Matanya agak sembab karena tadi menangis haru.

Di sisi lain, Leo sedang mengajak Mark tos keren ala pria.

"Ada yang mau cokelat panas?" tawar Mark pada kami semua.

"Tentu." Teresa langsung menyahut.

"Aku mau, cangkir ekstra besar." Leo menimpali.

Cuaca sedang sangat pas untuk meminum cokelat panas. Tapi aku malah merasa bergidik.

Mark menoleh kepadaku yang sama sekali tidak menjawab. "Bagaimana denganmu, Baby Girl?" Ia semakin membuatku merasa paling bocah di sini.

Dan panggilan itu terdengar menyebalkan, jujur saja.

"Aku air putih hangat saja," putusku. "Kubantu, ya."

Mark bersidekap, ia mengerling Teresa. "Teresa, pastikan saudarimu yang datang dari negeri liliput ini tetap di sini."

Teresa memasang pose hormat. "Baik, Bos."

Mark tersenyum puas sebelum bergerak meninggalkan kami semua di teras depan. Ia tampak senang bisa mencegahku melakukan sesuatu di dapur.

Mark menyebalkan!


*****


Hari sudah agak sore saat Leo dan Teresa pulang. Karena tubuhku terasa agak lunglai, aku memutuskan untuk duduk bersandar di tempat tidur saja sembari berselimut. Di luar semakin dingin.

Aku membuat teh mint lagi agar merasa lebih hangat, namun entah mengapa aku masih saja menggigil.

Mataku menatap layar laptop selama beberapa menit terakhir, sama sekali tidak beranjak dari laman Amazon karena fokus melihat-lihat produk susu kehamilan. Aku mencari-cari merk apa kiranya yang rasanya tidak terlalu membuat mual.

Aku teringat perkataan mendiang ibuku. Ia bilang, di Indonesia mudah sekali menemukan produk susu kehamilan di aneka penjuru minimarket. Sementara di sini, well... memang ada, tapi tidak 'seumum' itu. Aku pun merasa lebih mudah membelinya secara online.

Sedangkan di Singapura, entahlah. Aku tidak begitu memperhatikan. Toh biasanya sesuatu tidak akan begitu terlihat saat tidak sedang dicari. Saat aku masih di Singapura, sama sekali tidak pernah terlintas di kepalaku 'skenario' di mana aku hamil.

Aku menoleh mendengar suara derit pintu dibuka dan Mark melangkah masuk. Ia langsung menghampiriku, ikut naik ke ranjang. "Sedang apa?"

"Hanya melihat-lihat produk susu," jawabku dengan suara agak bergetar karena kedinginan.

Mark memelukku sambil setengah berbaring. Ia ikut melihat ke layar laptop.

"Clavina, suhu badanmu dingin sekali." Mark tiba-tiba melonggarkan pelukannya. Ia menyentuh leherku dengan punggung tangannya selama beberapa detik. "Padahal pemanas ruangan sudah menyala."

"Aku tidak apa-apa, kok." Aku tetap berusaha menenangkan Mark.

Mark menunduk di hadapanku. "Pasti gara-gara bermain salju tadi. Hidungmu memerah dan kau agak menggigil."

Aku menutup laptopku dan meletakkannya di atas nakas. "Mungkin hanya gejala demam ringan."

Mark menatapku tegas. "Jangan menyepelekan kondisimu. Kau semakin rentan sejak hamil."

Aku terdiam.

"Sudah kubilang tadi, kau masih perlu menyesuaikan diri dengan suhu udara musim dingin. Tapi kau malah nekad bermain salju."

"Aku kan hanya penasaran. Lagipula tadi aku sangat bersenang-senang, aku tidak ingin menyesalinya hanya karena sekarang aku menggigil kedinginan."

Mark mendengus. Tatapan matanya menyiratkan ketidaksetujuan.

"Kau bersikap berlebihan," gerutuku pelan tanpa menatap Mark.

"Aku bersikap berlebihan?" Mark merespon dengan nada yang cukup menyudutkan.

Aku menghela napas. "Ya, Mark. Aku hanya kedinginan, kau tidak perlu bereaksi seperti itu. Dan tadi, kau tidak perlu sampai menyerang Leo hanya karena ia berencana melempariku bola salju. Aku jadi cemas karena sampai saat ia berpamitan pulang tadi, hidungnya masih memerah."

Mark menatapku intens. "Biar kuperjelas. Satu, kau ini kecil, sedang hamil, dan ini adalah musim dingin pertamamu. Jangan sepelekan keadaanmu, kau bisa saja terkena hipotermia! Dua, cara bercanda Leo tadi kelewatan. Kondisimu masih lemah, ia tidak seharusnya melibatkanmu dalam permainan lempar bola salju seperti itu."

Karena enggan mendengar Mark mengomel, aku merubah posisiku menjadi berbaring meringkuk memunggungi Mark dan menarik selimutku ke atas.

Dingin sekali.

"Kau dengar aku tidak, Clavina?" Mark menegurku.

Aku tidak punya energi lagi untuk merespon. Tubuhku semakin meringkuk untuk merasa lebih hangat. Bahuku semakin bergetar.

"Clavina..." Mark menyentuh bahuku. Suaranya melunak karena cemas.

"Dingin..." rintihku.

Dengan sigap, Mark langsung membalikkan tubuhku agar menghadapnya. Ia menarikku ke dalam pelukannya dan membiarkan selimut tebal membungkus kami.

Tanganku mencengkeram dada Mark untuk menahan rasa dingin ganjil yang terasa begitu menggigit. Aku memeluk Mark erat sekali sampai-sampai aku sendiri merasa agak sesak napas.

"Clavina... kau benar-benar menggigil. Kau butuh kompres hangat." Suara Mark begitu kental akan kecemasan.

Aku semakin memeluk erat Mark. "Tidak... jangan ke mana-mana," rengekku.

"Tapi-"

"Kumohon..." Aku hampir menangis. Aku tidak ingin pelukan ini dilepaskan barang sedetik saja. Hawa hangat dari tubuh Mark adalah satu-satunya yang bisa menolongku sekarang.

Otot-ototku sempat terasa nyeri karena tusukan suhu dingin. Namun kini, setelah beberapa menit berlalu, hawa hangat tubuh Mark semakin bisa kurasakan. Perlahan gigilku mereda karena Mark sama sekali tidak melonggarkan pelukannya.

Saat tubuhku sudah sepenuhnya tenang, perlahan aku disambangi kantuk. Samar-samar aku merasakan Mark mencium puncak kepalaku.

"Tidurlah. Kau baik-baik saja sekarang. Aku akan melindungimu dari dingin."

Sebelum jatuh dalam lelap, aku diserang sebilah rasa bersalah dalam dadaku. Tadi aku baru saja bersikap keras kepala, namun Mark tetap menunjukkan kasih sayang saat mengetahui aku benar-benar membutuhkannya.



[Bersambung]



Unedited 🌚🌚

Duh, ada-ada aja kondisi fisiknya ibu hamil. Kadang mual parah, kadang lumayan fit, kadang bawaan pengen marah mulu dan tiba-tiba ga kuat hadapin suhu dingin.

Semoga Cla dan debay sehat terus, dan Mark selalu bisa jagain Cla. 🤗

Anyway... udah mendekati ending nih. Apakah kalian punya harapan tertentu?🥺

See you again on the next chapter.
Stay healthy 🤗💕

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 1.3K 12
(1st Book of the Sense Trilogy) Stella Indriana tidak pernah mengenal rasa takut. Dia tidak pernah takut pada film horror, serangga menjijikkan, pent...
3.6M 27K 28
REYNA LARASATI adalah seorang gadis yang memiliki kecantikan yang di idamkan oleh banyak pria ,, dia sangat santun , baik dan juga ramah kepada siap...
2.1M 230K 43
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...