In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

91.1K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

61. My Very First Winter

1.1K 202 195
By AdistaSucardy

Aku menggeliat di atas tempat tidur. Sejak semalam, suhu udara terasa lebih dingin dari biasanya meski Mark sudah menyalakan penghangat ruangan. Hidungku agak tersumbat. Kaus kaki yang kupakai tidak cukup untuk menghalau gelitikan hawa sejuk.

Perlahan, kubuka mataku. Sudah pagi.

Aku menoleh ke sisi lain tempat tidur, Mark sedang duduk bersandar membaca buku entah apa. Seusai menunaikan shalat subuh ia tidak tidur lagi. Ia tidak payah sepertiku.

Mark menoleh ke arahku. "Sudah bangun?" Ia tampak heran karena biasanya aku baru akan bangun setengah jam lagi setelah rasa mualku benar-benar sudah berkurang.

Aku mengucek mataku dengan punggung tangan. "Pagi ini agak dingin, ya," gumamku, suaraku terdengar masih sangat mengantuk. Dengan agak malas-malasan, kuubah posisiku menjadi duduk.

Mark tersenyum misterius. "Coba buka tirai jendelanya."

Aku mengerutkan dahi. Di luar sudah lumayan terang tapi Mark membiarkan tirai jendela tetap tertutup rapat.

Kuturunkan kakiku dari tempat tidur dan aku pun bergerak menghampiri jendela. Setelah kubuka tirainya, sesuatu di luar sana membuatku terpukau. Salju sedang turun dan hamparan es putih bersih menutupi pekarangan.

"Salju!" pekikku girang.

"Yep, ucapkan selamat datang kepada musim dingin pertamamu." Mark bergumam hangat.

Hanya perlu waktu sekitar tiga detik hingga seluruh pembuluh darahku dialiri semangat. Rasa mualku kian menguap. Segera saja, aku berlari meninggalkan kamar untuk melihat ke luar setelah melepas kaus kakiku.

"Hey, kau mau ke mana?" Seru Mark bingung. Ia melemparkan bukunya ke tempat tidur dan bergerak menyusulku yang sudah berlari menuruni tangga menuju ruang depan.

Kubuka pintu depan, suhu dingin dari luar langsung memelukku. Aku tidak peduli, aku berjalan ke teras dengan tatapan terpukau.

"Clavina, pakai baju hangat terlebih dahulu," ujar Mark di belakangku. "Kenapa malah kau lepas kaus kakimu?"

Aku tidak menggubris ucapan Mark. Aku memilih berancang-ancang melompat menghampiri hamparan permadani putih di halaman depan namun Mark bergerak lebih cepat. Ia menangkap pinggangku dan menahan gerakanku seketika.

"Hey, apa yang kau pikir akan kau lakukan?" Mark memprotes.

Aku menoleh ke belakang, Mark tampak sangat tidak menyetujui rencanaku. "Lompat ke salju, apa lagi?"

"Kau tidak memakai sendal, baju yang cukup hangat, sarung tangan juga tidak, dan tentu saja kau tidak bisa sembarangan meluncur begitu saja, Sayang." Mark mencerocos.

"Mark... ayolah, aku hanya ingin merasakannya di bawah kakiku. Aku belum pernah menyentuh salju. Memangnya kau tidak merasa kasihan padaku?" Aku memasang raut mengiba.

Mark menggeleng-gelengkan kepala mendengar ucapanku yang terkesan berlebihan. "Ya sudah, ayo."

Dengan tanpa permisi, Mark tiba-tiba membopong tubuhku yang sontak membuatku terkesiap. Ia membawaku menapaki undakan tangga teras dan menurunkanku perlahan, membiarkan kedua kakiku menyentuh permukaan salju.

Aku meringis merasakan sensasi dingin di telapak kakiku. Ternyata salju tidak selembut yang kubayangkan. Kedua tanganku kutadahkan pada salju-salju yang turun dari langit, merasakan setiap bulir mungilnya mendarat di permukaan tanganku. Sementara itu, Mark berdiri di hadapanku, menunduk sembari tersenyum memandangi apa yang tengah kulakukan.

Tapi kesenanganku tidak bertahan lama. Kakiku mulai kedinginan. Aku berjinjit-jinjit untuk mengurangi rasa dinginnya yang menusuk. Kedua tanganku berpegangan pada dada Mark untuk menyeimbangkan tubuhku.

"Kenapa, Clavina?" Mark tersenyum jahil.

"Dingin." Aku mencengkeram bagian depan baju tidur Mark.

"Bukankah sudah kubilang?" Mark kembali membopongku, membawaku masuk ke dalam rumah. Ia mendudukkanku di kursi dapur. Ditariknya satu kursi lagi untuk dirinya sendiri lalu duduk di hadapanku.

Mark menyelonjorkan kedua kakiku di atas pahanya lalu meraih dan menggenggam kedua tanganku yang dingin. Ia meniup-niup jemariku agar aku merasa lebih hangat.

Aku tertegun. Mark benar-benar tidak bisa berhenti membuatku merasa tersentuh.

Aku hanya terbengong seperti seorang idiot sementara Mark terus berusaha menghangatkan kedua tangan mungilku yang tenggelam dalam genggamannya. Titik-titik salju mencair di rambut hitamnya. Mata birunya terlihat jauh lebih mencolok dengan kulitnya yang sepucat ini.

"Kau harus keluar dengan pakaian yang layak jika memang ingin bermain salju," gumam Mark seraya melihat ke dalam mataku. "Itu pun harus sudah dipastikan kalau kau sedang dalam keadaan fit."

Aku tercenung. Tatapan Mark membuatku hilang konsentrasi. Sial.

Entah apa yang salah dengan otakku, tapi pagi ini rasanya aku semakin jatuh cinta dengan suamiku ini. Ia terlihat semakin menakjubkan sejak bangun tidur tadi.

Apakah perasaan ini juga pengaruh hormon?

Aku terus memandangi Mark. Ia terlihat berantakan, tapi.... ya ampun... jantungku.

Suaranya pun semakin serak dan dalam begitu karena masih pagi. Maksudku, suaranya memang selalu seperti itu, tapi pagi ini...

Ya ampun...

Mark mengerutkan dahi, menyadari keanehan tingkahku. "Kau ini kenapa?"

Aku langsung gelagapan. "Eh? Tidak. Aku hanya..."

"Hanya apa?" Mark mendesak dengan nada jahil khasnya. Kedua mata birunya semakin menatapku intens.

"Lupakan saja." Aku menundukkan wajah, aku merasa malu ditatap dengan cara sedemikian rupa. Aku masih dalam keadaan bangun tidur dan berantakan sekali.

Mark malah beringsut semakin mendekat. Tangannya kini berada di pahaku. Aku mendadak seperti merasa sesak napas.

"Kapan kita akan bermain boneka salju?" tanyaku dengan wajah terasa panas.

Mark tersenyum miring. "Sedang berusaha mengalihkan perhatianku?"

Aku menahan dada Mark agar ia tidak bergerak semakin mendekat. "Mark... jangan dekat-dekat, aku belum berdandan."

Mark mengangkat alis kirinya tinggi-tinggi. "Sejak kapan ada persyaratan khusus sebelum aku 'mendekatimu'?" tanyanya lucu. "Sejak kapan kau harus berdandan terlebih dahulu?"

Aku menunduk dan menutupi wajahku dengan kedua telapak tangan. "Mark... aku merasa jelek. Pagi-pagi aku terlihat seperti zombie."

Mark menurunkan kedua tanganku agar tidak lagi menutupi wajahku. "Bukankah sudah pernah kubilang bahwa aku menyukai wajah bangun tidur Gadis Periku? Terlihat mengantuk, rapuh, dan menggemaskan di saat yang bersamaan."

Aku tetap menunduk.

Mark beringsut mendekat lagi, tapi aku kembali menahan dadanya. "Kenapa?" tanyanya, bingung dengan penolakanku.

"Tidak mau," gumamku pelan. Aku benar-benar merasa tidak percaya diri. "Aku berantakan."

Mark memiringkan wajahnya sambil memperhatikanku lekat-lekat. "Kau cantik, Clavina."

"Nanti saja," putusku, dengan tangan masih saja menahan dada Mark.

"Tapi nanti Leo dan Teresa kan datang berkunjung." Mark mengingatkan, ia tersenyum iseng.

Hari ini kami memang berencana untuk berkumpul bersama untuk acara barbeque kecil-kecilan. Kemungkinan Leo dan Teresa akan datang menjelang tengah hari.

"Aku mau teh mint." Lagi-lagi aku berupaya untuk mengalihkan perhatian Mark. Kuturunkan kedua kakiku dari pangkuannya.

"Sekarang?" tanya Mark, setengah heran karena ia biasanya harus membujuk-bujukku terlebih dahulu agar aku mau minum atau makan sesuatu di pagi hari.

Aku mengangguk.

Mark tersenyum. "Oke, Sayang." Ia menyempatkan untuk mencuri kecupan pipi sebelum berdiri.

"Mark!" Aku menegur. Ia hanya membalasku dengan sebuah cengiran.

"Nanti akan kutagih lagi," gumam Mark tidak jelas seraya mengeluarkan cangkir tehku. Ia tersenyum miring.

Aku hanya bisa tercenung di kursiku.

Dasar Mark.

*****

"Wah... salju turun lebih awal tahun ini." Leo berseru saat tiba di teras depan. Ia membantu Teresa membawa sebagian bahan barbeque. "Jika kita tidak menggubris perubahan iklim bumi, kurasa kiamat juga akan tiba lebih cepat dari perkiraan."

"Sejak kapan kau peduli dengan perubahan iklim bumi?" Mark menanggapi.

"Kau tahu? Olta bersikap lebih agresif belakangan, ia mengejar dan mencuri anak-anak ayam di peternakan. Itu ada kaitannya dengan perubahan iklim kurasa." Leo menutur sembarangan.

Teresa memutar bola mata. "Jika ingin menyindir dan menjelek-jelekkan Olta, bukan begini caranya," tukasnya.

Dahiku mengernyit. Aku dan Mark saling bertukar pandang. Entah sedang ada masalah apa antara Leo dan Olta.

"Aku berharap Olta datang bersamamu. Hidung pesek dan wajahnya benar-benar membuatku rindu berat," ujarku pada Teresa.

Mark melirikku dan memasang wajah tidak setuju. "Ayolah, Clavina."

"Yang benar saja, Cla." Leo ikut-ikutan protes.

Teresa melirik Leo sinis, lalu beralih ke Mark. "Untuk beberapa waktu ke depan, kau bisa tenang, Mark. Olta sedang mengalami kerontokan bulu. Harus kubawa ke klinik hewan terlebih dahulu sebelum kupinjamkan kepada Clavina." Teresa mengibaskan salju yang mendarat di pundaknya yang berlapis jaket tebal.

"Hey, bisakah kita akhiri obrolan tentang kucing tua itu dan mulai berperang bola salju?" Leo menyela, tampak tidak sabar.

"Aku tidak mengatakan bahwa kita akan melakukan hal itu," timpal Mark dengan nada protes. Ia melirikku, memberi kode bahwa aku tidak boleh terlibat dalam hal semacam itu.

"Aku dan Clavina akan membuat boneka salju." Teresa menyambar. "Dan... yeah... mungkin melibatkan perang bola salju juga akan menyenangkan."

Mark melirikku lagi sambil bersidekap. "Kau tidak usah ikut-ikutan. Ini baru hari pertama musim salju, tubuhmu masih dalam tahap penyesuaian terhadap suhu dingin." Ia menoleh ke arah Leo dan Teresa. "Kalian tidak usah memprovokasi, bisa tidak?"

Mark benar-benar bersikap seperti kakak laki-laki tertua dalam keluarga yang tengah menghadapi kedua adiknya yang sulit dikendalikan. Sementara itu, aku seperti si bungsu yang rapuh dan mudah dipengaruhi.

"Ayolah, Mark. Bermain salju tidak akan membuat Clavina berubah menjadi patung es atau semacamnya." Teresa berujar. "Ini musim dingin pertamanya, kan?"

Aku menatap Mark dengan raut memelas. "Boleh, ya."

Mark balas menatapku datar. "Hidungmu sudah memerah bahkan sebelum kau menyentuh salju."

"Kumohon..." Aku merengek.

Mark menarik napas panjang. Menyerah. Ia akhirnya memberiku sebuah anggukan.

Hatiku langsung berubah girang bukan main.

Mark mengajakku masuk untuk mengenakan sarung tangan, topi rajut, dan sepatu yang memadai. Setelah itu, aku menghambur ke halaman depan menyusul Leo dan Teresa yang sudah memulai membuat gundukan boneka salju. Mark bersikap ogah-ogahan, menggerutu karena Leo dan Teresa tidak bisa berhenti bersikap kekanakan. Ia masih belum sepenuhnya menerima gagasan 'melibatkanku dalam pembuatan boneka salju'.

"Mark, kau punya wortel?" seru Teresa pada Mark yang berdiri sambil bersidekap di belakang kami. Wajahnya tidak tertarik.

"Meskipun aku punya aku tidak akan mengambilkannya untukmu." Mark tidak melepaskan pandangannya dariku yang sedang menepuk-nepuk salju menjadi gundukan padat. Dengan mantel hitam panjangnya itu, ia seperti pengawas dari dunia kegelapan.

Oke, mungkin itu agak berlebihan.

"Ayolah, jangan jadi Squidward." Teresa balas menggerutu.

"Dan berhenti menatap Clavina seperti itu. Kupastikan kepalanya masih akan berada di tempat meskipun ia sedang bermain salju, Mark," ujar Leo sarkastis. Ia kemudian melempar Mark dengan gumpalan salju. Tepat mengenai dahinya.

"Hey!" Mark meraup salju di bawah kakinya, memadatkannya menjadi gumpalan besar dan menghantamkannya ke wajah Leo dengan keras, membuat kepala sahabatnya itu tersentak ke belakang.

Leo terbahak. "Whoa... ini yang kutunggu."

"Sial!" umpat Teresa. "Mereka akan menggila."

Mark dan Leo saling melempari bola salju dengan brutal. Sesekali aku dan Teresa harus menunduk untuk menghindari lemparan mereka. Proses pembuatan boneka salju kami menjadi lebih lama dari yang seharusnya karena keributan mereka.

"Dua mahluk itu selamanya tidak akan pernah dewasa jika dipertemukan," Teresa masih saja menggerutu dengan wajah jengah padahal tadi ia juga ikut memprovokasi agar Mark ikut bersenang-senang. Sebaliknya, aku malah menikmati pemandangan di hadapanku. Melihat Mark bersikap konyol ternyata menyenangkan. Jarang-jarang aku melihatnya seperti itu.

Aku meraup salju dengan kedua tanganku lalu membuatnya menjadi gumpalan bola yang cukup besar. Aku berpikir untuk bergabung juga. Leo melarikan diri dari Mark, ia berdiri tepat di hadapanku, cepat-cepat mengumpulkan salju untuk membuat bola sebelum Mark menyerangnya lagi.

"Mark, lihatlah! Elang leher putih!" seru Leo, menunjuk ke arah langit di belakang Mark.

Mark sontak menoleh ke belakang dan mendongak. Leo langsung menghantam Mark yang lengah dengan bola salju, tepat mengenai kepalanya.

Leo terbahak, merasa girang dengan apa yang baru saja dilakukannya.

Aku berdiri dengan bola salju besar di kedua tanganku. Kulemparkan keras-keras ke arah Leo. Ia nyaris saja tersungkur karena gumpalan salju yang kuhantamkan ukurannya tidak main-main.

Mark terperangah selama sepersekian detik sebelum akhirnya tertawa lepas melihat apa yang baru saja terjadi. Ia menatapku bangga, "Lemparan sempurna, Clavina!"

Teresa ikut tertawa. Sementara itu, Leo mengusap-usap bagian belakang kepalanya dan menoleh ke arahku dengan wajah memelas.

"Oops!" ucapku santai sambil menunjukkan raut tidak berdosa.

"Baik, kau punya aset berbahaya, Mark. Teresa, bergabung bersamaku dan kita tumbangkan mereka berdua." Leo mengerling Teresa, mencari aliansi.

"Kau bilang apa? Mereka berdua?" sambar Mark dengan nada tidak setuju. "Jika kau menyerang Clavina juga, maka kupastikan kau akan benar-benar menyesalinya."

Leo memasang wajah terkejut yang terlampau dibuat-buat. "Oh tidak, kau membuatku takut, Mark," cicit Leo dengan suara menjengkelkan. Ia tiba-tiba menyeringai. "Kau tahu? Aku jadi ingin membuat perang ini menjadi sedikit lebih... kasar."

Mark menarikku ke belakang tubuhnya agar ia bisa melindungiku dari Leo. Di sisi lain, Teresa berdiri kaku dengan wajah terbengong.

Leo menghempaskan bola salju dengan lemparan cukup kencang ke arah kami. Mark berhasil melindungi kami berdua dengan cara menghalau lemparan Leo dengan lengan kirinya. Ia melontarkan serangan balik, kali ini meleset dan membuat Leo tersenyum licik.

Aku mendapati Teresa membungkuk untuk mengeruk salju dengan kedua tangannya. Ia mengepalkannya dengan gesit lalu melempar ke arah Mark dan mengenai dadanya. Hal itu sontak membuatku berjongkok mengeruk salju dan balas melempar Teresa, tepat sebelum ia berancang-ancang untuk menyerang Mark lagi. Lemparanku berhasil mengenai lengan atasnya.

"Tetap di belakangku," Mark memperingatkan. Ia berancang-ancang untuk melempar Leo dan bola salju padatnya berhasil menghantam tepat di wajah. Dari belakang Mark, aku berusaha meminimalisir serangan Teresa ke arah kami dengan terus memberikan serangan balik.

"Ayolah, Mark. Perang ini tidak akan menyenangkan jika gerakanmu terbatas. Kau tidak mungkin hanya menyerangku dari titik itu, bergeserlah. Biasanya dalam perang salju kau jadi pemburu, bukannya hanya berdiri melindungi gadismu." Leo menantang Mark dengan rentetan kalimatnya. Tatapannya terlihat licik sekali.

"Hari ini aku sedang tidak ingin menjadi pemburu. Aku punya sesuatu yang lebih penting di sini," sahut Mark tegas.

"Oh, menyentuh sekali," sela Teresa sembari ikut menyeringai. Ia memadatkan gumpalan salju dalam genggamannya. "Kalau begitu kau membiarkan dirimu dilumpuhkan."

Teresa berlari ke sisi samping Mark yang berada di luar jangkauanku. Salju itu berhasil menghantam sisi kepala kanan Mark.

Mark segera membalas Teresa, namun Leo juga menyerang di saat yang bersamaan.

Aku hanya punya satu pilihan.

Aku membungkuk, meraup salju sebanyak yang aku bisa. Aku nekad meninggalkan tempatku dan berlari ke arah Teresa untuk memberi serangan jarak dekat.

"Clavina!" seru Mark karena aku tidak menuruti perkataannya. Ia menggeram karena sama sekali tidak kugubris.

Aku tersenyum puas ketika berhasil menghadiahi Teresa lemparan telak. Kami saling melempar tanpa henti selama beberapa saat, begitu juga dengan Mark dan Leo. Pompaan Adrenalin dalam pembuluh darahku membuatku merasa sangat bersemangat. Rasa mual dan lemasku seperti memudar akibat gelombang antusiasme.

Namun rasa semangatku berubah menjadi kepanikan ketika aku menyadari Leo sedang berlari ke arahku dengan dua bola salju berada di tangannya, dipersiapkan untuk menyerangku habis-habisan.

"Leo! Jangan coba-coba!" gertak Mark keras. Ia berlari di belakang Leo dengan sorot mata berbahaya.

Aku mengambil langkah mundur lalu berlari dari kejaran Leo. Berputar ke arah pekarangan yang bisa membuatku tetap berlari. Kecepatanku bukan tandingan Leo. Jarak kami semakin dekat tapi aku tidak bisa berlari lebih cepat lagi. Sementara itu, seringaian di wajah Leo menunjukkan tanda bahwa ia ingin memberiku hantaman jarak dekat yang lumayan keras.

Aku sudah hampir pasrah ketika aku mendadak mendengar suara bergedebuk di belakangku. Mark dan Leo sama-sama tersungkur di tanah.Tangan Mark ada di belakang leher Leo, membuat wajah sahabatnya itu terjerembab ke dalam salju.

Ternyata Mark baru saja melumpuhkannya.

Mark membanting wajah Leo ke salju sekali lagi keras-keras.

Aku berdiri terengah di tempatku. Teresa berlari menghampiriku lalu berseru; "Gila! Apa yang baru saja kusaksikan?"

Leo mengangkat wajahnya dari salju. "Mark, kenapa kau bermain kasar?" ia meringis. Mark belum melepaskan cengkeraman pada lehernya.

"Kau yang memintaku melakukannya," jawab Mark dingin.

"Oke, aku menyerah. Sungguh," rengek Leo dengan tampang memelas andalanya.

Mark melepaskan Leo. Ia bangkit berdiri sementara Leo masih terduduk, sibuk membersihkan salju dari pakaiannya.

"Tapi..." kata Leo pelan. "Kurasa satu lemparan tidak apa." Ia meraih kembali kepalan salju yang terjatuh tidak jauh darinya. Sebelum Mark sempat menghentikannya, ia melemparku dengan dua kepalan salju padat sekaligus dan tepat mengenai bahuku hingga aku tersentak ke belakang.

Teresa terkesiap. "Leo!"

"Leo Burton... kau baru saja mengambil tindakan fatal," desis Mark berbahaya. Rahangnya menegang.

Leo tergopoh bangun lalu melarikan diri dari Mark. Mark langsung melesat mengejarnya.

"Oh... tidak..." Teresa menatap Leo dan Mark yang sedang berkejaran dengan tatapan ngeri.

Mark berhasil menangkap kerah belakang jaket Leo yang mana hal itu otomatis menghentikan gerakan larinya. Mark kembali mendorong Leo ke depan hingga wajah malang laki-laki itu kembali tenggelam ke dalam salju tebal. "Kau sudah kuperingatkan untuk tidak menyerang Clavina!" Mark mengangkat wajah Leo beberapa detik lalu kembali membanting dan memerosokkannya ke dalam salju.

"Mark, hentikan!" Aku berlari menghampiri Mark yang sedang duduk berlutut mencengkeram leher Leo. Ia balas tidak menggubrisku.

"Mark... kau membekukan wajahku..." Leo meronta tapi Mark tetap menahannya.

Mark menarik kerah jaket Leo dengan kasar hingga laki-laki itu terlempar telentang di atas hamparan salju putih. Mark berdiri dan membiarkan Leo bangkit perlahan sembari mengusap-usap hidungnya yang memerah.

Mark membersihkan salju yang menempel di tangannya yang tak terbungkus sarung tangan. "Masih ingin memancingku?"

Teresa membantu Leo berdiri sambil menahan tawa. "Lain kali gunakan otakmu. Aku yakin kau punya satu," cerocos Teresa kepada Leo. "Kau tahu Clavina itu titik batas Mark."

Aku terdiam mendengar ucapan Teresa. Mark mulai tersenyum geli.

"Oke, aku menyerah. Aku tidak akan berani iseng dengan Clavina lagi, aku tidak ingin memancing perkara dengan serigala pemburu gila." Leo terdengar ngos-ngosan. Wajahnya memerah karena menghantam salju. Rambut pirangnya basah dan acak-acakan.

Mark terkekeh pelan. Ia menyingkirkan salju yang menempel di rambutnya dengan jemarinya. "Kalian sudah mulai lapar? Sebaiknya kita mulai memanggang."

"Sangat," sambar Teresa. "Rasanya aku bisa makan seekor kuda sekarang."

"Aku akan memilih seekor jerapah," Leo menimpali dengan acuh tak acuh.
Masih agak syok dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kau nyalakan arangnya," kata Mark kepada Leo yang sedang menyembunyikan kedua tangannya ke dalam kantong jaket, bergulingan di atas salju sepertinya membuatnya kedinginan.

Leo mengangguk setuju dan menghampiri tungku panggangan yang sudah diletakkan di depan teras. Aku berpamitan untuk mengambil sosis dan kentang di dapur. Mark mengikutiku di belakang.

"Aku kasihan pada Leo," ujarku saat kami tiba di dapur.

"Makhluk nekad itu memang harus diberi pelajaran sesekali," sahut Mark santai. "Jangan khawatir, paling parah ia hanya akan terserang flu."

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, tidak mengerti dengan dua orang ini. Aku kemudian membuka lemari tempel dan berjinjit untuk mengambil sosis yang akan kami panggang-belum sempat kami masukkan ke kulkas karena kulkas kami agak terlalu penuh. "Sebaiknya kau juga mengeringkan rambutmu. Nanti kau sakit kepala."

Mark mengulurkan tangannya untuk mengambil sosis karena aku kerepotan meraih tempatnya yang terlalu tinggi untukku. Ia menyerahkan sebungkus besar sosis itu kepadaku lalu menyeka air lelehan salju yang membasahi dahinya dan menyugar rambutnya ke belakang. "Ini bukan masalah." Ia tersenyum miring.

Aku menyerah.

Kami kembali ke halaman depan karena tidak ingin meninggalkan dua tamu heboh kami itu terlalu lama. Saat kami tiba, Leo dan Teresa sedang menghangatkan tangan mereka dengan memanfaatkan hawa yang keluar dari tungku panggangan.

Saat Leo dan Mark mulai memanggang, aku dan Teresa bekerja sama menyusun piring-piring dan mengisi gelas yang tertata di atas meja teras. Sesekali kami melirik Mark dan Leo yang sudah kembali tertawa-tawa, seolah-olah salah satu dari mereka tidak baru saja 'menghajar' yang lainnya.

"Apakah mereka selalu seperti itu?" tanyaku pada Teresa yang sedang menyusun isi keranjang buah yang dibawanya beserta pie nanas untuk memeriahkan acara barbeque kami.

"Bagian mana yang kau maksud?" Teresa bertanya balik untuk memperjelas.

"Saling menyerang dengan barbar lalu bersenda gurau setelahnya," terangku mengenai fokus pertanyaanku. Mataku tertuju pada Mark yang sedang mengolesi sosis panggang dengan mentega sambil menertawakan entah apa. Well, aku berharap dengan ia berdiri dekat panggangan seperti itu membuat rambutnya lekas kering. Kuharap Leo juga tidak jadi terserang flu.

Teresa ikut memandangi Mark dan Leo. "Sebenarnya Mark bukan tipe orang yang bisa dipancing semudah itu. Aku bahkan sempat kaget melihatnya bersikap seprotektif itu terhadapmu. Ia panik berlebihan padahal ancamanmu tadi hanyalah gumpalan bola salju."

Aku terdiam, mencoba mencerna ucapan Teresa. "Jadi, bahkan Leo tidak mengantisipasi itu?"

"Kurasa tidak," Teresa meneguk sirup raspberry dalam gelasnya. "Tapi seperti yang kita lihat, mereka baik-baik saja. Leo sepertinya mengerti bahwa kau terlalu berharga untuk Mark."

Ucapan Teresa membuatku tercenung. Aku masih mengingat jelas sorot kemarahan dalam mata Mark tadi, padahal Leo hanya berusaha menyerangku dengan bola-bola salju.

Leo datang dengan sepiring sosis panggang yang berukuran cukup besar-besar. "Makan siang sudah siap, Nona-nona."

Mark masih berdiri di depan panggangan, membolak-balikkan irisan-irisan tipis daging sapi yang akan menjadi menu tambahan. Aroma bumbu barbeque menguar hingga ke meja dan mulai menggoda hidungku.

"Clavina, boleh aku minta piring satu buah?" seru Mark dengan masih memegangi spatula japit.

"Tentu." Aku membawakan piring yang diminta Mark. Ia mulai mengangkat irisan-irisan daging yang sudah matang ke dalam piring, mematikan panggangan, lalu kami bergabung bersama Teresa dan Leo di meja makan. Pot api unggun sudah kami pindahkan di sisi teras yang terbuka dan kami siap menyantap makan siang istimewa kami.

Kuiris daging panggangku perlahan. Aku sengaja hanya mengambil sedikit daging karena aku tidak berani makan terlalu banyak daging merah panggang mengingat aku sedang hamil. Tiba-tiba, piringku diisi satu sosis besar lagi oleh Teresa. "Kau harus makan banyak karena sekarang kau memberi makan dua perut."

"Teresa benar," Mark terang saja mendukung ide Teresa.

"Kau juga harus makan banyak," Leo melirik Teresa sambil meniup-niup sosis panggang yang masih berasap. "Kau kan pernah menelan bayi anakonda."

" HA HA manis sekali." Teresa tersenyum tidak tulus lalu meninju keras lengan Leo.

Leo meringis sambil terkikik hingga sosis di garpunya terjatuh. Untung saja mendarat ke piringnya lagi.

"Mark, mau menghajarnya lagi? Aku akan sangat menghargai itu," gerutu Teresa ketus.

Mark mengangkat sebelah alisnya. "Dengan senang hati."

Leo menatapku dengan sorot meminta dukungan. "Cla, kau mau berbaik hati untuk menghentikan dua orang kejam ini, 'kan?"

"Maaf, Leo. Aku sedang sibuk. Dua orang kejam ini bilang aku harus makan banyak karena sekarang aku memberi makan dua perut."

Mark terkekeh mendengar ucapanku, sementara itu, Leo memasang wajah mengiba-tidak lama, karena ia langsung berubah tidak peduli dengan ancaman Teresa setelah sosisnya menjadi lebih dingin dan ia bisa makan dengan khidmat.

Tapi ketenangan Leo tidak berlangsung lama.

Selama makan siang berlangsung, Teresa membuat dirinya dan Leo berdebat panjang tentang perbedaan piton dan anakonda. Aku dan Mark hanya bisa saling pandang menyaksikan tingkah aneh pasangan absurd di hadapan kami itu.

Tiba-tiba wajah Leo berubah panik. Ia meraba-raba saku jaketnya. Ia seperti kehilangan sesuatu.

Aku mengerutkan kening, meminta penjelasan.

Leo melirik hati-hati ke arah Teresa yang sedang tidak melihat karena sedang fokus mengiris sosis. Wajah laki-laki itu berubah pucat sekali.

Leo gantian melirik Mark yang sedang menuang sirup tambahan ke dalam gelas.

Leo kembali menatapku. Wajahnya panik luar biasa. Ia menggerakkan bibirnya tanpa suara, tapi aku bisa membaca apa maknanya:

"Cincin untuk Teresa. Hilang."



[Bersambung]


Hello... apa kabar kalian semua? Semoga selalu sehat dan bahagia 🤗

Semoga chapter ini ngga kepanjangan dan typo-nya masih bisa dimaklumi. 🌚

Hmmm, kasian Leo. Kalian pasti tau cincin itu untuk apa 🥺

Semoga lekas ketemu. See you again on the next chapter.

Stay healthy 🤗🌹🌹

Continue Reading

You'll Also Like

57.1K 7K 50
Amplop cokelat tanpa nama pengirim dan penerima, hanya ada seutas tali rami mengikatnya. Entah apa yang tersimpan di dalam, bisa narkoba, bisa juga s...
631K 71.2K 27
Selain menjadi kebanggaan, punya status sebagai orang nomor satu itu adalah beban dan juga tanggung jawab. Dirgasatya Kalingga adalah tiang harapan d...
557K 55.5K 34
" She's a troubled girl." Dewa " He is a psycho-stalker!!" Nala Dewa, siswa beasiswa kelas tiga SMA Angkasa yang mempunyai segudang prestasi dan sela...
224K 46.1K 31
Apa yang ada dalam bayangan kalian ketika dengar nama Genghis Khan pertama kali? Badan gempal, mata segaris, brewok lebat, sosok gahar yang mengintim...