Gabrielle's Mansion | Turin, Italy
07.17AM.
Binar baskara mendominasi bumi, menyebarkan semaraknya, memberi sinyal pada para insan bahwa penghuni bentala untuk bersiap memulai hari baru. Di sebuah mansion dengan pohon rimbun menggugurkan daun sebagai isyarat bahwa pergantian musim setelah ini adalah hujan salju.
Matahari dan angin sibuk memerhatikan sesosok dewa di atas tempat tidurnya, menikmati keindahan kelopak mata tertutup dengan bulu mata panjangnya yang turun, hidung nan terpahat sempurna itu bernapas tenang, melambangkan ketenangan dan damai, rahang tegas terpatri melambangkan kegagahan sosok tampan bagaikan dewa tersebut.
Tidak hanya angin dan matahari, namun gadis yang tadinya terbaring di samping sosok indah itu juga memerhatikannya. Terhipnotis akan kesempurnaan fisik yang dimiliki pria berdarah campuran tersebut. Terlebih, bibir tipis nan bungkam, entah tertidur atau tidak, tepi mulut seksi itu sangat jarang terbuka. Menggiurkan, daging kenyal itu sangat menggoda untuk dicicipi.
Bahkan, Letiza yang sejak tadi memerhatikan bibir indah itu terhipnotis, menarik tubuhnya dengan magnet tak kasat mata untuk mencicipi keindahan yang berada tepat di depannya. Semakin dekat, Letizia dapat merasakan hembusan napas hangat Gabrielle di bibir. Ia pun menyingkirkan surai sebahunya sendiri agar tidak mengenai wajah Gabrielle ke belakang telinga. Ia semakin menunduk, akan tetapi begitu hampir bersentuhan, pria tampan itu langsung membuka mata, menatap tajam dirinya tanpa jeda, seolah sudah terbangun sejak tadi dan mengetahui gerak-gerik Letizia.
Letizia sontak memundurkan wajah dan menjauh, meneguk saliva takut. Bagaimana bisa ia hampir mencium Gabrielle saat pria itu tertidur? Menyentuh pria yang sangat disegani itu tanpa izin? Letizia menunduk, merasa guilty atas apa nan hendak ia lakukan.
Gabrielle masih menancapkan sorot oniks biru lautnya ke arah Letizia dengan tatapan tidak suka dan menghakimi. Ia pun bangkit untuk duduk di atas kasur, menampilkan tubuh atletis dengan tato stone cold di bagian dada kiri, di mana jantungnya berada. Tato tengkorak berlambang La Righello itu terlihat menambah kesan mengerikan pada diri Gabrielle.
Letizia yang merasa dikuliti oleh tatapan tajam Gabrielle nan enggan beralih darinya semakin takut dan tidak berani menatap balik. Ia tertangkap basah hampir mencuri kesempatan atas kemurahan hati Gabrielle padanya. Namun, apa salahnya? Gabrielle-lah yang menebarkan pesona dan menghipnotis tubuhnya.
Beberapa saat setelahnya, Gabrielle pergi ke kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi sebelum keluar dengan celana pendek membalut kaki berototnya, lalu pergi ke ruang gym. Nampaknya pria itu tidak pergi ke kantor hari ini.
Sementara Letizia menghela napas lega karena Gabrielle tidak menghukumnya. Ia melirik cermin besar di kamar pria itu, memantulkan bayangan cantiknya mengenakan piyama berwarna putih gading. Ia pun pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi dan cuci muka. Ia akan melakukan gym dengan Gabrielle.
Letizia mengikat surai sebahu yang seharusnya sepinggang itu -karena Gabrielle menyuruh Ace memotongnya- kuncir kuda. Jangan tanya apakah ia melakukannya sendiri atau tidak, mengingat betapa dimanjakannnya ia, jawabannya ya, untuk sekarang. Kenapa? Pelayan Letizia dilarang untuk masuk ke kamar Gabrielle, hanya beberapa kali diperbolehkan.
Letizia pun keluar dari kamar menuju ruang gym yang merupakan salah satu fasilitas mansion mewah Gabrielle. Di sana, ia dapat melihat Dewa Yunani tersebut tengah mengangkat barbell berjenis Olympic Weightlifting Bar seberat seratus kilogram dengan wajah tampannya menyesuaikan pernapasan, begitu seksi.
Letizia pun pergi ke treadmill mengatur speed-nya dengan mode pelan. Setelah dirasa sesuai dengan apa nan diinginkannya, Letizia melirik Gabrielle kembali, memerhatikan pria itu lagi. Keringat menetes di tubuh sixpacks-nya, membasahi otot-otot menawan, menambah kesan seksi. Letizia tidak pernah bosan memerhatikan makhluk indah ciptaan tuhan itu. Ia malah semakin kecanduan.
Hingga Gabrielle yang jengah diperhatikan, meletakkan barbell di tangannya ke lantai, menoleh tajam. "Apa yang kau lihat, Lily?" ketusnya dengan nada menyudutkan, seolah-olah Letizia telah melakukan kesalahan.
"M-maafkan aku, Daddy," cicitnya langsung mengalihkan pandangan, memerhatikan layar treadmill di depannya.
Ace tiba-tiba saja datang dengan tablet di tangannya. "Tuan, kurva harga pasar saham bergerak drastis—"
"Sig. Stone," panggil Massimiliano memotong ucapan Ace dan berjalan lebih cepat dari Ace untuk mendekati Gabrielle, melewati asisten utama yang merupakan atasannya tersebut. "Tuan Luke menemukan Cestino dei Rifiuti," lapornya menunduk, merasa bersalah karena tidak mampu menyembunyikan tempat itu dari ayah Gabrielle. "Maafkan saya Tuan, Tuan Luke tiba-tiba datang dan—"
Gabrielle memutar mata sambil menghela napas berat, merasa bodoh sekali mempercayai cecunguk-cecunguk tidak berguna itu. Ia melirik Ace yang terkejut, namun segera menunduk begitu Gabrielle menatapnya. "Ace," desis Gabrielle yang membuat pria itu meneguk saliva. "Bagaimana bisa kau tidak mengetahui hal ini?" umpatnya tajam sebelum melangkah cepat ke kamar untuk bersiap, hendak menemui ayahnya di ruang bawah tanah.
Ace masih menunduk. Di saat Gabrielle benar-benar pergi, ia menoleh tajam pada Massimiliano yang tersenyum miring ke arahnya, seolah sengaja tidak memberitahukan Ace lebih dulu.
***
Gabrielle's Mansion | Turin, Italy
09.19 AM.
Luke menatap pemandangan di depannya, di mana terdapat sebuah ruangan luas menyimpan ratusan mayat dengan bau busuk. Bentuk tubuh tidak masuk akal mereka tertumpuk-tumpuk, membuat siapa saja tidak dapat mengenali siapakah identitas mereka. Namun, tato berupa stone cold lambang La Righello menunjukkan bahwa mereka adalah mafioso kelompok Luke sendiri.
Luke memejamkan mata, mengingat kilasan memori, di mana ia memberikan Gabrielle seekor anjing sebagai teman dan pengganti atas permintaan Gabrielle yang meminta saudari perempuan. Namun, karena Gabrielle memang pada dasarnya kasar, menendang keras anjing bulldog tersebut hingga hewan berkaki empat itu marah dan menggigit Gabrielle kecil.
Luke yang murka mendengar berita itu di saat ia sedang meeting langsung membubarkan pertemuan dan pulang. Ia memeriksa luka Gabrielle dengan amarah. Luke pun memutuskan untuk membunuh anjing yang berani-beraninya menggigit anaknya. Akan tetapi, Gabrielle justru meminta hal lain, yaitu membunuh anjing itu dengan kedua tangannya sendiri.
Luke tentu shock atas permintaan bocah berusia enam tahun tersebut, akan tetapi karena Luke tidak peduli dengan anjing itu, ia mempersilakannya saja. Gabrielle kecil menyuruh anak buah Luke memegangi keempat kaki anjing hitam itu dengan moncong diberi muzzle agar tidak bisa menggigit. Luke hanya menatapnya, Gabrielle kecil memukuli perut anjing bulldog tersebut dengan tongkat bisbol tanpa ampun, hingga darah mengalir dan binatang itu mati.
Luke mengusap wajah frustrasi. Kepingan memori lain ikut menghampiri, di mana Gabrielle dengan diam-diam membakar buku Carlson karena Letizia menyukai buku itu di umur tujuh tahun. Bocah itu terbiasa membakar sesuatu agar tidak meninggalkan bukti dan menjadikannya abu. Luke mengetahuinya pun karena ia melihatnya sendiri.
Bahkan, Gabrielle pertama kalinya membunuh di umur enam tahun, karena rasa kesal pada mafioso yang membentak dan mencubit Letizia kala Gabrielle jengah dengan tangisan Letizia. Ya, meski mafioso itu melakukannya untuk Gabrielle, Gabrielle tidak akan suka. Ia marah karena dengan beraninya pria itu melukai koleksi terindah Gabrielle.
Luke membuka matanya. Ya, ia tahu bahwa ia berengsek, tapi tidak segila Gabrielle, bahkan ia hampir tidak pernah melihat anak itu tertawa. Apa Gabrielle gila? Anak itu membunuh begitu banyak bawahan mereka! Memangkas anggota terlalu berlebihan tentu sangat buruk karena jumlah mereka semakin menipis. Akan tetapi, ia tidak dapat memungkiri semakin sedikit anggota mereka, maka semakin besar bayaran dan rasa setia mereka pada kelompok. Ya, meski mengalahi kelompok The Greatest, La Righello tetap saja mengalami penurunan anggota secara drastis.
Luke memasukkan sebelah tangan ke saku, masih menatap lurus tumpukan potongan tubuh tidak utuh mayat-mayat di depannya. Detik itu pula, ia dapat merasakan aura Gabrielle. Ya, sama seperti Luke, Gabrielle memiliki atmosfernya sendiri, akan tetapi anak itu jauh lebih kuat. Seperti saat ini, aura Gabrielle lebih kuat karena sedang dalam mood yang tidak baik.
"Mau sampai kapan kau terus membunuh seperti ini?" tanya Luke menoleh tajam. Gabrielle diam saja, membuat Luke kembali bersuara, "Ini jumlah kematian minggu ini? Dan akan ada pembakaran mayat setiap dua minggu, setelahnya?!"
Gabrielle yang merasa tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan pada ayahya diam saja. Sekali lagi, ia sudah bilang bahwa tidak akan menerima pertanyaan atau kritik dari siapa pun dalam mengelola apa yang sudah ia miliki. Ya, Gabrielle sebenarnya tidak mau menjalankan kedua kesibukan besar sekaligus, tapi Luke memaksanya, karena itu ia memberikan syarat sederhana. Akan tetapi, Luke seolah lupa dan terus mempertanyakan sistem hukum yang Gabrielle terapkan.
Ace selaku pengabdi keluarga Stone, membuka suara untuk mewakili tuannya, "Tuan L bilang, musim ini adalah Stagione di Purificazione, Tuan."
#To be Continue...
180921 -Stylly Rybell-
Instagram maulida_cy