Gabrielle's Mansion | Turin, Italy
01.59 AM.
Suara jeritan dan desahan menjadi satu pada ruangan itu, kepuasan dan kesakitan terdengar padu dan menggairahkan. Entah bagaimana mereka melakukannya hingga bisa terdengar sampai keluar. Para penjaga di segala sisi terlihat tenang, seolah hal itu adalah hal biasa, jeritan kepuasan dan kesakitan selalu terdengar ketika Gabrielle berdua dengan sorang wanita di dalam ruangan kekuasaannya, menunjukkan kedominan dan keahliannya.
Begitu pula Ace, pria itu setia di depan pintu, menunggu sang tuan keluar, lalu melaporkan beberapa pekerjaan mereka. Namun, di saat Ace sibuk mengutak-atik tablet, ia dapat melihat sosok yang hampir membuatnya dalam masalah. Seolah menyadari tatapan mematikan Ace, pria itu melirik dengan berlagak polos.
"Terkejut?" tanya Ace tersenyum miring, membuat lawan bicara berhenti melangkah tepat di depannya. Ace pun mendekat dengan ekspresi merendahkan. "You try to get rid of me, don't you, huh?"
"Kau bicara apa?" tanya Massimiliano, seolah tidak mengerti.
Ace tertawa sinis. "Kau tahu aku tidak akan mengkhianati Sig. Stone, tapi kau mencoba membuat pernyataan palsu."
Massimiliano tertawa samar dengan wajah tampannya. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan, Tuan Albrecht. Aku hanya melayani Sig. Stone."
Ace menyeringai lebar. "We will see."
Massmiliano pun pergi sambil memutar mata seiring tersenyum miring. "We will see."
Bertepatan saat itu pula, pintu kamar terbuka, menampilkan Gabrielle dengan celana jeans serta tubuh atletisnya basah oleh buliran air shower. Massimiliano langsung berbalik untuk menunduk, bersamaan Ace juga dengan para mafioso lain. Seolah waktu berhenti saat itu juga, para mafioso menunduk hormat pada Gabrielle, yang tadinya sibuk berceloteh, berjalan, dan duduk di sofa. Gabrielle pun mengodekan mereka untuk berhenti membungkuk, lalu dipasangkan jubah mandi, dan pergi ke kamar pribadi pria itu.
Di sisi lain, Letizia meringkuk di bawah selimutnya. Entah mengapa ucapan Gabrielle tadi membuat hatinya tidak tenang, apa itu artinya Letizia tidak boleh terlibat lebih jauh dengan Gabrielle? Apa Gabrielle tidak mau Letizia terlalu dekat dengannya? Tapi Gabrielle adalah dunianya. Letizia tahu Gabrielle tidak suka kehidupan pribadinya diganggu, tapi entah mengapa kata-kata pria itu tadi membuat kesan lain di hatinya.
Drrt... drrt...
Letizia tersadar dari lamunannya, menoleh pada ponsel di atas nakas, mendapati nama Carlson Stone -sepupu Gabrielle- yang cukup dekat dengannya. Letizia pun mengangkatnya. "Hai!" sapanya dengan suara ceria seperti biasa.
"Bagaimana harimu? Kudengar beberapa hari lalu Frank diusir karena ingin menemuimu," tanya Carlson, lalu tertawa karena ucapannya sendiri.
Letizia melebarkan mata. "Apa? Aku tidak tahu."
"Tentu saja, Gabrielle tidak akan mau membicarakan hal tidak penting seperti itu."
"Yah, kau benar," sahut Letizia lesu. Ia masih teringat kata-kata Gabrielle tadi. Bukankah ia sudah bilang, mood-nya akan mengikuti sikap pria itu padanya?
"Hei, kau terdengar sedih. Ayo cerita padaku."
Letizia mengerjap-ngerjapkan mata. "Tidak, aku hanya mengantuk."
"Ah, benar. Aku lupa di sana pasti sudah larut," ucap Carlson tertawa. "Baiklah, aku pun masih banyak pekerjaan, buona notte Sweetheart."
"Buona notte."
***
La Elemento D'Edificio | Turin, Italy
05.19 PM.
Atmosfer senyap di dalam ruangan bernuansa monoton itu terdapat sesosok manusia beraura layaknya dewa tengah menggigit kuku ibu jari dengan sebelah tangan berada di keyboard komputer di atas meja. Oniks biru laut itu menatap lurus ke arah layar, di mana terdapat ratusan ribu huruf yang tersambung, mengandung maksud penting.
Di saat pria itu tengah serius dengan apa yang ia kerjakan, pintu berwarna hitam itu terbuka tiba-tiba. Ia menajamkan mata tidak suka, ia benci ketika sedang fokus malah diganggu. Mood-nya semakin rusak begitu mendapati kedua orang tuanya masuk ke dalam ruangan.
Gabrielle mengedarkan pandangan seiring menahan emosi, sebelum menatap tajam ayahnya itu. "What the fuck are you doing here?"
"We miss you, what else?" jujur Kelsey dengan nada kesal. Bisa-bisanya anaknya bertanya seperti itu. Terlebih, mereka telah berpisah hampir satu tahun.
Gabrielle tertawa remeh amat singkat yang lebih terdengar seperti helaan napas. "You know why I'm here."
Melihat Kelsey hampir emosi, Luke menengahi, "Enough for this topic. I bought you a new expensive suit," ucap Luke menadahkan tangan pada Jeff -tangan kanannya- untuk memberikan sebuah paperbag, lalu mendekati Gabrielle dengan senyum tampannya. "Ini terbuat dari jahitan emas dengan berlian di bagian kancing-"
"Don't touch me," potong Gabrielle menatap tajam ayahnya agar tidak mendekat.
Luke berhenti melangkah, menatap datar putra sialannya itu, menghela napas berat. "Perché sei così insolente?" Gabrielle memutar mata saja, melanjutkan pekerjaan, seolah tidak peduli.
"L," lirih Kelsey. "Mengapa kau membenci kami? Kami sangat menyayangimu-"
"Get," ucap Gabrielle melirik tajam ibunya. "out," lanjutnya menekan, memberikan seluruh aura gelap nan mematikan yang ia punya untuk mengusir kedua sosok itu.
Luke menatap putra tunggalnya dalam, menyimpan rasa kesal. Namun seperti biasa, pria itu tidak bisa membenci Gabrielle, malah ia sedikit bangga akan ketegasan putranya yang terwaris dari gen dirinya dan Kelsey. Entahlah, jika Luke yang dulunya menganggap pekerjaan adalah nomor satu, maka sekarang ia menganggap Gabrielle lebih dari sekedar prioritas. Tentu saja, Luke sangat menyayangi Gabrielle. Sejak anak itu lahir, Luke bersumpah akan memberikan dunia ke bawah kaki anaknya. Luke Seolah melihat dirinya, wajah mereka sangat mirip. Ia selalu menegaskan pada Gabrielle agar melakukan apa pun yang ia suka, apa pun yang ia mau, bahwa Gabrielle adalah raja dan mendapatkan apa pun yang ia inginkan. Hingga sekarang, Luke tidak menyesali rasa cintanya terhadap sang putra tunggal, meski Gabrielle membenci Luke, ia tetap menyayanginya.
Aneh, Luke memang membenci anak kecil. Namun, ketika melihat Gabrielle lahir, ia seolah melihat seorang raja, dewa, penguasa, yang bagaikan dirinya. Karena itulah Luke bersumpah akan memberikan apa pun yang diminta anaknya. Akan tetapi, hanya satu hal nan tidak bisa Luke berikan pada Gabrielle, saudari perempuan. Luke tidak mau Gabrielle terbagi kasih sayangnya juga warisannya, ia bersikeras bahwa Gabrielle mampu hidup dengan dirinya sendiri dan cinta kedua orang tuanya.
Luke pun mengerti dengan baik mengapa Gabrielle masih tidak memaafkan mereka. Luke meletakkan jas yang ia beli ke atas sofa, menghampiri istrinya yang menahan diri untuk tidak meledak. "Ayo kita pergi."
Kelsey menepis tangan Luke darinya, menatap suaminya dengan sirat kemarahan, lalu pergi dari ruangan itu. Ya, Kelsey selalu memperingati Luke untuk tidak terlalu memanjakan Gabrielle. Dan lihatlah pada akhirnya, anak itu tumbuh sesukanya, menganggap dunia bersujud untuknya, seluruh semesta ada hanya sebagai pendukung aksinya.
Luke meneguk saliva, mengodekan Jeff untuk mengikuti istrinya, lalu menoleh pada Gabrielle. "Setidaknya tunjukkan hormatmu pada ibumu, jika kau tidak bisa melakukannya padaku," ucapnya tenang.
Gabrielle mengetik di komputer sambil berucap, "Aku lebih suka kau daripada perempuan itu."
Luke tetaplah Luke yang sangat mencintai Tamara-nya, ia tidak akan diam saja jika wanita yang ia cintai diperlakukan buruk. Luke mulai terbakar emosi melonggarkan dasi. "Dia satu-satunya orang yang melindungimu ketika seluruh dunia ingin membunuhmu," peringatnya. Ya, Luke pernah mencoba membunuh Gabrielle di saat Kelsey hamil, membujuk wanita itu untuk menggugurkan kandungan, tapi wanita itu lari darinya untuk melindungi Gabrielle.
Gabrielle menoleh dingin. "Karena itu aku tidak membunuhnya."
Kilat amarah terpancar jelas di mata Luke, menguarkan aura membunuh. "Ini terakhir kalinya kalimat berengsek itu keluar dari mulut dan otakmu," ancamnya mengeraskan rahang, lalu meninggalkan putranya tersebut.
***
Piedmont Region Headquarters | Turin, Italy
09.11 PM.
"Benvenuto, Sig. Stone!" salam beberapa pembisnis besar Italia yang hadir malam itu, bahkan pendiri mobil sport Italia yang mendunia lainnya juga menghadiri pesta.
"Di mana Stephan Winkelmann?" tanya Gabrielle langsung tanpa buang-buang waktu. Mereka pun menunjuk di mana anggota Volkswagen Group yang berjabatkan seorang Presiden Bugatti dan Lamborghini tersebut.
Gabrielle pun menghampiri kenalannya itu dan langsung disambut tangan terbuka. "Selamat datang Presiden Danziel!" sapa Stephan yang dibalas senyuman amat tipis oleh Gabrielle sebelum menjabat tangan. "Herbert membawa putrinya kemari, kuyakin kau suka," bisiknya bergurau yang tidak ditanggapi Gabrielle. "Ah, perkenalkan, ini Alice Lamborghini."
Gabrielle melirik Stephan, mengangkat sebelah alis. "Lamborghini?" ulangnya.
"Dia cucunya Ferruccio," bisik Stephan. "Alice, kenalkan ini adalah Gabrielle Stone, Presiden Danziel dan... Ah, kau pasti mengenalnya."
Alice mengangguk setuju, tersenyum ramah dan terpesona akan ketampanan Gabrielle. Namun, tidak lama setelahnya datang seorang gadis cantik berambut pirang ke arah mereka.
"Ah, ini dia putri Herbert Diess, Mona Diess. Mona, ini Gabrielle Stone."
Mona tersenyum, lalu menjabat tangan, terpesona. Benar apa yang dikatakan koran dan majalah, Gabrielle memiliki atmosfernya sendiri, aura memabukkan, mampu menghipnotis lewat tatapan dingin oniks biru lautnya. Netra indah itu melempar mona ke dalam lautan fantasi di saat Mona haus, menyegarkan, menyenangkan, dan sangat dibutuhkan. Mona tersadar dari fantasinya sendiri begitu Gabrielle melepaskan tangan dengan dingin.
"Apa kau masih tidak ingin bergabung dengan Volkswagen Group?" tanya Herbert tiba-tiba, mendatangi mereka. "Kurasa aku harus menghabiskan seluruh sisa hidupku untuk membujukmu, Sig. Stone, sebelum grup automobil lain yang merampasmu," guraunya.
Gabrielle tertawa singkat yang lebih terdengar seperti helaan napas, namun sesaat saja sebelum benar-benar hilang ditelan bumi. "Stephan, aku memesan lima unit Lamborghini Aventador dan dua unit Bugatti Chiron."
"Kau terlambat Sig. Stone, aku baru saja kehabisan stok Aventador dan Chiron, tapi kemungkinan besar akan diproduksi lagi tahun depan," sanggah Stephan.
Gabrielle terlihat memberi isyarat tidak masalah, kemudian pergi.
Mona menatap Gabrielle seolah tidak terlalu memedulikan, seolah ia biasa saja pada pria tampan itu. Akan tetapi, ia tidak bisa. Ia sudah terjerat dalam pesona Gabrielle, ia ingin mengenalnya lebih jauh, tapi Mona merasa gengsi, sebab selalu ia yang dikejar-kejar pria. Tentu saja, ia cantik dan anak seorang Herbert Diess! Seorang Dewan Volkswagen!
Mona bersyukur karena ibunya menelepon dalam artian ia punya alasan untuk pergi dari sana. Ia mengatakan bahwa sang ibu menyuruhnya kembali ke hotel.
"Sig. Stone," panggil Mona yang membuat pria itu berbalik tenang. "Apa kau mau memberiku tumpangan? Aku sedang tidak enak badan dan ibuku menyarankanku untuk kembali ke hotel."
Gabrielle menekuk dahi, melirik wanita itu dari atas sampai bawah. Dari sekian banyak mobil yang ada di sana, mengapa wanita itu meminta padanya? Apa Gabrielle terlihat memiliki kesudian untuk melakukan hal tersebut? Ayolah, jangan bercanda, ia Gabrielle! Lagipula Gabrielle yakin sekali Mona memiliki sopir pribadi, uang untuk menaiki taksi, dan ayahnya sudah pasti memberikannya mobil.
Gabrielle mengendurkan kerutan dahinya, seolah paham. "Tidak," tolaknya singkat sebelum melanjutkan langkah ke mobil, meninggalkan Mona yang mematung karena harga dirinya diinjak-injak.
#To be Continue...
NOTE : Inget! Ini fiksi yaaa tapi untuk Dewan Volkswagen, Presiden Lamborghini & Bugatti aku ambil asli karena biar lebih kerasa dan untuk karakter anaknya aku ganti nama Alice dan Mona untuk menghindari hal hal yang tidak diinginkan 🤗
See you tomorrow guys!
140921 -Stylly Rybell-
Instagram maulida_cy