Hellow!
Sorry baru up lagi!
Happy reading!
°🌳🌳🌳°
43. RAVEL-ALUNA
Ravel menatap Aluna yang tengah di suapi Nia makan, gadis itu kondisinya semakin meningkat meski terkadang drop ketika mengingat ayahnya—Atlas.
Aluna juga sudah menceritakan mimpinya kepada Ravel dan Nia. Nia senang kalau mendiang suaminya itu sudah bahagia disana tinggal dia disini menjaga dan merawat kedua anaknya.
"Bunda udah, " ucap Aluna.
Nia mengangguk, perempuan itu memberikan sebotol air kepada Aluna.
"Ravel gimana kuliah kamu? " tanya Nia.
"Minggu depan udah mulai ospek bun. "
"Wahhh, selamat Avel! " seru Aluna senang.
"Thank you sayang. "
"Kamu tetep kerja di kantor? Kalau kamu capek biar bunda aja yang kerja kamu fokus kuliah aja, " tawar Nia.
Ravel menggeleng dengan tegas dia tidak akan membiarkan bundanya kerja. "Gak usah bunda, Avel bisa kok bagi waktu. "
Nia mengangguk mungkin nanti dia bisa membantu sedikit-sedikit. Dia tidak akan membiarkan Aluna kehilangan banyak waktu bersama Ravel karena Nia tau Ravel adalah yang paling gadis itu butuh.
Nia bersyukur setidaknya kondisi Aluna tidak se drop yang dia pikirkan. Gadis itu sudah kembali ceria. Meski terkadang Nia sering melihat Aluna menangis karena merindukan ayahnya itu.
"Bunda Alu kapan boleh pulang?"
"Besok kalau kondisi kamu udah membaik."
"OKEY BUNDA!" serunya semangat.
Nia tersenyum, andai saja jika ada Atlas disini suasana akan semakin ramai karena lelaki itu akan mengganggu Ravel tapi sekarang tidak. Lelaki itu sudah tenang.
"Bunda kenapa?" Tegur Ravel.
Nia tersadar dari lamunannya dia menatap putra dan putrinya lalu tersenyum menenangkan. "Bunda gak papa."
"Bunda jangan sering ngelamun, Avel kawatir."
"Iya enggak."
•••
Setelah dari rumah sakit tadi Ravel langsung menuju sel, dia akan memberikan penjelasan kepada Adelio malam ini. Dia ingin semuanya selesai, urusan percaya atau tidak itu biarkanlah menjadi urusan Adelio.
Ravel berhenti didepan kantor polisi Swiss, matanya menatap gedung itu dengan diam. Belum ada niatan untuk turun ke sana ditambah cuaca sedang hujan.
Ravel akhirnya turun mengenakan mantel dan payung, dia berjalan menuju depan kantor polisi dan bertanya dimana tahanan atas nama Adelio. Polisi membawa Ravel keruang tunggu.
Ravel duduk, matanya menatap pada tangan yang sedang bertautan entah kenapa dia menjadi gugup.
"Buat apa Lo datang?" Ucap Adelio santai.
"Gua mau ngejelasin tentang bokap Lo."
Adelio menatap Ravel sinis.
"Apa yang perlu dijelaskan? Bukannya semua udah jelas?"
"Bokap Lo mati karena Hartono," ucap Ravel lugas.
Adelio diam, dia tidak menampilkan raut terkejut atau semacamnya hanya wajah datar.
"Desi dan Hartono, pada tahun 20 Januari 20xx datang ke acara yang pernah keluarga gua buat. Hartono memberikan racun di minuman bokap Lo. Dan saat itu bokap Lo mati saat di bawa ke rumah sakit. Hartono dan Desi mengincar harta bokap Lo dan mereka gagal karena mereka tidak tau kalau Lo hidup."
"Lo gak usah ngarang cerita!" Bentak Adelio.
Ravel terkekeh sinis lalu menatap Adelio tajam.
"Buat apa gua ngarang cerita?"
"Urusan percaya atau enggak itu urusan Lo! Yang jelas gua udah ngasih tau apa yang sebenarnya terjadi. Dan gua harap hukuman Lo berat!"
Setelah mengatakan itu Ravel meninggalkan kantor polisi dia tidak ingin berurusan lagu dengan Adelio ataupun keluarga panca yang lainnya.
Ravel mengendarai mobil menuju rumah sakit dia selalu menginap disana. Ravel belum ada nyali untuk pulang ke mansion lelaki itu masih terlalu takut mengingat kenangan bersama sang ayah.
Ravel memarkirkan mobilnya di parkiran rumah sakit, lelaki itu memejamkan matanya terbesit kenangan bersama sang ayah di otaknya. Meski sudah dua Minggu Atlas pergi tetap saja dia masih belum ikhlas sepenuhnya.
Ravel merasa waktu mereka kurang.
"Ayah bahagia disana ya."
•••
"Ayah liat lucu kan?" Ucap seorang anak kecil berusia lima tahun—Dia Ravel.
"Lucu banget, seperti anak ayah!"
Keduanya tertawa, lantas sang ayah menggendong putranya dan meletakkan tubuh kecil itu di pundaknya dan membawanya keliling halaman dibelakang rumah. Tawa lepas sang anak membuat Atlas bahagia.
"Ayah kalau besar nanti Avel mau seperti ayah! Yang bisa jaga bunda dan Avel!"
"Harus dong! Nanti anak ayah jadi little superhero, kita jaga bunda sama-sama!"
Ravel kecil mengangguk dia meminta turun dari gendongan sang ayah lalu berlari menuju bundanya.
"Bunda bunda, kata ayah nanti Avel jadi superhero juga! Tapi Avel little superhero! Soalnya Avel masih kecil!" Ucapnya mengadu kepada sang bunda.
"Iyakah? Wah anak bunda hebat!" Puji Nia.
Ravel kecil tersenyum senang, wajah itu sangat bahagia ketika kedua orang tuanya mencium pipinya. Hal kecil yang bisa membuat Ravel bahagia.
Ravel membuka matanya, mimpi yang terasa sangat nyata. Lelaki itu menunduk menatap kedua tangannya yang pernah digenggam oleh sang ayah lalu menatap brankar Aluna yang tengah tertidur.
"Ternyata mimpi ya?"
"Avel kira itu nyata."
•••
Paginya Aluna sudah di perbolehkan pulang, gadis cantik itu tersenyum senang begitu pula Ravel yang melihat wajah ceria kekasihnya. Mereka memutuskan untuk tinggal bareng Nia, dia mansion milik alm. Atlas karena biar Nia ada yang menemani dirumah dan tidak kesepian.
Aluna turun dari brankar dibantu oleh Ravel, lelaki itu mendorong kursi roda Aluna dan beberapa barang di bawa oleh bodyguard.
Mereka langsung menuju mansion. Ravel mengelus kepala Aluna yang menyandar di dada bidangnya gadis itu memejamkan matanya menikmati elusan dari Ravel.
"Nanti langsung istirahat, kalau udah sembuh boleh sekolah."
Aluna hanya berdehem membalas ucapan Ravel, sangat malas rasanya mengucapkan satu kata saja.
Mereka sampai dimansion, Aluna dan Nia langsung masuk kedalam tapi tidak dengan Ravel lelaki itu hanya mematung didalam mobil. Matanya menyorot pada jendela besar yang menjadi jendela ruangan Atlas.
Ravel bisa melihat aktifitas didalam sana, dua tersenyum tipis. Dia kembali melihat ayahnya dia bisa merasakan kehadiran sosok itu.
"Ayah bahkan Ravel bisa rasain ayah disini," gumamnya.
"Kenapa susah banget buat ikhlasin ayah? Padahal mulut Avel bilang kalau Avel udah ikhlas tapi kenapa hati Ravel belum yah?"
"Avel gak mau jadi beban ayah nanti disana. Tapi susah yah. Avel udah biasa ada ayah," lirihnya dengan suara kecil.
Tok...tok...
"Maaf tuan? Apakah anda tidak turun?" Tanya Tobi.
Ravel tersadar lalu mengangguk dia berjalan dengan angkuh mirip seperti Atlas lantas dia langsung menuju kamar Aluna dan disana ada bunda.
Ravel menatap semua interaksi kedua bidadari nya, Ravel bersyukur setidaknya mereka tidak terlalu larut dalam kesedihannya.
"Avel," panggil Nia.
Ravel berjalan menuju bundanya lalu mengecup dahi perempuan yang melahirkannya sekilas. "Kenapa nda?"
"Jangan tidur dikamar Aluna! Kamar kamu ada disamping! Awas ya kalau bunda tau kamu tidur sama Aluna!" Ucap Nia tegas.
"Iya bunda, tapi gak janji," jawabnya sambil tersenyum.
Plak
"Harus kuat iman kamu! Jangan sampai bunda ngomel sama kamu!"
"Iya bunda sayang, bunda istirahat aja biar Aluna Avel yang jaga."
"Halah modus kamu, Aluna kalau Avel ganggu atau mesumin kamu bilang sama bunda ya? Biar bunda sunat lagi dia!"
Aluna mengangguk sambil tertawa. "Siap bunda!"
Nia mengecup kepala Aluna dengan sayang lalu menatap Ravel dengan tajam. "Jangan macem-macem!"
"Satu macam nda!"
"BUNDA TABOK KAMU YA?!"
°🌳🌳🌳°
HAO!
PENDEK YA?
BUNTU OTAK MAKANYA GAK UP😭
BABAY!
SEE U NEXT CHPTR!