In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

91.1K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

49. Sanctuary in His Arms

1.1K 241 195
By AdistaSucardy

"Jangan bergerak!"

Di sela gelombang rasa sakit, telingaku mendengar rentetan suara yang datang secara silih berganti; derap kaki, sirine polisi yang terus meraung, bunyi borgol yang dipasang secara paksa, dan serangkaian upaya perlawanan yang diberikan Nathan.

Keributan diakhiri dengan suara polisi yang menyeret Nathan keluar. Semua seperti berlangsung dalam gerakan lambat dan samar. Sementara itu, kesadaranku seperti menguap perlahan-lahan bersamaan dengan sengatan nyeri luar biasa yang berpusat di luka yang terus ditekan Mark kuat-kuat.

Sekujur tubuhku mulai terasa dingin, namun perih dari luka-luka cambukan yang ditinggalkan Nathan sama sekali tidak memudar. Rahangku masih terasa nyeri, kepalaku tidak berhenti berdenyut akibat benturan berkali-kali beberapa saat yang lalu.

Aku terbaring di pangkuan Mark. Ia menunduk menatapku dengan sorot ketakutan tak tergambarkan.

"Clavina... maaf..." Mark meneteskan air mata. Bahunya bergetar. Suara beratnya terdengar serak sekali.

Jantungku yang sedang berpacu keras kini terasa semakin tidak karuan melihat pemandangan di hadapanku. Ini adalah kali pertama aku melihat Mark menangis. Ia belum pernah terlihat setakut dan sesedih ini.

Aku mengangkat tanganku yang gemetaran, kusentuh wajah Mark dengan lembut dan perlahan menghapus air matanya. "Mark..."

Rahang Mark mengetat, matanya yang basah tampak putus asa. Ia seperti tengah merasakan kemarahan terhadap dirinya sendiri. "Aku gagal..." gumam Mark. "Aku gagal melindungimu, Clavina."

Aku menggeleng lemah. Kutatap dalam kedua manik biru Mark yang terasa mendamaikan. Tanganku berpegangan erat pada dadanya. "Tidak, Mark. Kau tidak gagal..." desahku dengan sisa suara yang kumiliki. "Kita harus melindungi satu sama lain, bukan hanya kau. Dan kali ini adalah giliranku."

"Tidak, Clavina. Tidak boleh. Kau tidak boleh melakukan ini!" Mark terdengar seperti sedang merancau. Matanya berkilat oleh rasa kalut. Ia memelukku semakin erat. "Aku tidak ingin kehilanganmu."

Tubuhku terus disiksa rasa sakit yang sama sekali tidak memberi jeda. Namun entah mengapa, berbaring dalam dekapan Mark membuat seluruh siksaan di sekujur tubuhku seolah terbayarkan. Aku tidak peduli. Aku rela menanggung semua ini asalkan aku bisa berada dalam pelukan yang sempat direnggut dariku ini. Pelukan yang memberiku rasa aman, damai, dan segala hal yang pernah kubutuhkan dalam hidup.

Napasku terasa semakin sesak. Dahaga luar biasa menyerangku karena darah yang keluar dari tubuhku semakin banyak seiring dengan detik yang berlalu. Tanganku yang tadinya berpegangan pada dada Mark kini jatuh terkulai. Aku berusaha keras mempertahankan kesadaranku. Aku ingin bisa melihat Mark selama mungkin.

Jika ini memang hari terakhirku, aku ingin wajah Mark adalah yang terakhir kulihat.

"Kumohon bertahanlah, Clavina. Bantuan akan segera datang." Mark terlihat kian panik. Air matanya terus bercucuran. Ia semakin keras menahan darah yang mengalir dari luka di punggungku. Tangannya terasa panas dan basah. "Aku pulang untukmu, kau tidak boleh meninggalkanku."

Jantungku berdegup liar, dadaku terasa terbakar karena aku tidak bisa menahan kencangnya tempo pusat pemompa darahku. Dahagaku semakin menjadi, aku mulai tidak mampu mengatasinya.

Air mata mengalir deras dari ujung mataku. Kerongkonganku kering kerontang. Setiap tarikan napas yang kuupayakan terasa luar biasa menyakitkan.

Mark kian membungkuk agar semakin dekat denganku. Ia tahu keadaanku semakin memburuk. "Clavina... Sayang... tetaplah bersamaku." Ia mencoba menenangkanku sekaligus berupaya menyalurkan kekuatan.

Mataku mengerjap beberapa kali. Seluruh sendiku terasa berat. Aku lelah sekali. Sangat lelah.

Mark menatapku lekat-lekat. "Clavina," Ia memanggil namaku agar aku terus tersadar. "Tetaplah bersamaku. Kumohon, tetaplah bersamaku."

Aku kembali mendengar suara derap kaki mendekat.

Tim medis.

Keadaan di sekitarku seperti memudar perlahan, berubah menjadi bentuk-bentuk tak beraturan. Aku merasakan tubuhku diangkat ke atas tandu. Tanganku terus digenggam erat Mark hingga saat detik terakhir kesadaranku.

Kegelapan perlahan menyelubungiku. Aku seperti dipeluk ketenangan yang teramat.

Lalu semuanya menghilang.


*****



Aku terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan posisi agak miring untuk mengurangi tekanan pada luka di punggungku yang sudah ditangani dengan baik. Aku tersadar sekitar dua jam yang lalu dengan keadaan seluruh tubuh yang terasa kebas. Kukira aku tidak akan bangun lagi, tapi ternyata aku salah. Aku membuka mata dan melihat Mark berada di sisi ranjangku, sedang menjagaku.

Ia benar-benar pulang.

Mark-ku.

"Kau benar-benar akan menghabiskan waktu dengan memandangiku seperti itu?" tanya Mark iseng seraya mengupas apel hijau di tangannya dengan sebuah pisau kecil. "Aku masih belum mandi, lho. Aku tidak setampan itu untuk terus kau pandangi."

Aku mengulum senyum, masih enggan untuk berhenti memandangi Mark. Ia mengupas apel dengan tidak rapi. Penampilan Mark masih lusuh sekali dan ada bekas memar di tulang pipinya yang baru terlihat jika diperhatikan lekat-lekat. "Kau kemana saja?" tanyaku halus.

Mark mengalihkan seluruh perhatiannya kepadaku. Rautnya berubah serius mengetahui aku sedang menuntut penjelasan yang belum juga diberikannya. Ia langsung berhenti mengupas. "Clavina, kau baru siuman. Kondisimu masih lemah. Haruskah kita membicarakan ini sekarang?"

Aku mengangguk yakin. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan kenapa ada luka di telapak tangan kananmu?" Mark terus berusaha menyembunyikan luka melintang di telapak tangan kanannya, tapi mataku tentu saja tidak melewatkan itu.

Mark menelan ludah, lalu menarik napas. Sebelum memulai, ia menatap mataku lama, kembali menimbang-nimbang. "Aku sedang bersiap-siap pulang saat itu semua terjadi. Empat orang pria berpenutup wajah tiba-tiba menghampiriku di area parkir galeri dan memukuliku dengan brutal. Selanjutnya, aku dibawa ke sebuah tempat penyekapan. Di sana aku baru tahu bahwa Nathan adalah dalang di balik penyeranganku. Ia sudah memata-mataiku sejak aku menginjakkan kaki di New Orleans. Ia melampiaskan kemarahannya di tempat di mana aku disekap dengan pukulan-pukulan sementara empat anak buahnya memegangiku agar aku tidak bisa melawan sama sekali. Ia punya dendam besar terhadapku, aku tahu yang diinginkannya hanyalah melihatku mati."

Mark berhenti sejenak, kemudian melanjutkan. "Malam itu, salah satu anak buah Nathan menodongkan pistol ke kepalaku sementara Nathan menyerahkan selembar kertas dan sebuah pulpen. Ia memberiku kesempatan menulis surat perpisahan untukmu sebelum aku ditembak. Ia menyayat telapak tanganku dengan pisau agar, meskipun aku memiliki kesempatan untuk menulis surat sebagai ucapan selamat tinggal, aku harus melakukannya dengan penuh perjuangan akibat rasa sakit dari luka torehan dalam, itulah alasan mengapa surat yang kau terima berlumuran banyak darah."

Mataku berkaca-kaca. Ternyata darah itu bukan dari luka tusukan di perut Mark, namun tetap saja, Mark menulis surat itu dengan menahan rasa sakit luar biasa.

"Aku sudah berpikir bahwa aku benar-benar akan mati. Rasanya tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata membayangkan aku tidak akan bisa pulang lagi. Tidak bisa memelukmu lagi adalah sebuah mimpi buruk. Aku takut sekali karena jika aku pergi, tidak akan ada yang menjagamu, Clavina."

Mark menatapku dengan sorot terluka. Ia bukannya khawatir akan kematian yang menunggunya, melainkan bagaimana diriku nantinya jika ia tidak ada.

"Maka dari itu, aku menulis suratku dengan sebaik-baiknya. Aku ingin pesan dan seluruh rasaku sampai. Aku mengerahkan seluruh upaya yang kupunya. Setidaknya, surat itu pulang meski aku tidak. Namun ternyata, Nathan bukan menginginkan kematianku. Ia menginginkan aku tersiksa karena ia bisa melukaimu melalui rekayasa kematianku."

Mark mengambil jeda. Ia meletakkan apel yang baru setengah dikupas ke atas nampan di nakas. Ia menatap mataku, memberiku waktu untuk mencerna penjelasannya.

"Mark, aku melihat hasil laporan autopsimu. Aku melihat jasadmu, benar-benar dirimu dengan banyak sekali luka tusukan. Laporannya dikeluarkan secara resmi oleh ahli forensik." Aku masih tidak mengerti bagaimana Mark bisa tiba-tiba muncul di hadapanku padahal bukti-bukti kematiannya sudah sangat mendukung.

"Itu memang aku. Mereka membiusku sebelum merekayasa foto-foto hasil otopsi yang kau terima. Mereka merias wajahku hingga terlihat sepucat mungkin persis seperti mayat. Untuk luka-luka tusukan di perutku, semua itu tidak nyata, hanya hasil riasan profesional menggunakan semacam kulit buatan dan darah palsu. Nathan orang yang berpengaruh, Clavina. Ia bisa mengatur semuanya. Ia bahkan membayar seorang ahli forensik untuk memalsukan laporan hasil otopsiku. Semuanya sudah direncanakan dengan begitu rapi."

Aku terdiam sesaat. Nathan Anderson ternyata bukan orang sembarangan. Ia selicik itu. "Bagaimana dengan makam itu, Mark? Bibi Lauren juga berduka untukmu. Jadi... kami semua dibohongi?"

"Makam itu kosong. Jika kau berpikir bibi Lauren berduka untukku, kau salah. Ia dan Nathan bekerja sama." Raut wajah Mark berubah gelap, seperti menyimpan riak kekecewaan saat menyebut nama bibinya.

Aku terperangah. "Mark, ia bibimu sendiri. Bagaimana bisa ia tega melakukan ini?"

Mark tersenyum kecut. "Sejak kematian orang tua kandungku, aku hanyalah beban bagi paman dan bibiku. Sungguh, seandainya aku bisa memilih, aku berharap dulu aku dibesarkan di panti asuhan saja." Ia menarik napas panjang setelah mengambil jeda selama beberapa saat. Kesedihan melintasi air mukanya meski hanya sekilas, lalu rautnya kembali netral. "Sedari dulu, gaya hidup bibiku memang terlalu mewah. Belakangan ia sedang mengalami kesulitan ekonomi dan Nathan memberikan suntikan dana untuk bisnis toko peralatan olahraga yang dibangun bibiku bersama kekasihnya. Syaratnya hanya satu; turut serta dalam rekayasa ini dan membantu meyakinkanmu bahwa aku memang sudah tiada. Ia juga ikut mengelabui polisi yang hadir ke rumah duka."

Kepalaku berdenyut mendengar seluruh penjelasan Mark. Ya Tuhan...

Aku menelan ludah untuk membasahi kerongkonganku yang terasa kering. "Kau tahu semua detailnya, Nathan memberitahumu?"

Wajah Mark mulai diwarnai rasa frustrasi yang seperti sempat dipendamnya dalam-dalam. "Clavina, sejak kau tiba di bandara, ada kaki tangan Nathan yang terus memotretmu secara diam-diam agar aku bisa melihat bagaimana hancurnya dirimu. Nathan ingin aku melihat semuanya. Aku nyaris gila karena setiap hari melihatmu berduka sedemikian rupa. Pertama, saat kau tiba setelah penerbanganmu. Kau pucat sekali, matamu terlihat sangat takut. Kau terlihat bisa pingsan sewaktu-waktu. Demi Tuhan, Clavina. Aku tahu bagaimana dalamnya rasa traumamu, dan demi menghadiri pemakamanku, kau rela terbang, sejauh ini, sendirian, di malam hari pula. Dan saat kau tiba di New Orleans, pemakamannya sudah usai. Semua ini keterlaluan. Kejam sekali."

Rahang Mark terlihat mengetat. "Selanjutnya, aku melihat foto saat kau menangis di pemakaman. Kau terlihat remuk. Aku benar-benar tidak sanggup melihatnya. Lalu ada foto saat kau di rumah bibiku. Aku terlihat semakin tidak sehat, kau seperti sedang menahan sakit yang teramat. Kau tampak rapuh sekali, dan Nathan terus mendekatimu, berpura-pura menjadi seseorang yang dapat kau percaya. Aku takut dan cemas sekali, Clavina. Melihat dirimu berduka dengan begitu hebatnya sudah membuatku ingin mati saja, ditambah lagi dengan mengetahui manusia selicik Nathan terus mendekatimu secara perlahan dan aku sengaja dibiarkan melihat semuanya dari foto-foto dan beberapa rekaman tersembunyi yang diberikan anak buahnya kepadaku."

Hatiku seperti dicengkeram kuat-kuat melihat kesedihan dalam mata Mark. Ia sama remuknya denganku.

"Aku dibiarkan melihat semuanya, Clavina. Juga saat kau kembali datang ke makam itu, saat Nathan semakin menunjukkan keakraban dengan mengantarkanmu ke bandara, bahkan masih ada yang diam-diam memotretmu saat kau pulang ke rumah."

Aku tersentak hebat. "Jadi.... yang memotretku di hutan hari itu juga orang suruhan Nathan?"

Mark mengangguk. "Ya, Clavina. Kau terus diikuti agar aku semakin tersiksa melihat bagaimana keadaanmu sepeninggalku."

"Lalu, bagaimana kau bisa kembali ke Woodstock?" Aku terus bertanya, berusaha menelan sebanyak mungkin penjelasan.

"Aku berhasil melarikan diri dua hari sebelum kejadian di villa Nathan. Aku langsung meminta pertolongan ke kantor polisi. Aku sudah tidak punya apa-apa, semua barangku sudah dipulangkan Nathan kepadamu. Aku bahkan tidak memegang ponsel atau uang sepeser pun. Aku bisa saja menghubungimu menggunakan telepon kantor polisi, tapi aku tidak hafal nomor teleponmu. Aku bodoh sekali." Mark mengutuk diri. "Aku lalu memutuskan untuk menelepon ke nomorku sendiri dan telepon rumah berkali-kali, tapi kau tidak mengangkat satu pun panggilan telepon."

Ya ampun... keputusanku untuk mengabaikan panggilan-panggilan telepon masuk waktu itu ternyata fatal sekali.

"Pihak kepolisian membantuku pulang ke Woodstock karena tahu betapa gentingnya situasiku. Sebelum aku kabur dari tempat penyekapan, Nathan sempat mengabariku bahwa ia sudah di Woodstock dan sedang berusaha mendapatkan kepercayaanmu sebelum menyakitimu habis-habisan. Aku panik luar biasa, maka dari itu aku berusaha pulang selekas mungkin. Saat aku tiba di Woodstock, aku meminjam motor Leo agar aku bisa menggunakan jalan-jalan pintas yang tidak dapat dilewati mobil sehingga aku bisa tiba lebih cepat. Sayangnya, kau tidak ada di rumah saat aku sampai. Aku langsung mengejarmu ke kota. Setelah sempat berkeliling ke tempat-tempat yang sering kita datangi, kebetulan sekali aku melihatmu sedang masuk ke mobil bersama Nathan saat itu. Nathan pasti mempercepat rencananya untuk menghabisimu karena sudah mendapatkan kabar bahwa aku melarikan diri. Aku mengejar kalian dengan ugal-ugalan, tapi aku kehilangan jejak. Aku baru bisa muncul beberapa saat kemudian. Dan begitulah alasan mengapa aku muncul tiba-tiba di hadapanmu."

"Bagaimana dengan tempat kejadian perkara di area parkir galeri? Nathan mengatakan bahwa ia datang ke sana membantu kepolisian. Ia juga merekayasa semua itu?"

Mark mengangguk. "Tentu saja, Clavina. Semuanya."

Aku tercenung lama, masih tidak menyangka Nathan ternyata begitu manipulatif.

Aku sempat mempercayai orang seperti itu.

Mark menggenggam tanganku untuk menyalurkan ketenangan karena melihat raut gusarku setelah mendengar seluruh penuturannya. "Polisi sudah menangani Nathan, ahli forensik yang memalsukan kematianku, dan seluruh pihak yang terlibat dalam kasus ini. Kau tidak perlu mencemaskan apapun lagi. Mereka akan mendapatkan apa yang pantas mereka terima."

Aku balas menggenggam tangan Mark dengan erat. Kutatap wajahnya dengan mata berkaca-kaca. Aku luar biasa merindukannya.

"Sayang, ada apa?" Mark menghapus air mataku yang jatuh ke pipi dengan teramat berhati-hati, khawatir akan menyakiti luka memar di wajahku. "Ada yang sakit?"

Aku menggeleng pelan. Tangisku pecah, aku tidak tahu mengapa tiba-tiba menjadi emosional seperti ini. "Jangan pergi lagi."

Mark tersenyum hangat. Sorot matanya menunjukkan rasa bersalah. Ia mengusap lembut rambutku. "Aku akan terus di sini, menemanimu menghadapi semuanya. Jangan khawatirkan apapun agar kau lekas sembuh. Kita akan makan es krim yang banyak setelah kau pulih. Aku akan mengajakmu jalan-jalan."

Aku mengangguk dengan bersemangat. "Aku akan berusaha agar cepat sembuh, agar kita bisa lekas pulang."

Mark tersenyum simpul. Ia menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Gadis baik."

Selama beberapa saat, aku dan Mark saling pandang, seperti tengah mensyukuri satu sama lain.

"Mark..." panggilku lirih.

"Ya, Sayang....?" Mark menyahut dengan begitu lembut. Ia seperti senang sekali mendengarku menyebut namanya.

Aku menyentuh leherku. "Bisa tolong bantu aku melepaskan kalung ini?" pintaku dengan suara yang masih lemah. Aku agak kesulitan bergerak karena salah satu tanganku memakai infus dan hidungku dipasangi selang oksigen.

Mark mengangguk. "Tentu."

Mark beringsut maju, tangannya perlahan melepaskan kait kalungku. Mataku memejam, sentuhan tangan hangat Mark terasa begitu familiar dan memberikan rasa tenang luar biasa.

Mark menyerahkan kalung yang sudah dilepaskan dari leherku. Ia tersenyum melihat cincin miliknya kujadikan bandul.

Kulepas cincin Mark dari rantai kalung dengan gerakan teramat perlahan, sementara Mark memberiku tatapan protes.

"Clavina, jangan terlalu banyak bergerak. Nanti mengganggu selang infus," tegur Mark halus.

Bukannya menggubris ucapan Mark, aku malah menarik tangannya mendekat. Kupasangkan kembali cincin pernikahan itu ke jari manisnya. Air mataku menetes lagi karena perasaan terharu.

Mark tercenung selama beberapa saat. Ia seperti merasakan hal yang sama. Bibirnya mengulum senyum sementara kedua matanya membinarkan sorot bahagia.

Kukecup punggung tangan Mark satu per satu dengan perasaan khidmat. Setelah itu, kutempatkan tangan kanannya ke dada kiriku dan menggenggamnya erat, tepat di jantungku. Mataku terpejam merasakan ketentraman tak terungkapkan.

Mark beringsut semakin maju lagi. Ia menempatkan tangan kirinya di atas bantalku untuk menumpu badannya, sementara tangan kanannya dibiarkannya terus dekat dengan jantungku. Ia membungkuk lalu mengecup keningku lama sekali.

Aku memejam, namun sebulir air mata bahagia lolos melewati ekor mataku. Dadaku riuh oleh rasa lega, damai, syukur, dan bahagia.

Cara kerja semesta memang tidak pernah bisa diduga. Ketika aku berjuang untuk sembuh dari lukaku dan berdoa setiap hari agar aku bisa merasa ikhlas atas kepergian Mark, aku justru diberi kesempatan kedua.

Tuhan mengirimnya kembali untukku.

Aku berjanji kepada diriku sendiri untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan keduaku.

Aku akan menjaga Mark baik-baik.




[Bersambung]




Hello, Teman-Teman Clavina 🤗

Duh, maaf banget chapter ini update-nya lama. Insecure mulu mau nulis part ini I don't know whyyyyyyy 🙃

See you on the next chapter.
Stay healthy 🤗🌹🌹🌹🌹


Continue Reading

You'll Also Like

4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
631K 71.2K 27
Selain menjadi kebanggaan, punya status sebagai orang nomor satu itu adalah beban dan juga tanggung jawab. Dirgasatya Kalingga adalah tiang harapan d...
Hidden Object By Sekar Aruna

Mystery / Thriller

10K 2.2K 18
Nivriti memiliki hobi memotret tempat-tempat yang sudah lama terbengkalai. Suatu hari dia mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang su...
9.2K 2.8K 16
𝐇𝐎𝐔𝐑𝐒 - 𝐇𝐎𝐑𝐑𝐎𝐑 𝐒𝐄𝐑𝐈𝐄𝐒 #4 Hanya ada satu keharusan yang Yu Yeonjun yakini dengan penuh tekad; bergegas pergi demi mencari sosok adik...