[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 442K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
27. Istana Para Iblis
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe

32. Serpihan Setangkai Bakung

31K 5.1K 10.2K
By tx421cph


Selamat Membaca


"Bagaimana mungkin anda mengatakan hal seperti itu?" 

Pria itu, Sang Panglima Perang, hanya memandang ke bawah saat kekasihnya menuntut jawaban, menuntut penjelasan yang gamblang darinya. Tapi bahkan dia sungguh hanya bisa menatap bebatuan sungai dengan mata sendu, mendengarkan Sang terkasih menangis. 

"Apa itu yang anda katakan sebagai tanggung jawab?" Son Je Ha mengepalkan sepasang tangannya.

Terdengarlah hembusan napas pasrah dari Si Putra Naga. "Aku melakukan ini untukmu, Je Ha-ya, untuk... anak kita. Menikahlah dirimu dengan Pangeran Wang Jae, dan anak itu akan hidup bersamaku."

"Aku tidak menyetujui ini," mata perempuan itu memerah. 

"Je Ha-ya, ini untuk kebaikan kalian berdua. Anak itu adalah darah dagingku, bukan Pangeran Wang Jae, dia tidak bisa hidup di istana sebagai seorang Pangeran karena dia tidak memiliki darah kerajaan." 

"JIKA BEGITU MENGAPA KAU MENYURUHKU MENIKAH DENGAN WANG JAE?! MENGAPA BUKAN KAU SAJA! MENGAPA BUKAN KAU DAN KITA PERGI DARI SINI!!!"

Son Je Ha membanting cuciannya, dia menangis dengan keras, menangis hingga wajahnya memerah padam. Bahunya naik turun karena ia terisak dengan hebat, hingga dadanya pun terasa sesak. 

"Son Je Ha..."

Je No nyaris menangis, ia raih tangan perempuan itu dengan wajah sedihnya. 

"Ini adalah anakku, dan kalian bahkan sama sekali tidak membicarakan masalah sebesar ini denganku," isaknya, "bagaimana mungkin... kalian berdua memperlakukanku seperti barang." 

Hwang Je No menarik napas panjang-panjang, "sungguhlah bukan itu yang terjadi sesungguhnya, Son Je Ha. Ku mohon jangan hanya melihatnya dari satu sisi..."

"Dilihat dari sisi mana pun yang kalian lakukan salah besar!! Kalian sama sekali tidak berhak memisahkan anak ini dariku! Bahkan kau! Ayahnya sendiri!!" 

"Ini untuk kebaikanmu, kebaikan anak kita, Je Ha-ya! Ku mohon mengertilah!!"

Hwang Je No merasa cukup penat. Batinnya terasa sangat lelah, kepalanya ingin meledak, dan melihat pujaan hatinya menangis seperti ini membuat hatinya semakin tersayat. 

"Berhenti!! Berhenti!!!" 

Perempuan gisaeng itu berteriak histeris, Hwang Je No langsung menutup mulutnya, tersadar jika dirinya baru saja melontarkan nada tinggi. 

"Ku mohon pergilah, Panglima Hwang. Pergi saja jika pada akhirnya hanya ini yang anda katakan padaku, sungguh aku tidak membutuhkanmu jika seperti ini, aku bisa mengurus anakku sendiri."

Kalimat itu seperti menghujamnya dengan telak, Hwang Je No nyaris menjatuhkan Naga Emasnya ketika Son Je Ha menatapnya dengan penuh kekecewaan. 

"Je Ha-ya..."

"Ku pikir benar apa yang dikatakan Nyonya Yoon Hyang, bahwa kami tidak seharusnya memercayai pria begitu saja."


-----oOo-----


"Fei Yu."

"Hm?" 

Wang Han memanggil, namun saat Fei Yu menanggapinya, dia hanya terdiam dan meneguk secangkir kecil teh hijau yang masih berasap. 

Pangeran ke lima memegangi cangkir itu dengan kedua tangannya, menyesapnya dengan perlahan, mengunci pandangan ke arah kendi giok salju. 

"Han." Pangeran Mahkota Song memanggil sekali. 

Han bukan mengabaikan, dia hanya bingung bagaimana caranya untuk menyampaikan kata-katanya. Dia memiliki ribuan pertanyaan, hingga berbagai ketidaknyamanan yang menyergap hatinya. 

Fei Yu terus menatap, pria itu jelas tahu betul bagaimana gundahnya Pangeran ke lima saat ini. 

"Jika memang yang dikatakan pengajar kerajaan benar, maka seluruh rencana benar-benar harus diubah," sambung Putra Kaisar. 

Setelah meletakkan cangkirnya, pemuda itu menghembuskan napas panjang, "aku tahu, tapi... apakah kita benar-benar bisa memercayai Jin?"

"Kau tidak memercayai kakakmu sendiri?"

"Setelah apa yang dia lakukan pada kakak tertua kami?"

Fei Yu memandanginya sejenak, lekat. "Apakah kau tak mencari tahu alasan Pangeran ke dua melakukan itu?" 

"Apa kau tahu hal gila apa yang dia katakan di depan adik-adiknya? Wang Jin adalah pria bodoh yang tak bisa menggunakan otaknya dengan baik."

"Aku hanya berpikir jika dia tidak ingin kalian tahu," jawba Fei Yu begitu saja.

Kata-kata itu membuat Han menoleh, "apa maksudmu?" 

Pria yang lebih tua mengedikkan sepasang alisnya, "bertanyalah pada Tuan Seon Jae Hyun, ku pikir dia yang lebih tahu tentang ini, dia juga yang menyarankanmu untuk mengubah strategi."

"Dengan mendukung Wang Jin sebagai Raja, itu hanya—"

"Kau sudah mendengar tentang adikmu itu? Pangeran ke tujuh," Fei Yu memotong kalimat Han. 

Han menurunkan pandangannya, "aku sudah mendengarnya, aku tidak tahu mengapa tiba-tiba dia ingin bersaing dengan Jin untuk mendapatkan tahta."

Kemudian, suasana mulai menghening. Wen Fei Yu tak lagi menanggapi, karena dia tak memiliki kata untuk diungkapkan, karena dirinya juga buta akan sosok Pangeran ke tujuh. 

Duduk dengan tegak, tanpa ada perbincangan lagi. 

Sejujurnya, Wang Han pun sudah sangat muak dengan segala hal yang terjadi semenjak Wang Yeol meninggalkan istana, dia sungguh ingin menemui kakak tertuanya dan mengeluh sembari menangis. 

Meski... entahlah, dia sangat benci menangis di depan orang lain, tapi—

"Sejak kapan kau membawa benda itu?" 

Han melempar pertanyaan saat matanya tak sengaja menangkap benda panjang dari bambu yang berada di pangkuan Pangeran Mahkota. 

Fei Yu melirik ke bawah, "aku selalu membawanya di balik jubahku." 

"Kau suka bermain musik juga rupanya," ujarnya pelan, mengalihkan pandangan, seperti tak tertarik. 

Tertua Wen memandang Pangeran ke lima dari samping, lalu menarik sisi bibir kanannya dengan sangat tipis, nyaris tak terlihat. "Ya, namun tetap kau tak bisa membandingkanku dengan Tuan Seon."

Lantas, Wang Han tertawa kecil tanpa suara, agak geli. 

"Berdirilah di sana."

Perintah Fei Yu membuat Han menolehkan kepalanya, lalu memasang ekspresi bertanya-tanya.

Sejujurnya ia tak memiliki alasan untuk memenuhi perintah itu, hanya saja Pangeran ke lima tetap berdiri dari duduknya dan berjalan dengan anggun ke tengah aula perjamuan yang luas. 

Wen Fei Yu mengangkat Di Zi* miliknya, meniup alat musik tersebut hingga menyuarakan irama yang khas. 

*Di Zi = nama alat musik tiup berupa seruling horizontal yang berasal dari Tiongkok. Dizi berawal dari Asia Tengah dan masuk ke Tiongkok pada 2 SM dan mengubah bahan dasar Dizi yang awalnya tulang menjadi bambu.

Alunan lagu yang menenangkan, seperti kau sedang bersemedi di dalam gua yang tersembunyi di balik air terjun. Fei Yu berkata bahwa dia tak semahir Seon Jae Hyun yang memang seorang pemusik handal, hanya saja permainan pria ini tak seburuk itu. 

Wang Han yang begitu peka dengan musik, menatap Fei Yu dengan permainannya yang sedikit kasar. 

Yah, itu memang kasar karena selama ini dirinya terbiasa mendengarkan permainan musik Seon Jae Hyun, dan juga Hwang Je No pun permainan serulingnya begitu luar biasa. Tapi Wen Fei Yu sepertinya benar-benar tulus, itu kasar, namun cukup indah. 

Wang Han kemudian menarik pedang rumbai merahnya yang tajam pada tangan kanan, dan kipas sutera kesayangannya pada tangan kiri. 

Dia tahu Fei Yu memintanya untuk menari. 

Seruling bambu yang sedikit lebih panjang dan besar dari seruling giok Hwang Je No terus melantunkan sebuah lagu yang tak pernah Wang Han dengar, namun lagu itu indah luar biasa dengan iramanya yang tak biasa. 

Pangeran ke lima melangkah, mengibaskan hanfu merahnya, menggerakkan pedang dan kipasnya berlawanan, membentuk sebuah gerakan yang indah. 

Saat kakinya melangkah, menapak pada lantai batu dengan sangat hati-hati seperti membentuk rasi bintang, Fei Yu terus menatap. 

Han merasa sedikit aneh, dia akhirnya menari lagi setelah sekian kejadian gila yang datang. Oh Seong So menghilang dan tak ada lagi yang menemaninya berlatih— tidak, jangan berlatih, dia hanya ingin melihat wanita itu dan memastikannya baik-baik saja. 

Wang Han gundah, di tengah tariannya ia terus berpikir bahwa apakah semuanya benar-benar akan berbalik arah. Pemuda itu sedikit merasa takut. 

Namun seperti yang Wen Fei Yu katakan sebelumnya, dirinya tak sendirian, ada begitu banyak yang berdiri di sisinya. Meski ia dan Fei Yu seringkali berdebat, keduanya terbilang menjadi teman baik. 

"Han."

Permainan musik itu tiba-tiba berhenti, Han sempat jengkel karena Fei Yu mengakhiri permainannya dengan cukup tidak sopan.

"Nyanyian serulingku terdengar sangat luar biasa ketika kau menarikannya."


***


"Minggir." 

"Ha?"

"Kau tak dengar?" 

"Mengapa aku harus?"

Pria dengan luka di matanya itu mengangkat sebelah alis, begitu pula dengan pria dengan dua sebilah pedang di belakang punggungnya. 

Keduanya beradu pandang seperti akan menebas satu sama lain. 

"Kau menghalangi jalanku," datar Wang Jae, namun tajam dan menusuk. 

Yoon Gi masih mempertahankan wajah sinisnya, tampak seperti mendesis dengan samar. "Pilihlah jalan lain, apa kau tidak bisa melihat begitu banyak jalan yang terbentang? Jangan mencari gara-gara denganku."

Mendengarnya, Wang Jae memicing, lalu mengangkat dagu dengan angkuh. "Lihatlah dengan siapa kau berbicara, pria cacat."


Dukk!!


Lantas Wang Jae mendorong Yoon Gi dengan bahunya, dorongannya sangat kuat hingga pria dengan bekas luka itu nyaris saja terjatuh jika ia tak menjaga keseimbangannya.

"Hei! Brengs—"

Yoon Gi seharusnya mengumpat atau bahkan melempar belakang kepala Wang Jae dengan belatinya, hanya saja dia segera sadar diri bahwa pria menjengkelkan itu adalah putra dari pemimpinnya.

Persetan dengan gelar pangeran, Yoon Gi hanya menghormati Na Yoon.

Dengan wajah seperti penuh dendam, Wang Jae memasuki pelataran bela diri, tempat itu tak ramai seperti terakhir kali dia datang. 

Di dalam sana, Pangeran ke tujuh melihat seorang wanita baru saja memasukkan pedangnya ke dalam sarung, saat menyadari ada seseorang yang membuka tirai, dia berbalik. 

Lalu Na Yoon segera tersenyum dengan cerah, sungguh mirip. 

"Kau datang." 

"Em," Wang Jae balas tersenyum tipis. "Apa yang sedang ibu lakukan?"

Na Yoon sedang melirik pedangnya selama beberapa saat, lalu ia kembali memandang anak lelakinya. "Tidak ada apapun."

Dengan wajah datar, Wang Jae bertanya, "aku tidak pernah melihat pedang itu sebelumnya." 

Diam sejenak, Na Yoon nampak sangsi, hingga ia kembali meraih pedang itu dan duduk di sisi ranjang, memangku pedang tak terlalu panjang dengan gagang berukir emas. 

Wang Jae mengikuti arah pandang ibunya. 

"Pedang ini hadiah dari ayahmu, nak," jawabnya dengan sebuah senyum. 

Pangeran itu tidak mempermasalahkan jawaban ibunya atau darimana pedang itu berasal, dia segera menyernyit ketika melihat bagaimana wajah Sang ibu saat mengatakannya. 

Ibunya itu terlihat seperti sangat merindukan seseorang yang sedang mereka bicarakan, dia tersenyum penuh makna, sorot matanya seperti menerawang untuk mengenang waktu yang lalu. 

"Ibu masih mencintainya?" 

Pertanyaan itu membuat Na Yoon menoleh, seperti dia tak mempermasalahkan betapa dinginnya saat anak lelakinya bertanya. Tapi dia tak menjawab itu. 

"Ibu sungguh masih merindukan pria itu? Setelah apa yang dia lakukan pada ibu?" 

Na Yoon malah tertawa kecil dengan lembut, mengulurkan tangan untuk mengusap wajah anaknya. "Ayahmu adalah pria yang baik—"

"Jika dia baik, maka ibu tidak akan berada di sini," terangnya.

Masih dengan ekspresi yang melembut, Na Yoon menjawab. "Segalanya selalu memiliki alasan, jangan terlalu menyalahkan ayahmu, nak." 

Kemudian, Wang Jae mengedikkan sepasang alisnya, membuang muka dan duduk dengan nyaman di sisi ranjang. 

"Ibu," panggilnya lagi.

"Em?" Na Yoon menjawab sembari meletakkan pedang itu ke tempatnya semula. 

Wang Jae ingin bicara blak-blakan bahwa ia tak menyukai ayahnya, dia tak pernah menyukai ayahnya sejak dia kecil, sejak Sang ayah hanya terdiam ketika tahu dirinya mengalami ketidakadilan di dalam istana.

Lalu saat Wang Jae tahu bahwa ayahnya melakukan itu untuk melindungi posisinya sediri, Wang Jae benar-benar sangat membenci ayahnya. 

Dia hanya tak berdaya. 

"Kenapa, nak?"

"Mengapa ibu bersikeras ingin membawaku pergi dari istana?"

"Bukankah ibu sudah mengatakan padamu sebelumnya?" 

"Itu jawaban yang klise, aku sudah tahu jika istana adalah neraka."

Na Yoon diam sebentar, "apa yang sebenarnya akan kau lakukan? Kerajaan saat ini sedang kacau karena Wang Yeol—"

"Aku akan menggantikan posisi Yeol hyung-nim, bu," sambarnya, "aku akan mengubah istana itu untuk ibu, aku akan menyingkirkan hal-hal yang membuatnya seperti neraka."

"Jae-ya, kau tidak perlu melakukannya. Kau tahu, Wang Yeol akan segera mengambil alih kerajaan sebelum hal tak diinginkan itu terjadi."

Kening Wang Jae langsung mengernyit dengan kusut, "apa?"

"Ibu yakin, Goryeo akan menjadi lebih baik jika dia yang menduduki tahta."

"Wang Yeol... masih hidup?" 


***


"Bagaimanakah keadaan di istana?"

"Yang Mulia."

Pria dengan jubah hitam bersulam naga itu berdiri di ambang pintu, baru saja menjatuhkan satu lututnya ke tanah untuk memberikan penghormatan pada seorang pria yang lebih tua, terbaring tanpa daya di atas ranjang kayu lusuh.

"Bangunlah, Hwang Yong-Geum."

"Hwang Je No memohon ampun kepada Yang Mulia karena tak sempat untuk datang berkunjung."

Wang Yeol hanya menghela napas panjang sembari tersenyum, "tidak masalah, kau pasti mengalami banyak hal di istana, aku mengerti."

"Yang Mulia—"

"Ku bilang bangkitlah, Hwang Je No."

Karena mendapatkan perintah mutlak, Sang Panglima tak memiliki pilihan. Meski dia benar-benar sangat menyesal karena merasa telah mengabaikan Putra Mahkota. 

"Bagaimanakah keadaan anda, Yang Mulia?" Tanyanya dengan wajah sedih. 

Wang Yeol yang hanya bisa terbaring karena seluruh tubuhnya lumpuh, lantas tertawa kecil. "Aku baik, aku baik, jangan khawatirkan aku." 

Sepertinya memang percuma bertanya pada Wang Yeol, jadi setelah ini Je No akan menghampiri Oh Seong So yang sedang menunggu di luar. 

"Yang Mulia, saya... membawa seseorang kemari."

Mendengarnya, raut wajah Wang Yeol langsung berubah. "Sungguh? Siapakah yang kau bawa? Siapa?" Dia terdengar begitu senang ketika mendengar kalimat Hwang Je No, seperti dia benar-benar kesepian di lembah surga. 

"Yang Mulia." 

Sosok pria lain datang dari belakang Hwang Je No, pria berpakaian rapi dengan gwanbok cerah dan ikat kepala seperti biasanya. 

"Jae Hyun!"

Sungguh, Tuan Pengajar Kerajaan hampir menangis ketika melihat Wang Yeol datang padanya namun tak mampu, dia nyaris menitikkan air mata ketika melihat betapa bahagianya Yeol seolah bertemu teman lama. 

"Yang Mulia," Jae Hyun datang menghampiri, langsung menjatuhkan lututnya di samping ranjang Sang Pangeran Mahkota, memegangi erat tangan Wang Yeol yang hangat seperti biasanya, menjatuhkan keningnya di genggaman itu. 

"Jae Hyun, Jae Hyun, kau semakin tampan hahaha!" Wang Yeol tertawa lepas, namun mata Jae Hyun sudah memerah. 

"Maafkan saya karena baru datang sekarang, Yang Mulia," balas tuan cendekiawan dengan penuh sesal. 

"Hentikan itu dan peluk aku," Wang Yeol masih tergelak. 

Dia bahkan bisa merasakan tangan Seon Jae Hyun yang gemetaran dalam genggamannya, tangan Jae Hyun yang berubah dingin tak lama kemudian. 

"Jae Hyun, aku sungguh baik-baik saja, tak ada yang perlu kau khawatirkan sama sekali."

Selalu seperti itu. Wang Yeol selalu terlihat baik-baik saja di depan semua orang, bahkan meski dirinya sudah berada di ujung kematian. 

Lantas, bangkitlah Jae Hyun, ia peluk dan ia rengkuh Putra Mahkota yang sudah seperti saudaranya sendiri. 

"Yeol," Jae Hyun mulai menangis diam-diam, memeluk Pangeran tertua dengan erat. 

Meski tak bisa membalas pelukan itu, Wang Yeol tetap tersenyum dengan cerah. "Astaga, sepertinya kau benar-benar kesepian tanpaku di istana, hahaha!" 

"Ya, ya tentu saja... kau bodoh," Jae Hyun menjawab.

Hwang Je No hanya berdiri di ambang pintu dengan sebuah senyum pilu, satu-satunya orang yang berani mengatai seorang Putra Mahkota bodoh hanyalah Seon Jae Hyun, para Pangeran yang lain bahkan masih merasa sungkan dengan Sang tertua— di belakang. 

"Berhenti menangis, kau cengeng."

"Kau harus segera kembali," ujar Jae Hyun dalam rengkuhannya, "kita akan segera menyelesaikan ini semua dan membawamu kembali, kau harus segera pulang ke rumahmu."

Mendengarnya Wang Yeol tertawa kecil, "dengan keadaan seperti ini?"

"Yeol, kau akan sembuh." 

"Kalian tahu, Goryeo tidak boleh dipimpin oleh Raja yang cacat," sergahnya. 

Lalu, semua terdiam. 

Seon Jae Hyun pun nampak kehilangan kata-katanya, Hwang Je No menundukkan kepala, Oh Seong So entah sudah yang ke berapa kalinya dia menangis selama ini hingga matanya membengkak. 

Benar. 

Goryeo tidak boleh memiliki seorang Raja yang cacat. 

"Yeol, kau akan sembuh..." Jae Hyun mengulang kata-katanya, masih senantiasa menggenggam tangan Sang Putra Raja. 

"Hentikan, Jae Hyun, Goryeo akan lebih baik dipimpin oleh adikku." 

"Maaf menyela, Yang Mulia," Hwang Je No angkat bicara, "apakah anda setuju dengan perubahan rencana ini? Apakah anda yakin... akan berbalik arah memihak Pangeran Jin?" 

Para pria itu kemudian saling pandang, Wang Yeol sempat memandangi Seon Jae Hyun penuh arti, hingga dia bersuara.

"Ya, tolong... jangan biarkan tahta Goryeo jatuh pada siapapun selain Wang Jin. Katakanlah padanya, dia tak perlu melakukan kudeta, dan Baekje tak perlu membalas dendam." 


———oOo———


"Aku akan bertemu dengan Pangeran Jin, pergilah menemui kakakmu yang lain." 

Ye Hwa masih belum bergerak dari tempatnya ketika Baek Min Ho berbicara seperti itu. Keduanya berhadapan, hanya berjarak sekitar satu chi 

Mereka baru saja tiba di Goryeo, dan Ye Hwa tidak terlalu tahu mengapa suaminya itu tiba-tiba mengajaknya pergi sebelumnya. 

Tapi sepertinya sekarang dia tahu apa maksud kedatangan Baek Min Ho kemari ketika nama Wang Jin disebut. 

Ye Hwa sudah berkata bahwa dia tak akan lagi menghentikan semua ini, dia sudah berkata pada suaminya untuk melakukan kudeta jika memang itulah yang harus dilakukan. 

Perempuan itu hanya tersenyum tipis, kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya dengan santun. "Tentu, Yang Mulia. Anda bisa segera memanggil Ye Hwa jika—"

"Aku yang akan menghampirimu, tunggu saja aku." 

Sang Putri segera terdiam ketika Pangeran Baekje memotong kalimatnya dengan cepat. Terkesan datar dan mutlak seperti biasanya, hanya saja... tak cukup dingin seperti sebelumnya. 

Ye Hwa tercenung di tempatnya, lalu dia hanya tersenyum. "Baik, Tuanku." 

Tak segera beranjak, Baek Min Ho malah mengulurkan tangan. Ye Hwa sempat berpikir apa yang akan dilakukan pria ini, namun ternyata Min Ho sedang menautkan tali mantel sutera bulu yang dia kenakan. 

Hal itu membuat Ye Hwa semakin terpaku. 

Lantas dengan suara beratnya, berkatalah Putra Mahkota Baekje, "udara semakin dingin, gunakan dengan benar." 

Hanya itu yang dikatakan Sang Suami, Ye Hwa belum sempat membalas, namun pria itu sudah berlalu pergi tanpa mengatakan apapun lagi setelah sebelumnya menarik tangannya kembali dengan canggung. 

Entah, Min Ho juga tidak mengerti.

Saat berjalan, Pangeran Baekje itu sempat memandangi tangannya sendiri, seperti bingung mengapa dia melakukannya. 

Apakah mungkin tangannya bergerak sendiri? Yang benar saja. 


***


"Son Je Ha? Son Je Ha, bisakah kau bukakan pintu?" 

Pria berhanbok cerah itu mengetuk pintu dengan perlahan, nampak sangat berhati-hati, menoleh ke samping lorong beberapa kali. Di balik lorong itu ada Sang gisaeng haengsu yang menunggu, menjaga kehadirannya di dalam haengrangchae. 

 Tak menunggu lama, pintu di depannya itu tergeser, sosok seorang perempuan yang selalu mengganggu pikirannya pun datang.

"Tuan Seon?"

"Son Je Ha!"

"T-Tuan—!"


BRUK!


Tuan pengajar kerajaan menerobos masuk, segera menggeser pintu kamar itu sekali lagi dengan sedikit keras. 

"T-Tuan Seon..." 

"Apakah itu benar? Apakah benar jika kau mengandung anak Hwang Je No?" 

Kedatangan Seon Jae Hyun sudah begitu mengejutkan untuk Son Je Ha, dan pertanyaan selanjutnya yang keluar semakin membuatnya tertegun. 

"Dan apa yang mereka berdua rencanakan itu sungguhan?" 

Dari sini, Si gisaeng sudah tahu jika 'mereka berdua' yang dimaksud oleh tuan cendekiawan adalah Wang Jae dan Hwang Je No, dua pria yang membuatnya tak bisa terus selama ini, dua pria yang mencoba menghancurkan hidupnya.

"Jawab aku!" 

Jae Hyun mengguncang bahu perempuan itu, tatapan matanya nampak nanar, seperti menahan kemarahan. 

Sembari menelan ludah pahitnya,  terasa begitu mencekik tenggorokan, Son Je Ha hanya menahan cairan di ujung mata. 

Dia bahkan sudah terlalu muak untuk menangis.

"Tuan Seon, bisakah anda membantuku? Aku tidak ingin diperlakukan seperti ini, ku mohon bantulah aku, bantulah aku!" 

Bahkan saat dia memohon seperti itu, dia tak menangis. Seperti penderitaan batinnya sudah tak setara dengan tetes tangisan yang harus ia keluarkan, seperti ia sudah berada di puncak tertinggi keputusasaannya.

Mungkin memang benar, bahwa sebaiknya sejak awal Son Je Ha menerima Seon Jae Hyun dalam hidupnya. Jatuh cinta pada seorang Panglima Perang yang terlalu lembut hatinya sungguh tidak mudah. Hwang Je No terlalu banyak memikirkan orang lain. 

"Apakah anda bisa... membawaku pergi?" 

Perempuan itu masih memohon dengan tatapannya yang terluka. 

Seon Jae Hyun merasa hancur, melihat perempuan yang dia cintai seperti ini, dia hampir pada kegilaannya. 

Pria itu mengangguk cepat, "aku akan membawamu pergi! Kau tak perlu memikirkan mereka! Jangan khawatirkan apapun, aku akan membawamu, Son Je Ha!" 

"Apakah anda bisa berjanji untuk itu?" Air mata itu nyaris tumpah. 

"Ya, aku—"


BRAKKK!!!


"SEON JAE HYUN!!"

Pintu kamar itu didobrak, diterobos oleh seseorang dengan suaranya yang menggelegar. Keduanya terkejut, Jae Hyun dengan refleks melindungi Je Ha di belakangnya, menatap pria yang datang dengan jantung berpacu cepat. 

Wang Jae. 

Dengan sebilah Pedang Yin di punggungnya. 

"Ku bilang jangan berani menyentuhnya!!" 

"Hentikan ini Yang Mulia!! Apakah anda sadar apa yang telah anda lakukan?! Anda ingin membuatnya mati perlahan?!" 

Amarah Seon Jae Hyun memuncak, dia mundur selangkah, menghalangi Wang Jae dengan tangannya. 

Dia sungguh tak ingin memancing perseteruan di gyobang, namun kedatangan Wang Jae saja sudah mengacaukan segalanya. 

Di belakang tubuh bongsornya, seorang perempuan bersembunyi sembari mencengkeram erat pakaiannya dengan penuh ketakutan. 

"Kau sudah tak berhak lagi atas dirinya!! Kau lupa?!!"

"Saya tidak lupa! Namun jika melihat anda yang memperlakukannya seperti barang tak berharga apakah saya harus diam saja?!!!"

"Kau tidak perlu ikut campur dalam urusanku!!"

"ANDA BAHKAN TAHU SAYA SANGAT MENCINTAI SON JE HA! DAN ANDA MEMINTA SAYA UNTUK TIDAK IKUT CAMPUR!!"

"SEON JAE HYUN!!!"


BUAGH!!


"T-Tuan Seon..." 

Wang Jae baru saja melayangkan pukulannya ke rahang tuan cendekiawan, itu cukup menyakitkan, namun Seon Jae Hyun sama sekali tak gentar. Dia hanya berpaling dan menahan tubuhnya sendiri yang nyaris limbung. 

"MENYINGKIR!!!"

Lalu dengan tangan kirinya, Wang Jae menarik pedang Yin di punggung yang masih bersarung. Dia tebaskan pedang itu tanpa ragu, tidak peduli akan mengenai Son Je Ha atau tidak. 

Sarung pedang Yin terbuat dari baja yang tak dapat dihancurkan, maka meskipun Sang Pangeran tak melepaskan sarungnya, pedang itu masih sanggup untuk membunuh orang dan mampu untuk memecahkan kepala manusia. 


DUAKK!!

DUAKK!!


Karena Jae Hyun dengan refleks memeluk Je Ha untuk melindunginya, maka Wang Jae memukuli punggung tuan cendekiawan tanpa ragu, menghantamnya sebanyak tiga kali tanpa ampun. 

"LEPASKAN JALANG ITU!!" Wang Jae berteriak.


DUAGKHH!!


"SEON JAE HYUN!!"

"YANG MULIA HENTIKAN!! HENTIKAN!!" Je Ha menangis sembari berteriak dengan histeris. 

Jae Hyun masih memeluk gisaeng itu dengan erat, sembari menahan pukulan Wang Jae di punggungnya. 

"JAE HYUN!!!"


DUKK!!


Tuan Pengajar Kerajaan berbalik dengan cepat dan menahan satu ayunan yang nyaris menghantam kepalanya, dia mencengkeram Pedang Yin dengan tangan kiri, agak gemetar. 

Wang Jae dengan segala amarah yang memuncak di ubun-ubun, berusaha mendorong pedangnya.

Namun dia tak sanggup. 

"Berhenti, Yang Mulia," suara berat Jae Hyun terdengar. "Berhentilah melakukan hal gila yang bisa membuatnya terluka." 

"Keluar dari sini kau brengsek!!! Jika kau tak pergi segera, aku akan menghadap Raja sekarang juga!!!" 

"Anda hanya akan membahayakan keselamatan diri anda sendiri!!" 

"Hahaha aku tidak seperti Wang Yeol!!" Tawa Wang Jae, "apakah kau pikir aku selemah kakakku?! Son Je Ha-lah yang nyawanya akan terancam di sini! Kau ingin dia dirajam sampai mati?!!"

Seon Jae Hyun tertegun di tempatnya. 

Dan Wang Jae melanjutkan, "tak hanya dia, bayinya juga akan mati, hahaha! Bagaimana Jae Hyun?! Bagaimana?!! Kau masih tak mau pergi dari sini?!!"

Napas Jae Hyun nyaris berhenti di tenggorokan, tangannya yang mencengkeram Yin gemetar. 

"Tuan Seon..." 

Bisikan pelan Son Je Ha yang penuh ketakutan pun menghantuinya. 

Maka dilepaskannya pedang itu, Seon Jae Hyun menundukkan kepala dengan putus asa. "Hamba ini memohon dengan sangat kepada Yang Mulia, dengan hidup dan matiku, jangan sakiti dia, ambillah nyawaku jika anda ingin untuk menggantikan itu." 

Sembari mengangkat dagu, Wang Jae menatap Jae Hyun di bawahnya, "berhenti berkata omong kosong, kau sungguh membuatku ingin muntah."

Lalu Pangeran ke tujuh melirik seorang wanita yang sejak tadi gemetar karena menyaksikan perseteruan itu tanpa bisa berbuat apapun. 

"Nyonya Yoon, singkirkan pria ini segera atau aku akan melaporkanmu juga pada Yang Mulia Raja." 

Si gisaeng haengsu meneguk ludah sejenak, dia mengangguk pelan dan baru saja ingin bersuara. 

"Tolong, Nyonya Yoon," Jae Hyun segera menyambar lebih dulu. 

Dia ingin, Nyonya Yoon Hyang melindungi Son Je Ha saat dia tak ada, itu maksudnya. 

Dan Wang Jae pun bisa menangkap maksudnya dengan cepat, "tak ada yang boleh mendekati haengrangchae selagi aku masih di sini." 


BRAK!!


Pintu kamar Son Je Ha digeser dengan keras, Je Ha bahkan yakin pintunya akan rusak jika dibanting sekali lagi. 

Sosok tuan cendekiawan dan nyonya gisaeng haengsu menghilang di balik pintu, Son Je Ha terpaku di tempatnya seolah dia dikutuk menjadi batu. 

"Apa yang kau katakan padanya?"

Perempuan gisaeng itu masih tak berani untuk mengangkat kepala, sementara Sang Pangeran mendekat ke arahnya sembari membuang pedang Yin ke sembarang arah. 

Je Ha menolak untuk bicara. 

"Jawab aku."

Wang Jae masih bersuara dengan rendah. 

"Aku tidak mengatakan apapun," tegasnya. 

"Lalu mengapa dia akan membawamu pergi dari Songak?" 

Diam Son Je Ha. Dia tidak menyangka jika Wang Jae akan mendengar itu. 

"Jawab aku atau ku robek mulutmu dengan Yin." 

Itu sungguh bukan suatu gertakan belaka.

"Son Je Ha," nada Wang Jae meninggi. 

Dan Si gisaeng masih enggan untuk bersua. 

"Karena aku membencimu," jawabnya tanpa ragu.

Mata pria itu memicing, "kau seharusnya berterima kasih karena aku masih mengijinkan anakmu untuk hidup dan membiarkan Hwang Je No membawanya."

"Ini adalah anakku!! Akulah yang lebih berhak!!"

"Mungkin iya," sahut Wang Jae cepat, "tapi aku lebih berhak atas hidupmu."

Dengan mata merahnya, Son Je Ha pun memandang Wang Jae yang perangainya bagai iblis, tangannya terkepal erat. "Kau... sungguh bukan manusia." 

"Apa saja yang kau katakan padanya?" 

Wang Jae kembali mendesak, melangkah maju sementara Son Je Ha melangkah mundur. 

"APA YANG KATAKAN PADANYA!!" 


BRUGKHH!!


"Ukhh!!!" 

Wang Jae yang kemarahannya sudah memuncak, mencekik perempuan itu, mendorong tubuhnya ke dinding kamar. 

"Apa yang katakan padanya... apa yang kau katakan padanya!!" Bentak Sang Pangeran tepat di depan wajah Si gisaeng. 

"Y-Yang—..."

Wajah perempuan itu memerah, dia nyaris kehabisan napas ketika cekikan Wang Jae semakin mengerat di lehernya. 

"Kau sungguh terlalu banyak bicara, mulutmu sangat berbahaya," Pangeran ke tujuh menyeringai. 

"Urgghh..." 

Son Je Ha mulai kehabisan napas. Dia kesakitan luar biasa karena lehernya seolah akan diremukkan begitu saja oleh pria di depannya, wajahnya membiru, seperti dia akan mati sebentar lagi. 

Dengan sebuah seringai mengerikan, Wang Jae berkata, "sepertinya aku harus membuatmu menjadi bisu." 


***


"Ada apa, Yang Mulia?"

Seorang Jenderal yang menunggangi kuda hitamnya nampak berhenti, menoleh ke belakang, menghampiri Sang Putra Mahkota yang sedikit tertinggal. 

Fokus Baek Min Ho buyar ketika Yeo Woon datang, dia hanya menggeleng pelan. 

"Apakah ada yang salah?" Yeo Woon bertanya lagi. 

Min Ho nampaknya sangsi, tatkala wajahnya terlihat lebih was-was beberapa saat sebelumnya. 

"Entahlah, agak janggal," singkatnya. 

Kening Yeo Woon mengernyit. 

Yeo Woon adalah seorang yang sangat cepat tanggap dan memahami situasi, karena itu dia bisa langsung mengerti apa maksud Pangerannya. 

"Berjalanlah di samping tandu Yang Mulia Putri, saya akan berjaga di belakang."

Karena tahu Yeo Woon dapat diandalkan, Min Ho hanya menurut. Dia mengangguk kecil tanpa bersuara apapun dan maju ke depan bersama kudanya, menghampiri tandu yang dibawa oleh empat prajurit. 

Pria itu menjaga jaraknya untuk tetap dekat di samping tirai tandu dimana istrinya berada. 

Lalu tak berapa lama, berdehamlah ia. 

Terdengar canggung, namun dapat menyadarkan istrinya dengan cepat. Tirai itu tak berapa lama terbuka, seseorang mengintip, wajah putih dengan sepasang mata yang indah bak rembulan yang bersinar penuh di langit malam. 

Mungkin seharusnya Ye Hwa-lah yang terkejut, namun nyatanya Baek Min Ho yang nyaris tersedak sendiri. 

Sang istri memandang untuk beberapa saat, "apakah Yang Mulia memerlukan sesuatu?" Tanyanya. 

Baek Min Ho tak segera menjawab, karena dia bahkan nyaris lupa cara bernapas. 

Meski langit sudah menggelap, aura yang dipancarkan istrinya sungguh luar biasa. 

"Yang Mulia?"

Pangeran Baekje itu mengerjap sekali. 

"Em, tidak, hanya... rapatkan mantelmu, udara semakin dingin." 

Caranya berbicara sungguh canggung, tidak seperti biasanya yang tegas dan dingin. Ye Hwa sempat bingung, namun kemudian dia tersenyum dan mengangguk.

"Ye Hwa mengerti." 

Baek Min Ho kembali memfokuskan pandangannya ke depan, sementara Ye Hwa tak segera menutup tirai tandu, seperti memang menahannya agar tak menghalangi pandangan. 

Terus seperti itu selama beberapa saat, Min Ho sadar jika istrinya beberapa kali mencuri pandang. 

Lalu dia kembali menoleh, "mengapa kau tidak menutup tirainya?" 

"Yang Mulia berada di sini, Ye Hwa pikir akan tidak sopan." 

"Tidak masalah," Min Ho memalingkan pandangan, "tutuplah, angin malam bisa masuk." 

Namun Ye Hwa tak juga menurut meski diperintah seperti itu, dia tetap memandangi suaminya yang berkuda dengan perlahan di samping tandu, menjaga jarak agar tetap dekat. 

"Tadi..."

Di tengah keheningan, Ye Hwa membuka pembicaraan. 

Min Ho segera menatapnya lagi.

"Apakah yang anda bicarakan dengan orabeoni?" 

Ah, tentang itu. 

Entahlah, Baek Min Ho seharusnya merasa marah karena Ye Hwa lancang untuk bertanya yang bukan urusannya. 

Namun pria itu tetap menjawab, meski sembari memandang ke depan dengan wajah datar.

Dan jawabannya kemudian membuat Sang Putri terkejut bukan main. 

"Aku memintanya untuk membatalkan penyerangan terhadap Goryeo," dia menjawab pelan sekali. 

"Ye?" 

Ye Hwa sungguh tidak menyangka akan mendengar hal semacam ini. 

"Yang Mulia? Apakah Ye Hwa tak salah mendengar?" Dia mencoba memastikan. 

Min Ho menggeleng. "Aku membatalkannya, kami tidak akan melakukan penyerangan itu, pembantaian, kudeta. Tidak ada." 

Ye Hwa bahkan tidak yakin, dia menyangka bahwa yang ia dengar hanyalah halusinasi. Tapi bagaimana bisa ia bermimpi jika suami dan seluruh perkatannya adalah nyata. 

Yang jelas, perempuan itu terkejut. 

"Yang Mulia, mengapa? Mengapa anda membatalkannya?" 

Padahal, sebelumnya dia sudah berkata bahwa dirinya hanya akan menyetujui apapun yang dikatakan suaminya. Meski terasa berat dan menyakitkan, dia hanya bisa pasrah saat tahu bahwa ada sebuah persekutuan gelap di balik dua kerajaan. 

"Apakah kau masih bertanya alasan untuk itu?"

"Apa?"

Baek Min Ho menoleh, sepasang suami istri itu saling bertemu netra. Dalam pencahayaan remang-remang malam dan derap langkah kuda beserta serangga malam yang sedikit mencekam. 

Tatapan itu sangat dalam. 

"Apakah aku harus tetap melakukan hal itu? Saat istriku tidak menyukainya?" Baek Min Ho menjawab tanpa ragu.

"Apa—"


Crashh!!


"ARGH!!"

"!!"

"YANG MULIA!!!"

Sebuah panah melesat entah darimana datangnya, menancap di kaki Pangeran Mahkota. Dia terjatuh, terperosok ke tanah sembari mengerang karena kejutan tersebut. 

Para prajurit menurunkan tandu Sang Putri saat sekawanan pria berpakaian hitam-hitam datang menyerbu, jumlah mereka cukup banyak. 

"LINDUNGI YANG MULIA!!" 


TRANG!!


Itu adalah teriakan Yeo Woon, dia nyaris tertusuk pedang jika saja tak bergerak dengan cepat. 

Sungguh mereka kalah jumlah, kelompok Kerajaan Baekje hanya beranggotakan Min Ho, Yeo Woon, dan Ye Hwa dengan enam prajurit. 

"TIDAK!! LINDUNGI YE HWA!! LINDUNGI ISTRIKU!!!" Baek Min Ho membalas teriakan Yeo Woon saat tiga orang prajurit datang untuk melindunginya. 

Dari dalam tandu, Ye Hwa berteriak. "Yang Mulia!! Kaki anda!!"

Min Ho mencabut panah di kakinya, itu menyakitkan, namun dia mampu menahan luka itu. Pria itu berlari menghampiri istrinya yang masih berada di dalam dengan sedikit terseok. 

"Jangan keluar! Tetaplah di sini!" Perintahnya, menggenggam tangan Sang istri yang mulai mendingin karena ketakutan. 

"Yang Mulia luka anda!"

Lalu ia tangkup wajah istrinya, "ku mohon dengarkan aku dan tetaplah di sini, mengerti?! Prajurit akan melindungimu! Jangan pernah membuka tirai ini sedikit pun! Aku tidak akan membiarkan mereka mendekat!"

Lalu Baek Min Ho mengibaskan tirai merah tersebut, menutupnya. Menarik sebilah pedang di punggung, menyerang beberapa pria yang entah siapa dan datang darimana. 


Trangg!! Trang!!!


"Yeo Woon!!!" Teriaknya. 

Sang Jenderal sibuk menebaskan pedangnya sendiri, dia dikeroyok oleh empat orang, namun dengan kemampuannya yang nyaris setara Hwang Je No membuatnya dapat mengatasi mereka dengan mudah. 

"Mereka adalah bandit! Tapi saya tidak bisa mengidentifikasi darimana asalnya!!" 

Ini aneh. Jalan dari Goryeo menuju Baekje tidaklah berbahaya, dan sangat jarang sekali para bandit untuk menyerang dengan tiba-tiba. 

Lagipula mereka tidak akan dengan sembarangan menyerang orang kerajaan. 

Sialan, mereka bahkan juga tidak melakukan persiapan apapun karena ini sungguh di luar dugaan. 


Trang!! Trangg!!!


"YANG MULIA!! BELAKANG!!" 


DUAGKH!!


Min Ho menggerakkan tangannya dengan cepat, memukul wajah bandit yang menyerangnya di belakang dengan siku. 

Meski keduanya cukup kuat, mereka tetaplah kewalahan. Yeo Woon ingin menghampiri Baek Min Ho untuk melindunginya, namun dirinya sendiri kini malah dikepung oleh lima orang bandit. 

Keduanya bahkan tidak tahu apa yang diinginkan oleh bandit-bandit ini. 

Dia tidak peduli, Baek Min Ho hanya mengkhawatirkan seseorang yang kini berada di dalam tandu. 

"Brengsek...! Siapa sebenarnya kalian!!"


TRANG!!!


Adu antar pedang tak terelakkan, ini sungguh melelahkan karena mereka kalah dalam jumlah. Orang-orang yang menutupi wajahnya dengan kain hitam itu sungguh—

"YANG MULIA!!!"


JRASHHH!!!


"?!"

Kala itu, semua berjalan dengan sangat lambat. Seolah Tuhan sedang mempermainkannya, Baek Min Ho merasa jiwanya seperti ditarik keluar. 

Baek Min Ho merasa langit seketika runtuh saat itu juga. 

Pria lain datang. Ia yakin bahwa orang ini bukanlah bandit yang sejak tadi betarung dengan mereka, Min Ho yakin pria dengan perawakan bongsor itu baru saja datang dan menyerangnya tiba-tiba.

Benar, pria ini hendak menyerangnya. 

Namun pedang itu dengan naas menghunus istrinya yang entah sejak kapan berlari keluar. 

Ye Hwa mencengkeram erat tangan seseorang yang menghunuskan pedangnya, dia gemetar, kemudian mengalirkan darah dari mulutnya. 

Terlihat dengan sangat jelas betapa bencinya tatapan Sang Putri pada pria bertopeng hitam tersebut.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, Ye Hwa memandang seseorang dengan tatapan penuh kebencian. 

"YE HWA!!!!"

Pakaian sutra itu mulai berubah menjadi merah, karena darah yang merembes tanpa henti dari luka yang disebabkan pedang itu. 

"Mengapa... k-kau... melakuk-kan in...i..."



Bersambung...


.

.

.


Mimpi buruk dimulai...

Continue Reading

You'll Also Like

951K 190K 45
[SUDAH TERBIT] TRILOGI BAGIAN 2 Bagi Davina, dia dan Jovanka adalah dua hal yang berbeda. Hidupnya terlalu rumit untuk dijelaskan, seperti terjebak d...
Extra Love Story By Roaila

Historical Fiction

2M 185K 55
Transmigrasi series ~ 2 •••••• Zea Andara Alexander, putri bungsu keluarga Alexander yang tidak pernah di anggap. Zea berpura-pura lemah di depan kel...
54K 6.5K 16
Jaeyun tiba-tiba terbangun menjadi seorang Shim Jake. Istri seorang Perdana Menteri Park Sunghoon. BxB Sungjake Area Historical Fan Fiction Isekai T...
312K 46.8K 73
"Became the Most Popular Hero is Hard" adalah judul novel yang saat ini digemari banyak pembaca karena memiliki visual karakter dan isi cerita yang m...