Playful Couple

By kanurega

19.3K 1.6K 36

"Aku rasa, aku sudah jatuh cinta dengan orang yang keras kepala." "Aku tegas!" "Hanya orang yang keras kepala... More

Playful Couple 01
Playful Couple 02
Playful Couple 03
Playful Couple 04
Playful Couple 05
Playful Couple 06
Playful Couple 07
Playful Couple 08
Playful Couple 10
Playful Couple 11
Playful Couple 12
Playful Couple 13
Playful Couple 14
Playful Couple 15
Playful Couple 16
Playful Couple 17
Playful Couple 18
Playful Couple 19
Playful Couple END

Playful Couple 09

837 83 0
By kanurega

Day 5

Semalaman aku kesulitan untuk tidur. Aku tidak ingin berakhir seperti ini  Rasanya tidak adil jika Calvin memutuskan untuk menghentikan project ini. Aku tidak menerima alasannya hanya karena dia tidak ingin aku masuk ke dalam kehidupanya atau aku akan berubah jadi sepertinya.

Apa salahnya aku sekarang menyukai atau bahkan menyayangi seorang laki-laki? Aku sendiri tidak merasakan ada perbedaan untuk bisa menyayangi sesama laki-laki setelah sebelumnya aku menyayangi lawan jenisku.

Sudah beberapa kali sejak semalam aku mencoba untuk menghubungi Calvin, tapi tidak pernah tersambung sekalipun. Apa dia tidak khawatir lagi denganku, atau aku yang terlalu khawatir denganya?

...

10.30 am.

Dokter mengatakan aku baru bisa pulang lusa walaupun kondisiku sudah jauh membaik. Mungkin karena luka tusuknya tidak terlalu parah. Tapi, tetap saja aku merasa tidak betah di rumah sakit ini.

"Ka, urgent, dateng ke sini cepat."

"Kenapa lu?"

"Dateng aja dulu."

Perlu waktu 15 menit Erika untuk tiba di rumah sakit. Hari ini penampilan Erika sedikit berbeda, dia terlihat sangat "Erika".

"Ada yang salah sama penampilan gue?" Tanya Erika.

"Hari ini lu hidup buat nama lu, Ka?”

"What?"

"Rok mini, blazer, heels, terlihat sangat feminim, sesuai nama lu."

"Terserah elu. Terus ngapain lu panggil gue ke sini? Ntar siang gue ada urusan di kampus nih."

"Lu tau kabarnya Calvin?"

Bahkan Erika pun tidak mengetahui kabar Calvin. Erika juga mengirimkan pesan bahkan menelpon Calvin tapi tetap tidak ada respon balasan. Aku menceritakan apa yang terjadi semalam antara aku dan Calvin. Bahkan lebih lagi, aku menceritakan apa yang aku rasakan selama beberapa hari ini dengan Calvin. Mungkin benar apa kata Calvin, aku tergesa-gesa dengan perasaanku. Tapi apa salahnya
dengan itu?

"Dra, ini waktu yang tepat buat jujur sama lu."

"Maksud lu, Ka? Gue gak ngerti."

"I've arranged for you to join in that project, Dra. Gue juga yang minta bos Rudi supaya lu berpasangan sama Calvin."

"Yeah, I know. It's not a big deal."

"Apa lu tau kalo selama ini Calvin suka sama lu, Dra. Lebih dari siapa pun?"

"What? Tapi ..."

Jujur saja aku hampir tidak percaya kalau Calvin sudah menyukaiku sejak lama. Selama satu tahun ini, Calvin hampir tidak pernah menyapaku, dan mungkin selama ini bisa dikatakan aku yang selalu memperhatikannya.

"Kalau dia suka sama gue, kenapa dia gak pernah nunjukinnya? Dan sekarang dia malah kayak gini."

"Lu itu straight, Dra, dia gay. Gak mungkin dia nunjukkin perasaanya sama lu. Selama ini gue jadi tempat curhatnya. Gue kasian liat dia nyimpen perasaannya selama ini ke elu. Makanya gue minta lu sama dia ikut project itu. Gue pengen setidaknya 7 hari aja dia bisa jadi pacar lu."

"Fine, gue ngerti itu. Tapi kenapa setelah gue nunjukkin perasaan gue ke dia, sekarang dia malah seenaknya ninggalin gue, ninggalin project ini?"

"Kemarin dia bilang ke gue, Dra. Dia gak pengen orang-orang ngeliat lu sebagai gay. Apa lu tau sulitnya hidup dengan image gay di mata masyarakat? Oke, it's fine selama orang-orang gak tau kalo misalnya lu gay, tapi sampai kapan? Dia gak pengen lu jadi kayak dia, Dra."

"Bullshit! Itu bukan alesan, Ka. Gue gak terima alesan kayak gitu. Gay atau gak bukan orang lain yang jalanin. Orang-orang gak perlu ngerti apa yang gue rasain"

"Lu mau berpikiran begitu sampai kapan? Sampai habis project ini? Coba lu ngertiin perasaan dia. Setelah selesai project ini, 7 hari, terus lu sama dia bakal ngapain, bakal lanjut? Gak kan? Lu gak bakal siap dengan ini. Gue rasa gue setuju sama Calvin. Lu terlalu cepet mendefinisikan perasaan lu, Dra. Yang gue harap dari project ini, gue pengen liat Calvin bahagia. Maaf, Dra, gue juga berpikiran kalo lu mesti out dari project ini. Ini semua salah gue ngebawa kalian jadi kayak gini."

Aku terdiam, aku tidak bisa menjawab pertanyaan Erika. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi setelah project ini selesai, setelah 7 hari, batas aku bisa bersama Calvin hanya tersisa 2 hari.

Erika benar, aku tidak memikirkan perasaanya. Mungkin benar dia sudah menyukaiku lama dan
beberapa hari ini aku memberikanya harapan, lalu setelah seminggu ini apa aku akan mencampakanya

Apa aku melukainya?

Ya, aku memang terluka tubuh, tapi Calvin akan terluka hatinya. Aku masih belum berpikir setelah 7 hari ini apa yang akan aku lakukan dengan Calvin. Hubungan apa yang akan aku jalani.

"Lu mau kemana, Dra? Ngapain lu pakai sweater?"

Walaupun masih menggunakan pakaian pasien, aku mengambil sweater-ku yang kuletakan di kursi. Aku memutuskan untuk pergi dari rumah sakit ini dan mencari Calvin. Akan aku putuskan semua setelah aku bertemu denganya.

"Tolongin gue, Ka. Selesain urusan rumah sakit ini nanti gue ganti."

"Lu mau ke mana?"

"Gue mau nemuin Calvin," jawabku mantap.

“RENDRA!”

Aku tidak mempedulikan teriakan Erika. Semua urusan administrasi dan hal lainnya akan diurusnya. Dalam otakku sekarang aku harus menemui Calvin. Ini semua harus diperjelas. Antara aku dan Calvin, antara perasaanku dan perasaan Calvin dan apa yang akan kami berdua putuskan.

Aku tidak tahu di mana mobilku sekarang, bisa saja di rumah, atau di tempat Erika. Tapi itu tidak jadi masalah, aku bisa mencari taksi untuk pergi ke rumah Calvin.

"Taksi!" kataku sambil melambaikan tangan di depan rumah sakit.

Sudah beberapa kali aku menghubungi Calvin tapi selalu tidak tersambung, membuatku berspekulasi hal-hal buruk.Walaupun bekas tusukan di bagian perut ini masih berasa sakit, nyeri dan terasa panas, aku masih memaksanan diriku untuk berjalan di
gang sempit menuju rumah Calvin. Keringat dingin bercucuran di sekitar dahi dan leherku, tangan kananku juga kuletakan di perut menahan sakit yang masih sangat berasa.

"Viiin .... Calviiin ...!" Aku memanggil Calvin, tapi sepertinya Calvin tidak ada di rumah. Aku tidak melihat ada motor di luar atau dalam rumahnya saat aku melihat ke dalam rumah Calvin melalui jendela yang terbuka.

"Apa aku harus nunggu Calvin?"

Ya, aku memutuskan untuk menunggunya. Aku hanya duduk di teras rumah Calvin dan menyandarkan tubuhku di depan pintunya.

Saat kulihat jam di ponselku menunjukan pukul 2.30 pm. Sudah cukup lama aku menunggunya. Cuaca juga sedikit mendung. Aku tidak mengharapkan turun hujan, tapi jika hujan, aku harap Calvin tidak akan kehujanan saat tiba di sini.

...

4.15 pm

Aku kedinginan dan sekarang sudah turun hujan. Aku tidak bisa meminta siapapun menjemputku. Ponselku sudah offline, nyeri diperutku semakin terasa. Aku hanya bisa memeluk diriku sendiri untuk menghangatkan tubuhku.

"Itu suara motor," kataku.

Aku berdiri dari sandaranku untuk melangkah sedikit saja untuk memperjelas suara motor yang kudengar.

"Rendra?!" Calvin terlihat kaget melihatku berada di depan rumahnya. Dia memarkirkan motornya tepat di depanku lalu melepas jas hujan dan helmnya.

"Ngapain kamu di sini?"

"Nungguin kamu, Vin."

Calvin membopongku masuk ke rumahnya. Memang sedikit sulit untukku melangkah.

"Duduk dulu, Dra. Aku buatin teh hangat."

Hujan seperti enggan untuk berhenti. Suara gemuruh langit juga seakan saling berlomba membuat suasana sore seperti ini menjadi gelap. Sekali lagi, aku merasa memberikan beban ke Calvin dan aku juga belum memikirkan keputusan apa yang akan aku ambil sekarang ini. Hatiku sakit melihat Calvin dan mungkin kembali menyakitinya.

Calvin membawa 2 cangkir teh hangat yang diletakkan di meja depanku. Terasa hangat memang setelah meminumnya.

"Kamu baik-baik aja, Vin? Mukamu sedikit pucat."

Jujur, aku ingin sekali bertanya kenapa dia tidak menghubungiku atau kenapa dia mematikan ponselnya. Tapi aku akan menahanya. Melihat Calvin di hadapanku sudah lebih dari cukup.

"Harusnya aku yang tanya itu sama kamu. Apa kamu baik-baik aja?"

"Baju pasien, perut masih di perban, muka pucat. Aku baik-baik aja, Vin?"

Calvin menyunggingkan senyumnya,

"Kamu kabur dari rumah sakit?" katanya.

"Untuk ketemu kamu? Ya! Aku dateng untuk ketemu kamu."

"Maaf, Dra."

Tidak ada kata yang keluar dari mulutku setelah dia minta maaf. Aku tidak tahu harus berkata apa saat ini. Aku hanya terdiam menunggu Calvin.

"Ada yang mau kamu bilang, Dra?"

"Menurut kamu? Kamu pasti tau alasan aku datang ke sini."

"Apa masih ada alasannya? Bukannya kita sudah akhiri semua?"

"Kamu yang mau mengakhirinya, Vin, bukan aku."

"Terus?"

Kenapa Calvin masih tidak ingin jujur? Kenapa harus aku yang memulainya? Apa dia memang sekeras kepala ini?

"Bagaimana jika aku bener-bener sayang sama kamu, Vin? Bagaimana kalau aku gak mau mengakhiri ini?"

"Cepat atau lambat pasti berakhir, Dra. Cuma tersisa 2 hari lagi. Sekarang atau 2 hari lagi gak ada bedanya."

Sial! Kepalaku sakit sekali. Pandanganku sedikit kabur, mataku terasa panas. Apa ini efek dari luka tusuk ini? Jika diingat, hari ini aku belum minum obat bahkan aku belum makan dengan benar sejak pagi.

"Kamu gak papa, Dra?" Calvin mendekatkan dirinya denganku dan menyentuh keningku, "badanmu panas."

"Vin," aku menggengam tangan Calvin, "jika buat kamu 2 hari ini gak ada artinya, tolong Vin, buat 2 hari yang tersisa ini menjadi spesial buatku. Aku tau janjiku muluk dan aku gak bisa menjanjikan kebahagiaan buat kamu. Tapi tolong, Vin, biarkan 2
hari ini jadi 2 hari yang gak akan pernah aku lupakan. Meski aku tau aku bukan pilihan terbaik, tapi terasa lebih dari cukup kamu tau aku sayang kamu."

"Dra ..."

"Aku dengan egois akan memaksa kamu untuk menerimaku 2 hari terakhir ini. Aku mungkin akan sangat mengecewakan kamu setelah ini selesai. Tapi tolong, Vin. Aku mau 2 hari ini untuk mencinta---"

Sebuah ciuman di bibirku menghentikan waktuku sejenak. Ciuman lembut yang berbalas. Ciuman yang membuat jantungku berdetak lebih kencang, membuat tubuhku semakin panas. Sebuah ciuman yang selama ini tidak pernah aku dapatkan dari siapapun. Dia menciumku tulus dari hatinya. Walaupun pada akhirnya aku akan menyakitinya, tapi dia bisa menerimaku. Ini yang aku rasakan dari ciumannya.

"Satu hal yang gak bisa aku lupain dari kamu beberapa hari ini, saat kita jalan, aku merasa berbeda. Kamu tau, Dra, itu awal kisah cintaku untukmu. Aku sudah lama mengagumi kamu. Sejak lama aku memperhatikan kamu. Aku gak tau bersamamu sekarang ini keberuntunganku atau jalan yang akan membuat kamu sesat di jalan yang aku tempuh. Ini mungkin cinta, dengan apa yang kurasakan. Ini mungkin cinta, meskipun cintaku kurang. Bahkan saat aku menutup mataku, bahkan
jika aku menutup telingaku. Aku masih merasa kamu ada di hatiku, Dra."

Walaupun aku tidak mengatakanya, aku merasakan apa yang Calvin rasakan. Calvin, aku akan mencintaimu, aku akan menggenggammu, aku akan selalu ada di sisimu.

“Aku rasa, aku sudah jatuh cinta dengan orang yang keras kepala.” Calvin tersenyum mendekapku.

“Aku tegas!” jawabku mantap.

“Hanya orang yang keras kepala yang bilang dirinya tegas.”

"Vin, boleh aku istirahat sebentar, aku merasa ngantuk," kataku lirih.

Pandanganku kembali menghitam. Aku mengeluarkan keringat dingin. Tanganku terasa panas, tapi tubuhku menggigil. Sial! Kesadaranku kembali melemah. 

"Dra .... Dra ... Dra ...!!!"

...

CALVIN

"Dra ... Dra ... Dra ...!!!"

Tubuhnya panas sekali. Apa dia pingsan? Tapi kenapa dia mendengkur seperti orang tidur? Mungkin sebaiknya aku mengantarnya ke rumah sakit.

Bzzzzz ...

Ponselku bergetar. Ternyata telpon dari Erika, sebaiknya aku angkat saja.

"LU KEMANA AJA?"

Teriakan Erika cukup kencang di ponsel.

"Gue nenangin diri, Ka."

"Lu tau Rendra nyariin elu. Lu gak kasian sama dia?"

"Dia ada di sini kok."

"Serius?"

"Iya, lu bisa jemput kita? Kayaknya dia demam. Gue khawatir, kita anter dia ke rumah sakit."

Sekitar 20 menit Erika sudah ada di depan gang menunggu. Syukurnya hujan juga sudah reda, jadi Rendra tidak akan terkena hujan saat aku menggendongnya sampai kedepan gang. Aku mengendongnya dan menyandarkan Rendra di punggungku. Napasnya memang berasa tidak beraturan, tubuhnya juga berasa panas di punggungku, tapi wajahnya sangat tenang saat aku berbalik melihatnya.

"Vin!" Erika memanggilku dari depan gang, "lu duduk di belakang sama Rendra, Vin."

"Oh ... iya."

"Gue masih marah ya sama kalian, terutama sama lu, Vin. Habis ini lu siap-siap sama amukan gue!"

Ya, amarah Erika. Siap tidak siap pada akhirnya Erika tetap akan memarahiku. Tindakan egoisku memutuskan untuk tidak menyelesaikan project ini, sampai membuat Rendra jadi menyakiti dirinya sendiri lagi.

Tapi aku sudah berjanji untuk menyelesaikan sisa hari-hariku dengan Rendra. Aku menyayanginya. Ya, aku sudah memberikan pengakuanku di depan Rendra. Apapun yang terjadi setelah 2 hari ini, aku tidak akan menyesal.

Semoga.

....

Continue Reading

You'll Also Like

1.4M 115K 36
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
Cinta, Eh?! By Asa

General Fiction

151K 10.1K 41
Ini hanya cerita sehari-hari anak SMK. Dibumbui dengan romance biar sama kayak yang lain :v ☆☆☆ [!!!] BoyXBoy, Yaoi, Sho-Ai
7.3K 1.2K 26
[BXB] END Season 1 Deburan ombak datang bersahut-sahut, menenangkan jiwa dan pikiran bagi pencintanya. Sang surya tergelincir ke ufuk barat menciptak...
5.4K 627 7
⚠️FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Entah kenapa didunia novel pemeran kedua laki-laki tidak pernah bahagia? Mungkin karena mereka menjadi second? Aiyi pengg...