RED THREAD

By chipcips

3.4K 548 1.2K

Ketika benang kehidupan yang kusut mempertemukan setiap jiwa yang pernah saling berhubungan. Akankah ada hal... More

perkenalan
PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10. The Beginning
11. Crying On The Bathroom Floor
12. Saudade
13. Scars
14. Behind Today
15. She?
16. The Day
17. The Day (2)

18. Ellipsism

111 11 0
By chipcips

Happy Reading ❤
.
.
.

Hujan mengguyur lebih lama dari perkiraan. Bahkan ramalan cuaca seakan kehilangan kesaktiannya dalam menebak. Aeyoung berdecak sebal saat melihat awan diatas sana masih menumpahkan kesedihannya. Kaca kafe yang telah berembun akibat derasnya hujan dan hawa dingin yang menempel membuat Aeyoung memutuskan memesan kembali secangkir latte

Diseruput pelan latte tersebut sambil netranya menatap sayu pada lembaran berkas di atas meja. Tersemat tanda tangan persetujuan atas nama beberapa gadis seumurannya. Tinta pena yang sekiranya masih basah akibat baru saja ditorehkan, sedikit menerbitkan senyum di bibir.

Ia meraih ponsel, membuka aplikasi pesan, dan mencari kontak seseorang. Setelah menemukan kontak yang dituju, segera ia mengetik pesan dan mengirimkannya.

"Kim, gadis itu menandatangani persetujuan ini. Ia mau membantuku menjatuhkan Park Minsang!"

Read.

Kim Taehyung menerima pesan itu dan langsung membacanya. 

"Baguslah." Begitu balasnya.

Aeyoung tersenyum kecil setelah membaca balasan dari Taehyung. Ia lanjut menyeruput latte-nya. Teringat sekilas saat gadis yang bersamanya pamit meninggalkan kafe lebih dulu. Gadis itu menerobos hujan dengan sangat berani. Tanpa payung dan tanpa tangan yang berusaha menutupi kepala. Seakan-akan ia pasrah meluruhkan sesuatu yang menempel di tubuhnya. 

Saat aksi gadis itu masih terbayang sempurna dalam lamunannya, ponselnya kembali berdering. Satu buah notifikasi muncul dan tertera nama 'Kim' disana.

"Hanya sekadar mengingatkan. Besok malam, kita menghadiri pesta pernikahan Hoseok Hyung."

Begitu isi pesannya.

"Oke."

"Pernikahan Tuan Hoseok, ya?" Aeyoung bergumam dalam hati. "Itu artinya aku harus bertemu denganmu lebih cepat dari yang aku kira," katanya sambil menatapi sebuah foto di galeri ponselnya.

Ada rasa rindu yang mencekiknya. Bahkan hanya sebuah foto lama bisa mengakibatkan rasa perih yang menyiksa bukan main. Aeyoung tersenyum kecut dalam tatapannya. Tanpa sadar, bibirnya berucap, "Sampai jumpa besok malam, Park Jimin."


##

Keesokan harinya, masih sama seperti pagi pada biasanya. Jimin menyantap sarapan bersama dengan keluarga kecilnya. Apa yang membuatnya agak berbeda kali ini adalah suasana meja makan yang tak seceria biasanya. 

Yeseul sibuk berbicara dengan Junyoung di ponselnya. Mereka membicarakan beberapa hal detail mengenai sentuhan akhir untuk pernikahan Tuan Hoseok. Malam nanti acara pernikahannya. Oleh karena itu, Yeseul sangat sibuk sekarang. Bahkan siang nanti Yeseul dan dirinya sepakat menitipkan Yoojin kepada Seokjin. 

Sementara sang anak yang masih teringat kejadian kemarin entah mengapa tiba-tiba saja mengatakan ingin ikut kursus balet. Hantaman keras saat tadi baru sampai di meja makan secara mendadak Yoojin memeluk kaki nya dan bergelantung manja disana. Saat ditanya kenapa, ia menjawab, "Pa, kalau saja Yoojin adalah anak yang pintar dan berbakat seperti Paman Jungkook, apakah nenek jadi sayang sama Yoojin? Jadi, boleh tidak, Pa, Yoojin ikut kursus balet?"

Kenapa harus balet? Jimin yang saat itu merasakan sakit di hatinya mendadak bodoh dan kaku untuk menjawab. Pasalnya, balet dan seorang wanita adalah kombinasi yang mempunyai kenangan tersendiri dalam ingatannya. Akhirnya ia hanya bisa berdalih. "Kita diskusikan itu nanti, ya?" Sayangnya akibat jawaban yang dirasa tidak memuaskan, Yoojin masih murung dan menyantap makanannya dengan tidak berselera.

"Jim," panggil Yeseul. Jimin memutus tatapan dari anaknya dan menoleh, berganti menatap Yeseul.

"Hmm?"

"Aku ada urusan mendesak dengan Junyoung, boleh aku pergi sekarang?"

"Sarapanmu belum habis, 'kan? Habiskan saja dulu. Atau mau kubuatkan bekal?"

"Tidak. Tidak usah. Sepertinya tidak keburu. Aku benar-benar harus pergi sekarang."

Jimin mengalah dan mengangguk sebagai jawaban. "Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, ya."

"Eung!" Yeseul bangkit dari kursi dan menghampiri Jimin. Mengecup sekilas bibir tebal suaminya. Berlanjut mencium pipi gembil anaknya sebelum akhirnya benar-benar pamit meninggalkan rumah.

Tak lama kemudian setelah Yeseul meninggalkan rumah, Jimin membereskan sisa sarapan dan mencuci piring. Sementara Yoojin bersiap memakai baju dan beberapa mainan yang akan dibawa ke rumah Seokjin. Saat semuanya telah siap, Jimin segera mengantarkan Yoojin.

Di perjalanan menuju rumah Seokjin, hanya terdengar suara dari radio mobil yang menyiarkan berita terkini dari Pasar Gyeondong. Katanya pasar tersebut tengah panas diperbincangkan sebab ada toko obat-obatan herbal yang dapat menjual hasil jualannya hingga ke Singapura. Selain suara radio yang masih memutar berita yang sama tak ada suara yang terdengar dari kedua belah pihak yang berada dalam kendaraan beroda empat itu. Mungkin satu-satunya suara yang sesekali bersahutan dengan suara radio mobil adalah suara ketukan jemari Jimin pada stir mobil.

Hingga tak terasa mobil Jimin telah sampai di halaman rumah Seokjin. Si tuan rumah juga sudah membuka pintu bahkan sebelum Jimin dan Yoojin turun dari mobil. 

"Sepertinya Paman Seokjin sudah hafal suara deru mesin mobil Papa. Lihat? Bahkan Paman Seokjin sudah berdiri di depan pintu." Yoojin akhirnya bersuara dan sukses mencairkan suasana. 

"Haha." Jimin tertawa singkat. Ia mematikan radio mobil sekaligus mobilnya. Deru mesin mobil yang seketika menghilang menjadikan tawa Jimin terdengar lebih keras. Selepas tertawa, Jimin menoleh ke bangku penumpang, menatap Yoojin dengan mempertahankan senyuman manisnya.

Anaknya yang manis itu tengah berusaha memakai tas punggungnya seorang diri. Akibat terlihat sedikit kesusahan, maka Jimin menawarkan bantuan. "Mau Papa bantu pakaikan?"

Tanpa membalas tatapan Jimin, Yoojin menjawab, "Terima kasih, Pa. Tapi Yoojin bisa pakai sendiri."

"Benarkah? Pintarnya...." Jimin mengusap sekilas pucuk kepala Yoojin. Kemudian ia keluar dari mobil dan segera beralih ke sisi satunya. Membukakan pintu untuk Yoojin. Setelah itu keduanya berjalan beriringan menghampiri Seokjin.

"Paman!" Yoojin melambaikan tangan ke arah Seokjin. Seokjin membalasnya pula dengan senyum manis yang terkembang sempurna di wajah paripurnanya.

"Maaf, lagi-lagi kami harus menitipkan Yoojin di rumahmu, Hyung," ucap Jimin saat dirinya sudah tepat berada di hadapan Seokjin. 

"Tak masalah bagiku. Lagipula aku senang kalau bisa membantu," jawab Seokjin. Ia membungkukan badannya dan menatap Yoojin. "Masuk duluan sana. Tungguin ovenan Paman di dapur. Paman sudah buatkan kue untuk Yoojin."

"Wah! Benarkah? Asik!" Yoojin kegirangan. "Kalau begitu Yoojin masuk duluan, ah. Mau lihat kuenya sudah matang atau belum."

Baru beberapa langkah Yoojin masuk, ia kembali berputar. Kembali menghadap Jimin dan menghampirinya. "Pa, sini menunduk."

Jimin menurutinya. Satu kecupan mendarat di pipi Jimin dari Yoojin. "Papa janji jangan lupa diskusikan tentang yang tadi pagi, ya, Pa. Ayo, kita buat nenek jadi sayang sama kita," katanya dengan ceria dan penuh keyakinan. Setelah itu kembali berlari masuk ke dalam rumah Seokjin.

Tentu aja Jimin hanya bisa menjawab lewat senyuman. Sebagai seorang pria, baginya janji adalah sesuatu yang sakral. Tidak bisa terucap begitu saja jika kau tidak yakin bisa menepatinya. Lalu perihal membuat neneknya jadi sayang atau tidak, Jimin bahkan sudah berusaha untuk itu. 

Dari awal saat pertama kali seorang bayi perempuan berada pada pelukannya, saat tekad pertama kali dipaksakan hadir dalam hatinya, saat itu pula ia berusaha setengah mati untuk membuang kewarasan dihadapan ibunya. Ingatan malam yang dingin itu kembali hadir saat Jimin harus berlutut dan merengek bersamaan dengan tangisan bayi yang digendongnya. Memohon belas kasih ibunya untuk setidaknya menampung Jimin dan bayi itu untuk beberapa hari. 

Masih bercokol dengan jelas juga saat itu bagaimana Sang Adik, Jungkook, hanya berdiri dibelakang ibunya dan menatap dengan sorot penuh malu dan rasa jijik. Sedangkan Sang Ibu, malah memukulinya dengan tongkat golf sambil berteriak, "Bukannya sekolah dan berprestasi seperti adikmu! Kau malah membawa aib ke rumah kita! Memalukan! Menjijikan!"

Satu malam mengerikan itu menjadi alasan mengapa Jimin tak lagi mengharapkan rasa sayang dari ibunya untuk Yoojin. Namun agaknya Yoojin masih terlalu kecil untuk paham bahwa terkadang sebuah keluarga bisa saja tidak benar-benar terasa seperti keluarga. Bahkan seorang nenek yang diidamkan untuk memberinya permen nyatanya tidak pernah melihatnya sebagai cucu.

"Apa maksudnya? Apa yang perlu didiskusikan?" Seokjin membuyarkan ingatan Jimin yang seketika menghampiri. Saat kembali tersadar Jimin langsung menegakkan kembali punggungnya. 

Ia menatap Seokjin yang menatapnya kebingungan dan menjawab, "Yoojin ingin ikut kursus balet."

Terkejut? Tentu saja. Seokjin tahu ada sejarah apa antara balet, wanita itu, dan Jimin. Namun ia tetap bertanya, "Kenapa tiba-tiba balet? Yoojin tak pernah sedikitpun menunjukan minat pada balet apalagi untuk ikut kursusnya."

"Aku juga tak mengerti." Jimin menggelengkan kepalanya. Sekelibat memori hangat tentang balet menghampiri dirinya. Ia melanjutkan, "Tiba-tiba saja tadi pagi ia berkata begitu padaku."

"Aneh."

"Tidak sepenuhnya aneh. Sebetulnya ... Ibuku kemarin datang ke rumah. Kau tahu betul 'kan ibuku orang yang seperti apa."

"Aku sangat paham perangai ibumu, Jim." Seokjin menyela omongan Jimin. 

Jimin diam sejenak, hanya tersenyum singkat, kemudian melanjutkan, "Nah, kemarin ibuku membanding-bandingkan Yoojin dengan Jungkook saat masih seumurannya. Kupikir itu alasannya mengapa Yoojin tiba-tiba ingin ikut kursus balet. Ia ingin menunjukan ke neneknya bahwa ia juga memiliki bakat."

"Haa...." Seokjin menghela napas. Tapi kenapa harus balet? Memangnya gen dari seorang ibu sebegitu kuatnya sampai keinginannya pun ikut sama? 

Matanya menyoroti Jimin yang menunduk memainkan kunci mobil. Sebetulnya Seokjin pun ada sesuatu yang ingin dibicarakan. Itulah sebabnya ia menyuruh Yoojin untuk masuk lebih dulu. Namun nyatanya, Jimin pun tengah kesulitan. Ia jadi tak tega ingin mengatakannya.

"Lalu ... ibuku juga ... membicarakan tentang Aeyoung," ucap Jimin dengan lirih saat menyebut nama wanita itu. 

Seokjin tersedak. "Wah!" Ia menganga tak percaya. "Ibumu memang gila, Jim."

"Hyung!" seru Jimin tak terima. Ia tahu ibunya sedikit berbeda. Ia juga tahu dirinya berusaha keras untuk membenci ibunya. Namun bagaimanapun Jimin tetap seorang anak yang tak bisa benar-benar membenci wanita yang telah mempertaruhkan nyawa demi melahirkannya ke dunia. Itupun meski ia pernah berharap tak pernah lahir sekalian.

"Tapi anggaplah aku lebih gila. Mulutku gatal sekali tidak membicarakan ini padamu." Seokjin sedikit mendekatkan dirinya ke Jimin.

"Ia sudah kembali, Jim. Aku melihatnya. Cha Aeyoung."

Jimin terbelalak tak percaya. Jantungnya bekerja dua kali lipat lebih cepat. Tangannya mengepal kuat di samping badan. "Jangan gila, Hyung," desisnya.

"Iya. Biarlah kau pikir aku gila. Pada awalnya juga kupikir aku sudah tak waras. Tapi memang aku melihatnya." Seokjin menjeda omongannya. Menarik napas sejenak karena dirinya ikut tegang untuk sekadar memberitahukan ini pada Jimin. 

"Hyung, sudahlah."

Sayangnya Seokjin tetap melanjutkan," Di malam saat Yoojin terakhir kali main ke rumahku, di saat itu pula aku melihat Aeyoung berada di dekat rumahku. Beberapa kali tertangkap oleh mataku kalau ia memperhatikan Yoojin."

"Hyung!"  Jimin berteriak. Netranya menatap tajam namun juga menyiratkan kepedihan yang menjurus sempurna pada netra Seokjin. "Hentikan ... kumohon hentikan..."

Seokjin terdiam. Baginya Jimin adalah sosok yang seperti malaikat namun juga menyeramkan saat marah. Sedikitnya ia juga merasa bodoh dan bersalah. Oleh karena itu ia langsung berkata, "Maaf... Ku hanya berpikir bahwa kau harus tahu perihal Aeyoung karena—"

Karena apa? Seokjin seketika terdiam. Sungguh ia sendiri pun tidak menemukan alasan yang tepat untuk apa ia memberi tahu Jimin tentang wanita yang telah menghancurkan masa depan sahabatnya ini.

Seokjin tak melanjutkan kalimatnya. Ia bahkan tak berusaha lebih lanjut untuk memberikan alasan. Satu-satunya yang luruh dari bibirnya hanya kata maaf.

Jimin pun begitu. Ia jadi merasa tak enak hati sudah berteriak pada sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudaranya melebihi siapapun di keluarga aslinya. "Aku juga minta maaf, Hyung. Hanya saja... mendengar kabar tentang keberadaannya terlalu mendadak untukku. Aku tidak bisa mencernanya dengan baik." 







Bagaimana kabar kalian? Kuharap kalian baik-baik saja,yaa...
Entah masih ada yang baca cerita ini atau nggak, tapi kumohon jangan lupa untuk vote and comment nya yaa ehehehe
Love lovee from this stupid author ❤❤❤❤❤

Continue Reading

You'll Also Like

6.7M 335K 74
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.1M 52.9K 66
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
200K 29.7K 39
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
421K 30.1K 86
Cinta hanya untuk manusia lemah, dan aku tidak butuh cinta ~ Ellian Cinta itu sebuah perasaan yang ikhlas dari hati, kita tidak bisa menyangkalnya a...