Kamala (Sudah dinovelkan)

By AndienWintarii

63K 9K 631

Luka di hati Kamala Wungu atas kehilangan calon suaminya karena tragedi kecelakaan enam bulan lalu masih basa... More

1.
2.
3.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
CARA PEMBELIAN NOVEL
Diskon Novel
Promo novel via Shopee
OPEN PO periode 2023

4.

2.1K 427 25
By AndienWintarii

Jam sudah menunjukan pukul tujuh malam dan hujan tidak kunjung mereda saat mereka sampai di villa. Prabu menyempatkan diri membuka pintu mobil untuk membantu Kamala keluar. Mereka berlari-lari kecil menghindari hujan itu. Sesampainya di depan pintu rumah, Kamala mendongak untuk memastikan Prabu tidak lebih basah darinya.

"Kamu masuk dulu, ya."

"Saya langsung aja, Mba."

"Nggak, kamu masuk dulu, kamu selama perjalanan nggak pakai baju, saya nggak mau besok kamu sakit dan saya harus repot nyari supir baru."

Kamala terdengar seperti seorang Ibu di telinga Prabu. Dia tersenyum dan berjalan mengikuti Kamala sampai masuk ke dalam ruang tamu.

"Sebentar saya ambilkan handuk, mungkin ada baju yang cocok juga buat kamu."

"Nggak usah repot-repot, Mba."

Tidak ada jawaban dari Kamala, Prabu terpaksa menunggu sambil berdiri karena tidak ingin membuat sofa ruang tamu jadi basah. Kamala benar-benar merasa bersalah kepada Prabu, dia menyiapkan teh hangat, handuk dan beberapa baju over size miliknya. Berharap salah satu di antaranya ada yang cukup.

"Kalau kamu mau numpang mandi sekalian juga nggak apa-apa, ada air hangat di kamar mandi."

"Aduh, saya ngerepotin jadinya."

"Nggak masalah, saya tinggal ke kamar dulu, kamar mandi tamu ada di sana."

Prabu mengangguk dan membawa baju yang diberikan Kamala padanya. Selama satu jam tidak ada yang terjadi di antara mereka. Kamala sibuk dengan dirinya sendiri begitu juga Prabu. Untuk memastikan semuanya baik-baik saja, setelah selesai membersihkan diri dan mengganti bajunya. Kamala keluar dari kamar dan melihat Prabu yang juga baru saja keluar dari kamar mandi. Tatapan mereka bertemu lagi.

Rambut Prabu basah, tubuh atasnya masih telanjang, handuk kecil yang Kamala pinjamkan tersampir di lehernya. Penampilan Prabu membuat Kamala mengerutkan kening. Untung saja jeans belel milik Prabu masih cukup kering untuk dipakai lagi. Kamala tidak bisa membayangkan berapa besarnya sesuatu di balik celana jeans belel itu.

Begitu juga pada Prabu. Dia tertegun sejenak melihat Kamala dibalut dress tidur dari satin hitam sebatas lutut, ditambah outwear berwarna senada.  Rambut Kamala dibiarkan terurai, jatuh begitu cantik di antara pundaknya. Tidak ada kebaya atau sanggul yang Prabu lihat pagi tadi. Sepenuhnya Kamala tampak seperti perempuan modern yang normal. Bahkan payudara Kamala bentuknya lebih terlihat jelas di mata Prabu sekarang. Lebih besar dari dugaannya.

"Kenapa kamu nggak pakai baju? Bajunya kekecilan ya?"

"Iya," balas Prabu sambil tertawa menghilangkan pikiran kotornya. "Tangan saya aja nggak bisa masuk."

"Oh, maaf, itu baju saya yang paling besar."

"Gapapa, Mba."

"Maaf ya."

"Santai aja Mba Kamala, oh ya, saya minum tehnya ya."

"Silahkan. Rumah kamu di mana?"

"Bantul."

"Bantul? Jauh banget."

"Besok Mba Kamala berangkat pagi lagi?"

"Saya harus cari tambahan kain. Bisa siang atau sore."

"Saya jemput sore nggak apa-apa?"

"Boleh. Kamu mau langsung pulang?"

"Iya, lebih baik pulang sekarang."

"Bisa tunggu sebentar?"

Prabu belum sempat menyuarakan pendapatnya sampai Kamala kembali lagi dengan kemeja berwarna putih di tangannya.

"Coba pakai ini."

"Saya nggak apa-apa pakai ini?"

"Nggak masalah, itu pesanan orang, tapi saya bisa buat lagi, gampang lah. Kasihan kamu nggak pakai baju dari sore tadi, udah kaya Tarzan."

Prabu hanya cengengesan menjawab celetukan Kamala, tapi dalam sekejap ekspresi itu menghilang saat Kamala mendekatinya untuk membantu mengancingkan kemeja yang dia kenakan.

Aroma shampoo dari rambut Kamala menggoda indra menciuman Prabu. Kedua telapak tangan Kamala bahkan menyentuh dadanya, merapikan beberapa bagian kemeja yang kusut. Dalam jarak sedekat ini Prabu tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya pada Kamala.

"Mba Kamala."

"Hmm?"

Kamala mendongak untuk melihat Prabu karena laki-laki itu tidak bersuara lagi. Namun sentuhan jemari Prabu di wajahnya membuat Kamala tertegun sejenak sebelum semua lampu di dalam villa berkedip-kedip sampai akhirnya mati, sedangkan hujan di luar semakin deras turun menyelimuti gairah mereka berdua.

Wajah Kamala yang begitu dekat dengan Prabu kini hanya disinari bulan yang cahayanya masuk dari sela-sela ventilasi jendela. Prabu menelan ludahnya dan sedikit demi sedikit memberanikan diri menggerakan jemarinya untuk membelai wajah Kamala yang cantik.

Mata Prabu mengarah ke leher Kamala yang ditutupi rambut, jadi-jemarinya merapikan sedikit rambut Kamala hingga kini dia bisa melihat betapa mulusnya kulit perempuan itu. Berwarna kuning langsat tanpa cacat sedikit pun. Bibir Kamala yang ranum mengundangnya untuk singgah. Prabu menelan ludahnya sendiri. Wajahnya bergerak sedikit demi sedikit mendekat ke wajah Kamala.

Aroma napas perempuan itu manis dan sungguh membuat Prabu hampir kehilangan akal sehat.

"Maaf. Maaf, saya nggak bermaksud apa-apa sama Mba Kamala," ucap Prabu tergagap karena merasa bersalah telah begitu lancang menyentuh perempuan itu.

Kamala mundur beberapa langkah setelah kesadarannya kembali pulih. Keintiman di antara mereka bukan sesuatu yang diprediksi akan terjadi oleh Kamala. Dia tidak pernah disentuh seperti tadi selain dengan Saputra. Pikiran itu melintas dengan cepat dan membawa kenangan-kenangan yang menyakitkan kembali hadir di dalam benak.

"Mba punya lilin? Atau di mana saklar rumah ini biar saya cek apa ada konsleting listrik atau tidak." Prabu berusaha mengalihkan perhatian dari rasa canggung yang muncul di tengah-tengah mereka berdua.

"Saya nggak punya lilin, saklarnya ada di gudang."

"Mba mau saya bantu cek?"

Kamala hanya mengangguk dan berjalan lebih dulu untuk menunjukkan ruang gudang yang dia maksudkan. Dengan telaten Prabu mengecek semua kabel, tapi semua tampak sangat normal, tidak ada konsleting listrik yang dipikirnya terjadi.

"Mungkin karena hujan deras, jadi mati lampu."

"Ya, mungkin."

"Kalau gitu saya beli lilin buat Mba Kamala di warung. Setelah itu saya baru pulang."

"Prabu, saya boleh tanya sesuatu?"

Bulu kuduk Prabu berdiri saat mendengar namanya di panggil Kamala. Setelah seharian bersama, baru malam ini Kamala memanggil namanya dengan jelas.

"Ya?"

"Apa Mas Gilang nggak pernah cerita yang macam-macam tentang saya ke kamu?"

"Seinget saya cuma seperti apa yang tadi siang saya sampaikan ke Mba. Dia cuma bilang saya harus menjaga Mba karena Mba Kamala sudah seperti adik kandungnya sendiri. Memangnya kenapa?"

"Gapapa."

"Jadi Mba Kamala mau saya belikan lilin atau nggak?"

"Nggak usah."

Prabu mengangguk dan berjalan mendahului Kamala sampai dia kembali lagi ke ruang tamu. "Kalau begitu saya pamit dulu."

"Kamu nggak mau nginep?"

"Nginep?"

"Ya, di luar masih hujan deras dan dari sini ke Bantul jauh sekali. Di sini ada kamar tamu, kamu bisa tidur di sana. Besok pagi-pagi sekali kamu bisa pulang."

"Mba Kamala nggak apa-apa saya numpang nginep di sini?"

Kamala tidak menjawab dengan kata-kata, sejujurnya dia juga ragu.

"Saya pulang saja nggak apa-apa."

"Nggak. Kamu di sini saja."

Kedua alis Prabu naik, dia bingung melihat mimik wajah Kamala yang berubah khawatir.

"Prabu, saya tau ini gila, tapi saya nggak punya cara lain untuk menyampaikan hal ini sama kamu."

"Hal ini penting?"

"Ya, ini menyangkut keselamatan kamu."

"Maksudnya?"

Kamala berjalan mendekati Prabu dan menyuruhnya duduk di sofa ruang tamu. Kini mereka duduk bersampingan, memudahkan mereka saling melihat ekspresi satu sama lain di dalam keremangan cahaya bulan.

"Mungkin yang akan saya sampaikan nggak masuk diakal, setelah kamu dengar ini, kamu boleh memutuskan sendiri mau lanjut bekerja dengan saya atau nggak."

Prabu tidak mengerti kenapa Kamala berubah menjadi begitu serius.

"Prabu, mungkin kamu terpikat dengan saya, saya tau itu."

Kelugasan cara bicara Kamala membuat Prabu terkejut, tapi dia masih berusaha mendengarkan tanpa menjeda.

"Tapi kamu jangan pernah menyentuh saya lagi seperti tadi. Sekali pun jika saya yang meminta."

"Maksudnya?"

"Prabu, saya tau kita berdua sama-sama sudah dewasa. Untuk hal itu, saya anggap kamu sudah mengerti."

"Tunggu dulu, maksudnya Mba Kamala, Mba Kamala juga tertarik sama saya?"

Kamala mengurut kening dan membuang pandangan ke tempat lain. "Ya," akunya dengan berat hati.

Suara hujan dan guntur dari luar mengisi kekosongan di antara mereka. Kamala sadar ini belum dua puluh empat jam dari mereka berdua saling berkenalan, tapi Kamala lebih tidak ingin sesuatu dari masa lalu kembali terulang.

"Saya nggak bisa melakukan itu sama kamu, penyebab masalah ini bukan di kamu, tapi saya."

"Saya nggak melihat ada masalah di sini. Ya, ya kecuali kalau memang Mba Kamala punya alasan yang kuat. Saya nggak mungkin memaksa Mba."

"Saya tau, kamu orang baik, tapi setiap orang punya kelemahan, dan saya nggak mau membuat kamu menjadi ...."

"Menjadi?"

"Kalau kamu sudah terikat sama saya, kamu nggak akan mungkin bisa lepas."

Prabu tersenyum lebar. "Setiap laki-laki mungkin juga akan begitu kalau punya pasangan kaya Mba Kamala."

"Saya serius, Prabu."

"Saya juga serius. Saya nggak mungkin juga memperkosa Mba di sini, saat mati lampu atau saat hujan turun di luar dan tinggal kita berdua saja di sini. Saya mencoba untuk menjaga jarak. Itu yang saya lakukan dari tadi."

Kini giliran Kamala yang terkejut dengan sikap blak-blakkan Prabu.

"Jadi Kalau Mba takut saya macem-macem sama Mba, saya bisa pulang sekarang."

"Saya nggak mau ada sesuatu yang menimpa kamu saat kamu pulang."

"Saya nggak akan kenapa-kenapa."

Mata Kamala menatap manik mata Prabu yang mencoba meyakinkannya. "Ya, kamu akan kenapa-kenapa. Untuk sekarang hanya itu yang bisa saya katakan. Lebih baik kamu tidur sekarang. Kamar tamu ada di ujung lorong itu. Kunci kamar kamu dan pastikan jangan membukanya untuk siapa pun termasuk saya."

Kamala bangun dari tempatnya duduk dan masuk ke dalam kamar tanpa mengatakan apa pun lagi. Meninggalkan Prabu sendiri di dalam kebingungan.

***

Serrr-serrrr hahahahaha~

Siapa ya yang cocok jadi Kamala dan Prabu? Punya referensi?

Continue Reading

You'll Also Like

6K 696 33
Jill memilih kabur sebagai bentuk protes atas hal-hal buruk yang dilakukan orang tua atas nama masa depan. Sebuah insiden mempertemukannya dengan Ra...
173K 9.5K 26
NO COPAS/REMAKE!!! CERITA INI BELUM MENGALAMI REVISI EYD... Aku menemukan bidadari kecil. Sayang, bidadari itu tidak sempurna. Sayapnya patah. Ia tid...
5.9M 308K 58
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
37.4K 5.5K 24
Harim dan Wolf pacaran saat mereka kelas 3 SMP dan putus saat kelulussan. Jadi, Harim pikir setelah lulus, dia seharusnya tidak melihat Wolf lagi, ap...