Kamala (Sudah dinovelkan)

By AndienWintarii

63K 9K 631

Luka di hati Kamala Wungu atas kehilangan calon suaminya karena tragedi kecelakaan enam bulan lalu masih basa... More

1.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
CARA PEMBELIAN NOVEL
Diskon Novel
Promo novel via Shopee
OPEN PO periode 2023

2.

2.8K 475 26
By AndienWintarii

Kamala menghela napas panjang saat selesai memeriksa penampilannya untuk terakhir kali sebelum keluar dari kamar. Dia berniat akan sarapan di jalan menuju pantai Indrayanti tempat di mana dia sudah mengatur janji temu dengan client yang akan memakai jasanya untuk membuat baju pernikahan mereka.

Suara klakson mengagetkan Kamala saat dia baru saja membuka pintu rumah. Mobil Jeep berwarna hitam sudah terparkir manis dengan seorang laki-laki berkaca mata yang duduk di balik kursi kemudi. Ya ini di luar bayangannya, mobil Jeep itu terlalu mencolok dan tidak biasa.

Kamala memutuskan masuk ke dalam mobil lebih dulu sebelum menyuarakan keluhan, padahal laki-laki itu baru saja turun dan membukakan pintu mobil untuknya.

"Selamat pagi Mba Lala."

Kamala mengerutkan keningnya heran. "Lala?"

"Kemala, nggak apa-apa, kan, kalau saya panggil Mba Kemala dengan Lala?"

"Nggak boleh."

"Kenapa nggak boleh?"

"Ya panggil saja saya Kamala."

"Kalau panggil sayang, boleh?"

"Mas jangan kurang ajar ya, saya bisa batalin pemesanan mobil ini kalau Mas kurang ajar sama saya."

Suara tawa laki-laki itu memenuhi mobil, suaranya serak dan dalam, tipe suara yang mudah mengintimidasi lawan bicara. Kamala sampai menggeser posisi duduknya sampai dia rasa cukup berjarak dengan laki-laki itu.

"Maaf, Mba. Saya cuma bercanda. Ternyata bener kata Gilang, Mba susah diajak bercanda."

"Oh ya, satu lagi, kenapa kamu bawa mobil Jeep? Saya, kan, minta mobil yang sederhana."

"Tapi Mba Kamala nggak bilang secara spesifik. Saya pikir Jeep ini cukup sederhana."

"Besok saya minta ganti ya. Saya nggak mau tau."

"Tapi yang tersedia cuma tinggal mobil ini, Mba."

"Ya saya nggak mau tau, saya minta ganti pokoknya."

"Pakai dokar aja gimana?"

"Mas, saya serius."

"Saya juga."

"Siapa nama Mas?"

"Prabu. Prabu Wijaya," ucap laki-laki itu dengan mimik muka yang lebih kalem.

"Prabu Wijaya?"

"Iya, kenapa? Mau manggil sayang juga boleh kalau Mba mau."

"Nggak, makasih."

Prabu tertawa lagi, suara tawanya membuat Kamala harus menutup telinga agar tidak kehilangan pendengarannya sendiri. Kalau melihat penampilan Prabu, laki-laki itu lebih mirip preman atau tukang bangunan dengan kulit sawo matang yang terbakar matahari. Tulang rahangnya tegas, hidungnya bangir dan ada bekas luka di atas alis kirinya.

Dari kejauhan Kamala tidak bisa melihat dengan jelas macam-macam tatto apa saja yang dimiliki Prabu di lengannya karena sebagian tertutupi lengan kemeja, yang jelas Prabu bukan tipe laki-laki yang akan didekati Kamala dengan kondisi mental yang sehat.

"Jadi kita mau ke mana?"

"Pantai Indrayanti."

"Mba mau ke pantai pakai kebaya?" tanya Prabu ragu-ragu.

"Ada yang salah sama penampilan saya?"

"Nggak, cuma aneh aja."

"Aneh?!" Kamala tidak bisa mengendalikan ekspresi wajahnya yang kesal sekaligus bingung. "Anehnya di mana?"

"Aneh, kok, masih ada perempuan yang mau pakai kebaya di jaman kaya gini."

Kata-kata Prabu tersamarkan dengan suara mesin mobil yang mulai melaju membelah jalan. Bagi Kamala, dia sudah terbiasa dipandang seperti Prabu memandanginya barusan, tapi entah kenapa kali ini sangat menyebalkan.

"Kalau saya telanjang baru kamu boleh bilang saya aneh," celetuk Kamala spontan.

"Kalau Mba Lala telanjang, ya saya seneng lah, hahahahahaha."

Kamala menengok ke arah Prabu yang sudah terpingkal-pingkal di kursinya, untung saja mereka sedang berhenti karena lampu merah.

"Kamu memang biasanya sama perempuan kaya gini, ya?"

"Kaya gini, gimana?"

"Nggak sopan."

"Oh," Prabu mengulum senyum. "Saya biasanya paling males ngomong sama perempuan."

"Ah, masa, saya nggak yakin."

"Kenapa nggak yakin?"

Kamala melirik sekilas ke arah jendela untuk menghilangkan rasa canggungnya. "Kamu nggak keliatan kaya gitu."

"Memangnya saya keliatan kaya gimana di mata Mba Lala?"

"Nama saya Kamala, jangan ngerubah-ubah."

"Iya, jadi saya keliatan kaya gimana?"

"Keliatan kaya preman."

"Kok, tau?"

"Tau apa?" tanya Kamala sambil kembali melihat ke arah Prabu.

"Saya memang mantan preman, biasanya saya mangkal di pasar kembang dekat Malioboro sana, tapi sekarang sudah tobat."

"Kenapa tobat?"

"Saya bosen jadi preman."

"Terus beralih jadi supir?"

"Iya Mba, enak nggak disupirin sama saya?"

"Nggak, kamu nggak cocok jadi supir."

"Masa? Saya bawa mobilnya nggak ngebut loh."

"Kalau kamu ngebut, mending saya turun di tengah jalan."

"Jangan di tengah jalan."

"Kenapa? Terserah saya, dong."

"Nanti ketabrak mobil, gimana? Saya juga yang repot, belum dinikahin, udah disuruh tanggung jawab duluan."

"Hah?"

"Heh, hoh."

Kamala akhirnya tertawa mendengar guyonan sembrono ala Prabu. Suasana di dalam mobil lebih santai daripada sebelumnya. Meski masih harus berdaptasi dengan cara bicara Prabu yang tidak mengerti aturan, Kamala bisa merasakan bahwa laki-laki itu bukan orang jahat. Jadi dia memberanikan diri untuk bersandar di kursi mobil lebih santai.

"Kalau Mba Lala, maksud saya Kamala, kerjanya sebagai apa?"

"Saya designer baju penggantin."

"Yang suka bikin baju?"

"Hmm."

"Kapan-kapan bikinin saya baju, bisa?"

"Bisa aja, kapan kamu nikahnya?"

"Saya belum punya calon, Mba Kamala mau nggak jadi calon saya?"

"Nggak."

"Yah, sayang banget."

"Kenapa saya harus menyayangkannya?"

"Ya gapapa, semoga aja Mba Kamala berubah pikiran, nanti bisa langsung hubungi saya."

"Terimakasih."

"Sama-sama," balas Prabu dengan senyuman yang hampir saja membuat Kamala melempar sendal ke mukanya.

"Kita mampir ke warung makan dulu ya."

"Mba belum sarapan?"

"Belum."

"Sama, saya juga."

"Saya nggak nanya."

"Ya mungkin Mba Kamala mau traktir saya."

"Uang makan kamu saya yang tanggung juga?"

"Ya bisanya begitu."

"Yaudah."

"Yaudah apa?"

"Saya bayarin makanan kamu."

Prabu membalas ucapan sinis Kamala dengan senyuman yang mengembang sempurna. Tidak lama kemudian mereka berhenti di warung soto ayam yang cukup ramai. Kamala tidak protes saat Prabu membawanya ke sini.

"Mba mau pesen soto ayam?"

"Ya, minumnya teh hangat."

"Oke, saya pesankan dulu."

Butuh waktu lima menit bagi Kamala dan Prabu menunggu pesanan diantarkan ke meja tempat mereka saling duduk berhadapan. Kamala memperhatikan gerak-gerik Prabu diam-diam saat laki-laki itu menyendokan lebih dari lima sambal ke mangkuknya tanpa ragu.

"Kamu nggak takut sakit perut pagi-pagi kaya gini makan sepedes itu?"

Prabu melihat ke arah Kamala dan tersenyum. "Pedesnya sambel ini, saya yakin, belum ada apa-apanya dengan pedesnya omongan tetangga."

"Kamu harus mulai mengurangi kebiasaan buruk itu."

"Wah, saya tersanjung, Mba Kemala udah mulai perhatian sama saya."

"Saya cuma memperingati kamu."

"Itu sama aja."

"Sama dengan?"

"Perhatian."

Kemala tidak menanggapi guyonan Prabu kali ini. Dia membiarkan laki-laki itu menelan isi mangkuknya dengan tenang, tapi tidak dengan Prabu.

"Mba Kemala sudah menikah?"

Pertanyaan Prabu yang tiba-tiba membuat Kamala tersendak makanannya sendiri sampai Prabu harus bangun dan menepuk-nepuk punggung perempuan itu perlahan.

"Mba Lala, gapapa?"

"Nama saya Kamala, jangan panggil saya Lala lagi, saya bukan saudaranya Tinkiwinky apalagi Dipsiy."

Kekhawatiran Prabu lenyap dalam sekejap. Dia tertawa sampai membuat beberapa orang dari meja yang berbeda menengok ke arahnya.

"Ternyata Mba Kamala bisa lucu juga. Saya khawatir banget Mba tadi keselek tulang ceker."

"Saya kayanya salah pilih supir."

"Nggak salah, Mba," ucap Prabu sambil kembali duduk di kursinya semula. "Saya bisa pastikan Mba nggak akan menyesal pilih saya jadi supir selama ada di Jogja."

"Saya nggak yakin."

"Gapapa kalau sekarang nggak yakin, kalau besok, siapa yang tau? Yang pasti Mba Kamala nggak akan kesasar kecuali ke hati saya."

"Kamu harusnya ikut kompetensi gombal sekecamatan, saya yakin kamu menang."

"Hahahaha, saya udah selesai makannya, Mba mau berangkat sekarang?"

"Boleh, saya bayar dulu, ya."

Prabu mengangguk dan mereka berpencar. Kamala menuju kasir, sedangkan Prabu menuju mobil. Sambil menunggu Kamala selesai membayar, Prabu mematik sebatang rokok yang dia ambil dari saku kemeja flanelnya. Kamala kembali lebih cepat dari perkiraan Prabu, dia hampir saja membuang rokoknya yang baru dia hisap sekali saat Kamala mulai berbicara.

"Nggak usah dibuang, sayang."

"Mba, nggak keberatan saya ngerokok?"

"Nggak, saya juga perokok." Kemala mengangkat sedikit jariknya agar lebih mudah melangkah menaiki undakan mobil Jeep milik Prabu.

"Mba kaya kado natal, ya."

"Maksudnya?"

"Banyak kejutannya. Mau rokok?" Prabu menyodorkan kotak rokoknya saat mereka sudah di dalam mobil, tapi Kamala menolaknya.

"Saya punya rokok saya sendiri."

"Woh, ngelinting sendiri, Mba?" tanya Prabu takjub melihat kotak yang dikeluarkan Kamala dari dalam tasnya.

"Hmm."

Prabu menunjukkan satu jempolnya kepada Kamala. "Keren."

"Apa kerennya, ini kan, cuma rokok."

Prabu tertawa sambil menyalakan mesin mobil. "Saya aja nggak rajin ngelinting, tapi Mba Kamala rajin banget."

"Hitung-hitung hiburan."

"Sudah lama ngerokok?"

"Belum."

"Sejak kapan?"

Kamala menengok ke arah Prabu yang tidak melihat ke arahnya. Jemarinya yang lentik masih telaten melinting rokok yang akan dia hisap. "Mas Gilang sudah cerita apa saja ke kamu tentang saya?"

"Nggak banyak, dia cuma bilang, Mba Kamala ini adek sepupunya, jadi saya harus jaga Mba."

"Sudah segitu saja?"

Prabu mengangguk. "Memangnya mesti ada yang saya harus tau lebih?"

"Enggak, semakin kamu sedikit tau, semakin baik," ucap Kamala sambil mulai menaruh rokok yang selesai dia linting sendiri ke bibirnya.

***

Hai, apa kabar? Aku mau mulai nulis lagi hehehe, semoga tulisanku cukup menghibur kalian semua ya, jangan lupa votenya ❤️

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 33.3K 47
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
7.1K 820 27
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean ber...
42K 6.4K 30
Harim dan Wolf pacaran saat mereka kelas 3 SMP dan putus saat kelulussan. Jadi, Harim pikir setelah lulus, dia seharusnya tidak melihat Wolf lagi, ap...
AMERTA By Alis

Historical Fiction

249K 40K 44
Romansa Dewasa - Fantasi Sejarah Sebab bahwasanya leluhur tanah air telah menguasai ilmu alam yang tak pernah dibayangkan manusia modern. Alam tundu...