RED THREAD

Av chipcips

3.4K 548 1.2K

Ketika benang kehidupan yang kusut mempertemukan setiap jiwa yang pernah saling berhubungan. Akankah ada hal... Mer

perkenalan
PROLOGUE
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10. The Beginning
11. Crying On The Bathroom Floor
12. Saudade
13. Scars
14. Behind Today
15. She?
17. The Day (2)
18. Ellipsism

16. The Day

64 7 3
Av chipcips

HAPPY READING 💜💜

Jangan lupa vote n comment nyaa yaaa...

luvv luvv

"Hyung, aku dan ibu akan ke tempatmu besok."

Bukan sesuatu yang baik saat pagimu disambut oleh ucapan yang teramat kau hindari. Jimin baru saja membuka matanya dan langsung teringat pesan Jungkook kemarin. Ia menghela napas sesudah ia merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku.

Ia melihat ke sekelilingnya. Yeseul sudah tak berada di kamar. Mungkin sedang menyiapkan sarapan, pikirnya. Merasai perutnya yang juga kelaparan, Jimin bergegas ke dalam kamar mandi, mencuci muka dan menggosok gigi. Setelah itu, ia langsung menuju dapur.

Benar saja, Yeseul tengah menyiapkan sarapan. Di meja makan ada Yoojin yang masih lengkap dengan piyamanya, memandangi Yoojin yang tengah mengoles selai cokelat di tiap lembaran roti dengan telaten.

"Selamat pagi," ucap Jimin menarik atensi keduanya.

"Pagi, Jim."

"Selamat pagi juga, Papa."

Jimin mendudukan dirinya di sebelah Yoojin. Mengikuti Yoojin dengan sangat detail, mulai dari tangan yang menangkup kedua pipi, mata yang memandang Yeseul, hingga kepala yang bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri.

Yoojin melirik Jimin dengan heran. "Papa kenapa mengikuti Yoojin?"

"Memangnya tidak boleh?"

"Yoojin 'kan ingin melihat Mama."

"Sama. Papa juga."

"Tidak boleh samaan begitu. Papa cari gaya lain saja. Yoojin sedang mau dilihat cantik sama Mama."

Yeseul tertawa melihat tingkah mereka berdua. "Yoojin cantik setiap saat kok." Yeseul berkata sambil meletakkan piring yang berisi tiga lembar roti dengan selai cokelat. "Sudah, yuk, sarapan dulu."

"Tumben hanya ada roti, apa bahan masakannya sudah habis?" Jimin bertanya dengan mulut yang sedang mengunyah roti.

"Masih ada. Tapi maaf ya... Hari ini aku sedikit tidak enak badan."

"Kau sakit? Sejak kapan? Bukankah kemarin baik-baik saja? Apakah sakit sekali?" Jimin memandangi raut wajah Yeseul. Tangannya meraih tangan Yeseul dan mengusapnya. Sorot matanya menatap khawatir ke arah Yeseul. Begitu pun Yoojin yang juga memandang khawatir pada Yeseul. Bahkan rotinya sudah ditaruh kembali ke atas piring.

"Mama perlu ke dokter?"

"Jangan terlalu khawatir begitu, ah. Aku baik-baik saja, Jim," jawabnya. Bergantian menoleh ke arah anaknya. "Mama hanya perlu istirahat saja, sayang. Tidak perlu ke dokter." Yeseul mengusap kepala Yoojin.

"Apa yang kau rasakan sekarang?" tanya Jimin sekali lagi.

"Hanya sedikit pusing."

"Apa kita masih punya ibuprofen?"

"Masih. Aku baru saja mengeceknya tadi pagi."

"Syukurlah."

Yeseul menangkap wajah Jimin yang tak terlihat lega sedikit pun. Apa karena dirinya sakit?

"Kau tak terlihat lega. Ada apa? Pekerjaan rumah masih bisa kubereskan, jika itu yang kau khawatirkan, Jim," ucap Yeseul menilik Jimin.

"Hei, jika seorang istri sedang sakit maka suami yang menggantikannya. Aku bisa membantumu dengan itu. Aku juga tidak masalah dengan pekerjaan rumah. Hanya saja...." Jimin berhenti bicara. Terlihat ragu sekaligus enggan.

"Apa? Katakan saja," ucap Yeseul sambil menatap wajah suaminya.

Jimin melirik Yoojin yang ternyata menatapnya juga. Dengan roti ditangan yang sudah termakan setengah, juga dengan mulut yang dihiasi selai cokelat yang meleber dari isian roti, Yoojin sedari tadi menatap orang tuanya yang tengah berbicara.

"Kita bicarakan ini nanti," jawab Jimin pada akhirnya.

"Oke." Yeseul mengangguk dan melepaskan tangannya dari genggaman tangan Jimin. "Yoojin, nanti selesai makan, boleh masuk ke kamar dulu tidak? Mama dan Papa ada yang harus dibicarakan sebentar. Boleh, ya?"

Yoojin menatap Jimin dan Yeseul secara bergantian. Wajahnya memelas saat menatap Yeseul, "Tapi Yoojin mau susu."

"Habiskan rotinya, nanti langsung Mama buatkan susu untuk Yoojin, ya?"

"Iya, Ma."

Setelah bernegosiasi dengan anak sendiri, akhirnya Yoojin mendapatkan susunya dan membawanya ke kamar, sedangkan Jimin dan Yeseul juga bergegas ke dalam kamar mereka.

##

Haruskah Jimin katakan ini? Berulang kali Jimin pikirkan sembari menghabiskan rotinya di ruang makan tadi. Kini dirinya sudah berada di dalam kamar, berhadapan dengan Yeseul. Sebetulnya berlebihan jika hanya ingin memberitahukan istrimu bahwa ibumu ingin datang ke rumah. Namun kasusnya terasa berbeda jika untuk Jimin.

"Ada apa?" tanya Yeseul.

"Umm..." jawab Jimin ragu. "Aku sudah memberitahumu belum? Jika ibu akan datang hari ini?"

"Hari ini? Kau sungguhan? Aku tidak ingat kau sudah memberitahuku atau belum."

Mereka saling tatap. Mencoba memikirkan pandangan mereka satu sama lain. Jimin khawatir kedatangan ibunya akan membuat Yeseul bertambah sakit.

"Tapi kau tidak perlu khawatir, aku akan telepon Jungkook dan bilang untuk datang lain hari," ucap Jimin memberi solusi.

Gila memang. Namun nyatanya Yeseul yang gantian merasa tidak enak. Ini mertuanya. Seharusnya bisa datang kapan saja jika memang ingin. Toh, Yeseul juga tidak membenci mertuanya. Kendati tahu suasananya akan sangat suram nanti, Yeseul akhirnya menyentuh pundak Jimin dan berkata, "Jangan begitu. Tak apa ibumu datang. Aku senang jika bisa menyambutnya. Kau jangan khawatirkan aku."

"Tapi—"

"Sudah, tak apa-apa. Oke?"

Akhirnya Jimin hanya bisa menghela napas. Menarik lengan Yeseul yang bertengger di pundaknya, kemudian memeluknya. "Terima kasih. Kau baik sekali."

"Sudah sewajarnya aku menyambut mertuaku sendiri, Jim." Yeseul balas memeluk Jimin.

"Kau memang membencinya saat mendengar kabar ibumu akan datang, namun nyatanya, jauh di dalam lubuk hatimu, kau merindukannya, Jim. Rindu seorang anak terhadap kasih sayang ibunya," ucap Yeseul dalam hati. Ia mengelus lembut pundak Jimin dengan penuh kasih sayang.

##

Ini adalah suasana makan paling suram yang pernah Yeseul alami. Rasa canggung yang menyelimuti acara makan siangnya bersama sang mertua. Ya, mertuanya sudah datang.

Tak lama setelah ia bercakap-cakap dengan Jimin di dalam kamar, Jungkook menelepon. Berkata bahwa dirinya akan sampai saat jam makan siang. Ternyata benar saja. Tepat saat jam makan siang, saat matahari tepat berada di atas dan sedang panas-panasnya, pintu rumahnya diketuk.

Saat pintu terbuka, nampak sang mertua yang memakai dress biru dan sepatu high heels serta tatanan rambut yang rapih dan terawat, bergandengan dengan adik Jimin, Jungkook, yang hanya memakai celana jeans dan kemeja berwarna senada dengan Sang Ibu. Di tangan Jungkook menggenggam buket bunga hydrangea biru yang segera diberikan tepat saat pintu terbuka.

"Bunga untuk Kak Yeseul, mohon diterima, Kak. Maaf hanya membawa ini." Jungkook tersenyum ramah, sementara Sang Ibu hanya menatap Yeseul tanpa ekspresi.

"Terima kasih, Jung."

Yeseul berbisik dalam hati, "hydrangea?"  Ia tersenyum samar."Bunga yang penuh makna untuk diberikan. Ungkapan terima kasih dan ketulusan bersanding dalam warnanya yang menenangkan. Cantik, namun beracun. Jika tidak disimpan dengan baik, entah bunganya yang mati atau aku yang mati."  Yeseul terkekeh singkat.

Setelahnya, Yeseul benar-benar bekerja keras untuk menyiapkan makan siang. Samgyetang, dak-galbi, makanan pendamping lainnya, hingga kimchi akhirnya tersaji sempurna diatas meja makan.

Meski pusing terkadang menyerang dengan tiba-tiba, Yeseul tak menunjukkanya ke siapa pun. Hanya sekejap menutup mata, seakan memberi sinyal untuk kepalanya agar bisa diajak bekerja sama barang sebentar, kemudian melanjutkannya lagi seakan tidak ada apa-apa.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Park Jungeum, Ibu Jimin, bertanya. Sorot matanya menatap penuh telisik dalam pandangan Jimin meskipun tangannya masih sanggup menyendok makanan. 

"Begitulah, Bu," jawabnya asal.

Jungeum menghela napas. Terlihat tidak puas dengan jawaban yang Jimin berikan. Pada akhirnya ia tak menyahutinya lagi. Namun atensinya beralih kepada Yeseul yang tengah menyuapkan nasi pada Yoojin. Tatapan tajamnya membuat Yoojin sedikit tidak nyaman. Tangan mungilnya yang berada dibawah meja, bertumpu pada paha seakan tengah diadili, meremat pelan rok berwarna pink yang tengah ia pakai.

"Anak ini sudah bisa apa? Seumuran dia Jungkook yang paling kusayang ini sudah mengikuti kontes piano."

"Bu—" Jungkook mencoba menghentikan. 

"Namanya Yoojin, Bu." Jimin mengoreksi. "Dia pandai melakukan banyak hal. Apapun yang dia lakukan sangat membanggakan di mataku." Jimin membalas tatapan Sang Ibu. "Bu, maaf, tapi tolong panggil namanya dengan benar, dia anakku." lanjutnya.

"Dia bukan anakmu." Jungeum geram. "Sampai kapan kau akan membiarkan wanita itu menitipkan anaknya padamu? Sadar, Nak!" Jungeum sedikit menaikkan nada suaranya. 

Isak tangis terdengar dari Yoojin yang sedari tadi menunduk. Hingga akhirnya ia turun dari kursi makan dengan sedikit tergesa dan meninggalkan meja makan dengan berlari ke dalam kamar. "Yoojin!" Yeseul mencoba memanggil namun tak digubris. "Maaf, Bu, aku akan menyusul Yoojin dulu." Yeseul pamit dan menyusul Yoojin ke dalam kamar anaknya.

Sementara yang di meja makan tidak merespon sedikit pun, bahkan Jimin tidak mengalihkan pandangannya ke Yeseul dan tetap memperhatikan pergerakan serta raut wajah ibunya. 

"Bukankah Ibu keterlaluan? Kenapa Ibu membicarakan hal itu di depan anak kecil yang tidak tahu apa-apa?" Jimin nampak tak percaya pada sosok Ibunya kini. Wanita yang dulu sangat ia banggakan karena tampak bersinar meski sudah berumur. Wanita yang selalu ingin ia tarik perhatiannya sebab memberikan perlakuan yang berbeda terhadapnya dan Jungkook. Wanita itu kini menjadi sosok yang sangat lain. Kejam bahkan tak memperdulikan perasaan Yoojin.

"Ia harus tahu 'apa-apa'," jawabnya dengan tegas serta menekankan kata 'apa-apa'. "Ia harus tahu bahwa ibunya adalah wanita penggoda yang menyusahkan keluarga kita, menyusahkanmu!"

"Jangan panggil Aeyoung wanita penggoda, Bu!"

"Bu, kurasa ibu sedikit berlebihan. Jangan seperti ini pada, Hyung, Bu." Jungkook mencoba menghentikan pertengkaran yang mungkin terjadi, meskipun nihil hasilnya.

"Ia harus tahu meskipun kau bertanggung jawab sebagai ayah, tapi anak itu tidak akan kuanggap sebagai cucu." 

"Cih! Haha...." Jimin terkekeh, menggelengkan kepalanya perlahan sembari menatap dengan rasa yang terpendam di balik matanya. "Aku memang bertanggung jawab sebagai ayahnya. Tetapi jika Ibu tahu siapa sesungguhnya pria yang tidur dan menanam benih sperma pada wanita yang ibu sebut penggoda itu, aku yakin seribu persen, ibu bahkan tak akan ada muka untuk berkata begitu di depan wajahku!" 

"Apa maksudmu?"

"Ibu bahkan tidak tahu apa-apa. Jadi tolong jangan menyakiti keluargaku." Jimin memelas. Menatap sendu wajah ibunya yang sudah dihiasi keriput di beberapa bagian. "Aku menyayangimu, Bu. Aku juga tahu kau adalah orang yang sangat menjaga martabat keluarga. Jika kau tahu kebenarannya, aku tak yakin kau akan sanggup menerimanya," ucap Jimin dalam hati.

"Ibu, sudah cukup." Jungkook sekali lagi melerai keduanya. Tangan Jungkook melingkari pundak ibunya dan menarik perlahan agar tersender pada kursi. Ia juga bergantian menatap Jimin, menggerakan bibirnya meski tak ada suara yang keluar, ia berkata, "Hyung, maaf." Sedangkan Jimin hanya menggangguk singkat dan mengalihkan pandangan.

Setelah dirasa agak tenang, Jungeum kembali menatap anak pertamanya. "Selagi aku berada di sini, sepertinya aku harus memberitahumu." Jungeum meneguk segelas air ditangannya dengan singkat, kemudian melanjutkan, "Ayahmu sedang naik daun belakangan ini. Ibu juga sedang menikmatinya. Jika kau tidak bisa menjadi kebanggaan seperti Jungkook, maka teruslah bersembunyi seakan-akan kau bukan anaknya. Ibu tidak mau reputasi ayahmu hancur begitu saja akibat dosa yang kau perbuat dengan Aeyoung. Mengerti?"

Jimin hanya diam. Dosa, katanya? Lucu sekali. 

"Tolong mengertilah, Hyung. Ini untuk kebaikan keluarga kita." Jungkook ikut bersuara.

Haa... Anak ini sama saja. "Jika itu yang hanya kalian khawatirkan sampai datang kesini, kalian tak perlu merasa khawatir. Aku memang sudah tidak peduli," jawab Jimin. 

"Baguslah," sahut Jungeum. "Karena urusanku sudah selesai, Ibu akan pulang."

"Iya."

"Titip salam Ibu untuk istrimu, Jim."

"Iya."

"Hyung, aku pulang dulu." 

"Iya." Jimin sudah lelah menyahuti keduanya. Jadi ia hanya menjawab seadanya.

Saat Jimin mengantar mereka ke pintu depan, mobil Maserati GranTurisimo sudah terparkir sempurna menjemput si pemilik. Setelah kedua matanya menyaksikan bagaimana Sang Ibu memasuki mobil begitu anggun bersamaan dengan Jungkook yang menunduk sekilas padanya—memberi hormat, hingga mobil mereka yang melesat meninggalkan rumahnya, Jimin langsung bergegas menuju kamar Yoojin. Mengkhawatirkan anak dan istrinya yang belum keluar sampai ibunya pergi.








AKHIRNYA BISA TERSAMPAIKAN JUGA RAHASIA NYA DI CHAPTER INI

HAYOO ADA YANG NYADAR NGGAK APA RAHASIANYA?

DIPERSILAKAN MENEBAK-NEBAK

SAMPAI JUMPA DI CHAPTER SELANJUTNYA

LUVV LUVV 💜💜💜

Fortsett å les

You'll Also Like

282K 881 9
LAPAK DEWASA 21++ JANGAN BACA KALAU MASIH BELUM CUKUP UMUR!! Bagian 21++ Di Karyakarsa beserta gambar giftnya. 🔞🔞 Alden Maheswara. Seorang siswa...
1.3M 18.7K 38
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...
281K 17.8K 44
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
1.3M 63.9K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...