In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

91.2K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

23. Stormy Heart

1.2K 278 43
By AdistaSucardy

Aku memasukkan satu demi satu pakaian ke dalam mesin cuci sembari menyortir. Terus-terusan beristirahat di kamar membuatku bosan luar biasa. Jadi, pagi ini aku ingin melakukan sesuatu; dan tiba-tiba saja mencuci adalah hal yang paling ingin kulakukan. Lagi pula energiku sudah kembali, aku tidak akan menghabiskannya hanya dengan berbaring. Itu justru akan membuat kepalaku sakit.

Jaket Mark menjadi yang terakhir dalam keranjang. Kurogoh setiap kantongnya untuk memastikan tidak ada yang tertinggal. Dahiku mengernyit saat tanganku menemukan sesuatu di saku kiri bawah; selembar foto polaroid yang kuambil di hutan. Agak kusut di bagian tepi, namun secara keseluruhan, potret di dalamnya masih sangat baik.

Tanpa sadar, kedua sudut bibirku tertarik naik menyadari aku masih bisa mendapatkan foto yang sempat direbut Mark secara curang dariku.

Kupandangi foto di tanganku, diam-diam mengagumi potret Mark yang kujepret dari sudut samping. Tulang hidungnya tampak tegas. Jaket hitam berleher tingginya membuat kulitnya semakin terlihat pucat.

Ia tampak damai bersandar punggung pada batang pohon maple dengan satu kaki ditekuk sembari memangku kameranya.

"Clavina?" Terdengar suara Mark memanggil-manggilku. Langkah kakinya terdengar tidak jauh. "Kau di mana?"

"Aku di sini." Suaraku menyahut.

Mark tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ia melirik baju-baju yang sudah tersortir untuk mulai kucuci. "Memangnya siapa yang mengizinkanmu mencuci?" tanyanya gemas. Ia mulai berjalan menghampiriku.

Aku mengkeret. Tanganku menyembunyikan foto yang baru kutemukan dari Mark.

"Kau ini baru sembuh, Clavina." Mark mengingatkan. Ia sudah berdiri menjulang tepat di hadapanku, kedua lengannya menyilang di depan dada.

"Aku tidak apa-apa," kilahku. "Aku sudah sehat dan aku ingin membantumu sedikit."

"Mengapa kau berpikir aku perlu dibantu? Biar aku yang membereskan semuanya nanti."

"Rasanya sangat tidak benar jika aku di sini tapi kau masih harus mengerjakan semuanya sendirian." Jemariku meremas ujung lengan sweterku yang telalu panjang.

Mark tersenyum. "Selama ini aku memang sudah terbiasa melakukan semuanya sendirian. Jadi, kau tidak perlu tiba-tiba merasa berkewajiban untuk meringankan pekerjaanku."

"Tapi aku ingin." Aku berusaha membuat Mark berubah pikiran. Sedetik kemudian, aku malah dibuat terkesiap karena tiba-tiba Mark meraih pinggangku dan mengangkat tubuhku menjauhi mesin cuci. Begitu mudahnya, hingga terkesan bahwa berat badanku tidak berarti apa-apa bagi Mark.

"Baik, tapi tidak sekarang, Clavina." Mark bergumam setelah memindahkanku ke tengah ruangan seperti manekin mungil. Tangannya lalu terulur untuk mengambil selembar foto dari tanganku sebelum aku sempat mengantisipasinya. "Dan kau harus mengembalikan ini kepadaku."

"Kau lupa bahwa itu milikku?" Aku memprotes. "Kau tidak bisa mengambilnya lagi begitu saja."

Mark mengangkat sebelah alisnya dengan dramatis. Ia memasang senyuman jahil.

"Mark..." erangku dengan wajah memohon.

"Aku senang mendengarnya setiap kali kau menyebut namaku dengan nada putus asa seperti itu." Mark bersidekap, memegang erat selembar foto di tangannya.

Aku melesat maju untuk merebut foto itu, namun Mark lebih gesit. Ia mengangkatnya ke udara hingga aku tidak dapat meraihnya.

"Itu foto pertamaku. Kau tidak mungkin sejahat ini." Aku berusaha memojokkan Mark.

"Bukan, Clavina. Foto pertamamu adalah elang terbang. Kaupikir aku tidak ingat itu?" Mark sepertinya masih ingin menggodaku. "Dan, apa? Menurutmu aku jahat?" Ia tersenyum menyebalkan.

"Tapi aku tidak menyukai foto elang itu." Aku menggerutu.

Mark mengerling foto yang masih diacungkannya ke udara. "Dan aku tidak menyukai potret diriku dalam foto ini."

Aku belum berniat untuk menyerah. Aku melesat lagi, berusaha merebut foto itu dari tangan Mark. Sayangnya, Mark masih berniat untuk mempermainkanku. Ia bermanuver, memutar tubuhnya, mengangkat foto ke udara hingga aku harus berjinjit-jinjit.

Aku berusaha mengimbangi kecepatan gerakan Mark, tapi ternyata itu adalah tindakan fatal. Aku tersandung kakiku sendiri hingga kehilangan keseimbangan dan mulai oleng ke belakang.

Kupejamkan mataku, bersiap untuk merasakan kerasnya permukaan lantai. Tapi yang terjadi selanjutnya justru berbeda; aku menyadari ada dua lengan kokoh menahan jatuhku.

Aku memberanikan diri untuk membuka mata. Mark sedang membungkuk di atasku. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang hangat. Tatapan kami saling mengikat. Jantungku seperti ingin melompat keluar. Laju waktu seolah tiba-tiba membeku.

Aku menyadari salah satu tanganku berpegangan erat pada lengan atas Mark, seolah-olah Mark adalah harapan terakhir yang dapat menyelamatkanku dari sesuatu yang berbahaya; dari jatuh ke jurang hitam yang dasarnya dipenuhi bebatuan tajam. Sementara itu, kedua lengan Mark masih memaut tubuhku. Aroma mint dan sandalwood terasa begitu dekat. Membius.

Mark memiringkan kepalanya, membuat dadaku langsung terasa menciut dan disesaki kepak kupu-kupu. Sorot kedua manik biru itu menghujamku dengan cara berbeda, yang belum pernah kulihat selama ini; seperti mendamba sekaligus putus asa.

Selama sepersekian detik, pikiranku seperti berkabut. Aku cepat-cepat mengumpulkan kesadaranku yang carut-marut dan bergegas menegakkan tubuh, kembali berdiri di atas kedua kakiku lalu mundur selangkah. Aku berani bertaruh bahwa pipiku sekarang pasti sudah semerah tomat yang kelewat matang.

Mark tampak terkejut karena aku bergerak begitu mendadak dan melepaskan diri darinya. Tapi kemudian, aku melihat salah satu sudut bibirnya melengkung membentuk sebuah senyuman memahami. "Hati-hati, Clavina."

Kerongkonganku terasa kering. Bernapas saja rasanya terasa begitu sulit setelah apa yang terjadi.

"Maaf," ucapku kikuk. Aku sama sekali tidak berani menatap lawan bicaraku.

"Untuk apa?"

Aku menelusupkan sejumput rambut ke belakang telinga, salah tingkah. Wajahku masih terasa dialiri sesuatu yang panas. "Motorikku payah."

Aku payah dalam segala hal; terutama menghadapi Mark.

"Jangan khawatirkan itu."

Aku melihat Mark mengulurkan foto yang sedari tadi kami perebutkan. Akhirnya tatapan kami saling bertemu lagi.

"Milikmu." Mark tersenyum simpul.

Kuterima foto itu, merasa sangat lega. "Trims."

"Clavina..."

"Ya?" sahutku lirih, penuh antisipasi.

"Mau ikut aku ke studio?"

Jantungku berulah lagi. Ya ampun, aku tidak mungkin bisa berduaan saja bersama Mark setelah apa yang terjadi.

"Uh... aku..." Kalimatku menggantung di udara selama dua hela napas. "Aku sedang punya target membaca. Aku ingin ke perpustakaan saja setelah ini."

"Mau kutemani?"

Aku langsung gelagapan. "Kurasa tidak perlu. Aku butuh keheningan untuk berkonsentrasi. Maksudku, kau bukannya akan mengganggu. Aku hanya⸺"

"Kau tidak perlu repot-repot berusaha menjelaskannya kepadaku," potong Mark dengan nada penuh pengertian. "Aku akan memberimu ruang. Jangan khawatirkan itu."

Aku mencari-cari jejak rasa ketersinggungan yang mungkin dapat kutemukan pada air muka Mark. Tapi tidak ada, ia hanya tersenyum samar. Matanya menatapku seperti seorang kakak laki-laki yang sedang memaklumi apa yang kupilih.

Aku mengangguk kecil. "Kalau begitu sampai nanti," ucapku seraya berjalan canggung melewati Mark. Tanganku memegangi tepian foto polaroid erat-erat. Entahlah, aku sendiri tidak yakin apakah itu adalah ucapan yang tepat.

"Sampai nanti."

Aku mengembuskan napas luar biasa panjang dan berat setelah tiba di ruang perpustakaan. Pikiranku berkecamuk.

Apa itu tadi?

Itu seperti bukan sebatas insiden aku hampir terjatuh dan Mark menangkapku. Ada sesuatu yang lain.

Mark sempat terlihat berbeda. Sebelum ini, ia selalu terlihat seperti menguasai situasi setiap kali berada di dekatku. Tapi tadi, selama sepersekian detik, aku melihat kilatan lain dalam matanya.

Kuhirup dalam-dalam aroma buku di sekelilingku, berharap itu bisa memberikan rasa nyaman. Tapi tidak, bau khas kertas-kertas dan sampul tua hanya lewat sambil lalu tanpa meninggalkan kesan apa pun.

Ada sesuatu yang tidak dapat kupungkiri kebenarannya; kian hari, lapisan pembatas yang memisahkanku dengan Mark terasa semakin tipis. Gagasan bahwa kami akan menjalani pernikahan ini secara kasual, layaknya dua orang teman, sepertinya semakin kehilangan maknanya. Memudar seiring waktu.

Tapi siapa sebenarnya yang mengikis lapisan pembatas itu sedikit demi sedikit?

Mark?

Ia memang terus berusaha membuatku merasa 'ditemani' di rumah ini, tapi ia juga selalu siap memberiku ruang dan jarak setiap kali aku memerlukannya. Aku mungkin tidak selalu mengatakannya, tapi Mark selalu paham setiap kali aku menarik diri. Ia berusaha menumbuhkan persahabatan dan rasa nyaman di antara kami, tapi ia tidak pernah memaksakan sesuatu.

Atau, mungkinkah ini hanya perasaanku saja?

Aku tidak pernah cukup dekat dengan laki-laki, apalagi hidup seatap seperti ini. Aku tidak bisa memahami isi pikiran Mark. Mungkinkah ini semua hanyalah sikap 'ramah-tamah' semata? Karena sedari awal, ia memang ingin aku perlahan menyembuhkan diri dari luka batinku. Ia ingin membantuku.

Mungkin, ia hanya bersikap bersahabat.

Dan aku sepertinya mulai salah menerjemahkan apa yang sedang kami jalani.

Mungkin aku salah, tidak ada yang berbeda pada Mark. Tidak ada yang berubah di sini selain perasaanku sendiri.

Kutumpukan lenganku di atas meja. Buku Tale of Two Cities di hadapanku sudah sepenuhnya kuabaikan. Tatapanku justru terpaku pada foto polaroid yang mengabadikan wujud Mark. Sosok yang diam abadi dalam kertas itu mengirimkan badai pada bilik-bilik jantungku.

Ikatan pernikahan ini dimulai tanpa adanya perasaan. Tapi kini aku mulai mencemaskan satu hal; sepertinya di antara kami, aku yang lebih dahulu 'jatuh'.

Bagaimana jika hingga nanti hanya aku?

Aku masih ingat Mark pernah mengatakan bahwa ia akan mengesampingkan perasaannya demi tetap melangsungkan pernikahan kami. Meski ia tidak mencintaiku.

Tapi aku tidak ingat ia pernah mengatakan bahwa ia akan membiarkan perasaannya berubah, dari yang tak berdenyut menjadi berdegup.

Tiba-tiba, aku merasakan sesuatu mirip gumpalan yang terasa menyakitkan di tenggorokanku. Kedua mataku memanas.

Aku sudah retak setelah mengalami serangkaian tragedi. Dan aku tidak ingin membiarkan yang tersisa pada diriku remuk; karena patah hati.





[Bersambung]








Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 273K 54
Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusaknya sejak 7 tahun lalu. Galenio Skyler hanyalah iblis ya...
173K 32K 34
Terpilih sebagai salah satu traveler pada acara Around the World adalah kehormatan yang nggak pernah kusangka-sangka. Apalagi destinasi season ini ad...
28K 1.8K 31
[Kumpulan Cerpen] #DWCNPC2019 30 hari, 30 tema, dan 30 kisah. Singgahilah dunia berbeda yang ada di dalam sini satu per satu dan rasakan sensasinya...
Hidden Object By Sekar Aruna

Mystery / Thriller

10K 2.2K 18
Nivriti memiliki hobi memotret tempat-tempat yang sudah lama terbengkalai. Suatu hari dia mengunjungi sebuah bangunan tua peninggalan Belanda yang su...