Al masih setia berdebat dengan Rexi di dalam kamar wanita itu. Benar-benar membosankan.
Baru saja Rexi bergegas untuk keluar dari kamarnya, tetapi Al tiba-tiba memeluknya dari samping.
"Al!" kesal Rexi memperingati.
Al menggelengkan kepalanya, Rexi yang paham akan hal itu langsung menghela napas kasar.
"Sialan! Terserah lo, Bangsat!" kesal Rexi dan kembali duduk di tempatnya semula.
"Pindah lo!" tegas Rexi sambil mendorong Al dengan kasar.
Al melepaskan pelukannya, lalu mendecih kesal.
"Bisa enggak, sehari aja lo manjain gue, Rex?!" tanya Al kesal.
Rexi langsung menatap Al dengan tajam.
"Manja apalagi, sih, Dajjal?! Apalagi yang kurang, Anjing?!" tanya Rexi kesal dan emosi.
"Gue udah nurut apa kata lo. Gue udah kasih lo akses buat tanda kiss mark gila ini di leher gue. Apalagi yang kurang, Bangsat?!" tanya Rexi emosi.
"Ada baiknya kalau lo keluar aja deh. Enek gue lihat muka sok polos lo itu," kata Rexi malas, kemudian mengalihkan pandangannya untuk menatap ke arah lain.
"Heh! Gue Abang lo, Rex!" tegas Al.
Rexi yang mendengarkan penuturan dari Al langsung melirik ke arah pria itu dengan cepat.
Kedua bola mata Rexi menatap Al dengan begitu datar.
"Abang?" ulang Rexi.
"..."
"Oke. Bisa enggak, Abang keluar dari kamar gue? Adik tercinta lo ini," kata Rexi lagi saat Al tak menjawab ucapannya yang sebelumnya itu.
"Fuck! Gue tarik kata-kata gue!" kesal Al sambil melipat kedua tangannya dengan santai di depan dada.
"Iya, dia itu cuma Abang lo doang, Rex. Dia cuma kakak tiri
Kakak tiri lo, Rex. Enggak akan pernah lebih, selamanya enggak akan pernah lebih, Rex," batin Rexi sambil tersenyum kecut.
Al yang melihat diamnya Rexi malah diam-diam mengamati gadis mungil itu, bahkan dia berusaha untuk membaca mimik wajah Rexi yang sekarang tampak terlihat tak enak.
"Benar sama apa yang dibilang sama Renata buat Lo, Rex. Lo itu cuma budaknya Al. Lo cuma mainannya Al. Lo jadi bahan utama di sini buat puasin nafsu Al yang sesaat itu," lanjut Rexi di dalam hatinya.
Al mulai curiga saat melihat Rexi tengah menahan air matanya sambil menggigit bibir bawahnya dengan kuat.
"Lo lagi enggak mikir aneh-aneh, kan?" tanya Al penasaran.
"..."
Rexi mengangkat pandangannya, lalu menatap Al sambil tersenyum kecil.
"..."
"Apa yang harus gue lakuin, biar lo dan gue bisa lupa satu sama lain, Alvaro Addison terhormat?" tanya Rexi tenang.
"..."
Al bergeming.
"Well, kalau boleh jujur, gue udah muak dan bosan sama kondisi ini, Al. Lelah disetiap hari. Gue mau jauh-jauh dari lo, Al ..." Rexi menundukkan kepalanya.
"Gue udah muak! Benar-benar sangat muak!" tegas Rexi lagi.
"..."
Perlahan Rexi mengangkat pandangannya.
"Tolong Al, jangan perlakuan gue kayak gini, Al. Gue kayak lo anggap mainan aja, Al. Gue bakalan jauh-jauh dari lo dan bakalan hilang dari hidup lo, Al. Apa yang harus gue lakuin biar bisa wujudkan impian gue, Al?" tanya Rexi putus asa.
"..."
Al terdiam beberapa saat dengan mata yang terus menerus memperhatikan kelakuan dan gerak-gerik Rexi sedari tadi.
Seketika Al tersenyum menyeringai.
"Oke!" putus Al.
"Gue kasih satu syarat kalau lo mau gue jauh dan hilang di dalam hidup lo," kata Al lagi.
"..."
"Gue akan pergi, asalkan di sini ..." Al mengelus perut rata Rexi dengan lembut. "Ada punya gue," lanjutnya sambil tersenyum menyeringai.
Mana mungkin Rexi menerima tawarannya? Rexi itu bukan wanita murahan yang dengan senang hati menerima sperma Al hanya untuk membuat Al jauh darinya.
Jadi, jangan heran kalau Al memberikan syarat gila dan bodoh seperti itu.
Rexi membulatkan matanya karena kaget. Jantungnya bahkan berdebar dengan begitu cepat.
"Al bakalan hilang dari hidup gue kalau gue hamil anak dia?! Ini gila!" tolak Rexi di dalam hati sambil menggelengkan kepalanya dengan cepat.
"Tapi, syarat ini buat gue untung kalau mau Al terpenuhi. Al bisa hilang dari hidup gue," batinnya di dalam hati.
"..."
"Dan juga rugi," lanjutnya sambil menatap Al dengan putus asa.
Oh sial! Rexi sekarang terjebak di dalam sebuah pilihan.
Meminta Al untuk bertahan sama saja meminta Al untuk memperlakukan dirinya layaknya binatang.
Meminta Al untuk menghamilinya dan berakhir Al menghilang dari hidup Rexi, tetapi apa yang Rexi buat jika dia sudah melahirkan.
"Waktu lo buat mikir cuma ada lima menit," kata Al sambil tersenyum manis. Ah ... Lebih tepatnya meledek.
"Lo-"
Baru saja Rexi ingin protes, tetapi Al memasang senyum tenangnya dan berhasil membuat Rexi langsung terdiam begitu saja dibuatnya.
"Enggak akan ada lagi syarat setelah ini, dan enggak akan ada kesempatan lagi biar gue jauh dari lo dan menghilang dari kehidupan lo," jelas Al mengompori.
"..."
"Waktu lo berkurang satu menit!" kata Al tinggi saat setelah melihat jam tangannya.
"..."
"Tik. Tik. Tik. Waktu terus berjalan tanpa henti," kata Al lagi.
Rexi sudah mulai tampak bingung dan juga uring-uringan sendiri. Al benar-benar busuk harinya.
"..."
"Dua menit, lima belas detik berlalu," kata Al lagi.
"..."
"Aish!" Rexi menjambak rambutnya.
"Gue harus gimana?!" tanyanya pada diri sendiri dengan kesal dan muak.
Al menyunggingkan senyum kemenangannya saat melihat Rexi kebingungan untuk memilih pertanyaan yang sudah dia buat untuk wanita itu.
Waktu bahkan berlaku dengan cepat, bagai tak ada beberapa menit saja.
"Sepuluh. Sembilan. Delapan. Tujuh. Enam. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu! Habis!" pekik Al.
Al menarik pergelangan tangan Rexi dengan kasar.
"Mohon jawabannya, nona," bisik Al dengan sinis pada daun telinga kanan Rexi.
***
- Sisi Lain -
Ice tengah berjalan di koridor kampusnya dengan tenang.
"Oh Tuhan! Enak banget rasanya kerja tugas ngebut. Enggak pulang malam dan enggak bikin capek!" gumam Ice antusias.
Ice merenggangkan ototnya, lalu berjalan masuk mobilnya usai membuka pintu mobil.
"Hari ini, gue bakalan Q'time sama Rexi. Udah lama banget gue enggak Q'time sama dia," gumam Ice sambil tersenyum kecil.
Ice mulai menginjak gas mobilnya menuju salah satu kafe kesukaannya.
Tak butuh waktu lama, Ice sudah sampai di kafe kesukaannya.
Kali ini Ice ingin membeli kopi untuk menyegarkan otaknya yang sudah sangat lama itu dipenuhi mata pelajaran kuliah.
Saat setelah memesan dua cup kopi, Ice berniat kembali ke mobilnya, tetapi dia melihat seorang wanita yang sepertinya cukup familiar pada ingatan.
"Siapa wanita itu? Wajahnya cukup familiar," gumam Ice sambil menyeruput kopinya.
"..."
Ice terdiam beberapa saat untuk kembali mengingat wanita tadi.
Sebenarnya Ice ingin bertemu dengan wanita tadi, tetapi dia urungkan karena wanita itu berlari menuju salah satu bus yang tadinya singgah di halte tak jauh dari posisinya.