In A Rainy Autumn [END]

Af AdistaSucardy

91.1K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... Mere

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

18. A Little Dance by The Fireplace

1.3K 288 35
Af AdistaSucardy

Ketika memasuki ruangan perapian, pandanganku kembali tertuju pada foto elang besar berkepala putih dalam pigura. Burung itu tampak gagah dipotret dari sudut samping. Matanya berkilat tajam mendongak menatap langit biru.

"Itu Ares." Mark ikut melirik foto itu sekilas sembari menambahkan dua balok kayu ke dalam perapian untuk memperbesar nyala api. Sementara itu, aku hanya berdiri bersidekap di depan foto, memandangi Ares dengan lebih lekat. "Aku menemukannya di tengah hutan saat memotret. Saat itu Ares masih bayi, kakinya terluka karena jatuh dari sarang. Aku memutuskan untuk merawatnya di rumah dan membelikannya kandang kecil. Ares menjadi temanku satu-satunya di sini. Aku menyayanginya. Saat ia sudah tumbuh dewasa dan cukup kuat, aku mulai membuka pintu kandangnya supaya ia bisa mencari makan sendiri dan pulang saat senja. Sayangnya, sejak saat itu ia pergi dan tidak pernah kembali."

"Akhir cerita yang pahit untuk sebuah tindakan heroik," komentarku masam. Tatapan penasaranku pada Ares berubah menjadi sorot sedih.

Mark membersihkan telapak tangannya yang tadi menyentuh kayu kering dengan sambil lalu. "Alam liar adalah tempat di mana seharusnya Ares berada. Aku tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal hanya karena aku kesepian." Ia mengucapkan kalimat terakhir itu dengan nada bercanda.

Tapi itu justru terdengar sendu di telingaku. Kesepian itu membunuh, aku tahu benar tentang itu. Aku tahu rasanya sendirian.

"Mencintai sesuatu yang berjiwa bebas selalu memiliki risiko, ya." Aku bergumam tidak jelas sembari berdiri menikmati nyala perapian yang kini terasa semakin hangat karena api sudah membesar. "Kita harus siap untuk melepaskan dan ditinggalkan karena mereka mengikuti panggilan dari dalam diri mereka."

Aku tidak tahu mengapa kalimat itu seperti membuat Mark tiba-tiba tercenung. Kami berdiri saling berhadapan di depan perapian yang menciptakan kilatan-kilatan cahaya lembut di wajah. Mark menatapku dengan cara yang menyimpan artian sulit ditebak. Ia lalu tersenyum samar, nyaris tidak kentara.

Aku merenung. Apakah aku salah bicara?

Mark menghampiri lemari kecil yang menjadi satu-satunya perabotan di sini selain sofa panjang merah tua di tengah ruangan. Ia mengeluarkan sesuatu yang terlihat seperti sebuah buku berukuran besar lalu mengajakku duduk.

"Sudah lama aku ingin menunjukkan ini, tapi tidak pernah menemukan saat yang tepat." Mark membuka buku besar bersampul gelap yang ternyata sebuah album foto. Ia menunjukkan sebuah potret berlatar pemandangan rawa-rawa dengan langit cerah di atasnya. Mark menyodorkan foto itu lebih dekat denganku dan menungguku bereaksi.

Mataku terpana melihat potret dua orang pria di atas perahu kecil yang ditepikan pada bibir danau rawa. Aku mengenali dua sosok pria itu; Mark dan ayahku. Mereka berpose unik dengan bersama-sama memegang ikan berukuran besar sambil tersenyum lebar di bawah topi-topi mereka.

"Foto ini diambil sekitar tiga tahun yang lalu," jelas Mark. "Kami memang sering memancing bersama."

Pandanganku masih terpancang pada foto. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba hadir di sudut rongga dadaku melihat kentalnya keakraban Mark dan ayahku dalam potret itu. Tanpa sadar, aku menarik seutas senyuman tipis.

"Itu satu-satunya foto ayahmu yang kumiliki, tapi kau boleh menyimpannya jika kau mau,"

"Benarkah?" Aku menatap Mark terkejut.

Mark tersenyum lembut, mengangguk.

"Terima kasih," ucapku lirih. "Tapi aku tidak ingin menyimpannya sendirian. Bagaimana jika foto ini dipasang di atas perapian saja? bersama Ares."

"Ide yang bagus," sahut Mark. "Besok akan kucarikan bingkai yang sesuai dengan ukurannya."

Aku menunduk memandangi album foto lagi. "Apakah aku boleh melihat foto-foto yang lain?" tanyaku hati-hati. Aku meminta izin terlebih dahulu karena tidak ingin lancang. Sebagai seorang fotografer, setiap foto pasti memiliki nilai yang sangat personal bagi Mark.

"Tentu saja," jawab Mark dengan nada mengayomi. "Jangan sungkan-sungkan."

Aku membuka halaman-halaman album foto berikutnya. Kebanyakan berisi foto pemandangan; sisi bagian dalam hutan dengan pohon-pohon pinus besar menjulang, air terjun, lembah-lembah terjal, hingga penampakan seekor rusa jantan bertanduk megah di balik semak berkabut. Ada pula foto sisi rumah dekat pohon ek tua yang dicetak dengan tone sangat dingin dan exposure rendah sehingga terlihat begitu muram.

Biasanya album foto berisi kenangan-kenangan bersama teman dan sanak keluarga. Tapi album foto Mark hanya berisi foto-foto pemandangan. Kecuali selembar foto bersama ayahku tadi.

"Kau juga mencetak foto-foto ini di dark room?" Aku bertanya penasaran, berusaha mengalihkan pikiranku dari gelenyar kesedihan yang mulai berusaha menyusup masuk.

"Ya. Semuanya." Mark menyandarkan lengannya pada punggung sofa dan mencondongkan tubuh lebih dekat denganku, ikut memandangi foto-foto.

Pada halaman terakhir, aku sontak berhenti lama karena melihat selembar foto candid Mark. Ia sedang mengendarai mobil offroad atap terbuka di tengah tempat gersang dan jalanan terjal. Ia memakai kacamata hitam, seluruh pakaiannya juga berwarna senada. Kedua tangannya sedang memegangi roda kemudi, rautnya terlihat serius sekali. Rahangnya yang tegas ditumbuhi cambang dan kulitnya sedikit kecoklatan terbakar matahari.

"Aku tidak tahu foto itu masih berada di situ," Mark sendiri tampak terkejut. "Rekan memotretku yang mengambil foto itu saat kami berada Arizona tahun lalu."

"Kau tidak punya banyak foto diri di sini," gumamku.

"Aku suka memotret, tapi tidak suka dipotret." Mark berujar ringan.

Aku menoleh penasaran. "Kenapa?"

Mark mengedikkan bahu. "Tidak ada alasan khusus. Aku hanya lebih suka berada di belakang kamera."

Aku mengangguk paham. "Ngomong-ngomong," kugantungkan kalimatku selama beberapa detik. "Sejak kau lebih fokus memotret, kau berhenti bekerja di percetakan ayahku?" tanyaku penasaran.

Mark mengangguk. "Ya. Awalnya aku melakukannya dengan berat hati. Biar bagaimana pun, percetakan ayahmu adalah tempat pertama di mana aku menata ulang kehidupanku. Tapi aku tidak ingin menetap jika aku tidak bisa memusatkan seluruh perhatianku di sana. Dan, ya. Sejak saat itulah fotografi menjadi duniaku sepenuhnya. Hidupku hanya tentang memotret dan mengolah gambar-gambar."

Perhatianku terpaku pada Mark sepenuhnya. Aku tidak tahu mengapa setiap Mark membicarakan tentang fotografi, ada semangat yang memancar dari dalam dirinya. Dan itu menular.

Tiba-tiba, aku rindu menulis.

Lamunanku pecah ketika Mark mengeluarkan ponselnya dan mulai memutar musik klasik. Canon in D Major karya Johann Pachelbel. Seketika, udara ruangan perapian semakin terasa hangat oleh alunan violin lembut. Minimnya perabotan membuat alunan musik menjadi terdengar lebih dominan.

Mark meletakkan ponselnya di atas lengan sofa dan bangkit dari tempat duduknya. Ia berdiri di hadapanku dan tiba-tiba membungkuk. Tangannya terulur kepadaku.

Kedua mata biru Mark menatapku dalam. "Clavina Rose, maukah kau berdansa denganku?"

Aku terkesiap. Sama sekali tidak menyangka Mark akan melakukan itu. Selama beberapa degupan jantung, aku hanya membeku. "Aku tidak bisa berdansa."

"Aku tidak peduli itu. Aku akan membimbingmu."

Setelah bergulat dengan keraguan selama beberapa saat, akhirnya aku memutuskan untuk menerima uluran tangan Mark. Dengan sangat lembut, ia membimbingku ke ruang kosong di antara karpet sofa dan perapian. Mark memegang satu tanganku di sisi tubuhnya, sedangkan tanganku yang lain diletakannya di atas pundaknya. Setelah itu, ia melingkarkan satu lengannya di pinggangku.

Di luar, gerimis mulai turun.

Mark membimbingku bergerak dalam langkah-langkah sederhana yang masih cukup mudah untuk kuikuti. Kami sama-sama tenggelam dalam alunan indah mahakarya Pachelbel dan suasana tenang ruang perapian. Mark tidak sedetik pun berhenti menghujaniku dengan tatapan lembut dan senyuman tipis yang membuat jantungku seolah berjingkrak-jingkrak bersama kupu-kupu penghuni perutku.

Mark merengkuhku mendekat, membuatku menahan napas karena gugup. Tubuhku terasa sangat hangat. Musik terus melantun seperti lilitan tak kasat mata yang menyatukan kami, memandu setiap arah langkah kami. Perbedaan mencolok tinggi badan kami tidak menjadi masalah. Mark terus menunduk untuk mengatasi itu.

Berulang kali aku bertanya kepada diri sendiri; apakah ini nyata?

Kukira berdansa dengan alunan musik klasik di depan perapian, saat rintik-rintik hujan sedang turun, bersama sesosok laki-laki seperti Mark, selamanya hanya akan menjadi sebatas khayalan. Kukira hal seperti ini hanya akan kutemui di dalam buku-buku, bukan di kehidupanku sendiri.

Tapi ini benar-benar terjadi. Aku di sini. Mark, dansa ini, semuanya nyata.

Ya. Segalanya terasa begitu membius, hingga akhirnya kegugupanku tiba-tiba memberontak, menolak mentah-mentah untuk kukalahkan. Aku kehilangan konsentrasi saat Mark semakin menatapku dalam dan mempersempit jarak yang tersisa di antara kami. Kakiku bergerak ke arah yang salah dan tanpa sengaja menginjak kaki Mark. Aku refleks menghentikan gerakan dansa dan langsung melompat mundur.

"Oh, Maaf!" ucapku salah tingkah. "Sudah kubilang kan aku tidak bisa berdansa?" Pipiku yang tadinya sudah terasa panas kini semakin membara.

"Ayolah, tidak perlu panik seperti itu. Kau bukan baru saja tertangkap basah melakukan tindakan kriminal penculikan bayi. Santailah, kau hanya menginjak kaki. Itu bahkan tidak terasa." Mark tersenyum geli. "Sekarang, ayo coba lagi." Ia kembali mengulurkan tangan.

Aku memandang ragu uluran tangan itu.

"Setidaknya, satu lagu lagi sebelum kita tidur." Mark menatapku penuh harap.

Kusambut uluran tangan Mark dan memutuskan untuk mencoba lagi. Mark memberi perintah suara kepada Google Assistant untuk memutar kembali Canon in D Major.

Musik kembali mengalun. Kami berdansa sekali lagi dibarengi dengan suara hujan yang semakin deras. Retihan kayu dilalap api sesekali menyela, ikut mewarnai udara.

Malam kian turun. Hatiku terasa hangat dan penuh.




[Bersambung]


Fortsæt med at læse

You'll Also Like

7.1K 888 25
Bukan keinginanku menjadi berbeda dari kebanyakan orang. Mata inilah yang membuatku berbeda dan sumber dari segala kesengsaraan yang aku alami. Sepas...
383K 11.6K 12
Song Series #1 One day I'll forget about you You'll see I won't even miss you [Someday - Nina] Kyara Maisy sangat menyadari bahwa pernikahannya denga...
224K 46.1K 31
Apa yang ada dalam bayangan kalian ketika dengar nama Genghis Khan pertama kali? Badan gempal, mata segaris, brewok lebat, sosok gahar yang mengintim...
756K 18K 5
"He showed equivocal actions." "I heard her nagging voice." Diara pernah berbuat satu kali kesalahan. Tidur bersama kakak dari kekasihnya. Karena sat...