[✔] 5. 真実 [TRUTH] : The Prolog

By tx421cph

3.2M 443K 752K

The Prolog of J's Universe ❝Tentang cinta yang murni, keserakahan, hingga pertumpahan darah yang membawa peta... More

Pembukaan
Tokoh : Bagian 1
Tokoh : Bagian 2
Tokoh : Bagian 3
00
01. Para Giok Kerajaan
02. Nyanyian Naga Emas
03. Tangisan Hutan Neraka
04. Amarah Zamrud Hijau
05. Dewi Penjaga Lembah Surga
06. Kisah Kelam Anak Raja
07. Dongeng Sang Penyair
08. Punggung Putih Sang Peony
09. Pangeran Yang Diberkati
10. Sang Matahari Menaruh Hati Pada Peony
11. Bertanya Pada Roh
12. Dewi Kemalangan
13. Aku Mencintaimu
14. Payung Merah
15. Hati Sang Naga
16. Kasih Tak Sampai
17. Tangisan Para Adam
18. Terikatnya Benang Merah
19. Aliansi
20. Pedang Bermata Dua
21. Perangkap
22. Pilar Yang Patah
23. Setetes Darah Di Telaga Surgawi
24. Yin
25. Kekalahan Yang
26. Bencana Surgawi
28. Naga Emas VS Yin
29. Ksatria Terbuang
30. Kisah Janji-Janji Lampau
31. Sekat Terkutuk
32. Serpihan Setangkai Bakung
33. Mimpi Buruk Putra Naga
34. Pedang Bermata Dua
35. Darah Di Ujung Pedang
36. Menyingsingnya Matahari
37. Awal Mula Kehancuran
38. Zamrud Beracun
39. Kubangan Berdarah
40. Tawanan Raja
41. Peony Berdarah
42. Pion-Pion Yang Patah
43. Sang Pembelot
44. Pion terakhir
45. Permata Tersembunyi
46. Pelarian Panjang
47. Aliansi Terdesak
48. Rubah Di Balik Jubah
49. Sebuah Janji
50. Keturunan Sang Naga
[Final - Bagian I] Pedang Dan Bunga
[Final - Bagian II] Tangisan Terakhir Merak Putih
[Final - Bagian III] Akhir Para Legenda
Son of The Dragon
The J's Universe
Mother of The Dragon

27. Istana Para Iblis

31.1K 5.5K 12.2K
By tx421cph


Song recommendation 

BTS - Black Swan (orchestral)


Selamat Membaca


Tangan itu memeluknya dengan sangat erat. 

Tangan yang terasa besar dan kasar. 

Tangan yang dingin.

Tangan yang enggan untuk melepaskannya. 

Perempuan itu masih gemetaran. Semalam suntuk dia bahkan tak bisa terlelap dengan nyenyak, mimpi buruk menyerangnya setiap di berhasil masuk ke alam bawah sadar, dan lagi-lagi keringat dinginnya akan jatuh membasahi pelipis 

Sudah pagi di luar. Son Je Ha tidak mau membuka matanya, berpura-pura tidur, meski dia tahu pria di belakangnya sudah bangun semenjak fajar belum menyingsing. 

Wang Jae terus menerus menciumi tengkuk lehernya, sesekali mengendus helaian rambut hingga kulit pundaknya. Dia mengeratkan pelukan di bawah selimut, membuat kulit mereka bersentuan, membuat Son Je Ha merinding.

Mengingat apa yang telah dilakukan pria itu, Si gisaeng benar-benar hanya ingin membunuh dirinya sendiri sekarang. 

Ketika melihat bercak kemerahan di kulitnya, entah mengapa dia merasa sangat jijik dan ingin menguliti dirinya sendiri. 

Ini sangat berbeda saat dimana dia akan tersipu hingga wajahnya memerah ketika melihat bekas kemerahan yang ditinggal oleh Panglima Hwang. 

Je Ha hanya mau disentuh oleh Hwang Je No.

Namun pria angkuh yang mengatasnamakan kasta dan kedudukan, telah melakukan perbuatan tidak bermoral yang membuatnya ingin menangis darah. 

Kemudian, Sang Pangeran berbisik di telinganya. "Aku tahu kau sudah terbangun." 

Wang Jae tersenyum, menopang tubuhnya dengan siku, kemudian mendaratkan satu ciuman yang sangat lembut di pelipis wanitanya. 

Benar-benar selembut itu hingga bisa saja membuat wanita-wanita di luar sana terbuai.

Son Je Ha masih tak bergerak, dia kaku bak mayat yang mengeras. 

"Kau pasti kelelahan," Wang Jae masih bersuara dengan lembut, membelai surai helai demi helai. "Istirahatlah lebih lama, aku akan kembali lebih dulu." 

Mendadak, Pangeran yang semalam terlihat seperti serigala liar yang hendak menerkamnya kini bersikap begitu lembut secara tiba-tiba. Bukannya tersentuh, Son Je Ha merasa semakin muak.

Ini seperti Wang Jae benar-benar tidak merasa berdosa sama sekali. 

Kemudian, pria itu segera bangkit dari tidurnya. Dia memakai seluruh pakaiannya dengan cepat dan merapikan rambut. Merapikan futon yang berantakan, menyelimuti Son Je Ha hingga sebatas dagu, kemudian meninggalkan ciuman perpisahan yang manis. 

"Aku akan menemuimu lagi," katanya, memakai tudung jubahnya dan melompat keluar jendela. 


———oOo———


Satu hari sebelumnya. 

"Katakan padaku. Semuanya."

"Jae! Kau boleh mendengarkan kenyataan mengenai tragedi 24 tahun lalu, tapi tidak dari mereka!!"

Wang Hun memicing ke arah saudaranya, "Han, apakah benar-benar seburuk itu prasangkamu terhadap Jin hyung? Hyung-nim hanya ingin Jae mengetahui semuanya agar dia tahu siapa yang seharusnya dia pihak."

"Kalian hanya akan semakin memecah persaudaraan kalian sendiri!!!"

"BISAKAH KALIAN DIAM?!!" 

Wang Jae berteriak, dan itu benar-benar berhasil membuat Wang Han langsung terdiam. Pangeran ke lima itu nampak cemas, dan ia merasa bahwa ini akan menjadi—

"Apakah insiden itu berhubungan dengan Yeol hyung-nim?" Tanya Wang Jae, ekspresinya tampak suram. 

"Sebenarnya tidak, tapi aku memiliki alasan mengapa Wang Yeol patut untuk kau benci," Jin menjawab dengan sangat lugas. 

Kening Wang Jae semakin kusut.

Wang Han menghembuskan napas panjang. Sadar bahwa dia tidak memiliki siapapun di pihaknya. 

Guan Yu berdiri ambang pintu setelah menutup pintu tersebut, mendengarkan dengan seksama. 

"Ratu Daemok adalah penyebab utama mengapa ibumu meninggal, dia tidak menyukai ibumu, bahkan sebelum Raja membawanya ke istana," Jin membuka kalimat. 

Hanya dari kalimat pembuka, Wang Jae sudah mulai menunjukkan ketekejutannya. 

"Yang Mulia ingin menikahimu ibumu, namun semua orang menentangnya. Itu karena ibumu bukan siapa-siapa, dia hanyalah seorang wanita pemburu yang berasal dari desa terpencil di ujung Goryeo. Ratu Daemok yang mendapat banyak dukungan dari para petinggi kerajaan, kemudian merencanakan sesuatu, dia terus menerus meneror ibumu, membuat ibumu melarikan diri dari kerajaan setelah kau dilahirkan." 

Aula itu seketika menjadi begitu menegangkan.

Guan Yu yang mendengarkan, tampak memicing, kemudian menyeringai tipis. Ini akan menjadi kisah yang sangat menarik, pikirnya. 

"Tak sampai di situ, Ratu Daemok kemudian membakar desa ibumu. Membakar seluruh desa beserta rakyatnya hidup-hidup, membakar kakek dan nenekmu. Saat Raja dan Tuan Seon Ji Won pergi untuk mencari ibumu, yang tersisa hanyalah abu, desa di penghujung Goryeo itu lenyap." 

Wang Jae mengepalkan tangan, pandangannya nampak kosong, seperti dia sedang tenggelam dan menyaksikan kisah itu dengan matanya sendiri. 

"Lalu bagaimana... apa tindakan Raja kemudian?" 

"Beberapa tahun yang lalu, rahasia ini nyaris terbongkar, tapi Wang Yeol segera menutupinya dengan baik. Sebagai ganti untuk melindungi ibunya, dia memfitnah seorang menteri tidak bersalah, pria tua yang tidak tahu menahu mengenai tragedi itu." 

"ITU TIDAK SEPERTI CERITA YANG KU DENGAR!! YEOL HYUNG TIDAK PERNAH MELAKUKAN HAL SEPERTI ITU!!" Han berteriak dengan lantang, menunjuk Jin dengan tajam. 

Jin meliriknya, menatapnya datar. "Itu karena kau hanya mendengarkan setengah ceritanya, Han. Tapi aku mendengarkan semuanya langsung dari Wang Yeol, dia bercerita kepadaku betapa dia selalu merasa bersalah terhadap Wang Jae, dan tidak siap untuk mengatakan yang sebenarnya." 

Kepalan tangan Wang Han gemetar, dia sendiri baru pertama kalinya mendengar cerita terakhir. 

"Tidak pernah ada yang tahu kenyataan ini selain Tuan Seon dan juga aku, lalu aku memberi tahu Hun sebelum aku mengajaknya beraliansi," Jin memejamkan mata sejenak, kemudian dia mengangkat kepala dan menoleh ke arah Wang Jae. "Tak hanya tragedi 24 tahun yang lalu, Wang Yeol selalu menutupi semua hal-hal kejam yang dilakukan ibunya dengan mengorbankan orang lain." 

Baik Wang Jae maupun Wang Han yang sama-sama baru mengetahui fakta itu, hanya bisa membisu dengan perasaan campur aduk. 

"Bahkan kematian ibuku," lanjut Jin, dia nampak sedikit parau saat mengatakannya. "Ratu Daemok ketahuan meracuni Wang Jae, namun Wang Yeol membalikkan tuduhan itu kepada ibuku." 

"Wang Yeol... yang melakukannya?" Jae menatap dengan nanar. "Bukankah Ratu sendiri yang menuduh ibumu?"

"Ya, Ratu Daemok yang melakukannya, namun Wang Yeol yang menyarankan rencana itu." 

"Itu... tidak mungkin..." mata Wang Han mulai basah. 

"Kalian tahu, begitu banyak dosa besar yang dilakukan oleh Ratu Daemok dan Wang Yeol selalu melindunginya. Baik, kesampingkan mengenai posisinya sebagai Putra Mahkota, namun... tidakkah kalian berpikir jika dia tidak memikirkan perasaan saudara-saudaranya? Menghancurkan keluarga saudaranya sendiri, membuat saudaranya merasakan ketidakadilan yang kejam. Begitukah... sosok kakak yang selalu kalian agungkan selama ini?" 

Han begitu sulit untuk memercayainya. Sungguh. "Berhenti... berhenti mengada-ngada, kau brengsek—"

"Kau bisa bertanya pada Seon Jae Hyun, dia mengetahui seluruh rahasia yang disimpan Wang Yeol rapat-rapat." Wang Hun yang diam sejak tadi kemudian menyambar. 

Bukankah... fakta yang baru saja mereka dengar itu sungguh gila? Han sungguh tidak tahu harus memercayai yang mana, namun jika sampai dia mendengar hal yang sama persis dari Seon Jae Hyun— Wang Han benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan. 

"Bagaimana, Jae?" Tanya Jin kemudian. "Bergabunglah denganku, kita akan mengkudeta Goryeo dengan bantuan dari Baekje. Kebebasan Baekje, kedamaian di Goryeo, kita akan membuat kerajaan kita sendiri."

Jin mengulurkan tangan, menatap ke arah Wang Jae, tersenyum tipis dengan lembut ke arah adiknya yang sejak tadi dihujam dengan kenyataan-kenyataan yang menyakitkan. 

Namun, Sang Pangeran ke tujuh kemudian memandang saudaranya dengan dingin. 

Lantas berkatalah dengan tajam.

"Apanya yang bergabung denganmu? Aku yang akan merebut Goryeo dan membuat kerajaanku sendiri." 


———oOo———


Sepertinya suaminya benar-benar jatuh sakit. 

Ye Hwa sungguh kebingungan saat dia melihat Pangeran Mahkota Baekje itu tertidur dengan tidak nyaman di atas kasur, tubuhnya sedikit menggigil, dan suhu tubuhnya lumayan tinggi. 

Beberapa menit lalu, perempuan itu baru selesai mengompres dahi suaminya. Ia membungkuk kecil, memerhatikan wajah pucat yang bahkan masih terlihat galak dalam keadaan sakit. 

Sang Putri menghela napas samar, dia mengusap surai suaminya pelan sekali, takut membuatnya terbangun. 

Ia pun tahu Baek Min Ho menjadi seperti ini semenjak pria itu muntah darah tempo hari. Hanya dalam sekali lihat, perempuan itu tahu apa penyebabnya. 

"Ye Hwa akan pergi sebentar ke Goryeo, Yang Mulia. Berjanji tidak akan lama, Ye Hwa akan kembali bahkan sebelum anda terbangun." 

Dia berbisik pelan, benar-benar sangat pelan seperti bisikan. Kalimat itu pun disertai dengan seulas senyum manis yang sehangat mentari pagi. 

"Semoga Tuhan memberkati anda, memberkati dalam setiap langkah yang anda lalui, Tuanku. Cepatlah sembuh, aneh rasanya saat tidak ada yang memarahiku." 

Kemudian, Sang Putri beringsut pergi. Dia mengenakan mantel bulu dari sutra terbaik yang dihadiahkan oleh ibunya di hari pernikahan, melangkah keluar dari kamar, pergi menuju Goryeo hanya dengan empat prajurit dan seorang dayang kepercayaannya. 

Lantas terbukalah sepasang mata Sang Pangeran setelah ia mendengarkan suara pintu yang tertutup. Baek Min Ho hanya menatap ke depan dengan pandangan sulit diartikan, lalu memegangi kain lembab yang berada di dahinya. 

~~~

Guan Yu berlari sekencang angin, mengabaikan tatapan aneh orang-orang istana yang menganggapnya seperti dikejar hantu. Pria itu bahkan beberapa kali nyaris tersandung, seperti tidak peduli dengan harga dirinya.

Seseorang mengajaknya bertemu.

Seseorang memintanya untuk pergi ke danau belakang istana. 

Bagaimana Sang Algojo tidak seperti orang linglung? Wanita yang dia cintai entah sejak kapan telah berada di istana, dan orang yang dicari adalah dirinya.

Guan Yu senang, senang bukan kepalang. 

Sampai di taman belakang istana yang luas, pria itu berhenti berlari. Dia tatap punggung sempit yang berdiri membelakangi. Sosok luar biasa dengan mantel bulu sutra dan rambut panjang menjuntai yang dikepang seperti bunga. 

Pria yang biasanya kaku itu tersenyum. Bahkan walaupun dia sedang tersenyum bahagia, dia masih terlihat kaku seperti boneka kayu yang dipaksa tersenyum. 

Mencoba menormalkan deru napasnya, merapikan penampilannya yang sedikit berantakan, Guan Yu baru saja membuka mulut, sampai akhirnya sosok itu berbalik. 

Ye Hwa. Perempuan berparas elok dan lembut seperti bunga mugunghwa itu tersenyum ke arahnya, memberikan salam penghormatan dengan santun.

"Tuan Guan Yu."

Oh, bahkan nada suaranya benar-benar selembut itu seperti tetesan air.

Guan Yu berdeham, kemudian membungkukkan tubuhnya 90 derajat. 

"Saya terkejut anda datang kemari, Yang Mulia. Apakah ada hal mendesak yang terjadi?" 

Mendengar pertanyaan itu, senyum Ye Hwa sedikit memudar. Mungkin karena memang bentuk bibirnya yang melengkung ke atas, bahkan di saat dia tidak tersenyum, dia terlihat seperti tersenyum. 

"Tidak ada hal yang mendesak," ungkapnya. 

Kening Guan Yu agak mengernyit, "dengan siapa... anda datang kemari?" 

"Aku datang seorang diri." 

Mata Sang pria memicing, "apakah bedebah itu—"

"Tuan, sebaiknya anda menjaga cara bicara anda setelah ini." 

Sang Putri memotong kalimat Si Eksekutor. Kalimat tak terlalu panjang yang membuat jantung Guan Yu berdegup seperti dipanah sampai mati, pandangannya kemudian meredup. 

"Yang Mulia..." 

Ye Hwa memandangnya dengan sorot yang berbeda. Tatapan yang tidak pernah Guan Yu lihat sebelumnya, pandangan yang tak pernah ditujukan untuknya selama ini. 

Itu adalah tatapan sedih bercampur kecewa. 

Perempuan itu menghela, terdengar begitu lelah. 

"Aku tahu anda melakukan ini untuk kebaikanku, Tuan Guan Yu. Aku juga tahu... anda mungkin masih tak bisa melupakan perasaan di antara kita berdua. Tapi, tidakkah anda berpikir jika anda tidak bisa terus seperti ini?"

Hati Guan Yu mulai gelisah mendengar kalimat-kalimat itu.

"Gongju-nim..." dia terdengar memohon, seperti tidak ingin Ye Hwa melanjutkan kata-katanya. 

"Dan tolong... tolong jangan menyakiti Pangeran Baek Min Ho, meski aku tahu anda melakukan itu karena ingin melindungiku, tapi aku tidak menyukai cara yang anda lakukan, Tuan."

Apa-apaan semua ini?

Apa yang baru saja dia dengar? 

"Gongju-nim, saya men—"

"Jangan pernah mengatakan hal seperti itu lagi, Tuan Guan," Ye Hwa sekali lagi memotong kalimatnya. "Jangan menyatakan cinta pada seorang wanita yang telah bersuami," dia menggeleng, "ku harap setelah ini anda benar-benar memahami apa yang ku katakan, bahwa sekalipun Pangeran Baek Min Ho menyakitiku, anda tak berhak untuk menghakiminya sedikit pun." 

Itu adalah kata-kata yang tak akan pernah Guan Yu duga seumur hidupnya. 

"Yang Mulia, apakah... anda benar-benar telah melupakan semuanya?" Pria itu bertanya dengan nada hampa. 

Ye Hwa sempat diam selama beberapa saat, memandangi sekumpulan Aster yang ditanam oleh Pangeran ke tujuh. Kemudian terpejam sejenak sembari menghembuskan napas samar. 

"Dalam posisi seperti ini... maafkan aku, tapi aku telah memberikan seluruh hidup dan hatiku pada Pangeran Baek Min Ho, tidak," Ye Hwa menggeleng cepat, "pada suamiku." 

Kalian tahu, seketika Guan Yu merasa dunianya runtuh.

Pedang Zamrud Hijau yang ia bawa kemudian jatuh meluruh, jatuh ke atas tanah begitu jiwanya seperti dikeluarkan dengan paksa dari tubuhnya. 

Lalu Ye Hwa sempat melirik pedang itu, pedang yang telah melukai suaminya.

Maka berujarlah ia, "Tuan Guan Yu, anda pun seharusnya tahu, bahwa pedang digunakan untuk melindungi, bukan menyakiti." 

Itu adalah kalimat terakhir Ye Hwa yang Guan Yu dengar, sampai akhirnya perempuan itu pergi meninggalkannya. 

Tak hanya sekadar meninggalkannya, tapi Ye Hwa benar-benar meninggalkannya. Meninggalkan dunianya, meninggalkan hatinya.

Ye Hwa meninggalkannya sendirian.

Guan Yu menjatuhkan kedua lututnya ke atas tanah, membungkuk sembari menutup wajahnya dengan sepasang telapak tangan. Menangis tanpa suara. 

Hatinya hancur lebur seperti gumpalan tanah dalam air. 


***


"Wang Yeol... ada di dalam sana?" 

Hwang Je No nampak tersenyum tipis ketika mendapatkan pertanyaan dari Oh Seong So, wanita itu seperti hampir menangis, tubuhnya penuh luka di sana sini, hanya saja luka-luka itu sudah diobati saat di gunung Gwanak. 

Panglima itu baru bisa membawa Seong So ke lembah surga saat dirasa keadaan menjadi sedikit aman. 

Raja benar-benar serius ingin memburu Oh Seong So, Hwang Je No pun merasa jika Raja pasti akan langsung membunuh wanita ini jika berhasil ditangkap. 

Kerajaan benar-benar dalam kondisi yang tak baik, masalah selalu berdatangan sejak saat itu. 

"Apakah d-dia baik-baik saja? Dia tidak mati kan?" 

Seong So panik, dan Je No sekali lagi hanya akan tersenyum dengan ramah. 

"Pergilah, Nona Oh. Yang Mulia sudah menunggumu selama ini, dia terus mengkhawatirkanmu." 

Karena memang tidak seharusnya mendengarkan penjelasan apapun, perempuan gisaeng itu mengangguk dengan cepat, lalu berlari kecil menuju gubuk tua tak jauh di sekitar air terjun. 

Oh Seong So adalah wanita yang luar biasa, karena itu Hwang Je No merasa agak terkejut saat melihat wanita itu tidak berdaya dan nyaris putus asa. 

Yah, bukankah yang kuat akan selalu menjadi rapuh saat menyangkut orang yang dicintai, Panglima Hwang?

Pria itu sibuk memandangi punggung Seong So yang menuju ke arah gubuk dengan tergesa, hingga dia mendengar dengusan kecil dari Yong-Gam di belakangnya.

Dia menoleh, tersenyum dengan pedih dan mengelus rahang kudanya. "Kau merindukan Son Je Ha? Ya, kita sama-sama merindukannya." 


~~~


"WANG YEOL!!!"


BRUK!!


Wanita itu menubruk Sang Pangeran yang terbaring di atas ranjang kayu beralaskan tikar. Pria itu mengerang tertahan, namun saat menyadari siapa yang datang sambil menangis, erangan kesakitannya berubah menjadi sebuah senyum lebar. 

"Kau... akhirnya datang." 

Suara Wang Yeol terdengar pelan sekali, dia memang sudah bisa berbicara, namun suaranya begitu parau dan serak, nyaris tak terdengar. 

Hanya saja, sayangnya Wang Yeol memang lumpuh. Dia tak bisa lagi bergerak, hanya mampu terbaring di atas ranjang dengan posisi miring. 

"Maafkan aku... maafkan aku karena baru datang sekarang, seharusnya aku ada di sana saat kau dijatuhi hukuman, seharusnya aku bisa membawamu pergi saat itu juga."

Seong So menangis, dan itu membuat hati Wang Yeol terasa ngilu. Kekasihnya yang galak itu kini terlihat lucu karena menangis seperti anak-anak, tapi dia tetap tak menyukainya. 

Wang Yeol tidak suka melihat seseorang menangis. 

Namun wajahnya tiba-tiba berubah murung.

"Apakah... semuanya terasa sulit?" Ujar pria itu.

Seong So mengangkat kepala, mengusap jejak air mata di wajahnya dengan kasar. "Apa yang kau bicarakan? Seharusnya aku yang bertanya seperti itu padamu, dasar bodoh."

Meski menyakitkan, pria itu tersenyum. "Aku yang sudah menempatkanmu dalam situasi ini, jadi... ku pikir semuanya salahku." 

"Yeol, bukankah aku sudah mengatakan padamu sejak awal jika sebaiknya semua ini diakhiri? Jika kau mendengarkanku, semuanya tidak akan menjadi seperti itu, kau tidak akan—"

"Hei," sela Yeol cepat, "aku jauh lebih mencintaimu ketimbang kerajaanku."

Kalimat romantis yang terdengar norak, namun tetap saja hati Oh Seong So berdebar saat mendengarnya. 

"Orang bodoh," air mata Seong So semakin berjatuhan, "apa kau tidak memikirkan ayahmu? Kau tidak memikirkan ibumu? Sungguh, aku tidaklah seberharga itu jika dibandingkan dengan duniamu." 

"Aku menghormati ayah dan ibuku, aku juga tahu mereka ingin memberikan yang terbaik untukku dan memastikan jika aku akan menjadi pemimpin Goryeo kelak. Namun apakah mereka pernah berpikir tentang bagaimana perasaanku?" 

Wang Yeol dan Oh Seong So memang berbeda.

Keduanya memiliki watak yang bertolak belakang, keduanya dibesarkan dengan cara yang berbeda, dan keduanya memiliki pandangan yang berbeda.

Perempuan itu menundukkan kepalanya, "lalu... apa sekarang?" 

Yeol hanya tersenyum, meski dia sangat ingin mengulurkan tangannya untuk mengusap helaian surai Sang terkasih. 

"Semuanya akan baik-baik saja, tidak akan ada lagi yang bisa mengganggu kita di tempat ini, Hwang Je No menjamin itu." 

Seong So hanya terdiam murung, sembari mengusap pelan tangan Wang Yeol dengan ibu jarinya. Dia hanya sedang kehilangan kata-kata, dan luka-lukanya juga masih terasa ngilu. 

"Kau datang dengan Panglima Hwang, kan? Dimana dia sekarang?" 

"Dia menunggu di dekat sungai dengan kudanya," jawab Seong So. "Dia terlihat tidak begitu baik, sepertinya kondisi di istana benar-benar sekacau itu."

Pangeran itu diam. 

Karena begitu mendengar kata 'dia tidak begitu baik', Wang Yeol langsung tahu bahwa itu bukan karena kondisi istana yang menjadi kacau.

Hwang Je No bercerita padanya, Sang Panglima menceritakan seluruh hal yang dialaminya selama semalam suntuk. 

Panglima Perang itu menangis pada awalnya, dan Wang Yeol benar-benar untuk pertama kalinya melihat seorang Hwang Je No menangis. 

Si Panglima terkena sebuah masalah, dan itu berhubungan dengan Son Je Ha yang tak pernah lagi datang ke lembah surga. 

Hwang Je No menangis dan mengadu di depan Wang Yeol, pria 30 tahunan itu menangis karena dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, karena seseorang yang harus dia hadapi adalah orang terdekatnya, seseorang yang terus bersamanya sejak kecil.

Wang Jae. 

Hwang Je No dan Wang Jae seperti saudara kandung, Wang Yeol tahu betul tentang itu. 

Dan dia paham bagaimana kacaunya Hwang Je No sekarang. 

Kekasihnya ada dalam genggaman pria lain, dan pria lain itu adalah orang yang sangat dia hormati. 

"Ya, semuanya menjadi sangat berantakan sekarang. Ku harap... orang-orang itu akan selalu dilindungi oleh Dewa. Mereka semua yang mencoba menyelamatkanku, kini... aku pun mengerti." 


***


"Kau benar-benar bukan ayah yang baik!! Bagaimana mungkin kau membuang anakmu sendiri seperti itu!" 

Sejak pertengkaran itu dimulai, Raja hanya terdiam di tempatnya. Sang Ratu terus meraung sembari menangis, menunjuknya dengan tajam, melontarkan begitu banyak ujaran kebencian. 

Lihatlah wanita itu, seorang Permaisuri yang biasanya berpenampilan anggun nan angkuh, kini kian hari terlihat semakin kacau. Lingkaran matanya yang menggelap nyaris turun ke pipi, seperti menandakan bahwa dia tak pernah lelap dengan nyenyak. 

Karena merasa begitu dongkol, Sang Raja pun bersuara. "Sebelum kau mengatakan jika aku bukan ayah yang baik, alangkah baiknya jika kau melihat dirimu sendiri," tekannya. 

"Apa maksudmu?!! Kau telah berbuat semena-mena terhadap anakku! Dia anakku! Dia adalah putra sulungmu yang akan mewarisi Goryeo!"

Mata Gwangjong memicing, "lihat, bahkan hal pertama yang kau ungkit tentangnya adalah tentang mewarisi kerajaan."

Kalimat itu membuat Ratu Daemok terdiam dengan telak, dia sangat terkejut. 

"Apakah kau yakin, kau sendiri adalah ibu yang baik?" Raja melanjutkan. 

Ratu Daemok mengepalkan tangan, "aku sedang membahas tentangmu, Yang Mulia! Jangan mengalihkan pembicaraan!"

"Karena itulah!" Nada Raja pun meninggi, "karena itulah sebelum kau menuduhku tak bisa menjadi orang tua yang baik, lihatlah dirimu sendiri, Permaisuri. Lihatlah bagaimana caramu membesarkan Wang Yeol hingga dia berakhir seperti ini."

Sang Ratu gemetaran, dia dengan wajah yang bersimbah air mata, memandang Raja yang berdiri di depannya dengan murka. Keduanya tidak peduli seberisik apa perdebatan itu, tidak peduli apakah perseteruan mereka terdengar sampai ke luar kamar. 

"KAU YANG MEMBUATNYA SEPERTI INI! BAGAIMANA MUNGKIN KAU MENYALAHKANKU YANG MULIA?!"

"KAU SELALU MEMINTANYA UNTUK MELAKUKAN HAL YANG TIDAK DIA INGINKAN SEMENTARA DIA PUN TAKUT UNTUK MENOLAK PERINTAHMU! BAHKAN SEKALIPUN PERINTAHMU BEGITU TIDAK MANUSIAWI!!" 

Raja balas berteriak dengan suaranya yang menggelegar, teriakannya itu membuat dua dayang yang berjaga di depan kamar Ratu terkejut dan mulai berdebar karena ketakutan. 

Ratu Daemok menatap nyalang dengan mata merah, "mengapa aku menjadi satu-satunya orang yang kau salahkan di sini..." geramnya. 

"Karena semua masalah yang terjadi memang berasal darimu," tanpa berperasaan, Raja berkata dengan dingin, dia mulai berbalik, meski tahu kata-katanya akan sangat menyakiti Sang Ratu, dia tetap melanjutkan kata-katanya. "Karena semua bencana yang terjadi di istana berawal darimu, Permaisuri." 

"Yang Mulia—!"

"Jika saja saat itu kau tidak membakar desa di ujung Goryeo, semuanya tidak akan menjadi sekacau ini."

Hari itu, Ratu Daemok benar-benar tidak pernah menyangka jika dia akan mendengar kalimat seperti ini dari Raja. 

Kenyataan yang selalu dia sembunyikan selama bertahun-tahun itu—

"Dan jika saja kau tidak setamak ini, Wang Yeol tentu masih berada di sisimu. Namun sayangnya  ketamakanmu itu telah membuat para Pangeran menderita, dan aku... kehilangan orang yang ku cintai."


———oOo———


Buagkh!!


"Jangan sampai aku melihatmu turun tangan untuk memberikan bantuan pada hari penyerangan itu."

"D-dage?!!"

"Dage, sudah, j-jangan sampai ayah mendengar kita."

Ren panik, ini benar-benar pertama kalinya dia melihat kakak tertuanya semarah itu. Wen Yi Fan meski seorang yang memiliki kepribadian dingin, dia tidak pernah memukul atau menyakiti adik-adiknya bahkan saat latih tanding. 

Tapi dia baru saja melayangkan pukulan ke wajah Wen Jun, meski tak berdarah, itu sangat menyakitkan dan rasanya seperti akan membengkak. 

Yi Fan mengangkat tangan, mengarahkan telunjuknya dengan tajam di depan Jun. "Aku tahu kau ikut dalam aliansi Wang Jin dan Baek Min Ho, kenapa? Kau mau ikut meratakan Goryeo? Untuk apa?! Goryeo adalah sekutu Kekaisaran Song! Kita seharusnya melindungi mereka!"

"Lalu bagaimana dengan Baekje? Mereka tidak memiliki kesalahan apapun dan dage akan membiarkan kerajaan itu terus tertindas?" 

"Kau tidak tahu apapun Jun!!" Yi Fan membentak, "jangan pernah mengikutcampuri masalah kerajaan lain! Apa kau tidak tahu akan sebesar apa dampaknya nanti? Dampak kepada orang-orang yang tidak bersalah?!!"

Wen Jun diam. Pangeran kedua itu terlihat menahan kekesalan, merasa marah karena kakak tertua tidak sepihak dengannya, merasa marah karena dia memang tak bisa menjawab sepatah kata pun.

"Kau selalu menimbulkan masalah, ini bukan sesuatu yang bisa kau gunakan untuk bermain-main, Jun."

Wen Yi Fan saat marah pun tetap menjaga sikapnya. Namun pria itu tetap terlihat menyeramkan bagi kedua adiknya, sekarang Ren pun rasanya ikut dimarahi, jadi dia terus diam tanpa berani menyanggah. 

"Ge—"

"Aku tidak mau mendengar bantahan," Sang tertua langsung menyambar adik keduanya. "Jika kau bersikeras untuk ikut dalam pemberontakan itu, aku akan menendangmu keluar dari kerajaan ini." 

Wen Jun naik darah, "dage kau tidak bisa—!!"

"Kau akan dijaga oleh para prajurit, jangan melarikan diri atau aku sendiri yang akan memenggal kepalamu." 

Pangeran Mahkota itu membalikkan tubuh sembari mengibaskan keliman jubah sutra yang ia kenakan. Wen Jun hendak protes, namun melihat punggung kakaknya yang bahkan nampak bergetar, dia menahan seruannya di ujung bibir. 

Ren menghela napas panjang, menatap kedua kakaknya bergantian dengan sedih. 

Lalu berkatalah Si bungsu, "ge, tolong jangan membuat semuanya semakin rumit, dage saat ini sedang berusaha mati-matian untuk mencegah penyerangan itu." 

Jun menggertakkan gigi, memandang jejak-jejak Sang kakak. "Mengapa... mengapa dia berusaha menyelamatkan Goryeo sampai seperti itu?"

Mendengar pertanyaan itu, Ren berubah murung, dia berujar dengan pelan. "Seseorang menangis di depannya, karena itulah... dage tidak ingin melihat orang itu menangis lagi."


~~~


"Yang Mulia." 

"Oh, Ren."

Wen Ren datang menemui wanita cantik yang berstatus sebagai kakak iparnya itu. Dia melihat Yeo Kyung dengan gaun hanfu kuning cerah, baru saja menaiki kuda dibantu oleh seorang pengawal. 

"Bukankah aku sudah mengatakan padamu untuk tidak memanggilku seperti itu?" Yeo Kyung tampak malas. 

Si bungsu Wen hanya tersenyum dengan lembut, kemudian dia mengangguk saat pengawal yang menjaga Yeo Kyung undur diri. 

"Maaf aku lupa, jiejie*."

*jiejie = kakak perempuan (bahasa china)

"Jika ingin ku maafkan temani aku berkuda," Yeo Kyung mengangkat bahu. 

"Oh ya, dage sedang senggang hari ini, apakah kau ingin memanggilkannya untukmu? Kalian bisa berkuda bersama," Ren menawarkan sembari tersenyum. 

Raut wajah Yeo Kyung langsung berubah masam. "Kau bercanda?"

"Apa?"

"Aku tidak mau bertemu dengannya," Sang Putri melengos dengan malas.

Ren tersenyum menghela, "apakah kalian masih belum akur?" 

"Apakah ada alasan untuk itu?"

"Uhh..." Si bungsu Wen sedikit bingung. 

Yahh, sejujurnya Wen Yi Fan dan istrinya yaitu Yeo Kyung, tidak pernah akur semenjak mereka menikah. Keduanya memang satu kamar, tapi tak pernah tidur dalam satu ranjang. Yi Fan akan lebih memilih untuk keluar dan tidur di aula atau dimana pun itu. Interaksi mereka sangat minim, sekali Ren melihat keduanya bertemu, mereka akan berdebat.

Meski sebenarnya Yeo Kyung-lah yang akan paling banyak marah dan mengomel. 

"Ku pikir... setidaknya kalian menghabiskan waktu bersama untuk beberapa kali," Pangeran dengan hanfu panjang biru dan putih itu menarik tali kekang kuda Yeo Kyung, menuntunnya perlahan. 

"Aku tidak menyukainya, sama sekali tidak."

"Aku tahu jie—"

"Aku lebih menyukaimu."

"Apa?"

Ren mendongakkan kepala, menoleh dengan cepat. 

Menyadari kata-katanya sedikit ambigu, Yeo Kyung terlihat merona. "M-maksudku aku lebih suka menghabiskan waktu denganmu daripada dengan kakakmu. Kau ramah dan aku jadi memiliki teman mengobrol, jika dengan Wen Yi Fan, coba bayangkan apa yang akan terjadi, aku seperti menghadapi sebuah patung batu,"

"O-oh..." Ren kemudian tersenyum canggung, "yahh begitulah dage, tapi dia tetaplah orang baik kok." 

"Aku tahu, tapi aku tidak menyukainya." 

Begitulah kemudian keduanya berjalan-jalan dan mulai keluar dari istana. Yeo Kyung sangat sadar perjalanan dari kandang kuda ke gerbang istana cukup memakan waktu, kerajaan Dinasti Song benar-benar sangat megah, apalagi bangunan istana yang tinggi-tinggi dan dihias dengan emas serta giok. 

Hari-hari Yeo Kyung semenjak menjadi istri dari Wen Yi Fan sejujurnya tidak terlalu membosankan dan tidak seburuk itu, dia sangat dihormati dan diperlakukan dengan sangat baik, dan ada Wen Ren yang menemaninya saat dia kesepian. 

Hanya saja...

"Ren."

"Ya?"

"Mengapa saudara-saudaraku tidak pernah berkunjung kemari?" Tanyanya dengan murung, "orabeoni bahkan sudah berjanji padaku jika dia akan datang."

Ini pertanyaan yang cukup mengejutkan meski wajar, Ren bahkan sedikit bingung bagaimana caranya agar dia berkata dengan sangat hati-hati.

Yeo Kyung tidak tahu sedikit pun kekacauan yang terjadi di Goryeo. Tentang kakaknya yang dilengserkan, tentang saudara-saudaranya yang mulai menghunus pedang satu sama lain. 

Yi Fan mengatakan jika Yeo Kyung tak boleh tahu tentang ini.

Meski permintaan itu memang datang dari Wang Han. 

Yeo Kyung harus aman, dari bahaya apapun, dari ancaman apapun. Karena itu bagi Han, Bianjing dan Kekaisaran Song adalah perisai teraman untuk adiknya yang paling bungsu itu. 

"Hanya surat dan surat yang terus datang, aku bosan."

Wen Ren hanya tersenyum, meski itu adalah sebuah senyum iba. 

"Ku dengar... Pangeran Wang Yeol sedang pergi berperang, jiejie. Jadi, doakan semoga dia bisa kembali dengan selamat."

Yeo Kyung mendengus samar, "orabeoni adalah ksatria yang hebat, dia sama sekali tak terkalahkan di medan perang. Kau tahu Ren, benar-benar tidak akan ada yang bisa menyakitinya!" 

"Ya, aku tahu. Pangeran Wang Yeol memang hebat, dia begitu memiliki hati yang lembut, terlalu lembut dan... terlalu baik." 


———oOo———


"Apa ini? Kenapa kau tiba-tiba datang kemari? Aku bahkan tidak mengirimu surat apapun."

"Justru karena itulah aku datang kemari."

"Ha?"                     

Wang Han memandang pria di depannya dengan tak habis pikir. Sekarang, pria yang entah sejak kapan dan bagaimana caranya masuk ke dalam kamarnya tanpa ketahuan itu mulai membuatnya sakit kepala.

Sungguh, Han baru saja ingin tidur. 

Sekarang, Yi Fan merasa bersalah, dia seharusnya memberitahu Pangeran ke lima itu mengenai keterlibatan adiknya, Wen Jun. 

Tapi Yi Fan menahan niatnya, dia takut... Wang Han akan marah dan membencinya. Itu buruk. Yi Fan tidak mau.

"Hei, kenapa kau malah melamun sialan! Aku bertanya padamu!"

Pangeran Mahkota Wen mengerjap sedikit memundurkan kepalanya ketika Han menyentakkan sebuah kipas merah. Jika dia terlambat sedikit, kipas itu akan menghantam kepalanya—

Minimal kepalanya akan bocor mungkin. 

"Hati-hatilah, kipasmu itu bukan kipas biasa," Wen Yi Fan tampak malas. 

"Kau punya refleks yang bagus, apa yang perlu ku khawatirkan?"

Yang lebih tinggi mengangkat sebelah alisnya, "apakah itu sebuah pujian?"

Han mendengus tidak percaya, "orang gila! Selain memiliki hobi menyusup kau juga tidak punya muka!"


Tuk!


"Rupanya kebiasaanmu masih tidak hilang juga," Yi Fan mendorong kening Han dengan telunjuk hingga kepala Pangeran ke lima mundur beberapa inci. "Berhenti mengumpati orang seperti itu, kau ini Pangeran."

Kesal, Wang Han menampar tangan Wen Yi Fan. "Cih!"

"Jadi apa? Aku kemari bukan untuk diomeli olehmu," datar Yi Fan. 

Sementara setelah mendengar sindiran itu, Wang Han menatap Wen tertua dengan mata memicing. 

Baginya, ini cukup aneh. Han tidak mengerti kenapa Wen Yi Fan kini berubah, dan perubahan itu jelas sangat kentara sekali. Saat awal datang ke Goryeo, Sang Putra Mahkota benar-benar mengintimidasi dengan hawa sedingin es, dan keberadaannya bisa membuat seseorang langsung menundukkan kepala. 

Namun semakin kemari, tampaknya pria yang satu ini menjadi cukup banyak bicara dan bahkan bertingkah seperti seorang maniak. Menyusup kapan pun dia mau tanpa ketahuan. 

Lagipula kekacauan yang terjadi sama sekali tidak ada hubungannya dengan Kekaisaran Song, jadi mengapa Yi Fan selalu menawarkan bantuan sampai seperti ini?

Seolah-olah pria itu benar-benar peduli. 

Wang Han curiga. Dia memang tidak sepenuhnya memercayai pria ini dan resiko dikhianati memang ada, hanya saja dia mungkin akan tetap terkejut jika seandainya dia dijebak oleh Wen Yi Fan.

Ini sangat memungkinkan! Dia benar-benar bisa saja dijebak! 

Ah, apakah dirinya harus membunuh Wen Yi Fan sekarang juga sebelum semuanya terlambat?

"Aku bertanya padamu, sekarang kau yang malah melamun."

Suara berat Wen Yi Fan langsung menyadarkan Wang Han. 

Pangeran ke lima Goryeo yang memang terlihat lebih kuyu dari biasanya, berdeham pelan. Yi Fan tahu hanya dalam sekali lihat jika Pangeran di hadapannya itu benar-benar stres dan tentu habis menangis, tapi Han selalu pandai menyembunyikan perasaannya sendiri. 

"Apakah semuanya baik-baik saja?" Anak Kaisar itu bertanya lagi.

Wang Han menekuk wajahnya, "jika semuanya baik-baik saja kau tidak akan melihatku di sini."

"Aku hanya bertanya."

Lalu lawan bicaranya menghela napas panjang, Han memijat pelipis. Pada akhirnya dia memang harus menceritakan hal yang telah terjadi pada Wen Yi Fan, bukan karena dia mengharapkan bantuan dari pria ini, dia hanya...

Wang Han hanya tidak memiliki seorang pun untuk ia jadikan teman keluhan. Dia selalu bertindak sendiri dan menjadi yang satu-satunya membelot di antara ketiga saudaranya yang lain. 

"Bagaimana pun, mereka akan tetap melakukan penyerangan itu," Han buka suara. 

Masih ada yang ingin dia katakan, namun Wang Han menghembuskan napas yang teramat berat  lebih dulu. 

"Ada apa?" 

"Sayangnya... ini tidak akan menjadi perseteruan antar dua golongan."

Yi Fan mengernyit, "apa maksudmu?"

"Aku benar-benar terkejut saat mendengarnya, adikku, Wang Jae. Dia—"

"Panglima Hwang!! Panglima Hwang tunggu!!"

Kedua orang yang berada di dalam kamar itu menoleh bersamaan. Seseorang berteriak di lorong depan, kencang sekali hingga membuat Han berjengit kecil. 

Dari suaranya, itu jelas Seon Jae Hyun.

Karena pensaran, Wen Yi Fan mendekat ke arah jendela. "Siapa itu?"

"Itu suara Tuan Seon, kenapa dia berteriak-teriak seperti itu?"

"PANGLIMA HWANG DEMI TUHAN KEMBALILAH DAN DENGARKAN AKU!!" 

Dari jendela, Wang Han dan Wen Yi Fan bisa melihat Seon Jae Hyun yang berusaha mengejar Hwang Je No. 


***


"Apakah kau akan pergi berpatroli, nak?"

"Ya, bu. Ini sedikit menyebalkan, seharusnya hari ini adalah waktu istirahatku," pemuda itu tampak mengeluh, mengencangkan ikat kepalanya. "Panglima Hwang brengsek, apa yang dia lakukan sampai-sampai seorang prajurit sepertiku harus menggantikannya?"

Ibunya terkejut, lalu segera memuku pundak anak lelakinya. "Aigoo! Aigoo! Kau tidak boleh berkata seperti itu tentang Panglima Hwang! Anak nakal ini!"

Sejujurnya Kyung Soo kelepasan, ibunya adalah penggemar nomor satu Panglima Hwang Je No, jadi mengatai Sang Panglima seperti itu tentu akan membuatnya menjadi korban kekerasan mendadak ibunya sendiri. 

Kyung Soo melengos malas, meraih pedangnya di atas meja dan mengalungkannya ke belakang punggung. "Ibu seharusnya kasihan pada anak laki-laki ini."

"Eiy! Itu hanya patroli, kau tidak boleh mengeluh. Lagipula patroli juga bukan tugas utama Panglima Hwang, dia adalah Hwang Yong Geum! Hwang Yong-Geum! Tugas utamanya jauh lebih besar daripada sekadar keliling desa!"

Lihat, kan?

"Jika ibu melihatnya di desa ibu pasti juga sangat senang," Kyung Soo mencibir. "Menghampirinya sambil tersenyum lebar, memberinya sekarung lobak dan wortel, mengerubunginya dengan ibu-ibu yang lain, kalian sungguh seperti gadis muda."

Lagi-lagi, ibunya terkejut. "Aih! Kyung Soo-ya! Itu adalah bentuk apresiasi kami terhadap Hwang Yong-Geum! Dia adalah satu-satunya orang yang berjasa dalam kedamaian desa! Jika Hwang Yong-Geum tidak ada, siapa yang bisa kita andalkan? Hwang Yong-Geum adalah putra Dewa yang diberkati!"

Kyung Soo sudah lelah mendengar celoteh ibunya. Dia hanya memandang Sang ibu dengan wajah masam, menggeleng-gelengkan kepalanya lalu. 

"Ibu sungguh berlebihan, Panglima Hwang hanya manusia biasa yang tampan, itu saja."


Bukk!!


"Sudah sana pergilah berpatroli! Cepat!"

Nyonya Bae memukuli punggung Kyung Soo, mendorongnya keluar dari rumah. Membuat pemuda itu mengaduh sambil sesekali mengomel karena Sang ibu lebih memilih untuk mengusirnya karena Panglima Hwang.

"Angkat saja Panglima Hwang sebagai anak dan buang aku, bu." Cercanya. 

"Aduh, astaga! Benar kata Je Ha, kau sepertinya banyak minum cuka!"

Kyung Soo ingin protes, karena dia paling sensi saat diledek minum cuka, namun mendengar satu nama yang tersebut, dia urung membuka mulutnya.

Benar juga, dia jadi tidak pernah melihat perempuan itu akhir-akhir ini? Semenjak dia disibukkan menjadi prajurit kerajaan, Kyung Soo jarang sekali bertemu dengan Son Je Ha atau sekadar menyapa perempuan gisaeng itu.

Kyung Soo merindukan temannya, apakah Je Ha baik-baik saja? Semoga saja perempuan itu aman dan tidak terlibat dengan perseteruan yang terjadi karena turut membantu menyembunyikan Pangeran Wang Yeol. 

Pemuda itu berpamitan kemudian, benar-benar pergi keluar dari rumahnya dan bersiap untuk patroli dengan pakaian prajurit kerajaan. Siapa tahu di jalan dia akan bertemu dengan Je Ha yang sedang belanja atau habis mencuci baju. 


Dukk!


"Akk!"

Kyung Soo tiba-tiba mengaduh kesakitan sembari memegangi punggungnya, barusan ada seseorang yang melemparnya dengan batu. Pemuda itu emosi, dia membalikkan badannya dan hampir berteriak marah.

Tapi seseorang yang menggunakan topi bambu dengan pakaian mirip pengemis memandangnya dari jarak yang lumayan. 

Kyung Soo mengernyit saat orang itu memberi isyarat untuk menghampirinya yang kemudian masuk ke gang kecil di samping rumah-rumah penduduk. 

Dengan malas, dia menghampiri pria bertopi bambu tersebut, mengambil batu yang baru saja menubruk punggungnya. 


Brukk!!


Ia sodorkan batu itu dengan kasar ke dada Yoon Gi, "kau bisa membuat kepalaku bocor, brengsek."

"Tapi aku tidak melemparkannya ke kepalamu kan?"

"Terserah, ada apa? Kalian jadi mengerahkan bantuan?"

Yoon Gi mengernyit tidak suka, "kau sungguh-sungguh berharap penyerangan itu terjadi?"

Kyung Soo melengos malas, "jika aku berharap begitu, aku tidak akan menjadi prajurit kerajaan, aku tidak akan menghabiskan waktuku dengan sia-sia untuk melayani para anak Raja, dan aku tidak akan sudi bekerja sama dengan bandit sepertimu apalagi bertemu denganmu seperti ini."

Kalimat yang panjang dan menusuk seperti biasa dengan raut datar andalannya. 

Yoon Gi hanya memasang wajah seperti 'hah...?' 

"Kata-katamu sangat menyakitiku, kau tahu," pemuda bertopi bambu itu melengos malas.

"Aku tidak peduli, jadi kau kemari hanya iseng untuk melempariku batu?"

"Tidak, brengsek," Yoon Gi mulai kesal. "Dengarkan ini, aku memang kemari bukan karena mendapat perintah dari pemimpinku. Aku hanya akan memberitahumu, jangan hanya berfokus pada penyerangan itu."

"Apa maksudmu?"

"Para Pangeran, karena kau cukup dekat dengan mereka, awasi para Pangeran itu. Semuanya, tanpa terkecuali. Terutama Wang Jae," raut Yoon Gi sangat serius. 

Kyung Soo mengernyit, "Pangeran ke tujuh? Ada apa dengannya?" 

Dalam posisi ini, Kyung Soo memang tahu jika Wang Jae adalah putranya Na Yoon. Dia sudah bertemu dengan Na Yoon lebih dulu bersama ayahnya saat mereka memperbaiki gerbang desa sebelah. 

Secara teknis, orang tuanya dengan wanita bernama Na Yoon yang rupanya pemimpin asli kelompok Gwanaksan ini adalah teman. 

Kemudian masalahnya adalah, Yoon Gi memiliki insting yang buruk tentang Wang Jae saat dia mendengar jika Sang Pangeran sempat menolak untuk meninggalkan istana. 

Karena menurut logikanya, sebentar lagi Goryeo akan dikudeta dan saat-saat itulah Wang Jae seharusnya bisa pergi dengan mudah meninggalkan istana dan hidup dengan ibunya. 

Tapi Pangeran ke tujuh menolak kesempatan itu.

"Sejak awal aku memiliki firasat yang tidak baik setiap aku melihat Pangeran ke tujuh," aku Yoon Gi. "Tolong mata-matai dia juga, aku melakukan ini tanpa sepengetahuan Nyonya Na."


~~~


"Bicara denganku? Kau mengajakku jauh-jauh ke luar istana hanya untuk bicara?"

"Em... ya, itu— maafkan aku, Yang Mulia."

Wang Jae mengernyit, dia memandangi Hwang Je No yang tak seperti biasanya dengan aneh. Panglima itu mengajaknya pergi, meski memang sebelumnya dia sedang berada di luar istana, namun Je No membawanya lebih jauh lagi. 

"Ada apa? Hwang Je No?"

Je No meremat tangannya sendiri dengan kukunya hingga membekas. Dia berhasil melarikan diri dari Seon Jae Hyun yang mengejarnya sejak tadi, dan syukurlah dia bisa segera menemukan Pangeran ke tujuh di desa, tapi sekarang... dia merasa sangat gugup.

Bagaimana ini? Bagaimana jika semua tak berjalan sesuai rencananya?

Bagaimana jika semuanya malah menjadi kacau seperti yang dikhawatirkan Tuan Seon?

"Aku takut Pangeran Wang Jae semakin marah dan kalian akan berseteru."

Begitu katanya. 

Ah, tapi tidak, kan? Je No sangat mengenal Wang Jae luar dan dalam, dia tahu Pangeran itu tidak akan sampai hati untuk bertarung dan berselisih dengannya karena seorang gadis. 

"Hwang Je No?"

Wang Jae memanggilnya lagi, Je No berdeham pelan. 

"Y-ya, Yang Mulia... sedang apa anda berada di luar? Apakah anda akan pergi ke suatu tempat?" Itu adalah pertanyaan acak pertamanya. 

Sang Pangeran mengernyit, "kau tidak benar-benar hanya ingin menanyakan ini, kan?"

Je No menggeleng cepat. "Anda... cukup menjawabnya saja."

Wang Jae menghela, "aku hendak menemui seseorang."

Diam kemudian Hwang Je No, meski sebelum bertanya dia pun sadar betul akan pergi kemana pria di depannya itu. 

Ah, Hwang Je No juga ingin bertanya kemana perginya Pedang Yang, hanya saja dia tidak sempat—

"Apakah... menuju gyobang?" Terkanya ragu-ragu. 

Wang Jae langsung bungkam, sorot matanya berubah seketika ketika Je No menyebut kata gyobang di depannya. Dan untuk sesaat, suasana pun menghening dengan posisi keduanya yang saling pandang menunggu kalimat selanjutnya. 

Tak lama kemudian, Wang Jae mendengus geli. "Ya, kau benar, apakah Seon Jae Hyun memberitahumu?"

Ekspresi Hwang Je No semakin murung, "perempuan itu... Son Je Ha? Gadis gisaeng yang pernah menari di istana saat festival."

"Ya, benar."

Wang Jae menjawabnya dengan penuh percaya diri. 

Sementara Sang Panglima Perang nampak kalut. 

"Mengapa kau bertanya tentang ini?" Tanya Wang Jae, kemudian dia tertawa kecil, "maaf aku tidak memberitahumu, sebenarnya... aku memang tidak berniat memberitahu siapapun, tapi aku tahu Seon Jae Hyun akan membagi masalahnya denganmu." 

Hwang Je No masih belum buka suara. 

"Hahaha, apakah kau bertanya-tanya bagaimana aku bisa tiba-tiba menjadi gibu dari seorang gisaeng sementara sebelumnya aku tidak pernah tetarik dengan wanita?" Pangeran itu tersenyum lebar, "benar, Hwang Je No, ku pikir... gadis ini berbeda dari wanita lain, aku menyukainya, itu saja." 

"Hwangja-nim, dia adalah—"

"Gisaengnya Seon Jae Hyun?" Sela Wang Jae cepat, "aku tahu, aku tahu. Tapi akulah yang lebih mencintainya, Hwang Je No. Aku jauh lebih mencintai Son Je Ha daripada siapapun, aku benar-benar akan membahagiakannya dan berjanji akan segera membawanya keluar dari gyobang untuk ku nikahi."

Hati Je No rasanya seperti berdenyut ngilu. Mendengar bagaimana Wang Jae mengatakan tentang perasaannya teruntuk Son Je Ha, tentang keseriusan dan keteguhannya. 

"Hwang Yong-Geum, ku mohon bawa aku pergi..."

Panglima itu mengepalkan sepasang tangannya, menatap Pangeran dengan sendu. 

Dan berkata, "ini tidaklah seperti itu, Yang Mulia. Tuan Seon... dia memang gibu-nya Son Je Ha, namun pria yang dicintainya bukan tuan Seon Jae Hyun."

Raut wajah cerah Wang Jae berubah, "apa maksudmu? Apa yang kau katakan—"

"Tolong lepaskan Son Je Ha, Yang Mulia. Gadis itu adalah kekasihku, dan kami saling mencintai."





Bersambung...


Jadinya wang jae ngalah apa trobos ni?

Hwang je no nyerah atau gaspol ni?





Continue Reading

You'll Also Like

630K 59.2K 32
Ibuku bilang, selama ini kami harus hidup susah dan terus-menerus bersembunyi karena ayahku sangat membenci kami dan ingin membunuh kami. Namun ... K...
Extra Love Story By Roaila

Historical Fiction

2M 186K 55
Transmigrasi series ~ 2 •••••• Zea Andara Alexander, putri bungsu keluarga Alexander yang tidak pernah di anggap. Zea berpura-pura lemah di depan kel...
2.9M 35.3K 11
Estefania Aretta seorang perempuan yang menginjak umur 25 tahun ini. Bekerja sebagai salah satu pemilik tokoh bunga di kota Las Vegas. Semua nya berj...
33.7K 5.3K 171
Lu Gu menikah atas nama saudara laki-lakinya dan menikah dengan pemburu ganas di Desa Qingxi. Betapapun bersalahnya dia, di bawah paksaan pemukulan...