In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

91.3K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
3. His Dark Secrets
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

7. The Silent House

1.6K 343 38
By AdistaSucardy

Kuputuskan untuk meletakkan dream catcher-ku di atas permukaan nakas yang hanya berisi alarm digital dan sebuah lampu tidur. Aku kemudian melangkahkan kakiku menapaki lantai kayu kamar yang mengkilap⸺dan juga memiliki bagian berderit, menghampiri jendela persegi yang tirainya ditarik terbuka, lalu berdiri memandang menembus kaca untuk mengetahui keadaan di luar.

Pohon ek tua yang tadi kulihat ternyata menaungi jendela kamar ini. Batangnya besar sekali dan berbonggol-bonggol. Area tanah di bawah cabang dan dedaunan rimbunnya terlihat lebih gelap, mungkin karena jarang tersentuh cahaya matahari.

Tidak banyak yang bisa kulihat dari jendela ini. Hanya hamparan hutan luas dan bukit-bukit berkabut di kejauhan. Aku mulai merasa bosan setelah beberapa saat. Saran Mark untuk berendam air hangat terlintas kembali dalam benakku. Sepertinya, tidak ada salahnya mencoba. Mungkin itu akan membuat tubuh dan pikiranku menjadi lebih rileks.

Namun sebelum itu, tatapanku mendarat pada lemari kayu yang tadi dibicarakan Mark. Kubuka pintu sebelah kanan dengan gerakan ragu-ragu, rasanya seperti sedang menyentuh barang-barang milik orang lain dan aku merasa buruk karena itu.

Tapi tidak, situasinya tidak benar-benar begitu.

Isi dari lemari sebelah kanan membuatku terkejut. Mark sudah mempersiapkan cukup banyak pakaian untukku di sini. Beberapa potong gaun sederhana, piyama, kardigan, sweter, syal, kaos kaki, hingga mukena. Aku tidak bisa membayangkan Mark pergi sendirian ke supermarket dan membeli cukup banyak pakian perempuan. Hal itu membuatku merasa semakin rikuh.

Aku tidak tahu harus mengenakan apa malam ini, jadi kukeluarkan gaun panjang bahan katun dengan motif bunga-bunga daisy mungil dan sebuah kardigan rajut polos warna lilac. Kombinasi sederhana yang tidak terlihat 'terlalu malas-malasan' namun membuatku tetap hangat. Aku tidak tahu bagaimana kode berpakaian di rumah ini, namun aku tidak akan makan malam mengenakan piyama. Itu terasa agak tidak sopan.

Aku membawa pakaianku ke kamar mandi, memutuskan untuk mengenakannya di sana saja. Setelah menyalakan lampu kamar mandi, aku mengunci pintu di belakangku dan menyandarkan punggung di sana selama beberapa detik sembari memeluk gulungan-gulungan pakaian.

Kedua mataku mengedar menyapu ruangan yang beraroma maskulin. Benda yang berada paling dekat denganku adalah sebuah cermin besar dan wastafel di tengah instalasi meja kayu bergaya rustic dengan tiga buah laci di bawahnya. Ada beberapa benda ditata di atas meja itu; sikat dan pasta gigi, pisau cukur bertenaga baterai, shaving cream, sabun pencuci wajah, parfum laki-laki dengan kemasan botol kaca hitam yang isinya tinggal setengah, dan peralatan-peralatan mandi yang juga berada di situ seperti ssampo dan sabun mandi.

Di sisi lain meja, terdapat serangkaian sabun pencuci wajah, sabun mandi, dan sampo di sana yang kemasannya belum terbuka. Khusus untuk perempuan. Ada pula beberapa butir bath bomb berwarna kuning, pink, jingga, serta ungu muda seukuran jeruk limau di dalam kotak kayu berwarna kecokelatan. Aku langsung tahu semua itu untuk siapa.

Aku teringat di kamar tidak ada meja rias. Jadi, setelah meletakkan pakaianku di tempat kering, aku membuka laci-laci di bawah wastafel. Aku menemukan obat-obatan dan kotak P3K di dalam laci pertama. Sisir-sisir (tentunya ada sisir baru untukku yang bentuknya sangat feminin), serta pengering rambut di laci kedua. Lalu, handuk-handuk di laci paling bawah.

Kuraih satu buah bath bomb aroma buah persik dan mulai menyalakan keran air hangat untuk mengisi bathtub yang posisinya berseberangan dengan bilik shower berkaca buram. Busa-busa harum berwarna jingga kemerahan langsung mengisi bathtub saat butiran bath bomb kujatuhkan ke dalam air. Aku langsung melangkah masuk setelah melepas pakaian dan melihat busa-busa sudah cukup banyak untuk berendam.

Aku memejamkan mata saat air hangat dan busa-busa harum mulai menenggelamkan tubuhku, mengirimkan sensasi menenangkan ke seluruh jengkal kulit dan ototku.

Keheningan menyelimutiku. Aku berdoa dalam hati, berharap ini semua dapat mengikis sedikit demi sedikit rasa gugupku yang sudah mengkristal dan membentuk gunung es tak kasat mata. Aku akan segera bertemu Mark lagi setelah ini, jadi untuk sesaat, aku ingin menikmati momen ini tanpa memikirkan apa-apa.

Tapi aku tetap tidak bisa tidak memikirkan apa-apa.

Aku memikirkan betapa jauhnya sekarang aku dari rumah.

Memikirkan fakta bahwa sekarang aku sudah resmi menikah.

Memikirkan kenyataan akan terpencilnya rumah ini dan malam ini akan jadi kali pertama aku tidur di sini.

Aku memikirkan semuanya.

Namun, air hangat dan busa-busa membuat semua itu berputar di kepalaku dengan cara yang berbeda. Agak samar-samar dan saling tumpang tindih satu sama lain.

Sudah lebih dari sepuluh menit aku berendam. Aku menyadari bahwa aku mulai mengantuk. Lekas-lekas aku meregangkan badan dan meninggalkan bathtub sebelum jatuh tertidur lalu tenggelam dan mati konyol.

Setelah berendam, aku menyempatkan diri untuk mencuci rambut dengan sampo aroma lilac yang sudah disediakan. Aku lalu membersihkan wajah lambat-lambat dengan sabun pencuci wajah yang tidak terlalu berbusa. Terakhir, aku berpakaian lalu mengeringkan rambutku.

Selama beberapa saat, aku berdiri mematung di depan cermin. Gaunku agak terlalu panjang hingga ujungnya mencapai mata kaki, namun kardigan rajutku memang berukuran oversize. Aku menyisir rambutku dan membiarkannya tergerai begitu saja. Aku selalu merasa lebih nyaman seperti itu.

Kudekatkan wajahku ke cermin. Perhatianku mendarat pada samar-samar bekas luka melintang di pipi kanan atasku. Sudah hampir tidak terlihat, kecuali jika dilihat lekat-lekat. Salep pemudar bekas luka dari rumah sakit akan menghilangkannya perlahan. Namun, sore ini aku terlalu malas untuk menyentuh benda itu. Jadi, aku hanya mengolesi wajahku dengan sedikit krim aloevera. Setidaknya, wajahku menjadi terlihat agak lebih segar setelahnya.

Setelah semuanya beres, aku kembali ke kamar. Hari sudah semakin gelap. Matahari sudah hampir terbenam. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Kuhampiri tempat tidur lalu duduk bersandar pada bantal-bantal. Lama sekali. Aku baru sadar ternyata aku sempat jatuh tertidur ketika mendengar dua kali ketukan pintu.

Mark.

Jantungku melompat. Aku cepat-cepat berjalan menghampiri pintu dan membukanya.

Mark berdiri di sana. Ia menatapku selama beberapa detik lamanya, membuat pipiku bersemu.

"Makan malam sudah siap," kata Mark dengan nada ramah. "Maaf agak terlambat. Ayo kita turun."

Aku mengangguk. "Baiklah."

Aku tidak tahu harus mengatakan apa saat berjalan mengikuti Mark turun ke dapur. Kusembunyikan kedua tanganku ke dalam saku kardigan yang hangat agar memiliki sesuatu untuk diremas. Ya. Aku mulai gugup lagi. Saat berjalan menuruni tangga, aku melihat lampu dinding klasik itu sudah dinyalakan. Cahayanya kekuningan lembut.

"Bagaimana istrahatmu tadi?" tanya Mark hangat sambil melirikku singkat. "Sudah tidak terlalu lelah, kan?"

"Ternyata berendam air hangat memang membantu. Aku sudah tidak terlalu lelah. Hanya agak mengantuk." Aku mengaku.

Mark tersenyum mendengar ucapan terakhirku. "Baiklah. Tapi kau harus makan terlebih dahulu, setelah itu kau boleh tidur."

Kami tiba di dapur yang juga merangkap sebagai ruang makan. Piring-piring berisi makanan dan gelas-gelas sudah tertata rapi di meja. Aku termenung sesaat.

"Seharusnya tadi aku membantumu," gumamku tidak enak hati.

Mark sudah menarikkan kursi untukku. "Aku tidak akan membiarkanmu," sahutnya sambil tersenyum miring.

Aku bergerak kikuk menghampiri kursi yang dipegangi Mark. Aku duduk di posisi paling dekat dengan kepala meja, yang berarti aku akan berada tepat di samping Mark.

Aku memandangi makan malam yang tersaji di hadapanku. Kentang tumbuk, tumis kacang polong, dan tuna panggang.

"Selamat makan, Clavina," ucap Mark setelah duduk di kursinya sendiri.

Aku menganggukan kepala dengan gerakan samar. "Terima kasih."

Mark mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum. "Entah sudah berapa kali kau mengucapkan terima kasih dalam beberapa jam terakhir."

Aku merasakan hawa hangat menjalari pipiku. "Aku berharap bisa melakukan sesuatu lebih dari sekadar mengucapkan terima kasih."

"Santai saja, Clavina. Jangan sungkan-sungkan begitu," timpal Mark tidak setuju. Ia menyeka lengan kemejanya yang merosot, menggulungnya hingga sebatas siku dan menampakkan lengan kokohnya. "Sekarang cobalah tuna panggangnya."

Aku menurut. Tanganku menyendok tuna panggang di piringku perlahan dan mencicipinya. Lidahku mengecap rasa bawang putih yang kuat berpadu dengan sentuhan rosemary. Dagingnya terasa lembut sekali.

Beberapa detik kemudian, aku menyadari Mark sedang memandangiku lekat-lekat. Warna matanya terlihat semakin gelap di bawah pencahayaan dapur yang bernuansa kekuningan lembut, hampir redup.

"Bagaimana?" Mark bertanya dengan tatapan penuh antisipasi.

"Ini lezat sekali." Aku berkata jujur, meski suaraku tidak meyakinkan karena terdengar lirih.

Mark tersenyum lega. Ia lalu menyuap untuk dirinya sendiri.

Kami terjebak hening selama beberapa saat sebelum Mark angkat suara lagi.

"Ini adalah pertama kalinya ada wanita di rumah ini," Mark tiba-tiba bergumam. Nada suaranya rendah, namun terdengar hangat. "Selama bertahun-tahun, bangunan tua ini hanya kutinggali sendiran."

Aku berupaya menahan diri untuk tidak merasa istimewa atau semacamnya. Pipiku terasa memanas karena alasan yang tidak kupahami.

"Woodstock memang jauh lebih lengang jika dibandingkan dengan Singapura. Dan rumah ini juga lumayan terpencil. Semoga hal-hal itu tidak terlalu mengusikmu."

Lumayan terpencil?

"Aku tidak terlalu suka hingar-bingar." Aku tidak berbohong akan hal itu. "Dan meski berdiri di tempat sepi, rumah ini keren."

Dari seluruh kata sifat yang dapat kugunakan untuk mendeskripsikan rumah Mark, aku memilih keren. Aku merutuki diri sendiri dalam hati karena itu.

"Meski agak menyeramkan, bukan?" Mark menimpali. "Di tengah-tengah hutan seperti ini. Aku jadi terkesan seperti sedang menculikmu."

Aku hampir tersedak air putih yang sedang kuteguk.

Mark terdiam sesaat, mengamati reaksiku. "Oh, sepertinya aku malah tambah menakut-nakutimu."

Aku terdiam selama beberapa detik.

"Jadi.." Aku mempermainkan kacang polong di bawah garpuku. "Kita hanya berdua saja di sini?"

Mark mengangkat sebelah alis tegasnya dengan dramatis. "Hanya berdua saja dalam artian yang bagaimana?"

Aku mendadak panik. Memangnya ada artian yang lain?

"Maksudku, hanya ada kita di sini, di tengah wilayah yang hampir bisa dikatakan tidak berpenduduk." Seingatku, rumah terakhir yang kulihat berjarak sekitar empat kilometer dari sini.

"Ya. Rumah ini dahulunya adalah pondok musim panas milik sebuah keluarga. Mereka hanya datang kemari untuk menjauhkan diri dari keramaian. Mereka berburu, memancing, atau hiking di wilayah ini. Mereka menjual rumah ini beberapa tahun lalu karena pindah ke Seattle."

Aku mendengarkan penuturan Mark dengan seksama.

"Rumah ini punya harga yang sangat bagus. Aku juga memilihnya karena tempat ini sangat mendukung hobi fotografiku. Hutan, alam liar, dan kesunyian." Mark membalikkan seiris tuna dalam piringnya.

Aku meneguk air minum lagi. Kulirik Mark yang tiba-tiba terdiam.

"Clavina, apa kau takut?" tanya Mark dengan raut khawatir.

Rasa gusar menyergapku. Aku berpikir keras agar suasana tidak jadi rumit.

Baik, semakin gelap hari, rumah ini memang terasa semakin sunyi saja. Aku tidak bisa membayangkan saat malam tiba nanti.

"Aku..." Kalimatku seperti menggantung di udara. "Aku hanya sedikit terkejut."

Kedua netra Mark menatapku lekat. "Jangan khawatir. Kau aman di sini bersamaku, Clavina."

Kalimat itu seperti berdengung di telingaku. Juga di dadaku.

"Clavina," pangil Mark lagi setelah beberapa saat. Ia menatapku dalam-dalam. "Kau terlihat mengantuk. Habiskan makananmu. Sebaiknya kita segera tidur."

Aku tercenung.



Kita.



[Bersambung]

Continue Reading

You'll Also Like

16.1K 3.5K 23
Kedelapan pemuda terpilih secara acak. Mereka harus menyelesaikan teka-teki yang silih berganti. Apakah mereka mampu melakukan hal itu? Siapakah saja...
1.5K 51 6
[Highest rank: #1 in spionase per July 30th, 2021] [Highest rank: #2 in pemerintahan per July 18th, 2021] Zanna Nirmala bertemu Alvaro Eros di pesta...
1.9K 482 3
Sejak SD, Karina sering diejek teman-temannya karena fisik yang ia miliki sangat jauh berbeda dengan standar kecantikan di Indonesia. Fakta bahwa ked...
992K 47.8K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...