Al kini sudah berada di dalam mobilnya. Menyetir mobilnya entah ke mana. Dia seperti kehilangan arah saja.
"Lo di mana, Rex? Lo baik-baik aja, kan?" gumam Al sambil menggigit bibir bawahnya karena khawatir.
"Maaf kalau gue udah nyakitin lo, Rex, cuma karena balas dendam gue sama lo. Yang padahal itu masalah keluarga kita, bukan masalah kita ..." lirihnya.
"Gue ... Gue udah lukai hatinya, bahkan tangannya juga sampai terluka parah karena gue. Gue benar-benar minta maaf, Rexi ..." lirihnya lagi sambil mengacak-acak rambutnya dengan begitu frustasi.
***
Rexi berjalan sambil memasuki sebuah kantor besar. Dia tersenyum dengan begitu ramah dan sopan.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang resepsionis.
"Ah ... Saya ingin melamar pekerjaan," jawab Rexi sopan.
"Baiklah. Di mana berkas anda?" tanya sang resepsionis.
Rexi mengeluarkan berkasnya, lalu memberikannya kepada sang resepsionis untuk diperiksa.
Sang resepsionis memeriksa berkas Rexi, lalu setelah itu akan dia bawakan untuk pihak yang bersangkutan lagi.
Sang resepsionis mengerutkan keningnya tak suka sambil menggeram rendah.
"Maksud anda apa, yah?" tanya resepsionis itu sambil menatap Rexi.
"Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dan kamu ingin melamar pekerjaan di sini, sedangkan ijazah kamu saja hanya lulusan SMP. Apa anda tak berpikir terlebih dahulu?" tanya sang resepsionis tak habis pikir.
"Tapi, saya masih bisa kerja kok, Pak. Saya bisa bekerja sebagai cleaning service. Saya benar-benar butuh uang untuk bayar sewa kost saya, Pak," kata Rexi sedih.
Sang resepsionis terdiam sat mendengarkan penuturan Rexi. Ada rasa iba juga di dalam hatinya.
"Tolong bantu saya, Pak ..." pinta Rexi lagi.
Sang resepsionis menghela napas panjang.
"Apa kamu tidak malu untuk menjadi OB di sini? Padahal, kamu wanita cantik. Kamu juga-"
"Asalkan pekerjaannya halal, Pak!" potong Rexi.
"Saya rela. Saya butuh sekali, Pak!" kata Rexi antusias.
"Kenapa kamu ingin bekerjasama dan tidak melanjutkan sekolahmu saja? Di mana orang tuamu?" tanya sang resepsionis mengintimidasi. Bisa-bisanya ada gadis secantik ini dan tampak seperti orang kaya harus bekerja rendahan dan hanya tamat SMP.
Rexi terdiam beberapa saat. Apa yang harus dia jawab. Tidak mungkin dia berkata kalau dia diusir oleh papanya, kan?
"Ah ... Mama saya meninggal, Pak. Kalau papa saya lagi sakit," jawab Rexi berbohong sambil tersenyum sopan.
"Ouh ... Saya kira kamu anak orang kaya, karena fashion kamu terlihat meyakinkan sekali," kata sang resepsionis.
Rexi hanya bisa menundukkan kepalanya sambil tersenyum masam.
"Hah ... Baiklah kalau begitu. Saya terima kamu untuk bekerja di sini, tetapi hanya sebagai OB, karena berkasmu hanya lulusan SMP saja," kata sang resepsionis.
Untuk masalah pekerjaan seperti itu, resepsionis boleh memutuskan secara sepihak tanpa berkonsultasi dengan pihak yang lebih tinggi lagi jabatannya.
Rexi langsung menatap resepsionis itu sambil tersenyum lebar.
"Terima kasih, Pak! Terima kasih!" kata Rexi antusias.
"Jadi, kapan saya sudah bisa bekerja di sini, Pak?" tanya Rexi tak sabaran.
"Hari ini," jawabnya yang semakin membuat Rexi senang.
"Dan bajunya ..." Resepsionis itu berdiri dari duduknya dan membuka lemari yang ada di belakangnya.
Resepsionis itu mengambil sebuah baju berwarna hijau terang dan memberikannya kepada Rexi. Pastinya, Rexi menerimanya dengan baik.
"Ini baju untuk kamu. Ingat! Kamu harus bekerja dengan giat!" kata memperingati.
"Dan ini bayaran awalmu. Bayaran kamu akan naik kalau kerja kamu bagus. Dan semakin tinggi lagi kalau misalnya cara kerja kamu lebih bagus dari pada OB lainnya," jelas sang resepsionis, lalu menyerahkan sebuah amplop coklat untuk Rexi.
Rexi menganggukkan kepalanya, lalu kemudian membuka amplop coklat itu dan melihat isinya.
"Seratus ribu sudah cukup untuk membayar biaya kost-an kamu, kan?" tanyanya.
"Ah ... I ... Iya, Pak," jawab Rexi lembut walaupun sedikit gugup.
"Kalau begitu, saya permisi, Pak," kata Rexi sopan.
Rexi tak usah bertanya bagaimana cara kerja seorang OB, dia sangat tahu bagaimana kerja seorang OB, mengingat kalau sewaktu dia kelas dua SMA, dia sering kantor papanya dan akrab dengan beberapa OB di sana. Jadi, Rexi kadang mengobrol bersama sang OB atau bahkan dia bertanya-tanya apa saja yang dikerjakan seorang OB di sebuah perusahaan.
Rexi berjalan menuju ruang ganti perusahaan itu. Dia sedikit tahu di mana saja petak ruangan yang ada di perusahaan itu, karena dia pernah datang ke perusahaan ini bersama ayahnya beberapa bulan yang lalu untuk bertemu klien. Mungkin, resepsionis tadi resepsionis baru sehingga tak mengenali Rexi.
Rexi bersandar di dinding ruang ganti itu sambil menatap baju pemberian resepsionis tadi.
Rexi tersenyum masam, lalu kemudian mulai memakai baju tersebut.
Rexi menatap pantulan dirinya pada cermin ruang ganti itu. Uhm ... Baju itu tampak pas di badannya. Apakah dia memang bernasib buruk seperti ini? Entahlah, takdirnya selalu dipermainkan Tuhan.
"Bagus, kok. Enggak masalah kalau masih bisa dipakai. Ini bagus, kenapa enggak?" katanya lembut sambil tersenyum kecil.
"Semangat, Rexi! Kerja yang rajin. Jangan malas-malasan. Fighting!" serunya untuk menyemangati diri sendiri.
Rexi berjalan keluar dari ruang ganti itu dan mulai mengambil beberapa alat pembersih seperti sapu dan bahkan tempat sampah.
Kini Rexi mulai menjalankan tugasnya. Sesekali dia bersenandung untuk bernyanyi.
Bahagia? Tidak! Rexi hanya berusaha bahagia. Lebih tepatnya, berpura-pura bahagia.
Semua karyawan yang berlalu lalang di sana memperhatikan Rexi. Bahkan, ada yang sampai berbisik-bisik.
"Siapa wanita itu?"
"Mungkin cleaning service baru."
"Dia sangat cantik, yah?"
"Iya, cantik, sih. Tapi, kerjanya cuma cleaning service."
"Cantik-cantik, kok, kerjanya cuma jadi cleaning service?"
"Bagus kalau dia menjabat sebagai sekretaris pribadi CEO aja, kan?"
"Ya. Wajahnya cukup meyakinkan."
Seperti itulah beberapa bisik-bisik yang didengarkan oleh Rexi.
Rexi tidak menjawab cibiran itu, dia lebih memilih untuk diam saja atau menghela napas berat.
"Yang sabar, Rex. Lo hanya perlu sabar dan belajar terima kenyataan aja, Rex," batin Rexi di dalam hatinya sambil tersenyum kecil.
Kalian meminta agar Rexi melawan para karyawan itu dan berkata kalau dia itu anak seorang Barack Maxis yang pernah menjalin kerja sama beberapa tahun dengan perusahaan ini? Gila! Rexi tidak akan pernah melakukannya.
Bahkan, tersebar sebuah artikel hoax yang mengatakan kalau dia adalah wanita malam sudah berhasil membuat papanya marah besar hingga penyakit jantungnya yang begitu lama kambuh lagi.
Lantas, apa yang akan terjadi kalau papanya tahu anak perempuannya yang dianggap kotor oleh seluruh orang itu ternyata bekerja sebagai cleaning service? Ah ... Mungkin saja papanya akan mati di tempat karena sang anak menurunkan popularitasnya berturut-turut.
Rexi hanya bisa berdiam diri tanpa memperkenalkan siapa dirinya yang sebenarnya. Dia layaknya orang biasa yang tak pernah kenal dengan yang namanya fasilitas mewah.