In A Rainy Autumn [END]

By AdistaSucardy

91.1K 18K 7K

Sebuah tragedi kecelakaan pesawat membuat Clavina Rose mengalami luka fatal yang mengantarkannya pada koma be... More

1. Fear, Pain, Despair.
2. Hospital Room
4. One Windy Afternoon
5. Decision
6. The First Day
7. The Silent House
8. Hollow
9. Wound
10. The Graveyard
11. Sorrow
12. Rainy Morning
13. Redemption
14. September Moonlight
15. Cookies and Him
16. The Fireplace
17. Dark Room
18. A Little Dance by The Fireplace
19. October 1st
20. Another White Room
21. Critical Minutes
22. Back Home
23. Stormy Heart
24. Dangerous Move
25. Inevitable
26. Can't Help Falling in Love With You
27. Fix You
28. The Visit
29. Closer
30. Thunderstorm
31. Scars and Acceptance
32. Little Things
33. Giant Oak Tree and Its Acorns
34. The Morning After
35. Just Another Day in October
36. Unhealed
37. Halloween
38. The Night
39. Poison and The Vow
40. Trust
41. Rainy Weekend and Him
42. Blue Asters
43. Far From You
44. Gone Too Soon
45. An Empty House
46. Lonely Road
47. Danger
48. The Deceitful Monster
49. Sanctuary in His Arms
50. The Safest Home
51. London
52. His Homeland
53. Pillow Fight (Or Not Really)
54. Lake District
55. Pasta and Shrimp
56. The Signs
57. The Little One
58. Big Bear's Hug
59. First Trimester Swings
60. The Truth
61. My Very First Winter
62. Winter Fever
63. Cosy Snowy Days (END)
AUTUMN EVERMORE

3. His Dark Secrets

2.4K 437 52
By AdistaSucardy

Mark Evano menarik kursi dan duduk di sisi ranjang rawatku setelah aku berterima kasih atas mawar yang dibawakannya. Samar-samar aku mencium aroma mint dan sandalwood menguar lembut. Dari jarak ini, aku juga bisa melihat warna mata Mark dengan lebih jelas; biru tua, seperti permukaan laut dalam. Kedua manik itu terlihat begitu kontras dengan warna kulitnya yang nyaris sepucat kertas. Kedua lengkungan alis tegasnya yang sepekat arang menambah kesan tajam dan dalam pada saat yang bersamaan.

Aku tidak tahu apakah ini hanya berlaku kepadaku, tapi cara Mark menatap membuatku seperti kesulitan bernapas.

Untuk sesaat, selapis kecanggungan seperti menciptakan jarak di antara kami.

"Bagaimana keadaanmu?" tanya Mark seraya menatapku lekat. Nada bicaranya sarat dengan kehati-hatian, seolah aku ini benda rapuh yang dapat remuk sewaktu-waktu, bahkan hanya dengan mendengarnya bertanya.

"Jauh lebih baik, terima kasih," jawabku sekadarnya. Aku menunduk memandangi pola bekas jahitan di punggung tangan kiriku yang memanjang hingga ke dua ruas jari. Aku mendadak merasa mual mengingat tulang-tulang patah dan luka sobekan yang menimbulkan rasa sakit luar biasa waktu itu.

"Aku tahu aku berutang penjelasan," gumam Mark dengan suara melunak. "Sepertinya aku menakutimu."

Aku menoleh pelan. Sekilas terlihat kilatan di dalam tatapan Mark yang menandakan bahwa ia sedang berusaha terdengar jenaka.

Mark menarik napas panjang. Aku menunggunya berbicara lagi.

"Aku mengenal baik ayahmu," kata Mark. Tatapannya setengah menerawang jauh.

"Tunggu, apa?!" sambarku terlalu cepat. Aku langsung merasa konyol.

Mark mengangguk. "Sepertinya istilah 'mengenal baik' tidak begitu tepat di sini. Beliau lebih seperti pahlawan bagiku."

Aku tidak pernah merasa begitu tertarik terhadap suatu hal sebelum ini. Dan tiba-tiba saja, aku hanya ingin Mark terus berbicara. Seolah-olah, mendengarkan penjelasan Mark adalah satu-satunya hal yang dapat memberiku alasan untuk hidup, setidaknya selama percakapan ini berlangsung.

"Tanpa ayahmu, aku tidak di sini. Aku sudah mati. Aku pernah menjadi pemuda pengecut yang memilih untuk berusaha mengakhiri hidup daripada menghadapi kekacauan yang telah kuperbuat."

Ucapan Mark membuatku terkesiap. Selama beberapa saat, aku sempat tidak memercayai pendengaranku.

Kekacauan? Tidak ada satu pun hal pada diri Mark yang membuat kata itu pantas disandingkan dengan seluruh gagasan tentangnya. Ia misterius, berwibawa dengan cara tertentu, dan kuakui, ia tampan. Ada ketenangan dalam suara dan bahasa tubuhnya. Ia pernah mencoba bunuh diri? Bagaimana mungkin?

"Semua orang pernah membuat kekacauan," gumamku parau. Satu-satunya orang di ruangan ini yang paling 'layak' untuk mengakhiri hidup adalah aku.

Mark tersenyum miring. Senyuman gelap dan masam. "Kau tidak mengenalku, Clavina."

Jantungku berulah. "Kupikir itulah alasanmu berada di sini."

Agar aku mengenalmu.

Senyuman gelap itu masih di sana. "Setelah kau mengetahui siapa aku, kau tidak akan pernah membiarkanku menginjakkan kaki di sini."

Aku menarik napas. Gelenyar perasaan aneh menyambangi sekujur tubuhku. Seperti gelombang kekhawatiran yang bertarung dengan rasa ingin tahu. "Kalau begitu, kita buktikan saja."

Jantungku terhenyak mendengar ucapanku sendiri. Sepertinya baru beberapa menit lalu aku bersikap seperti kelinci yang cemas dan kikuk saat Mark melangkah masuk. Dan sekarang, aku mendesaknya untuk menyibakkan selubung gelap yang menaunginya agar aku dapat mengetahui jati dirinya yang sebenarnya.

Yang mungkin saja, jauh lebih gelap.

"Aku laki-laki yang buruk," suara Mark terdengar lebih berat sekarang dengan nada merenung seperti itu. "Begitu buruknya hingga seorang gadis memilih untuk mengakhiri hidupnya. Karenaku."

Tenggorokkanku tercekat. Aku berupaya untuk menjaga raut wajahku tetap tenang.

"Aku benci membicarakan ini. Tapi kau berhak tahu, Clavina," cara Mark menyebut namaku meninggalkan kesan tersendiri di telingaku. Seolah-olah ia sedang mengucapkan sesuatu yang begitu baru dan menarik perhatiannya. Sesuatu yang juga ingin dilindunginya. "Biar kuceritakan dari awal. Kedua orang tuaku berdarah Inggris, namun aku dibesarkan di New Orleans oleh paman dan bibiku karena kedua orang tuaku tewas dalam kecelakaan mobil saat aku berusia 4 tahun. Paman Seth sedari dulu punya tempramen buruk. Ia pemabuk berat dan tidak jarang melakukan kekerasan terhadap istrinya setiap kali kehilangan kendali diri. Sementara itu, bibiku terang-terangan menjalin hubungan gelap dengan mantan atlet baseball selama bertahun-tahun.

"Kekacauan keluarga ini membuatku tumbuh menjadi pemuda berandalan. Aku terjerumus ke dalam lingkaran setan minuman keras dan seringkali terlibat perkelahian. Segalanya memburuk saat aku masuk kuliah dan menyewa apartemen kecil untuk terbebas dari rumah paman dan bibiku. Kebebasan adalah bencana bagiku. Perilakuku semakin menjadi. Aku pergi ke klub setiap malam, mengadakan pesta dan menindas orang-orang yang tidak sepopuler kelompokku, mengencani banyak gadis, dan segala hal memuakkan yang dapat kaubayangkan.

"Lalu ada gadis ini. Namanya Leslie. Ia menyukaiku sejak hari pertama kuliah. Kami sama-sama mengambil Jurusan Bisnis dan tergabung dalam klub fotografi. Ia bukan gadis populer, tapi ia cerdas dan berperangai sangat sopan. Aku tidak pernah menggubrisnya. Namun karena aku brengsek, suatu hari aku memutuskan untuk mendekatinya dan bersikap seolah-olah aku juga tertarik padanya. Itu juga termasuk ide teman-temanku. Mereka ingin menjadikan Leslie lelucon. Karena bagi kami, semua gagasan tentang 'merusak gadis baik-baik' itu cukup menantang."

Mark berhenti sejenak untuk melihat reaksiku. Aku hanya membeku.

"Tapi Leslie benar-benar mencintaiku. Ia mempercayaiku. Gadis itu berpikir bahwa hubungan kami memiliki masa depan. Ia memberikan segalanya bagiku. Namun, tanpa sepengetahuannya, aku masih berhubungan dengan kekasihku yang sebenarnya, Cassandra. Aku sama sekali tidak memiliki perasaan terhadap Leslie. Sama sekali tidak. Aku hanya ingin mempermainkannya."

Sengatan rasa marah dan kecewa memelukku erat. Meski demikian, aku membiarkan Mark melanjutkan ceritanya.

"Suatu malam, aku membawa Leslie ke sebuah pesta yang dihadiri Cassandra dan seluruh teman-temanku. Pesta yang gila seperti biasanya. Selama beberapa saat, aku membiarkan Leslie merasa bahagia karena berada di sisiku. Meski ia jelas-jelas membenci pesta riuh semacam itu. Lalu kemudian Cassandra datang. Ia menciumku di hadapan Leslie seolah gadis itu hanyalah udara kosong. Aku pun bersikap demikian. Leslie tampak terguncang dan begitu terluka. Tapi itu belum seberapa, Cassandra mengumumkan ke seluruh tamu pesta akan betapa bodohnya Leslie karena berpikir aku bersungguh-sungguh mencintainya. Pada kenyataannya, gadis itu ditipu mentah-mentah.

"Cassandra menegaskan bahwa Leslie sama sekali tidak sepadan denganku. Dan aku⸺dengan kejamnya⸺membenarkan ucapan Cassandra. Yang terjadi berikutnya adalah; Cassandra menumpahkan secangkir bir dingin di atas kepala Leslie agar gadis malang itu merasa semakin dipermalukan. Dan aku tidak menghentikannya. Seluruh ruang bersorak memuja tindakan Cassandra dan aku tidak melakukan apa-apa."

Mark mengambil jeda. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya kaku. Ada sesuatu yang kelam dalam tatapannya.

"Ini bagian yang terburuk;" suara Mark terdengar pahit dan penuh sesal. "Lusanya, aku mendengar berita kematian Leslie. Ia menyayat nadinya sendiri di kamar mandi rumahnya. Saat itu aku baru tahu bahwa selama ini Leslie memiliki beban berat dalam hidupnya. Ibunya menderita kanker pankreas dan meninggal tepat saat gadis itu masuk kuliah. Keluarganya punya masalah ekonomi. Ia berusaha bertahan di tengah segalanya. Gadis itu jatuh cinta kepadaku, sesuatu yang seharusnya memberi satu kebahagiaan kecil namun aku justru menghancurkannya dengan cara terburuk yang dapat kaubayangkan."

Rahang Mark semakin menegang. Dari sorot matanya, aku bisa melihat bahwa ia tengah berusaha menahan luapan kebencian terhadap dirinya sendiri.

"Sebelumnya aku tidak pernah peduli terhadap apa pun. Namun kematian Leslie mengguncang duniaku. Aku dihantui rasa bersalah dan penyesalan yang nyaris merenggut kewarasanku setiap harinya. Aku tidak dapat mencintai Leslie hingga akhir hayatnya, bahkan setelah kematiannya, namun aku bersumpah akan memberikan segalanya asalkan ia kembali hidup. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Leslie sudah pergi. Dan semua orang tahu bahwa aku adalah monster. Aku tidak punya alasan hidup lagi. Aku meninggalkan kampus, mengurung diri di apartemenku dengan botol-botol alkohol sementara seluruh kebencian ditujukan kepadaku. Aku sendirian dan merasa paling hina. Aku tidak punya teman-teman lagi, Cassandra mencampakkanku, dan mimpi-mimpiku sudah tidak ada yang tersisa.

"Maka pada suatu malam di bulan Juni, aku memutuskan untuk mengakhiri hidup. Lewat tengah malam, aku berdiri di tepian sebuah flyover dengan pistol di tanganku. Dan saat itulah ayahmu kebetulan melintas. Ia bergegas menghentikanku sebelum aku menembak kepalaku sendiri. Sebuah tindakan berbahaya karena aku memiliki senjata, namun ia berhasil. Setelah itu, ayahmu membawaku bersamanya untuk minum kopi di sebuah kedai 24 jam agar aku bisa menenangkan diri. Ayahmu sedang berada di New Orleans untuk menghadiri sebuah simposium. Itu adalah hari terakhirnya di sana. Setelah ayahmu mendengar seluruh ceritaku dan mengetahui bahwa aku sudah tidak punya masa depan di New Orleans, ia memutuskan untuk membawaku ke Woodstock untuk memulai hidup baru. Aku sempat menolak, namun ia berhasil membujukku. Di samping menjadi seorang dokter, ayahmu juga menjalankan sebuah bisnis percetakan kecil. Ia memberiku pekerjaan di sana. Bangunan percetakan itu juga memiliki sebuah ruang kosong sehingga aku dapat menggunakannya sebagai tempat tinggal.

"Sejak peristiwa itu, aku berhenti minum alkohol. Aku kembali memotret di sela waktu bekerja karena itu adalah panggilan jiwaku. Aku bekerja keras di percetakan ayahmu sehingga setelah tahun kedua berada di Woodstock, aku memiliki cukup tabungan. Aku mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikanku, aku mengambil Jurusan Fotografi sembari masih menyambi bekerja di percetakan. Di tahun yang sama, aku mendengar ada rumah tua yang dijual cukup murah. Meskipun terlihat agak seram dan jauh sekali dari keramaian, tempat itu masih sangat layak huni. Rumah itu menjadi tempat tinggalku hingga hari ini.

"Ayahmu adalah pribadi yang luar biasa, Clavina. Ada bagian dalam dirinya yang membuat orang-orang di sekelilingnya merasa damai. Ia membuatku percaya bahwa dunia ini penuh dengan kebaikan. Di sela kesibukannya, ia selalu mengajakku mengobrol sambil minum kopi atau memancing di sungai kecil dekat rumahnya. Ia adalah seorang muslim yang baik. Aku tidak jarang menanyakan tentang Islam kepadanya saat kami sedang bersama. Segala yang disampaikannya begitu mudah untuk diterima. Belum genap setahun berada di Woodstock, aku mantap menjadi seorang mualaf."

Kalimat terakhir Mark membuatku terkesiap. Ada hawa hangat menjalari rongga dadaku melihat sebuah senyum samar terulas di wajahnya yang pucat.

Kami terjebak hening selama beberapa saat setelah Mark mengambil jeda yang agak panjang. Pikirannya seperti sedang melambung jauh.

"Ayahmu banyak bercerita tentangmu, Clavina," Mark kembali bersuara. "Ia sangat menyayangimu. Aku bisa melihat itu. Ia tidak dapat menyembunyikan luapan kebahagiaan saat kau menyetujui permohonannya untuk tinggal bersamanya di sini. Ia mengabarkan hal itu via telepon dan mengatakan bahwa ia tidak sabar ingin memperkenalkanmu kepadaku. Ayahmu bilang kau gadis penyendiri, dan ia berpendapat bahwa kita bisa menjadi teman," raut Mark tiba-tiba berubah sedih. "Meski aku sadar, sepertinya itu terlalu muluk-muluk. Setelah kau mengetahui masa laluku, kau pasti tidak ingin mengenalku sama-sekali."

"Bukan hakku untuk menghakimi masa lalu seseorang," selaku cepat.

"Tapi kau berhak berteman dengan orang yang lebih baik."

Aku terdiam, bingung harus mengatakan apa. Seluruh penuturan Mark telah menciptakan citra yang berbeda tentangnya di dalam kepalaku, tapi bukan berarti aku tidak ingin mengenalnya sama sekali.

"Kemudian peristiwa kecelakaan pesawat itu sampai ke telingaku. Berita kematian ayahmu membuatku sangat terpukul. Namun, setelah mendengar kabar bahwa kau selamat, aku seperti mendapatkan sebuah harapan. Aku harus bertemu denganmu. Namun kau terluka sangat parah dan koma begitu lama. Tapi aku ingin terus menunggumu. Tidak peduli bagaimana caramu akan memandangku saat kau terbangun nantinya. Aku hanya ingin bertemu denganmu."

Aku kembali menunduk memandangi jemariku karena lagi-lagi merasa seperti kehabisan napas ditatap Mark dengan sedemian lekatnya.

"Sekarang kau sudah bertemu denganku," ujarku dengan suara parau. Nyaris tak terdengar.

"Dan aku menakutimu."

Aku menelan ludah. "Aku⸺"

"Tidak apa, Clavina. Aku sudah mengantisipasi itu," Mark tersenyum. "Aku bukan pria baik-baik."

"Kau bukan masa lalumu," tegasku, kali ini memberanikan diri untuk menatap ke dalam mata Mark.

Ia terdiam.

"Terima kasih," ucapku. "Karena sudah menjengukku. Kau satu-satunya orang yang melakukan itu."

Mark masih diam termangu.

Aku mengalihkan pandangan ke jendela. Celah-celah di antara mendung tipis di langit sudah mulai berubah warna menjadi agak kekuningan, mengaburkan garis cakrawala dan pepohonan yang juga berwarna hampir senada.

"Clavina," panggil Mark lembut.

Aku menoleh. Tatapan kami bersirobok.

Ia terdiam sejenak. "Aku boleh datang lagi, kan?"




[Bersambung]

Continue Reading

You'll Also Like

383K 11.6K 12
Song Series #1 One day I'll forget about you You'll see I won't even miss you [Someday - Nina] Kyara Maisy sangat menyadari bahwa pernikahannya denga...
PAIN By 민윤기

Teen Fiction

122K 6.6K 34
Ketika kegelapan mata menguasai,Pilih kasih pada anak sendiri hingga pemfitnahan pembunuhan terhadap anak-anaknya. Kesalah pahaman yang membuat keh...
137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
224K 46.1K 31
Apa yang ada dalam bayangan kalian ketika dengar nama Genghis Khan pertama kali? Badan gempal, mata segaris, brewok lebat, sosok gahar yang mengintim...